Langit malam tampak kelam, tanpa bintang yang berani menampakkan diri. Di sebuah gudang tua di pinggiran kota, suasana begitu mencekam. Bau besi dari darah yang mengering memenuhi udara.
Sebuah kursi di tengah ruangan menjadi saksi bisu dari permainan kematian yang akan segera dimulai. Seseorang duduk di sana terikat, tubuhnya penuh luka, wajahnya lebam hingga sulit dikenali. Vincent Morelli. Pria yang cukup gila untuk menantang seorang Zayn Vanderbilt. Vincent pernah berpikir bahwa dia bisa menjatuhkan Zayn, mengambil bisnisnya, dan menguasai yang menjadi milik Zayn tapi sekarang? Dia hanya seseorang yang menunggu ajalnya datang. Pintu gudang terbuka. Zayn masuk. Dibalut setelan hitam sempurna, wajahnya tanpa ekspresi, matanya kosong seperti iblis tanpa hati. Di belakangnya, dua pria bertubuh besar mengikutinya, salah satunya membawa pisau kecil, yang lainnya membawa pistol. Vincent mendongak dengan sisa tenaga yang ia miliki, menatap Zayn dengan kebencian. "Bajingan..." suaranya serak. "Kau pikir kau bisa lepas dari ini?" Zayn menghela napas, lalu berjongkok di hadapan Vincent sambil menyalakan rokoknya. "Aku tidak pernah berpikir aku bisa ‘lepas’ dari ini, Vincent," suaranya tenang, "Karena aku tidak perlu kabur dari apapun." Vincent meludah ke tanah, menatapnya dengan penuh amarah. "Kau pikir kau tak tersentuh? Kau pikir kau iblis yang tak bisa dijatuhkan?" Zayn menyeringai. "Aku tidak berpikir begitu." "Aku tahu aku iblis." Ia berbalik ke salah satu anak buahnya dan mengulurkan tangan. Pisau kecil bersih itu berpindah ke tangannya. "Kau ingin mengambil bisnis milikku, mencoba menusukku dari belakang... Kau bahkan mengirim orang-orangmu untuk mencoba menculikku." Zayn meneliti pisaunya seolah itu adalah benda paling menarik di ruangan itu. "Aku seharusnya mengapresiasi keberanianmu." Tatapannya kembali pada Vincent, dingin seperti es. "Tapi sayangnya, aku bukan tipe orang yang memaafkan." Tanpa peringatan, Zayn mengangkat pisaunya—dan menusukkannya langsung ke tangan Vincent. Jeritan memenuhi ruangan. Darah mengalir deras, menodai lantai beton. Vincent meronta, tubuhnya bergetar hebat, namun tali yang mengikatnya terlalu kuat. Zayn menarik pisaunya keluar, dengan ekspresi yang sama sekali tidak berubah. Dingin. Tanpa emosi. "Aku bisa membuat kematianmu cepat." Ia memiringkan kepalanya. "Tapi itu akan terlalu murah untuk seseorang sepertimu." Ia memberi isyarat pada salah satu pria di belakangnya. Seorang pria lain masuk. Tingginya rata-rata, berpakaian serba hitam, dan ada sesuatu yang mengintai dalam sorot matanya. Pengawal yang bertugas menghempaskan hama. Pria itu berjalan mendekat dengan langkah ringan, memandang Vincent seperti kucing yang baru saja menemukan tikus sekarat. Zayn berdiri, menepuk bahu pria itu seolah memberi restu. "Bersihkan kekacauan ini. Pastikan dia mati dengan perlahan." Vincent tersentak. "T-Tunggu! Kau tak bisa melakukan ini! Aku punya koneksi—" Zayn menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan lalu berbisik di telinga Vincent. "Kau tidak punya koneksi yang bisa menyelamatkanmu dariku." Setelah itu, Zayn melangkah