David kembali masuk dan mendapati Olivia sedang terduduk lemas di lantai. David tahu, ketegaran kekasih yang masih dia cintai di depan orang-orang itu hanyalah kepalsuan. Olivia begitu bersedih.David begitu merasa bersalah. Dia tak menyalahkan Olivia jika gadis itu kini membencinya. Tapi dia masih berharap Olivia masih mau memaafkan dan menerimanya kembali."Jangan bermimpi!" Olivia mencebik saat David mengutarakan harapannya."Aku akan bersabar menunggumu, Oliv. Aku tidak minta sekarang. Kau bisa menanangkan dirimu. Tak perlu menjawabnya saat ini juga.""Sampai mati pun aku tidak akan pernah kembali padamu!" Ingin sekali rasanya Olivia meludahi wajah pengkhianat itu. Mati-matian dia mempertahankan kehormatan, meski dengan mengorbankan keselamatannya sendiri. Hal itu hanya demi bisa memberikan kesucian pada pria yang akan menikahinya kelak. Tentu saja pada David yang saat itu sangat dia cintai.Tapi kini, perasaan itu benar-benar telah lenyap. Yang ada hanya rasa benci dan juga amar
Pagi harinya Olivia mengunjungi Heru setelah menghubunginya. Kebetulan pemuda yang bekerja sebagai buruh di pabrik yang sama dengan David itu mendapat shift malam. Sehingga dia dapat menemui Olivia di pagi hari."Kau mengembalikannya terlalu cepat." Heru dengan segan menerima amplop coklat dari Olivia."Aku sudah mendapatkan gajiku. Tak ada alasan menahan uangmu lebih lama lagi. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Heru." Olivia berkata tulus."Ya. Katakan kalau kau butuh yang lain. Aku akan berusaha membantumu.""Benarkah?" Olivia berpikir sejenak. "Apa kamar di sebelahmu masih kosong?"Olivia berpikir dia harus pindah. Rumah yang dia sewa saat ini cukup besar utuk dia tempati seorang diri. Lagi pula dia tak punya teman lagi untuk berbagi biaya sewa bulanan. Dia hanya butuh kamar yang lebih kecil dan juga murah.Heru tersenyum senang."Ya. Kurasa kau bisa pindah ke sana."*Olivia tak lupa dengan janjinya pada Ronan. Lebih tepatnya perintah dari pria itu agar urusan mereka cepat seles
Olivia memegang dadanya sendiri. Kepalanya terasa begitu pusing. Gadis itu berpikir bahwa Ronan sengaja menyuruhnya menemui Roy untuk melihat apa yang sudah pria itu lakukan.Ronan hanya ingin menunjukkan bahwa ancamannya tidak main-main. Kata-katanya bukan sekedar kiasan untuk menakut-nakuti. Tiba-tiba saja Olivia teringat akan ancaman Ronan dengan membelah kepala.Dia memegangi keningnya sendiri. Tempat yang sama saat darah mengalir hingga mengotori wajah pria menakutkan itu. Ingin sekali rasanya gadis itu mematahkan tangannya sendiri karena telah lancang membuat kepala pria itu berakhir dengan dua jahitan.Olivia kembali ke rumah. Dia akan memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk Ronan nanti.*"Gadis itu belum datang?" Ronan mengisap cerutu di ruang kerja di kediamannya."Anda memberinya waktu tiga hari, Pak." Kim menjawab apa adanya.Dia merasa ada yang tidak beres dengan majikannya. Dia bahkan tak pernah merasa tidak sesabar ini saat menandatangani kontrak bernilai milyaran.
