Share

Bab 9

Author: Adelia tpn
last update Last Updated: 2025-03-24 23:56:24

Langit malam tampak kelam, tanpa bintang yang berani menampakkan diri. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, suasana begitu mencekam. Bau besi dari darah yang mengering memenuhi udara.

Sebuah kursi di tengah ruangan menjadi saksi bisu dari permainan kematian yang akan segera dimulai.

Seseorang duduk di sana terikat, tubuhnya penuh luka, wajahnya lebam hingga sulit dikenali. Vincent Morelli.

Pria yang cukup gila untuk menantang seorang Zayn Vanderbilt.

Vincent pernah berpikir bahwa dia bisa menjatuhkan Zayn, mengambil bisnisnya, dan menguasai yang menjadi milik Zayn tapi sekarang? Dia hanya seseorang yang menunggu ajalnya datang.

Pintu gudang terbuka.

Zayn masuk.

Dibalut setelan hitam sempurna, wajahnya tanpa ekspresi, matanya kosong seperti iblis tanpa hati.

Di belakangnya, dua pria bertubuh besar mengikutinya, salah satunya membawa pisau kecil, yang lainnya membawa pistol.

Vincent mendongak dengan sisa tenaga yang ia miliki, menatap Zayn dengan kebencian. "Bajingan..." suaranya serak. "Kau pikir kau bisa lepas dari ini?"

Zayn menghela napas, lalu berjongkok di hadapan Vincent sambil menyalakan rokoknya.

"Aku tidak pernah berpikir aku bisa ‘lepas’ dari ini, Vincent," suaranya tenang, "Karena aku tidak perlu kabur dari apapun."

Vincent meludah ke tanah, menatapnya dengan penuh amarah. "Kau pikir kau tak tersentuh? Kau pikir kau iblis yang tak bisa dijatuhkan?"

Zayn menyeringai. "Aku tidak berpikir begitu."

"Aku tahu aku iblis."

Ia berbalik ke salah satu anak buahnya dan mengulurkan tangan. Pisau kecil bersih itu berpindah ke tangannya.

"Kau ingin mengambil bisnis milikku, mencoba menusukku dari belakang... Kau bahkan mengirim orang-orangmu untuk mencoba menculikku." Zayn meneliti pisaunya seolah itu adalah benda paling menarik di ruangan itu. "Aku seharusnya mengapresiasi keberanianmu."

Tatapannya kembali pada Vincent, dingin seperti es.

"Tapi sayangnya, aku bukan tipe orang yang memaafkan."

Tanpa peringatan, Zayn mengangkat pisaunya—dan menusukkannya langsung ke tangan Vincent.

Jeritan memenuhi ruangan.

Darah mengalir deras, menodai lantai beton.

Vincent meronta, tubuhnya bergetar hebat, namun tali yang mengikatnya terlalu kuat.

Zayn menarik pisaunya keluar, dengan ekspresi yang sama sekali tidak berubah. Dingin. Tanpa emosi.

"Aku bisa membuat kematianmu cepat." Ia memiringkan kepalanya. "Tapi itu akan terlalu murah untuk seseorang sepertimu."

Ia memberi isyarat pada salah satu pria di belakangnya. Seorang pria lain masuk.

Tingginya rata-rata, berpakaian serba hitam, dan ada sesuatu yang mengintai dalam sorot matanya.

Pengawal yang bertugas menghempaskan hama.

Pria itu berjalan mendekat dengan langkah ringan, memandang Vincent seperti kucing yang baru saja menemukan tikus sekarat.

Zayn berdiri, menepuk bahu pria itu seolah memberi restu. "Bersihkan kekacauan ini. Pastikan dia mati dengan perlahan."

Vincent tersentak. "T-Tunggu! Kau tak bisa melakukan ini! Aku punya koneksi—"

Zayn menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan lalu berbisik di telinga Vincent.

"Kau tidak punya koneksi yang bisa menyelamatkanmu dariku."

Setelah itu, Zayn melangkah pergi, meninggalkan Vincent sendirian bersama sang pembunuh bayaran.

Saat Zayn keluar dari gudang, suara jeritan kembali menggema.

Namun ia tidak peduli.

Dunia bisnis ini memang kejam. Dan Zayn Vanderbilt tidak pernah ragu untuk menjadi lebih kejam dari siapa pun.

Setelah meninggalkan gudang dengan darah yang masih menempel di sarung tangannya, Zayn Vanderbilt melajukan mobilnya menuju rumah. Jalanan kota terlihat lengang, namun pikirannya penuh dengan sisa-sisa kejadian barusan.