pergi, meninggalkan Vincent sendirian bersama sang pembunuh bayaran. Saat Zayn keluar dari gudang, suara jeritan kembali menggema. Namun ia tidak peduli. Dunia bisnis ini memang kejam. Dan Zayn Vanderbilt tidak pernah ragu untuk menjadi lebih kejam dari siapa pun. Setelah meninggalkan gudang dengan darah yang masih menempel di sarung tangannya, Zayn Vanderbilt melajukan mobilnya menuju rumah. Jalanan kota terlihat lengang, namun pikirannya penuh dengan sisa-sisa kejadian barusan. Vincent Morelli sudah tidak akan menjadi ancaman lagi. Itu sudah pasti. Tapi entah kenapa, meskipun biasanya ia merasa puas setelah menyingkirkan musuh, kali ini ia hanya ingin pulang lebih cepat. Pulang? Zayn mendengus. Sejak kapan rumahnya yang dingin dan kosong itu dianggap "rumah"? Begitu mobilnya berhenti di garasi, ia turun dengan langkah santai, melepas sarung tangan berdarahnya, lalu melemparnya ke tempat sampah terdekat sebelum memasuki rumah. Namun, alih-alih disambut dengan ketenangan, tangisan pecah dari ruang tengah. Zayn berhenti sejenak di ambang pintu, membiarkan matanya menyesuaikan diri dengan remang-remang cahaya lampu ruang tengah. Dan di sanalah dia melihatnya Livia Everleigh, gadis yang baru sehari menghuni rumahnya, meringkuk di atas sofa dengan wajah yang basah oleh air mata. Dari sekian banyak kemungkinan yang bisa menyambutnya setelah pulang dari ‘pekerjaan kotor’, kenapa harus ini? Zayn menghela napas panjang, membiarkan tubuhnya bersandar pada pilar dekat ruang tamu. Matanya yang tajam menelisik sosok Livia yang tampak begitu rapuh, seperti kupu-kupu yang kehilangan sayapnya. "Apa lagi sekarang?" suaranya terdengar datar, nyaris tidak menunjukkan kepedulian sama sekali. Livia tersentak mendengar suara itu. Dengan mata sembab dan hidung merah, ia langsung mendongak, menatapnya dengan ekspresi penuh harapan, seolah Zayn adalah satu-satunya penyelamatnya di dunia ini. Lalu, tanpa aba-aba... Gadis itu berlari ke arahnya dengan langkah kecil yang terburu-buru, lalu menabrak dada Zayn begitu keras hingga pria itu nyaris kehilangan keseimbangannya. Zayn mengerutkan kening. Tangannya refleks ingin mendorong gadis itu menjauh, namun sesuatu menahannya. "Z-Zayn..." suara Livia bergetar, jemarinya yang mungil mencengkeram jas mahal pria itu dengan erat, seolah ia takut jika melepaskannya, maka dunia akan runtuh begitu saja. Zayn bisa merasakan tubuh Livia yang kecil bergetar hebat, napasnya tidak beraturan, seakan dia telah menangis dalam waktu yang sangat lama. "Apa yang kau tangisi sekarang, Livia?" tanyanya dengan nada datar, mencoba untuk tidak terganggu dengan keberadaan gadis itu yang kini menempel erat di dadanya. Livia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isakan yang masih tersisa di tenggorokannya. Matanya yang besar dan bening menatap Zayn dengan penuh penderitaan. "Caca..." Zayn mengerutkan kening. "Apa?" Livia menghela napas dengan suara gemetar, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan berujar dengan penuh kepasrahan, "Boneka kelinciku... Caca... Aku meninggalkannya di rumah... Aku tidak bisa tidur tanpanya..." Sejenak, suasana