Zayn menatap Livia yang masih duduk di lantai dengan wajah penuh harapan, matanya yang berbinar seperti anak kecil yang baru saja dijanjikan permen.
Dia benar-benar tidak habis pikir. Dari semua masalah yang bisa terjadi dalam hidupnya, kini dia harus menangani seorang gadis dewasa yang menangis hanya karena boneka kelinci bernama Caca. Ponsel masih melekat di telinganya saat ia menghela napas panjang. "Ambil boneka kelinci di rumah keluarga Everleigh. Jangan ada yang melihatmu," ucapnya kepada orang di seberang telepon. Livia langsung bertepuk tangan girang. "Yay! Caca akan kembali!" Zayn menutup teleponnya lalu menatap Livia dengan tatapan datar. "Tapi semalam kau tidur baik-baik saja tanpa Caca sialanmu itu." Seharusnya itu pernyataan biasa. Seharusnya Livia hanya akan mengangguk atau mengucapkan terima kasih. Tapi tidak. Sebaliknya, Livia malah terdiam sesaat, sebelum wajahnya berubah merah padam seperti kepiting rebus. "A-Aku tidak tidur!" Livia buru-buru bangkit dari lantai, tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Aku hanya... hanya pura-pura tidur!" Zayn menatapnya skeptis. "Pura-pura tidur?" Livia mengangguk cepat, tapi cara dia menghindari tatapan Zayn membuat kebohongannya terlihat jelas. "Jadi, kau hanya pura-pura tidur selama ini?" Zayn melipat tangan di depan dada, nada suaranya penuh ejekan. "I-Iya!" Livia kembali duduk di sofa, menarik bantal dan memeluknya erat. "Aku tidak benar-benar tidur! Aku hanya... memejamkan mata dan berpikir tentang Caca!" Zayn mengangkat satu alis. "Oh? Lalu bagaimana dengan suara ngorok kecil yang kudengar semalam?" Livia membelalakkan mata, pipinya semakin merah. "I-Itu bukan aku!" Zayn mendekat, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arahnya. "Benarkah? Jadi aku hanya berhalusinasi?" "Aku... Aku tidak tahu!" Livia semakin panik, wajahnya memerah seperti tomat matang. "A-Aku benar-benar tidak tidur!" Zayn mendesah dan mengusap pelipisnya. "Ya terserah kau, Livia..." lalu tiba tiba suara tangisan Livia kembali terdengar karena kembali teringat akan cacanya,dia takut kalau Zayn berubah pikiran dan tidak mengijinkan kelinci kesayangan nya itu datang kemari. Sedangkan Zayn yang menghadapi tingkah Livia ini rasanya ingin mengubur dirinya sendiri. Dia sudah menghadapi berbagai macam orang dalam hidupnya. Musuh yang licik, pengkhianat yang penuh tipu daya, hingga pembunuh bayaran yang dingin dan tanpa ampun. Tapi menghadapi Livia? Ini jauh lebih sulit. "Aku tetap ingin Caca," gumam Livia, kini suaranya lebih lembut, lebih menyedihkan. Zayn menatapnya cukup lama sebelum akhirnya mengembuskan napas lelah. "Baiklah, Caca sedang dalam perjalanan. Jadi, berhenti menangis dan buat dirimu berguna di rumah ini." Livia mengerjapkan mata. "Guna? Maksudmu... aku harus bekerja?" "Ya, setidaknya jangan membuat masalah." Livia mengerucutkan bibirnya, lalu bersedekap dengan ekspresi merajuk. "Aku tidak membuat masalah." Zayn memijat pelipisnya. "Kau membuatku hampir kehilangan kewarasan, Livia." Livia hanya terkikik kecil, lalu dengan polosnya berkata, "Ya, aku memang berbakat dalam hal itu." Zayn hanya bisa menggelengkan kepala. Dia pernah berpikir bahwa Livia hanyalah beban yang harus dia tanggung. Tapi sekarang? Dia mulai menyadari bahwa gadis ini bukan hanya sekadar beban. Dia adalah kekacauan yang manis. Livia masih duduk di sofa, menggoyang-goyangkan kakinya dengan ekspresi tidak sabar. Sudah lama sejak Zayn menyuruh seseorang mengambil Caca, tapi boneka kelinci kesayangannya itu belum juga datang. Dia