Vincent Morelli sudah tidak akan menjadi ancaman lagi. Itu sudah pasti. Tapi entah kenapa, meskipun biasanya ia merasa puas setelah menyingkirkan musuh, kali ini ia hanya ingin pulang lebih cepat.

Pulang?

Zayn mendengus. Sejak kapan rumahnya yang dingin dan kosong itu dianggap "rumah"?

Begitu mobilnya berhenti di garasi, ia turun dengan langkah santai, melepas sarung tangan berdarahnya, lalu melemparnya ke tempat sampah terdekat sebelum memasuki rumah.

Namun, alih-alih disambut dengan ketenangan, tangisan pecah dari ruang tengah.

Zayn berhenti sejenak di ambang pintu, membiarkan matanya menyesuaikan diri dengan remang-remang cahaya lampu ruang tengah. Dan di sanalah dia melihatnya Livia Everleigh, gadis yang baru sehari menghuni rumahnya, meringkuk di atas sofa dengan wajah yang basah oleh air mata.

Dari sekian banyak kemungkinan yang bisa menyambutnya setelah pulang dari ‘pekerjaan kotor’, kenapa harus ini?

Zayn menghela napas panjang, membiarkan tubuhnya bersandar pada pilar dekat ruang tamu. Matanya yang tajam menelisik sosok Livia yang tampak begitu rapuh, seperti kupu-kupu yang kehilangan sayapnya.

"Apa lagi sekarang?" suaranya terdengar datar, nyaris tidak menunjukkan kepedulian sama sekali.

Livia tersentak mendengar suara itu. Dengan mata sembab dan hidung merah, ia langsung mendongak, menatapnya dengan ekspresi penuh harapan, seolah Zayn adalah satu-satunya penyelamatnya di dunia ini.

Lalu, tanpa aba-aba...

Gadis itu berlari ke arahnya dengan langkah kecil yang terburu-buru, lalu menabrak dada Zayn begitu keras hingga pria itu nyaris kehilangan keseimbangannya.

Zayn mengerutkan kening. Tangannya refleks ingin mendorong gadis itu menjauh, namun sesuatu menahannya.

"Z-Zayn..." suara Livia bergetar, jemarinya yang mungil mencengkeram jas mahal pria itu dengan erat, seolah ia takut jika melepaskannya, maka dunia akan runtuh begitu saja.

Zayn bisa merasakan tubuh Livia yang kecil bergetar hebat, napasnya tidak beraturan, seakan dia telah menangis dalam waktu yang sangat lama.

"Apa yang kau tangisi sekarang, Livia?" tanyanya dengan nada datar, mencoba untuk tidak terganggu dengan keberadaan gadis itu yang kini menempel erat di dadanya.

Livia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isakan yang masih tersisa di tenggorokannya. Matanya yang besar dan bening menatap Zayn dengan penuh penderitaan.

"Caca..."

Zayn mengerutkan kening. "Apa?"

Livia menghela napas dengan suara gemetar, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan berujar dengan penuh kepasrahan, "Boneka kelinciku... Caca... Aku meninggalkannya di rumah... Aku tidak bisa tidur tanpanya..."

Sejenak, suasana menjadi hening.

Zayn menatap gadis di depannya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia baru saja menyelesaikan urusan dengan para pembunuh bayaran, tangannya bahkan masih berbau darah... dan sekarang, ia harus berurusan dengan masalah seorang gadis yang menangisi boneka kelinci?

"Aku ingin pulang..." suara Livia semakin lirih, hampir seperti bisikan yang mengiris hati. "Aku ingin Caca..."

Zayn tidak tahu apakah harus tertawa atau merasa frustasi.

Dari semua hal yang mungkin terjadi di dunia ini, ia tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari ia akan berhadapan dengan seorang gadis dewasa yang menangisi boneka kelinci bernama Caca.

Zayn mendesah panjang, lalu melepas dasinya dengan satu tarikan kasar, mencoba mengendurkan ketegangan di kepalanya. "Jadi... kau menangis selama ini hanya karena sebuah boneka?"

Livia langsung mendongak dengan ekspresi penuh keterkejutan, seolah Zayn baru saja mengatakan sesuatu yang sangat menghina.

"Itu bukan ‘hanya’ boneka! Itu Caca!"

Nada suaranya terdengar begitu serius, seolah ia tengah membela sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya.

Zayn mengusap wajahnya dengan frustrasi. Demi Tuhan... kenapa ia harus berhadapan dengan hal seperti ini?

"Aku bisa membelikanmu boneka yang sama. Berapa pun harganya."

"Tidak bisa!" Livia kembali merajuk, bibirnya mengerucut seperti anak kecil. "Caca itu satu-satunya! Dia sudah menemaniku sejak kecil! Aku tidak bisa tidur tanpa dia!"