menjadi hening. Zayn menatap gadis di depannya dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ia baru saja menyelesaikan urusan dengan para pembunuh bayaran, tangannya bahkan masih berbau darah... dan sekarang, ia harus berurusan dengan masalah seorang gadis yang menangisi boneka kelinci? "Aku ingin pulang..." suara Livia semakin lirih, hampir seperti bisikan yang mengiris hati. "Aku ingin Caca..." Zayn tidak tahu apakah harus tertawa atau merasa frustasi. Dari semua hal yang mungkin terjadi di dunia ini, ia tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari ia akan berhadapan dengan seorang gadis dewasa yang menangisi boneka kelinci bernama Caca. Zayn mendesah panjang, lalu melepas dasinya dengan satu tarikan kasar, mencoba mengendurkan ketegangan di kepalanya. "Jadi... kau menangis selama ini hanya karena sebuah boneka?" Livia langsung mendongak dengan ekspresi penuh keterkejutan, seolah Zayn baru saja mengatakan sesuatu yang sangat menghina. "Itu bukan ‘hanya’ boneka! Itu Caca!" Nada suaranya terdengar begitu serius, seolah ia tengah membela sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya. Zayn mengusap wajahnya dengan frustrasi. Demi Tuhan... kenapa ia harus berhadapan dengan hal seperti ini? "Aku bisa membelikanmu boneka yang sama. Berapa pun harganya." "Tidak bisa!" Livia kembali merajuk, bibirnya mengerucut seperti anak kecil. "Caca itu satu-satunya! Dia sudah menemaniku sejak kecil! Aku tidak bisa tidur tanpa dia!" Zayn menatapnya tanpa ekspresi. Ia sudah menghadapi banyak ancaman dalam hidupnya dari para mafia hingga pesaing bisnis yang licik tapi tidak ada satu pun yang lebih merepotkan daripada seorang gadis dewasa yang menangisi boneka kelinci seperti anak kecil. "Astaga..." Zayn mengusap pelipisnya dengan lelah. "Livia, dengarkan aku baik-baik. Aku baru saja menyelesaikan urusan yang jauh lebih penting dari urusan boneka sialanmu. Dan aku tidak akan pergi hanya untuk mengambil mainanmu itu." Livia menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu tanpa aba-aba—ia langsung menjatuhkan diri ke lantai dan mulai menangis lebih keras. Zayn menatapnya dengan ekspresi horor. "Kau bercanda, kan?" "Aku tidak mau tidur kalau tidak ada Caca!" Livia menangis lebih keras, bahkan mulai berguling-guling di atas lantai marmer rumahnya. "Aku tidak peduli! Aku mau Caca! Aku mau pulang!" Zayn menatap pemandangan itu dengan wajah penuh keputusasaan. Demi Tuhan... apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia pernah ditembak. Ia pernah hampir mati di tangan musuh-musuhnya. Tapi menghadapi tangisan seorang gadis yang menangisi boneka kelinci? Ini jauh lebih sulit. "Baiklah, baiklah! Aku akan mengurusnya!" Zayn akhirnya menyerah, karena ia tidak yakin bisa bertahan jika harus mendengar tangisan Livia semalaman. Livia langsung mengangkat kepalanya dengan mata berbinar. "Benarkah?!" Zayn mendesah berat, lalu mengeluarkan ponselnya dan menelepon salah satu orang kepercayaannya. Jika ia bisa membunuh musuhnya hanya dalam beberapa jam, maka mendapatkan sebuah boneka kelinci bukanlah hal yang sulit. Tapi tetap saja... seumur hidupnya, ia