mulai bosan. Matanya mengembara ke seluruh ruangan sampai akhirnya berhenti pada Zayn yang tengah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Tiba-tiba, sesuatu terlintas di pikirannya. "Zayn!" serunya dengan nada serius. Zayn mendesah sebelum menatapnya dengan malas. "Apa lagi?" Livia menyilangkan tangan di dada, wajahnya penuh kecurigaan. "Kenapa TV besar di ruangan rahasia itu tidak menyala? Aku sudah coba menekan tombolnya, tapi tidak bisa!" Zayn menatapnya dengan ekspresi datar. "Lalu kenapa kulkas di sana juga tidak berfungsi?! Aku bahkan sudah mencoba membukanya, tapi kosong!" Zayn semakin mengerutkan keningnya. "Kau masuk ke ruangan itu?" Livia mengangguk penuh semangat. "Iya! Tadi aku menemukannya saat aku jalan-jalan!" Zayn langsung bangkit dari sofa, sorot matanya berubah tajam. "Kau tidak boleh masuk ke sana." Livia berkedip polos. "Kenapa?" Zayn mendekatinya dengan langkah perlahan, aura gelap mulai menguar darinya. "Karena itu bukan tempat untuk orang sepertimu." "Tapi itu cuma ruangan biasa," protes Livia dengan nada tak puas. "Hanya ada TV besar, kulkas, dan beberapa sofa. Aku juga menemukan lemari besi, tapi aku tidak bisa membukanya. Kenapa kamu kunci?" Zayn menahan napas. Napasnya semakin berat saat menyadari betapa polosnya gadis ini. "Livia." Suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya. "Jangan masuk ke ruangan itu lagi." Livia menggigit bibirnya, merasa seperti anak kecil yang baru saja dimarahi. Tapi dia tetap keras kepala. "Tapi aku penasaran..." gumamnya. "Jangan pernah." Nada suara Zayn kali ini membuat Livia merinding. Dia tidak pernah melihat pria itu seserius ini. Tapi bukan Livia namanya kalau dia tidak terus merengek. "Baiklah, baiklah. Aku tidak akan masuk ke sana lagi," katanya sambil menggulung mata. "Tapi tetap saja, kamu harus menjelaskan kenapa TV dan kulkasnya mati!" Zayn menatapnya lama sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang. "Aku sengaja memutus aliran listriknya," jawabnya singkat. Livia ternganga. "APA?! Kenapa kamu melakukan itu?! Apa kamu tidak kasihan sama TV dan kulkasnya?!" Zayn memijat pelipisnya. "TV dan kulkas tidak bisa merasa kasihan, Livia." "Tapi tetap saja!" Livia bangkit berdiri, menatapnya dengan ekspresi dramatis. "Kamu kaya, tapi malah membuat TV dan kulkas itu menganggur! Itu dosa, tahu nggak?!" Zayn menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. "Kau benar-benar membuatku gila..." Livia mengerucutkan bibirnya. "Kalau aku membuatmu gila, itu salahmu sendiri! Kamu yang menyanderaku di sini!" Zayn tidak bisa menyangkal itu. Sambil mendesah panjang, dia berjalan menuju meja, mengambil segelas air, lalu meneguknya perlahan. Sementara itu, Livia masih berdiri di tempatnya, menggumam sendiri. "Aku benar-benar harus menghidupkan listriknya lagi... setidaknya aku bisa menyelamatkan TV dan kulkas itu dari penderitaan..." Zayn hanya bisa menatap gadis itu dengan pasrah. Tuhan, bagaimana aku bisa bertahan dengan makhluk polos dan aneh ini? Lalu tiba - tiba Suara ketukan di pintu menggema di ruang tamu. Livia yang tadinya masih merajuk di sofa langsung melompat berdiri dengan mata berbinar. "CACA!!!" Dia berlari ke pintu dan menariknya dengan tenaga penuh. Seorang pelayan masuk dengan membawa sebuah boneka kelinci berwarna putih yang tampak sudah sedikit usang di pelukannya. "Ini, Nona. Boneka Anda telah diambil sesuai perintah Tuan Zayn." Livia langsung merampas boneka itu dari tangan pelayan dan memeluknya erat. "Caca! Aku pikir aku kehilanganmu selamanya!" Zayn, yang