Zayn menatapnya tanpa ekspresi. Ia sudah menghadapi banyak ancaman dalam hidupnya dari para mafia hingga pesaing bisnis yang licik tapi tidak ada satu pun yang lebih merepotkan daripada seorang gadis dewasa yang menangisi boneka kelinci seperti anak kecil.

"Astaga..." Zayn mengusap pelipisnya dengan lelah. "Livia, dengarkan aku baik-baik. Aku baru saja menyelesaikan urusan yang jauh lebih penting dari urusan boneka sialanmu. Dan aku tidak akan pergi hanya untuk mengambil mainanmu itu."

Livia menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu tanpa aba-aba—ia langsung menjatuhkan diri ke lantai dan mulai menangis lebih keras.

Zayn menatapnya dengan ekspresi horor. "Kau bercanda, kan?"

"Aku tidak mau tidur kalau tidak ada Caca!" Livia menangis lebih keras, bahkan mulai berguling-guling di atas lantai marmer rumahnya. "Aku tidak peduli! Aku mau Caca! Aku mau pulang!"

Zayn menatap pemandangan itu dengan wajah penuh keputusasaan. Demi Tuhan... apa yang harus ia lakukan sekarang?

Ia pernah ditembak. Ia pernah hampir mati di tangan musuh-musuhnya. Tapi menghadapi tangisan seorang gadis yang menangisi boneka kelinci? Ini jauh lebih sulit.

"Baiklah, baiklah! Aku akan mengurusnya!" Zayn akhirnya menyerah, karena ia tidak yakin bisa bertahan jika harus mendengar tangisan Livia semalaman.

Livia langsung mengangkat kepalanya dengan mata berbinar. "Benarkah?!"

Zayn mendesah berat, lalu mengeluarkan ponselnya dan menelepon salah satu orang kepercayaannya. Jika ia bisa membunuh musuhnya hanya dalam beberapa jam, maka mendapatkan sebuah boneka kelinci bukanlah hal yang sulit.

Tapi tetap saja... seumur hidupnya, ia tidak pernah mengira bahwa suatu hari ia akan menyewa seseorang hanya untuk mengambil boneka sialan bernama Caca.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 97

    Mobil hitam mewah itu akhirnya memasuki kawasan perumahan elit tempat tinggal Zayn. Setelah seharian menghabiskan waktu di pantai, senyap perlahan mengambil alih kabin mobil. Finnian yang semula ramai dan penuh celoteh kini tertidur pulas di pangkuan Serenity, dengan pipi merah merona karena terbakar matahari dan jemari mungilnya masih menggenggam ember kecil berisi kerang hasil tangkapannya.Livia duduk tenang di sebelah Zayn. Tidak banyak bicara, tapi dari raut wajahnya terpancar kepuasan dan ketenangan. Angin pantai masih terasa seolah membuntuti mereka, dan aroma laut entah mengapa masih menempel lembut di kulitnya.Zayn menoleh sekilas. Ia melihat Livia sedang menyandarkan kepala ke jendela, tersenyum kecil. “Kamu kelihatan puas banget,” gumamnya sambil menurunkan sedikit kaca jendela agar udara segar masuk.Livia menoleh, mengangguk pelan. “Hari ini kayak mimpi… kayak dunia itu cuma ada aku, kamu, Finnian, dan Serenity.”“Jangan lupa, Aisha juga sempat muncul seperti film horor,

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 96

    Pagi merekah perlahan, menyusup masuk lewat celah tirai resort yang sedikit terbuka. Sinar matahari menyentuh lembut kulit Livia yang masih terlelap, membentuk pola cahaya hangat di pipinya yang merona. Di luar, ombak menyapa pasir pantai dengan suara tenang, seolah ikut menjaga tidur nyenyaknya.Zayn sudah lebih dulu bangun. Ia duduk bersandar di tepi ranjang, mengenakan jubah handuk yang menggantung santai di tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, dan secangkir kopi hangat mengepul di tangan. Tatapannya tertuju pada Livia yang masih meringkuk seperti anak kucing dalam selimut, bibirnya sedikit terbuka, sesekali bergumam tak jelas dalam tidur.Senyum kecil mengembang di bibir Zayn. Entah sejak kapan gadis polos ini menjadi pusat gravitasi dalam hidupnya. Yang jelas, pagi itu terasa berbeda. Lebih ringan. Lebih hidup. Lebih... berarti.Perlahan, ia membungkuk dan menyibakkan sedikit anak rambut yang menutupi wajah Livia. “Bangun, sleepyhead,” bisiknya lembut di telinga gadis itu.Li