tidak pernah mengira bahwa suatu hari ia akan menyewa seseorang hanya untuk mengambil boneka sialan bernama Caca.Zayn menatap Livia yang masih duduk di lantai dengan wajah penuh harapan, matanya yang berbinar seperti anak kecil yang baru saja dijanjikan permen. Dia benar-benar tidak habis pikir. Dari semua masalah yang bisa terjadi dalam hidupnya, kini dia harus menangani seorang gadis dewasa yang menangis hanya karena boneka kelinci bernama Caca.Ponsel masih melekat di telinganya saat ia menghela napas panjang. "Ambil boneka kelinci di rumah keluarga Everleigh. Jangan ada yang melihatmu," ucapnya kepada orang di seberang telepon.Livia langsung bertepuk tangan girang. "Yay! Caca akan kembali!" Zayn menutup teleponnya lalu menatap Livia dengan tatapan datar. "Tapi semalam kau tidur baik-baik saja tanpa Caca sialanmu itu."Seharusnya itu pernyataan biasa. Seharusnya Livia hanya akan mengangguk atau mengucapkan terima kasih. Tapi tidak.Sebaliknya, Livia malah terdiam sesaat, sebelum wajahnya berubah merah padam seperti kepiting rebus. "A-Aku tidak tidur!" Livia buru-buru bangkit dari lantai,
Zayn Vanderbilt selalu menganggap dirinya pria yang memiliki kendali penuh atas segala hal. Bisnisnya berjalan lancar, musuh-musuhnya berakhir di bawah kakinya, dan hidupnya terorganisir tanpa cela.Tapi sejak kedatangan Livia Everleigh, semua prinsip itu seolah ditampar lalu dilempar keluar jendela.Seperti pagi ini.Alih-alih menikmati ketenangan sebelum bekerja, dia justru harus berhadapan dengan suara berisik yang menggema di seluruh rumah.BRAK!Zayn yang sedang mengenakan jasnya berhenti sejenak. Alisnya bertaut. Suara itu datang dari lantai bawah.BRAK!Lagi. Dan kali ini diikuti oleh suara seorang gadis yang memekik panik."Oh, tidak! Tidak! Kenapa bisa begini?!"Zayn menutup matanya sesaat, menarik napas panjang sebelum akhirnya berjalan keluar kamar dengan langkah penuh ketidaksabaran. Begitu mencapai ruang tengah, matanya langsung menangkap pemandangan yang hampir membuatnya kehilangan kesabaran.Livia.Gadis itu berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi bersalah.Dan di se
Livia melangkah ringan di belakang Zayn, memasuki gedung Vanderbilt Corp. yang megah. Matanya berbinar saat melihat sekeliling. Dinding kaca yang tinggi, lantai marmer yang licin berkilau, dan para karyawan yang berpakaian rapi membuat tempat ini terlihat seperti dunia yang berbeda bagi Livia. Ia berjalan dengan lincah, mengamati segala sesuatu dengan penuh rasa ingin tahu, sampai tiba-tiba matanya tertuju pada seorang wanita yang baru keluar dari lift. Wanita itu mengenakan gaun ketat berwarna merah mencolok dengan sepatu hak tinggi yang berbunyi setiap kali melangkah. Riasannya begitu tebal hingga wajahnya hampir seperti boneka porselen yang dipoles berlebihan. Livia berhenti dan menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. Matanya berkedip beberapa kali, memastikan apa yang ia lihat benar-benar nyata. Kemudian, ia menyenggol lengan Zayn yang berjalan di sampingnya. "Zayn..." bisiknya pelan, tapi suaranya cukup terdengar. Zayn hanya melirik sekilas tanpa mengurangi kecepatannya.