baru saja melihat adegan itu memandang dengan ekspresi datar. "Kau serius?" tanyanya dengan nada meremehkan. "Itu cuma boneka kotor yang hampir mirip kain pel." Livia mendongak dengan tatapan tajam. "Jangan menghina Caca!" Zayn berjalan mendekat dengan tangan dimasukkan ke saku celananya. Dia menatap boneka itu dengan penuh ejekan. "Apa istimewanya benda jelek itu? Kenapa kau menangisinya seperti anak kecil yang kehilangan permen?" Livia terperanjat dan langsung memeluk Caca lebih erat, seolah melindunginya dari kata-kata jahat Zayn. "Caca itu sahabatku! Dia selalu bersamaku sejak kecil, lebih lama daripada manusia mana pun! Dia tidak jelek, dia manis dan lembut, tidak seperti kamu yang keras kepala dan dingin seperti es batu basi!" Zayn tertawa kecil. "Aku keras kepala? Kau yang terlalu kekanakan." Livia mendengus kesal. "Aku tidak peduli! Mulai sekarang, kau dilarang menyentuh atau mengomentari Caca!" Zayn hanya mengangkat bahu. "Seandainya boneka itu bisa bicara, dia pasti akan memohon agar dilepaskan dari pelukan konyolmu." Dan saat itulah, tanpa berpikir panjang, Livia mengangkat kakinya dan menendang Zayn tepat di— "AARGH!" Zayn membungkuk dengan wajah tertekuk menahan sakit. Sementara itu, Livia hanya menatapnya dengan wajah polos. "Ups. Aku tidak sengaja." Pelayan yang ada di sekitar langsung menahan napas, menahan diri agar tidak memperlihatkan ekspresi terkejut mereka. Zayn perlahan-lahan bangkit dengan mata berkilat penuh ancaman. "Livia..." Livia mundur satu langkah, menyembunyikan Caca di belakang punggungnya seolah boneka itu bisa melindunginya dari amarah Zayn. "Ehehe... kita bicara baik-baik, ya?" Zayn merenggangkan rahangnya, menenangkan diri sebelum benar-benar melakukan sesuatu yang akan membuat gadis itu menangis lagi. "Sialan kau..." gumamnya pelan. "Kau ingin mati?" Livia langsung menggeleng keras. "Tidak, terima kasih!" Zayn menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Mulai sekarang, jauhkan kakimu dari aset berhargaku." Livia berkedip, lalu menunduk melihat kakinya. "Tapi sepertinya tidak ada yang rusak. Aku tidak pakai tenaga penuh kok." Zayn benar-benar ingin membenturkan kepalanya ke dinding saat itu juga. Zayn masih berdiri dengan tangan mengepal, menahan diri agar tidak melempar sesuatu ke arah Livia. Sementara itu, gadis polos itu malah sibuk membelai boneka kelinci kesayangannya dengan penuh kasih sayang. "Kau benar-benar menjengkelkan," gumam Zayn akhirnya, mengusap wajahnya seolah mencoba menghapus stres yang baru saja bertambah dalam hidupnya. Livia mendongak dengan wajah polos. "Kamu bilang apa tadi?" "Aku bilang kau menjengkelkan." Livia memiringkan kepala, ekspresinya seakan sedang mencerna kata-kata Zayn dengan hati-hati. "Tapi aku lucu, kan?" tanyanya tiba-tiba dengan wajah penuh harapan. Zayn menatapnya dengan ekspresi datar. "Tidak." Livia cemberut. "Mama selalu bilang aku itu menggemaskan. Bahkan kucing di jalan saja suka padaku!" Zayn mendesah, mengabaikannya, lalu berjalan menuju sofa dan duduk dengan tenang. Tapi baru saja ia ingin bersandar, suara Livia kembali terdengar. "Zayn, aku lapar." Zayn meliriknya dengan malas. "Kau baru saja menangis gara-gara boneka. Sekarang kau lapar?" Livia mengangguk cepat. "Aku perlu energi agar bisa bermain dengan Caca!" Zayn menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. "Kau itu 21 tahun atau 12 tahun, sih?" Livia tertawa kecil. "Tebak sendiri!" Zayn hanya memijat pelipisnya sebelum akhirnya menekan tombol interkom di meja sampingnya. "Sediakan makan malam untuk nona ini. Sekalian siapkan cokelat panas juga," ucapnya tanpa melihat Livia. Livia langsung bersorak, "Yay! Aku akan dapat cokelat panas lagi!" Zayn menutup interkom, lalu menatapnya dengan tajam. "Jangan berpikir aku akan selalu menuruti keinginan bodohmu." Livia tersenyum cerah, seolah tidak mendengar ancaman terselubung itu. "Tapi tetap saja, aku mendapatkan cokelat panas, kan?" Zayn hanya mendengus. "Terserah." Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa nampan dengan semangkuk sup hangat, beberapa potong roti, dan secangkir cokelat panas. Livia langsung bertepuk tangan dengan penuh semangat. "Terima kasih!" katanya riang sebelum mulai makan dengan lahap. Zayn mengamatinya dari seberang ruangan, bertanya-tanya bagaimana mungkin gadis sekonyol ini bisa berada di hidupnya sekarang. Dia terbiasa menghadapi orang-orang kejam dan licik di dunia bisnis, bukan gadis polos yang lebih peduli pada boneka dan cokelat daripada kenyataan hidup. Saat itu juga, dia sadar. Hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah gadis ini muncul.Mobil hitam mewah itu akhirnya memasuki kawasan perumahan elit tempat tinggal Zayn. Setelah seharian menghabiskan waktu di pantai, senyap perlahan mengambil alih kabin mobil. Finnian yang semula ramai dan penuh celoteh kini tertidur pulas di pangkuan Serenity, dengan pipi merah merona karena terbakar matahari dan jemari mungilnya masih menggenggam ember kecil berisi kerang hasil tangkapannya.Livia duduk tenang di sebelah Zayn. Tidak banyak bicara, tapi dari raut wajahnya terpancar kepuasan dan ketenangan. Angin pantai masih terasa seolah membuntuti mereka, dan aroma laut entah mengapa masih menempel lembut di kulitnya.Zayn menoleh sekilas. Ia melihat Livia sedang menyandarkan kepala ke jendela, tersenyum kecil. “Kamu kelihatan puas banget,” gumamnya sambil menurunkan sedikit kaca jendela agar udara segar masuk.Livia menoleh, mengangguk pelan. “Hari ini kayak mimpi… kayak dunia itu cuma ada aku, kamu, Finnian, dan Serenity.”“Jangan lupa, Aisha juga sempat muncul seperti film horor,
Pagi merekah perlahan, menyusup masuk lewat celah tirai resort yang sedikit terbuka. Sinar matahari menyentuh lembut kulit Livia yang masih terlelap, membentuk pola cahaya hangat di pipinya yang merona. Di luar, ombak menyapa pasir pantai dengan suara tenang, seolah ikut menjaga tidur nyenyaknya.Zayn sudah lebih dulu bangun. Ia duduk bersandar di tepi ranjang, mengenakan jubah handuk yang menggantung santai di tubuhnya. Rambutnya masih sedikit basah, dan secangkir kopi hangat mengepul di tangan. Tatapannya tertuju pada Livia yang masih meringkuk seperti anak kucing dalam selimut, bibirnya sedikit terbuka, sesekali bergumam tak jelas dalam tidur.Senyum kecil mengembang di bibir Zayn. Entah sejak kapan gadis polos ini menjadi pusat gravitasi dalam hidupnya. Yang jelas, pagi itu terasa berbeda. Lebih ringan. Lebih hidup. Lebih... berarti.Perlahan, ia membungkuk dan menyibakkan sedikit anak rambut yang menutupi wajah Livia. “Bangun, sleepyhead,” bisiknya lembut di telinga gadis itu.Li