"Anda mempermainkanku, Pak. Anda tahu uang itu tidak ada padanya. Anda hanya ingin membuatku melihat betapa kejamnya anda." Olivia berhasil menghafal dengan baik apa yang ingin dia katakan.Ronan tertawa sumbang."Kau bilang aku kejam? Bukankah harusnya kau merasa senang karena pria yang menjualmu mendapat hukuman?""Roy juga dijebak. Silvia melarikan diri dan menunjukku sebagai gantinya tanpa persetujuan. Anda bahkan sudah menangkapnya. Anda sudah berhasil mendapatkannya. Uang itu juga ada pada Silvia. Kenapa masih melibatkanku dalam transaksi kalian? Urusan kita hanya soal melukai anda. Itu pun karena tindakan membela diri. Harusnya anda juga tahu soal itu."Olivia sejenak terdiam. Dia bahkan tak berani bertanya bagaimana keadaan Silvia. Apakah setelah tidur dengannya, Ronan membuang atau mungkin memeliharanya. Angka dua puluh lima terlalu besar untuk wanita penghibur sekelas Silvia. Olivia berpikir, pria itu pasti begitu tergila-gila pada saudari angkatnya."Kau banyak bicara rupan
Ronan menyapu bersih benda-benda di atas meja dengan tangannya. Semuanya jatuh berserakan ke lantai. Semua itu dia lakukan setelah mengusir Olivia dengan kejam. Memberi perintah agar gadis itu jangan pernah lagi menunjukkan wajah ke hadapannya.Ronan mengatakan kalau gadis itu tak perlu membayar sepeser pun karena apa yang Ronan inginkan sudah berhasil dia dapatkan. Lalu urusan mereka telah selesai malam itu.Ronan menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kursi. Membayangkan wajah angkuh Olivia yang masih mencoba melawan dengan sisa tenaga yang tidak ada apa-apanya. Alih-alih memohon, berulang kali dia meludahi wajah Ronan yang tengah buas.Sekian lama hidup dalam kesendirian, gadis miskin itu yang membuatnya tak mampu lagi mengendalikan diri. Ronan menyesali apa yang sudah terjadi. Melanggar prinsip dan termakan ucapannya sendiri. Dia telah menodai gadis itu.*Olivia masih memikirkan kalung miliknya yang ada pada Silvia. Satu-satunya barang berha
"Maaf, Bu. Aku sudah bilang tidak mau melakukannya." Olivia menjawab tegas.Saat rombongan sosialita itu baru saja tiba, salah seorang dari mereka bertanya siapa yang akan melayani. Saat tahu Olivia orangnya, wanita paruh baya itu meminta Olivia memasukkan sesuatu pada minuman seseorang yang dimaksud. Dengan imbalan uang tentu saja."Serbuk itu tidak akan membuatnya mati. Aku hanya ingin membuat wanita arogan itu mabuk. Dia akan banyak mengoceh dan mulai mempermalukan dirinya sendiri. Aku tidak menyuruhmu membunuh orang, Nona. Aku hanya ingin menunjukkan pada semua orang, bahwa ketua asosiasi kami punya banyak cela dalam hidupnya.""Apa pun itu, aku tidak mau melakukannya. Biarkan aku pergi." Olivia bersikeras."Dasar orang miskin tidak tahu terima kasih. Bahkan uang yang akan aku berikan lebih banyak dari gajimu di sini.""Permisi, Bu. Aku harus kembali bekerja." Olivia tak menggubris ucapannya. Lalu pamit dengan sopan.Wanita itu mendengus
Olivia tiba di kediaman Laura dengan selembar kartu nama. Asisten pribadi Laura menyambut Olivia dan membawanya ke bagian dapur. Kepala pelayan memberikan satu stel pakaian seragam ala pelayan kelas atas. Olivia tampak menawan dengan pakaian yang begitu pas menempel di lekuk tubuhnya.Makan malam kali ini terkesan begitu mewah. Olivia berpikir bahwa wanita yang telah merekrutnya itu bukan hanya beralasan agar dapat memberinya uang. Namun melihat kesibukan malam ini, wanita itu benar-benar butuh tenaga tambahan.Olivia merasa senang. Mulai menikmati pekerjaan dengan upah luar biasa yang menantinya.Olivia baru saja mengantar minuman ke ruang tamu. Lalu kembali dengan nampan kosong melewati ruang keluarga hendak menuju dapur. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti saat melihat sesosok yang selama ini dia cari.Olivia belum yakin. Bagaimana caranya orang itu bisa berada di tempat mewah ini. Namun sepertinya dia akan mati penasaran jika tidak me
"Ternyata memang kau! Apa yang kau lakukan di rumahku?" Ronan menatap Olivia dengan tajam tanpa melepaskan pegangannya."K_kau?!" Olivia terbata."Ada apa ini?" Disusul kemudian suara Laura yang menghampiri mereka. "Ronan? Kenapa kau mencekal tangan Olivia.""Ibu mengenalnya?" Mata Ronan menyipit.Ibu? Mata Olivia menatap Laura dan Ronan secara bergantian. Berusaha bertanya, namun tak kuasa mengeluarkan suara."Olivia, ini putraku. Ronan. Dan itu...." Wanita yang tampak anggun itu melihat ke arah Silvia meski dengan tatapan yang entah. "Dia Silvia. Adiknya Ronan."Alih-alih mengucapkan sebagai putrinya, Laura lebih memilih menyebutnya adik dari putranya. Wanita itu seperti tak memiliki perasaan pada Silvia.Olivia tercengang. Masih berusaha mencerna tiap keterangan dari wanita paruh baya itu. Tangannya melemah. Entah ikut merasa senang, karena saudara yang telah bersamanya sejak kanak-kanak itu akhirnya bertemu dengan kelu