Belum juga jantung Livia kembali berdetak normal setelah adegan barusan, tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan kasar. BRUK! Seorang pria bertubuh tinggi besar melangkah masuk. Kulitnya hitam pekat, otot-otot lengannya terlihat kokoh di balik kemeja hitam yang dikenakannya. Wajahnya penuh garis tegas dengan ekspresi datar yang dingin. Matanya tajam, nyaris tanpa emosi, membuat auranya terasa begitu mengintimidasi. Livia yang masih berdiri di depan meja Zayn langsung meloncat kecil dan bersembunyi di belakang kursi sang CEO. Tangannya mencengkram sandaran kursi dengan erat, sementara matanya menatap pria sangar itu dengan penuh ketakutan. “Bos,” suara pria itu berat dan dalam. “Saya sudah mengurus laporan yang Anda minta.” Zayn mendongak dengan santai, “Letakkan di meja.” Pria itu melangkah lebih dekat, meletakkan map tebal di atas meja kerja Zayn dengan gerakan yang begitu terukur dan tegas. Livia menelan ludah. Ia benar-benar terlihat seperti pembunuh bayaran yang baru pulang
Restoran mewah yang mereka datangi memiliki suasana elegan dengan lampu gantung kristal berkilauan di langit-langit. Para pelanggan yang datang kebanyakan adalah eksekutif kelas atas yang berbicara dengan nada rendah dan anggun, menambah kesan eksklusif tempat itu. Namun, di salah satu sudut ruangan, duduklah seorang gadis polos yang tampak bersemangat seperti anak kecil yang baru saja dilepas di toko permen. Livia menggoyang-goyangkan kakinya di kursi, matanya berbinar saat membaca menu di tangannya. "Wow! Zayn! Lihat ini! Ada steak wagyu, ada lobster, ada sushi premium, ada pasta dengan keju yang meleleh! Wah, aku harus coba semua!" Zayn, yang sedang menuangkan air mineral ke gelasnya, hanya melirik sekilas. "Pesan yang wajar saja. Kau tidak mungkin menghabiskan semuanya." Livia mendengus. "Mana tahu kau? Perutku mungkin kecil, tapi kemampuannya besar!" Pelayan datang dengan senyum ramah. "Apa yang ingin Anda pesan, Tuan?" Zayn menyerahkan menunya. "Steak medium rare dan salad
Livia menatap piring-piring di depannya dengan ekspresi horor. Steaknya masih tersisa setengah, lobster yang tadi ia perjuangkan baru termakan sedikit, dan pasta creamy-nya masih hampir utuh. Sementara itu, sushi yang tadi ia makan dengan penuh semangat ternyata baru berkurang tiga potong. Zayn, yang sudah selesai makan, duduk bersandar sambil melipat tangan di dada. "Aku sudah menduga ini akan terjadi." Livia menggigit bibirnya, merasa bersalah. "Aku pikir aku bisa menghabiskan semuanya… Tapi perutku sudah penuh." "Tentu saja penuh. Kau memesan makanan seperti sedang menyiapkan pesta ulang tahun." Zayn menatapnya tajam. "Sekarang apa yang akan kau lakukan? Kau tahu, membuang makanan itu namanya pemborosan." Livia menggembungkan pipinya. "Aku tidak berniat membuangnya! Mungkin aku bisa membawanya pulang?" Zayn mengangkat alis. "Kau yakin akan memakannya nanti?" Livia mengangguk mantap. "Tentu! Aku tidak akan membiarkan makanan seenak ini terbuang sia-sia!" Zayn mendesah, lalu m
Mobil melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit senja. Livia duduk di kursi penumpang dengan wajah berbinar, memeluk boneka kelinci kesayangannya yang baru saja kembali ke pelukannya. Tangannya dengan lembut membelai bulu lembut boneka itu, senyum lebarnya tidak luntur sejak Zayn menyerahkan boneka itu padanya."Tuan Kelinci Vanderbilt!" seru Livia penuh semangat, mengangkat bonekanya tinggi-tinggi seolah sedang memperkenalkannya ke dunia. "Kau akhirnya kembali ke rumah! Aku sangat senang!"Zayn meliriknya sekilas, sebelah alisnya terangkat. "Aku tidak tahu kalau kau tipe gadis yang memberi nama belakang pada boneka."Livia menoleh padanya dengan tatapan serius. "Tentu saja! Aku harus memberikan nama yang sesuai dengan status sosialnya!""Status sosial?" Zayn menahan tawa. "Jadi boneka ini berasal dari keluarga terpandang juga?"Livia mengangguk cepat. "Tentu! Dia adalah bangsawan kelinci yang sangat terhormat. Dan sekarang, dia akan menjadi teman dekat Caca!"Zayn menghela napas
Setelah drama panjang dan negosiasi yang melelahkan, akhirnya Zayn menyerah. Dengan langkah berat, dia berjalan menuju kamarnya, diikuti oleh Livia yang masih memeluk dua boneka kelinci kesayangannya.Begitu mereka masuk ke dalam kamar, Zayn melepas jam tangan dan meletakkannya di atas meja. Livia, di sisi lain, langsung melompat ke tempat tidur king-size dengan ekspresi puas."Kasurmu empuk sekali!" serunya sambil berguling-guling. "Aku seperti tidur di awan!"Zayn hanya menatapnya datar sebelum beralih ke lemari, menarik keluar kaus hitamnya dan melepaskan kemeja yang dikenakannya. Livia yang sedang asyik berguling tiba-tiba berhenti. Matanya membesar saat melihat punggung Zayn yang penuh dengan garis otot yang sempurna.Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah tato dan beberapa bekas luka di tubuh pria itu.Dengan rasa ingin tahu yang besar, Livia bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan mendekat. "Zayn…?"Zayn yang sedang bersiap mengenakan kausnya menoleh sekilas. "Apa?