Malam menggulung langit dalam gelap yang pekat, hanya dihiasi bintang-bintang kecil yang bertaburan bagai serpihan kristal. Suara ombak masih terdengar dari kejauhan, namun kini terdengar lebih lembut seolah ikut meredakan badai di dada Livia dan Zayn. Mereka memasuki kamar resort yang hangat. Livia masih menggenggam tangan Zayn, namun langkahnya lambat, seolah masih ragu apakah suasana damai ini akan bertahan lama. Zayn tahu itu. Ia bisa merasakannya lewat sentuhan jari Livia yang gemetar halus, seolah masih menimbang apakah ia benar-benar aman bersandar padanya malam ini. Zayn menutup pintu perlahan, kemudian membimbing Livia duduk di tepi ranjang yang empuk. Lampu kamar redup, menciptakan bayangan lembut di dinding. Angin laut masih menyelinap masuk lewat jendela balkon yang sedikit terbuka, membawa aroma asin yang khas, bercampur dengan harum tubuh Livia yang baru mandi. “Aku mau kamu tidur nyenyak malam ini,” ucap Zayn, duduk di sebelah Livia dan menyentuh pelipis gadis itu
Senja di pantai telah berlalu. Langit mulai menggelap, dihiasi semburat jingga terakhir yang tergurat di cakrawala. Suara ombak terdengar lebih dalam, bergulung perlahan seolah bernyanyi pelan menyambut malam. Aroma garam dan pasir masih melekat di udara, menyatu dengan suara kicauan jangkrik yang mulai mengambil alih tugas burung-burung siang. duduk sendirian di balkon kamar resort yang menghadap langsung ke laut. Kakinya dilipat di kursi rotan panjang, dengan handuk yang masih tersampir di bahunya. Angin malam membelai rambutnya yang belum sepenuhnya kering, membuat helaian-helaian lembut itu berterbangan membingkai wajahnya yang murung.Pikirannya melayang entah ke mana. Tadi siang terlalu aneh. Kedatangan Aisha yang tiba-tiba, raut wajah Zayn yang terlihat tajam sesaat setelah itu, dan… pertengkaran kecil dengan Serenity di dapur barusan tentang kenapa Livia masih terus bersikap terlalu "baik" pada orang seperti Aisha.Tapi bukan itu yang paling menghantuinya.Yang membuat hatiny
Mentari pagi menyapa dengan sinar keemasan yang hangat, memantul lembut di sela tirai kamar Livia dan Zayn. Angin berembus pelan dari jendela yang sengaja dibuka setengah, membawa aroma laut yang samar-samar mulai terasa sejak malam sebelumnya. Hari ini bukan hari kerja, bukan pula hari kuliah. Hari ini adalah hari yang Livia tunggu-tunggu dengan hati berdebar dan wajah berseri—hari Minggu, hari libur yang telah dijanjikan oleh Zayn sejak pertengkaran terakhir mereka.Liburan kecil ini seperti penawar luka, cara Zayn menebus luka-luka kecil yang mungkin belum sembuh sepenuhnya di hati Livia. Dan gadis itu dengan pakaian pantai yang sudah ia siapkan sejak dua hari lalu, lengkap dengan topi bundar lebar dan sunblock yang dibelinya secara impulsif karena "biar mirip cewek-cewek drama Korea" bangun lebih pagi dari biasanya, penuh semangat dan… berisik, seperti biasa."Zayn! Bangun! Kita bisa kena macet kalau telat!" teriak Livia sambil mengguncang-guncang tubuh pria itu yang masih berseli
Cahaya lampu tidur yang temaram membuat bayangan wajah Zayn dan Livia membaur di dalam keheningan kamar. Livia menatap lelaki di hadapannya itu dengan sorot mata yang masih menyimpan luka, namun juga penuh keraguan dan harapan. Sementara Zayn, duduk di tepi ranjang seolah menahan jarak agar tak semakin menyakiti gadis yang telah diam-diam mencuri tempat dalam hidupnya."Aku gak ngerti, Zayn…" suara Livia pecah, pelan, nyaris seperti bisikan, namun penuh tekanan batin. "Kadang kamu manis banget, perhatian kayak yang benar-benar peduli… tapi tiba-tiba kamu bisa berubah jadi orang asing yang dingin banget. Aku gak ngerti harus gimana."Zayn terdiam, tak langsung menjawab. Ia menatap jemarinya sendiri, lalu dengan pelan mengusap wajahnya, seakan mencoba menghapus topeng keras yang biasa ia kenakan.“Aku… bukan orang baik, Liv,” katanya akhirnya. “Duniaku bukan tempat yang layak buat seseorang sepertimu. Bahkan kadang aku sendiri takut… takut kamu suatu hari sadar dan pergi…”Livia mendeng