Langit kampus siang itu seperti biasa biru dan tak terlalu mendung. Mahasiswa berseliweran di pelataran dengan berbagai raut wajah, mulai dari stres karena skripsi, gugup karena presentasi, hingga senang karena kelas dibatalkan. Di tengah riuh suasana itu, Livia duduk sendiri di bangku taman kampus. Tangannya sibuk memainkan sedotan dalam gelas plastik berisi es coklat, sementara matanya terus menerawang, memikirkan hal yang tak kunjung menemukan jawaban.Ia baru saja melihat Zayn. Pria itu datang ke kampus, berdiri tak jauh dari fakultas ekonomi, berbicara serius dengan beberapa pria berjas rapi. Jelas itu urusan bisnis, karena wajah Zayn berubah sangat profesional dan dingin. Tapi, yang membuat hati Livia tercekat adalah: Zayn tidak menoleh sedikit pun ke arahnya. Tidak juga memberinya tatapan hangat seperti biasa. Bahkan tidak mengirim satu pesan pun.“Livia!”Suara ceria itu datang dari seseorang yang sudah sangat ia kenal. Aisha. Teman sekampus yang akhir-akhir ini selalu menempe
Hari itu kampus tampak lebih ramai dari biasanya. Suara obrolan mahasiswa bersautan di lorong, tawa meledak dari sudut-sudut kelas, dan aroma kopi dari kantin menguar menyatu dengan panas matahari yang mengendap di pelataran. Mahasiswa berlalu-lalang, beberapa membawa buku, beberapa sibuk dengan ponsel, dan sebagian lagi hanya asyik nongkrong tanpa tujuan pasti.Di tengah hiruk-pikuk itu, Livia berjalan pelan di koridor menuju kantin. Tangannya memeluk buku catatan dan wajahnya masih murung karena kejadian pagi tadi dengan Finnian. Meski bibirnya berusaha tersenyum kecil, matanya menyimpan sisa-sisa kekhawatiran.“Huft... semoga Finnian sekarang udah tenang,” gumamnya lirih.Baru beberapa langkah melewati taman kecil di dekat fakultas hukum, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakang.“Livia!”Livia menoleh dan mendapati sosok Rafka—si cowok kampus yang terkenal bad boy dan penuh gaya berlari kecil menyusulnya. Kemeja putihnya digulung sampai siku, rambutnya disisir acak-acaka
Pagi itu, aroma roti panggang dan sosis keju memenuhi udara dapur. Sinar matahari menembus tirai dapur yang dibiarkan terbuka, membuat suasana rumah terasa hangat dan hidup. Di tengah meja makan yang besar, telah tertata rapi aneka hidangan sarapan mulai dari telur orak-arik, pancake bertumpuk, hingga semangkuk besar buah potong.Serenity sibuk menuangkan susu ke dalam gelas Finnian. Wajahnya cerah seperti biasa, rambut panjangnya diikat asal-asalan ke atas kepala, dan piyamanya masih penuh gambar unicorn berwarna-warni.Livia duduk di sisi Finnian, menyendokkan selai ke roti anak itu sambil sesekali mencuri pandang ke arah Zayn yang duduk di ujung meja, serius membaca laporan dari tabletnya meski sesekali menyuap sarapannya sendiri dengan gerakan santai.Sementara itu, Axel entah datang sejak jam berapa sudah duduk rapi dengan segelas kopi hitam dan telur rebus. Dia benar-benar terlihat seperti pengawal pribadi yang tidak tahu cara liburan.“Finnian sayang, ayo makan, nanti roti kamu
Di dalam rumah megah yang bergaya klasik modern itu, udara sore terasa sejuk. Angin menerobos lembut melalui jendela besar yang dibiarkan sedikit terbuka, menyapu tirai tipis yang bergoyang pelan.Axel duduk di ruang tamu dengan kaki disilangkan, tampangnya tetap datar seperti biasanya. Namun sorot matanya tajam menelusuri sekeliling, hingga akhirnya jatuh pada Finnian yang tengah berdiri di depan televisi sambil memegang remote, mencoba menyalakan channel kartun kesukaannya.“Finnian, jangan dekat-dekat layar! Nanti matanya rusak,” tegur Livia sambil tergesa menghampiri bocah itu. Dengan wajah khawatir namun tetap lembut, ia menarik Finnian untuk duduk di sofa.Finnian manyun, namun menurut. “Tapi tante Livia, Finnian mau nonton yang ada robot-robotnya….”“Boleh, tapi duduk manis, ya?” Livia tersenyum.Axel hanya memperhatikan dengan tatapan aneh. Entah sejak kapan, dia jadi lebih sering mengerutkan dahi jika melihat Livia—bukan karena tidak suka, namun karena bingung. Gadis itu terl