Di sudut kota tua Milan yang penuh arsitektur klasik, cahaya lampu malam menyinari bangunan kuno yang kini telah disulap menjadi sebuah aula pelelangan mewah. Di sinilah, di antara tamu-tamu berdasi dan gaun gemerlap, dunia bawah tanah bertemu dengan kemewahan permukaan.Zayn Vanderbilt berdiri tegak di antara kerumunan elite. Mengenakan setelan hitam Armani yang membentuk tubuh tegapnya dengan sempurna, tatapannya tajam menelusuri suasana. Di sampingnya, Axel berdiri dengan kedua tangan disilangkan di depan dada, waspada terhadap segala gerak-gerik mencurigakan.“Target kita adalah peti nomor 17,” bisik Axel, suaranya nyaris tak terdengar. “Isinya senjata prototipe yang hanya muncul sekali di pasar gelap dalam dua dekade.”Zayn mengangguk tanpa memalingkan wajah. Ia menyapu ruangan dengan matanya—dan saat itulah, langkah seorang wanita menarik perhatian banyak mata.Wanita itu melangkah anggun, dengan gaun merah menyala membelah ruangan yang dipenuhi dominasi hitam dan emas. Rambut p
Pintu gerbang rumah Vanderbilt terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dan bangunan megah bercat putih bersih. Mobil merah mewah itu melaju pelan, seperti pangeran yang baru pulang dari medan perang—tapi isinya justru dua wanita cerewet dan satu bocah super heboh.Begitu mobil berhenti, Finnian langsung membuka pintu belakang.“Yesss! Aku duluan yang sampe!” serunya sambil berlari ke dalam rumah seperti sedang lomba lari estafet.“FINNIAN! Sepatunya lepas! Eh—YA AMPUN, dia bawa boneka kucingnya masuk juga!” Serenity turun dengan rambut sedikit berantakan karena tertiup AC mobil, lalu menoleh ke Livia yang masih tertawa di dalam mobil.“Welcome to my chaotic life, sayang,” ujarnya dramatis.Livia menutup pintu dan berjalan beriringan dengan Serenity.Begitu masuk, suasana rumah yang biasanya hening karena aura misterius Zayn, kini berubah. Suara tawa Finnian menggema, disusul dengan suara Serenity yang berteriak, “Jangan lompat di sofa, Nak! Itu harganya bisa bayar SPP kuliah kamu s
Sore itu, mentari mulai condong ke barat, membentuk bayangan panjang di sepanjang terminal penjemputan. Livia berdiri dengan ransel mungilnya, topi bulat berwarna pastel menutupi sebagian rambutnya yang terurai manis. Dia memandangi layar ponselnya yang, entah sudah berapa kali, dicek untuk melihat apakah ada kabar dari Zayn."Nggak ada juga… dia bener-bener lupa, ya?" gumam Livia sambil mengerucutkan bibir. Meski wajahnya tampak cemberut, ada seulas manis yang tetap membuat siapa pun yang melihatnya ingin menyubit pipinya. Ia berdiri kikuk, sendiri, seperti anak ayam kehilangan induk.Namun tiba-tiba—"BRAAAAK!" suara pintu mobil mewah yang terbuka dari arah jalan mengagetkannya. Mobil berwarna merah menyala, dengan velg hitam elegan dan jendela kaca gelap yang baru saja menepi, benar-benar menarik perhatian banyak pasang mata.Livia melongo. Matanya melebar.“Eh? Itu… Lamborghini?” gumamnya, ragu. Tapi sebelum sempat dia memastikan, jendela di bagian penumpang depan turun perlahan.
