Zayn menatap Livia yang masih duduk di lantai dengan wajah penuh harapan, matanya yang berbinar seperti anak kecil yang baru saja dijanjikan permen.
Dia benar-benar tidak habis pikir. Dari semua masalah yang bisa terjadi dalam hidupnya, kini dia harus menangani seorang gadis dewasa yang menangis hanya karena boneka kelinci bernama Caca. Ponsel masih melekat di telinganya saat ia menghela napas panjang. "Ambil boneka kelinci di rumah keluarga Everleigh. Jangan ada yang melihatmu," ucapnya kepada orang di seberang telepon. Livia langsung bertepuk tangan girang. "Yay! Caca akan kembali!" Zayn menutup teleponnya lalu menatap Livia dengan tatapan datar. "Tapi semalam kau tidur baik-baik saja tanpa Caca sialanmu itu." Seharusnya itu pernyataan biasa. Seharusnya Livia hanya akan mengangguk atau mengucapkan terima kasih. Tapi tidak. Sebaliknya, Livia malah terdiam sesaat, sebelum wajahnya berubah merah padam seperti kepiting rebus. "A-Aku tidak tidur!" Livia buru-buru bangkit dari lantai, tangannya mengepal di samping tubuhnya. "Aku hanya... hanya pura-pura tidur!" Zayn menatapnya skeptis. "Pura-pura tidur?" Livia mengangguk cepat, tapi cara dia menghindari tatapan Zayn membuat kebohongannya terlihat jelas. "Jadi, kau hanya pura-pura tidur selama ini?" Zayn melipat tangan di depan dada, nada suaranya penuh ejekan. "I-Iya!" Livia kembali duduk di sofa, menarik bantal dan memeluknya erat. "Aku tidak benar-benar tidur! Aku hanya... memejamkan mata dan berpikir tentang Caca!" Zayn mengangkat satu alis. "Oh? Lalu bagaimana dengan suara ngorok kecil yang kudengar semalam?" Livia membelalakkan mata, pipinya semakin merah. "I-Itu bukan aku!" Zayn mendekat, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arahnya. "Benarkah? Jadi aku hanya berhalusinasi?" "Aku... Aku tidak tahu!" Livia semakin panik, wajahnya memerah seperti tomat matang. "A-Aku benar-benar tidak tidur!" Zayn mendesah dan mengusap pelipisnya. "Ya terserah kau, Livia..." lalu tiba tiba suara tangisan Livia kembali terdengar karena kembali teringat akan cacanya,dia takut kalau Zayn berubah pikiran dan tidak mengijinkan kelinci kesayangan nya itu datang kemari. Sedangkan Zayn yang menghadapi tingkah Livia ini rasanya ingin mengubur dirinya sendiri. Dia sudah menghadapi berbagai macam orang dalam hidupnya. Musuh yang licik, pengkhianat yang penuh tipu daya, hingga pembunuh bayaran yang dingin dan tanpa ampun. Tapi menghadapi Livia? Ini jauh lebih sulit. "Aku tetap ingin Caca," gumam Livia, kini suaranya lebih lembut, lebih menyedihkan. Zayn menatapnya cukup lama sebelum akhirnya mengembuskan napas lelah. "Baiklah, Caca sedang dalam perjalanan. Jadi, berhenti menangis dan buat dirimu berguna di rumah ini." Livia mengerjapkan mata. "Guna? Maksudmu... aku harus bekerja?" "Ya, setidaknya jangan membuat masalah." Livia mengerucutkan bibirnya, lalu bersedekap dengan ekspresi merajuk. "Aku tidak membuat masalah." Zayn memijat pelipisnya. "Kau membuatku hampir kehilangan kewarasan, Livia." Livia hanya terkikik kecil, lalu dengan polosnya berkata, "Ya, aku memang berbakat dalam hal itu." Zayn hanya bisa menggelengkan kepala. Dia pernah berpikir bahwa Livia hanyalah beban yang harus dia tanggung. Tapi sekarang? Dia mulai menyadari bahwa gadis ini bukan hanya sekadar beban. Dia adalah kekacauan yang manis. Livia masih duduk di sofa, menggoyang-goyangkan kakinya dengan ekspresi tidak sabar. Sudah lama sejak Zayn menyuruh seseorang mengambil Caca, tapi boneka kelinci kesayangannya itu belum juga datang. Dia mulai bosan. Matanya mengembara ke seluruh ruangan sampai akhirnya berhenti pada Zayn yang tengah sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Tiba-tiba, sesuatu terlintas di pikirannya. "Zayn!" serunya dengan nada serius. Zayn mendesah sebelum menatapnya dengan malas. "Apa lagi?" Livia menyilangkan tangan di dada, wajahnya penuh kecurigaan. "Kenapa TV besar di ruangan rahasia itu tidak menyala? Aku sudah coba menekan tombolnya, tapi tidak bisa!" Zayn menatapnya dengan ekspresi datar. "Lalu kenapa kulkas di sana juga tidak berfungsi?! Aku bahkan sudah mencoba membukanya, tapi kosong!" Zayn semakin mengerutkan keningnya. "Kau masuk ke ruangan itu?" Livia mengangguk penuh semangat. "Iya! Tadi aku menemukannya