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 95

    Malam menggulung langit dalam gelap yang pekat, hanya dihiasi bintang-bintang kecil yang bertaburan bagai serpihan kristal. Suara ombak masih terdengar dari kejauhan, namun kini terdengar lebih lembut seolah ikut meredakan badai di dada Livia dan Zayn. Mereka memasuki kamar resort yang hangat. Livia masih menggenggam tangan Zayn, namun langkahnya lambat, seolah masih ragu apakah suasana damai ini akan bertahan lama. Zayn tahu itu. Ia bisa merasakannya lewat sentuhan jari Livia yang gemetar halus, seolah masih menimbang apakah ia benar-benar aman bersandar padanya malam ini. Zayn menutup pintu perlahan, kemudian membimbing Livia duduk di tepi ranjang yang empuk. Lampu kamar redup, menciptakan bayangan lembut di dinding. Angin laut masih menyelinap masuk lewat jendela balkon yang sedikit terbuka, membawa aroma asin yang khas, bercampur dengan harum tubuh Livia yang baru mandi. “Aku mau kamu tidur nyenyak malam ini,” ucap Zayn, duduk di sebelah Livia dan menyentuh pelipis gadis itu

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 94

    Senja di pantai telah berlalu. Langit mulai menggelap, dihiasi semburat jingga terakhir yang tergurat di cakrawala. Suara ombak terdengar lebih dalam, bergulung perlahan seolah bernyanyi pelan menyambut malam. Aroma garam dan pasir masih melekat di udara, menyatu dengan suara kicauan jangkrik yang mulai mengambil alih tugas burung-burung siang. duduk sendirian di balkon kamar resort yang menghadap langsung ke laut. Kakinya dilipat di kursi rotan panjang, dengan handuk yang masih tersampir di bahunya. Angin malam membelai rambutnya yang belum sepenuhnya kering, membuat helaian-helaian lembut itu berterbangan membingkai wajahnya yang murung.Pikirannya melayang entah ke mana. Tadi siang terlalu aneh. Kedatangan Aisha yang tiba-tiba, raut wajah Zayn yang terlihat tajam sesaat setelah itu, dan… pertengkaran kecil dengan Serenity di dapur barusan tentang kenapa Livia masih terus bersikap terlalu "baik" pada orang seperti Aisha.Tapi bukan itu yang paling menghantuinya.Yang membuat hatiny

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 93

    Mentari pagi menyapa dengan sinar keemasan yang hangat, memantul lembut di sela tirai kamar Livia dan Zayn. Angin berembus pelan dari jendela yang sengaja dibuka setengah, membawa aroma laut yang samar-samar mulai terasa sejak malam sebelumnya. Hari ini bukan hari kerja, bukan pula hari kuliah. Hari ini adalah hari yang Livia tunggu-tunggu dengan hati berdebar dan wajah berseri—hari Minggu, hari libur yang telah dijanjikan oleh Zayn sejak pertengkaran terakhir mereka.Liburan kecil ini seperti penawar luka, cara Zayn menebus luka-luka kecil yang mungkin belum sembuh sepenuhnya di hati Livia. Dan gadis itu dengan pakaian pantai yang sudah ia siapkan sejak dua hari lalu, lengkap dengan topi bundar lebar dan sunblock yang dibelinya secara impulsif karena "biar mirip cewek-cewek drama Korea" bangun lebih pagi dari biasanya, penuh semangat dan… berisik, seperti biasa."Zayn! Bangun! Kita bisa kena macet kalau telat!" teriak Livia sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu yang masih berseli

  • GADIS POLOS MILIK CEO KEJAM   Bab 92

    Cahaya lampu tidur yang temaram membuat bayangan wajah Zayn dan Livia membaur di dalam keheningan kamar. Livia menatap lelaki di hadapannya itu dengan sorot mata yang masih menyimpan luka, namun juga penuh keraguan dan harapan. Sementara Zayn, duduk di tepi ranjang seolah menahan jarak agar tak semakin menyakiti gadis yang telah diam-diam mencuri tempat dalam hidupnya."Aku gak ngerti, Zayn…" suara Livia pecah, pelan, nyaris seperti bisikan, namun penuh tekanan batin. "Kadang kamu manis banget, perhatian kayak yang benar-benar peduli… tapi tiba-tiba kamu bisa berubah jadi orang asing yang dingin banget. Aku gak ngerti harus gimana."Zayn terdiam, tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya sendiri, lalu dengan pelan mengusap wajahnya, seakan mencoba menghapus topeng keras yang biasa ia kenakan.“Aku… bukan orang baik, Liv,” katanya akhirnya. “Duniaku bukan tempat yang layak buat seseorang sepertimu. Bahkan kadang aku sendiri takut… takut kamu suatu hari sadar dan pergi…”Livia mendeng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status