Zayn belum menyalakan mesin mobil. Tangannya masih menggenggam jemari Livia erat-erat, seolah takut gadis itu akan menghilang jika ia melepaskannya sedikit saja. Livia masih bersandar di dadanya, mendengarkan detak jantung pria itu yang berdebar cepat entah karena emosi, atau karena ia.“Jadi…” Livia mendongak, mengangkat wajahnya yang masih sembab. “Kalau aku bener-bener polos, Kak Zayn mau gantiin jadi bodyguard pribadi aku, gitu?”Zayn mengangkat satu alis, matanya menatap dengan pandangan tajam tapi geli. “Bodyguard pribadi? Bayarannya berapa dulu?”“Hmm…” Livia berpikir keras, lalu mengangguk sok serius. “Satu ciuman per hari. Kalau nyelamatin nyawa aku, boleh dapet dua. Tapi kalau kamu terlalu galak, aku diskon jadi setengah.”Zayn tak bisa menahan tawanya. “Setengah ciuman itu gimana maksudnya?”Livia pura-pura berpikir lagi, lalu menjawab, “Cuma boleh nyium pipi. Atau… hidung?”Zayn memiringkan kepala, mendekat pelan, lalu mengecup ujung hidung gadis itu. “Baik, Bodyguard Zayn
Mobil mewah berwarna hitam metalik itu meluncur perlahan meninggalkan halaman kampus, menyatu dengan riuh rendah jalanan yang mulai padat menjelang senja. Di dalamnya, atmosfer terasa berbeda dari biasanya. Biasanya, Zayn akan menyambut Livia dengan senyum tipis atau lelucon sarkasme khasnya yang membuat pipi Livia bersemu. Namun kali ini, pria itu hanya menatap ke depan, matanya tajam memandangi jalanan, seolah tak menyadari kehadiran gadis polos yang kini duduk dengan gelisah di sampingnya.Livia menoleh pelan ke arah Zayn. “Um… Kak Zayn, hari ini panas banget, ya?” tanyanya, mencoba membuka percakapan dengan suara pelan namun ceria.Zayn tidak menjawab. Bahkan alisnya pun tak bergerak. Ia tetap menatap lurus, satu tangan menggenggam setir sementara tangan lainnya menopang dagu, seolah sedang memikirkan sesuatu yang rumit.Gadis itu mengedipkan matanya. “Hmm… atau Kak Zayn lagi puasa bicara, ya?” lanjutnya, kali ini dengan senyum kecil dan nada bercanda.Namun tetap tak ada jawaban.
Matahari mulai condong ke barat, menandakan jam pulang kuliah telah tiba. Di pelataran kampus, Livia duduk di bangku taman dekat gerbang depan, memeluk tas ranselnya yang bergambar kelinci lucu. Sesekali, ia melirik layar ponselnya, menanti satu nama yang belum juga muncul di notifikasi: Zayn.Dengan pipi menggembung, ia menghela napas. “Tumben banget Kak Zayn belum datang…”Tiba-tiba, suara yang terlalu akrab dan tidak diharapkan menyela dari arah samping.“Masih nunggu jemputan, Putri Kentut?” Rafka berdiri dengan tangan di saku, senyum sinisnya mengembang.Livia mengerutkan kening, “Namaku Livia, bukan Putri Kentut!”“Ya, tapi brand itu cocok banget sama kamu,” Rafka duduk seenaknya di samping Livia. “Sudahlah, nggak usah nunggu dia. Aku bisa antar kamu pulang. Naik motorku, kita ngebut dikit juga nggak apa-apa, rambut kamu bakal kayak iklan sampo.”Livia memeluk tasnya lebih erat. “Enggak, makasih. Aku mau dijemput Kak Zayn. Lagian, aku belum siap mental naik motor yang melaju sep
Kantin kampus sore itu ramai, tapi tak seramai detak jantung Livia yang baru saja menerima pesan dari Zayn pagi tadi. Pesan yang begitu singkat: “Jangan nakal.” Livia tidak paham maksudnya apa. Padahal ia hanya makan donat isi stroberi dan minum susu kotak, mana bisa dianggap nakal?Ia duduk bersama Aisha, masih dengan ekspresi polos dan pipi yang merona alami. Sementara Aisha terlihat lebih ceria dari biasanya senyumnya terlalu manis, bahkan terasa tidak tulus."Liv, kamu hari ini cantik banget, loh," puji Aisha sambil tersenyum miring.Livia mengangguk polos. "Makasih, aku cuma pakai bedak bayi kok, terus tadi semprot parfum aroma marshmallow."Tanpa disadari, dari arah belakang, seorang pria tinggi dengan hoodie gelap dan ransel miring menghampiri. Ia dikenal di kalangan mahasiswa sebagai si 'raja genit' Rafka. Senior dengan wajah tampan, tetapi dikenal kurang ajar dan suka main tangan.Rafka menyeringai begitu melihat Livia. “Livia, Livia… kamu kayaknya makin semok deh hari ini,”
Sedangkan di tempat lain Di sebuah taman bermain sekolah internasional yang terlihat seperti gabungan Disneyland dan balai kota, Serenity berdiri dengan tangan di pinggang, menatap gerbang sekolah dengan ekspresi panik.“Finnian! Finnian Vanderbilt! Sini kamu, Nak! Jangan lari-lari! Itu... itu bukan jungle gym, itu patung direktur sekolah!!” teriaknya sambil berusaha berlari dengan heels tiga inci yang sudah nyangkut satu di semak-semak.Finnian, bocah laki-laki empat tahun dengan rambut cokelat awut-awutan dan wajah segemas kucing persia, berlari kesana kemari sambil tertawa keras. Di tangan kirinya, dia menggenggam sepotong roti isi nugget yang entah dari mana datangnya, dan tangan kanannya memegang mainan dinosaurnya yang sudah hampir patah ekornya.“Mamaaaa! Dino-ku mau naik raket sekolah! Dia mau jadi astronot!!” teriaknya riang sambil melempar dinosaurus ke arah ayunan yang tinggi. Anak-anak lain menjerit, guru TK mulai panik, dan Serenity yang biasanya tampil glamor dengan gay