Setelah keluar dari kantin dengan perut kenyang dan hati riang, Livia berjalan sambil bersenandung kecil menuju taman kampus. Di sebelahnya, Aisha melangkah santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaket. Angin siang yang sejuk menyapu rambut mereka, sementara cahaya matahari menerobos sela dedaunan, menciptakan bayangan teduh di sepanjang jalur setapak.“Dosen nggak masuk, tumben banget ya,” ucap Livia riang, tangannya mengayun ke depan dan ke belakang seperti anak kecil.Aisha hanya mengangguk malas. “Mungkin beliau sakit kepala lihat tugas-tugasmu,” gumamnya pelan.Livia melotot pelan, tapi hanya beberapa detik sebelum ia tertawa. “Kau jahat, tahu nggak?”Ketika mereka tiba di taman, Livia langsung mengenali sosok yang sedang duduk di bangku panjang, tak jauh dari kolam. Mahasiswa itu tengah membuka novel dengan tatapan serius, namun senyumnya langsung muncul ketika melihat Livia datang.“Reyhan!” seru Livia sembari melambai, seperti anak TK yang baru melihat teman TK-nya juga
Langit siang di atas gedung Vanderbilt Corporation tampak mendung, seakan meramalkan badai yang tak hanya akan melanda kota, tetapi juga dunia bisnis kelam yang selama ini Zayn sembunyikan rapat-rapat di balik jas dan dasi mahalnya.Zayn Vanderbilt tengah duduk di ruang kerjanya yang luas dan minimalis. Layar laptop di depannya menampilkan laporan proyek dari salah satu anak perusahaan di luar negeri, namun pikirannya jelas tidak sepenuhnya tertambat pada angka-angka itu. Sejak pagi, rasa gelisah samar mengganggu fokusnya. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan, tetapi cukup kuat untuk membuat alisnya terus berkerut.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan. Zayn tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pelakunya. Hanya ada satu orang yang cukup berani dan cukup penting untuk melanggar etika formal seperti itu.Axel Reinhardt. Tangan kanan sekaligus sahabat lamanya, yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia bawah tanah dibanding ruang rapat."Sudah kuduga kau belum meninggalk
Finnian duduk di kursi dengan kaki yang belum menyentuh lantai, sibuk memindahkan telur ke atas pancake dan menyebutnya "roket makanan ke bulan."Livia duduk di sebelahnya, tertawa kecil sambil membantu Finnian mengoleskan madu. Ia terlihat lebih segar pagi ini. Luka di lengannya sudah mulai mengering, dan semangatnya mulai kembali setelah beberapa hari rehat dari kampus.Serenity duduk di seberang Zayn sambil menyeruput kopi, lalu membuka suara, “Jadi, hari ini aku mau nganter Finnian ke sekolah Montessori yang kamu rekomendasikan itu. Semoga anak ini bisa duduk tenang lebih dari dua menit.”Finnian langsung protes, “Aku bisa duduk! Tapi kalau kursinya empuk!”Semua tertawa.Zayn yang sejak tadi diam, akhirnya bicara, “Aku sudah kirim berkasnya ke kepala sekolah. Mereka akan bantu proses pendaftaran hari ini.”Serenity mengangkat dua jempol. “Good. Aku nggak tahu mesti mulai dari mana. Banyak sekolah lihat aku sebelah mata. Ya, you know… single mom dengan sejarah drama.”Livia yang d
Zayn memasuki rumahnya dengan langkah tegap dan ekspresi kaku yang sudah menjadi ciri khasnya. Setelah seharian dikejar rapat dan laporan dari jaringan bawah tanah yang mencurigakan, ia hanya ingin memeriksa kondisi Livia, memastikan luka gadis itu tidak kambuh dan pikirannya tetap aman.Namun baru saja membuka pintu utama, alisnya langsung bertaut saat mendengar…“TEMBAK DINO KUNINGNYA, FINN! TEMBAKKK!!”Suara Livia.“BUNYI SIRINEEE!! DINONYA LEMES!! AAAAKK!”Dan... suara kakaknya?Zayn mendecak pelan dan mempercepat langkahnya. Sampai akhirnya ia berhenti di ambang ruang keluarga.Pemandangan yang ia lihat sukses membuatnya nyaris kehilangan kata.Di tengah ruangan mewah bergaya modern itu, Livia duduk bersila di lantai, memakai bando kelinci, sambil memegang joystick mainan game dinosaurus yang diproyeksikan ke layar besar. Di sebelahnya, Finnian berdiri di atas meja kopi, berteriak heboh sambil menggenggam boneka t-rex yang matanya menyala.Dan di ujung sofa, Serenity—kakaknya yan
Pagi hari itu, matahari bersinar malu-malu dari balik tirai kamar yang setengah terbuka. Udara masih segar, sedikit dingin, dan aroma harum dari diffuser lavender masih melayang di udara. Namun, alih-alih disambut dengan ceria seperti biasa, pagi ini Livia terbangun dengan nyut-nyutan di pergelangan tangannya yang masih dibebat perban.“Ugh… kenapa rasanya kayak habis tinju sama Iron Man…” gumamnya pelan, memeluk guling dengan ekspresi meringis.Sebenarnya, lukanya tidak terlalu parah—cuma sedikit memar dan tergores karena kecelakaan kecil di lab praktek kemarin. Tapi tentu saja, bagi seorang Zayn Vanderbilt, itu sudah sama saja seperti Livia baru saja selamat dari kecelakaan pesawat.Belum sempat Livia bangkit dari tempat tidur, pintu kamarnya terbuka pelan. Zayn masuk, membawa nampan sarapan dengan ekspresi datar—yang artinya dia sedang menahan marah dalam kadar medium. Seperti biasa, gaya CEO-nya tetap terpancar dari rambut sampai ujung kaki, padahal cuma pakai kaus lengan panjang
Keesokan HarinyaLivia kembali menjalani rutinitasnya di kampus. Kali ini dengan dua pengawal tambahan yang dikirim oleh Zayn. Meski awalnya sempat protes, akhirnya ia menyerah karena takut Zayn benar-benar memasang CCTV di tiap sudut kampus.Di kampus, Aisha kembali muncul. Luka di bahunya tertutup perban, dan senyumnya sedikit dipaksakan.“Akudenger cowok kamu ngamuk ya kemarin?” tanya Aisha ketus saat menyusul Livia ke taman belakang kampus tempat mereka biasa duduk saat istirahat.Livia menggigit roti sandwich-nya perlahan, cengengesan. “Hehe... iya, agak serem sih... tapi dia baik kok. Kamu nggak apa-apa kan? Bahumu gimana?”Aisha menyipitkan mata.“Lucu ya kamu... masih bisa nanyain aku padahal udah jelas-jelas aku bikin kamu luka waktu praktik.”Livia langsung menegakkan duduknya. “Itu nggak sengaja kan? Aku tahu kok. Nggak usah merasa bersalah... aku juga sering jatuh sendiri, saking cerobohnya.”Aisha hanya mendecih kecil, kemudian menghela napas.“Kadang aku bingung deh... k