saat aku jalan-jalan!" Zayn langsung bangkit dari sofa, sorot matanya berubah tajam. "Kau tidak boleh masuk ke sana." Livia berkedip polos. "Kenapa?" Zayn mendekatinya dengan langkah perlahan, aura gelap mulai menguar darinya. "Karena itu bukan tempat untuk orang sepertimu." "Tapi itu cuma ruangan biasa," protes Livia dengan nada tak puas. "Hanya ada TV besar, kulkas, dan beberapa sofa. Aku juga menemukan lemari besi, tapi aku tidak bisa membukanya. Kenapa kamu kunci?" Zayn menahan napas. Napasnya semakin berat saat menyadari betapa polosnya gadis ini. "Livia." Suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya. "Jangan masuk ke ruangan itu lagi." Livia menggigit bibirnya, merasa seperti anak kecil yang baru saja dimarahi. Tapi dia tetap keras kepala. "Tapi aku penasaran..." gumamnya. "Jangan pernah." Nada suara Zayn kali ini membuat Livia merinding. Dia tidak pernah melihat pria itu seserius ini. Tapi bukan Livia namanya kalau dia tidak terus merengek. "Baiklah, baiklah. Aku tidak akan masuk ke sana lagi," katanya sambil menggulung mata. "Tapi tetap saja, kamu harus menjelaskan kenapa TV dan kulkasnya mati!" Zayn menatapnya lama sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang. "Aku sengaja memutus aliran listriknya," jawabnya singkat. Livia ternganga. "APA?! Kenapa kamu melakukan itu?! Apa kamu tidak kasihan sama TV dan kulkasnya?!" Zayn memijat pelipisnya. "TV dan kulkas tidak bisa merasa kasihan, Livia." "Tapi tetap saja!" Livia bangkit berdiri, menatapnya dengan ekspresi dramatis. "Kamu kaya, tapi malah membuat TV dan kulkas itu menganggur! Itu dosa, tahu nggak?!" Zayn menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. "Kau benar-benar membuatku gila..." Livia mengerucutkan bibirnya. "Kalau aku membuatmu gila, itu salahmu sendiri! Kamu yang menyanderaku di sini!" Zayn tidak bisa menyangkal itu. Sambil mendesah panjang, dia berjalan menuju meja, mengambil segelas air, lalu meneguknya perlahan. Sementara itu, Livia masih berdiri di tempatnya, menggumam sendiri. "Aku benar-benar harus menghidupkan listriknya lagi... setidaknya aku bisa menyelamatkan TV dan kulkas itu dari penderitaan..." Zayn hanya bisa menatap gadis itu dengan pasrah. Tuhan, bagaimana aku bisa bertahan dengan makhluk polos dan aneh ini? Lalu tiba - tiba Suara ketukan di pintu menggema di ruang tamu. Livia yang tadinya masih merajuk di sofa langsung melompat berdiri dengan mata berbinar. "CACA!!!" Dia berlari ke pintu dan menariknya dengan tenaga penuh. Seorang pelayan masuk dengan membawa sebuah boneka kelinci berwarna putih yang tampak sudah sedikit usang di pelukannya. "Ini, Nona. Boneka Anda telah diambil sesuai perintah Tuan Zayn." Livia langsung merampas boneka itu dari tangan pelayan dan memeluknya erat. "Caca! Aku pikir aku kehilanganmu selamanya!" Zayn, yang baru saja melihat adegan itu memandang dengan ekspresi datar. "Kau serius?" tanyanya dengan nada meremehkan. "Itu cuma boneka kotor yang hampir mirip kain pel." Livia mendongak dengan tatapan tajam. "Jangan menghina Caca!" Zayn berjalan mendekat dengan tangan dimasukkan ke saku celananya. Dia menatap boneka itu dengan penuh ejekan. "Apa istimewanya benda jelek itu? Kenapa kau menangisinya seperti anak kecil yang kehilangan permen?" Livia terperanjat dan langsung memeluk Caca lebih erat, seolah melindunginya dari kata-kata jahat Zayn. "Caca itu sahabatku! Dia selalu bersamaku sejak kecil, lebih lama daripada manusia mana pun! Dia tidak jelek, dia manis dan lembut, tidak seperti kamu yang keras kepala dan dingin seperti es batu basi!" Zayn tertawa kecil. "Aku keras kepala? Kau yang terlalu kekanakan." Livia mendengus kesal. "Aku tidak peduli! Mulai sekarang, kau dilarang menyentuh atau mengomentari Caca!" Zayn hanya mengangkat bahu. "Seandainya boneka itu bisa bicara, dia pasti akan memohon agar dilepaskan dari pelukan konyolmu." Dan saat itulah, tanpa berpikir panjang, Livia mengangkat kakinya dan menendang Zayn tepat di— "AARGH!" Zayn membungkuk dengan wajah tertekuk menahan sakit. Sementara itu, Livia hanya menatapnya dengan wajah polos. "Ups. Aku tidak sengaja." Pelayan yang ada di sekitar langsung menahan napas, menahan diri agar tidak memperlihatkan ekspresi terkejut mereka. Zayn perlahan-lahan bangkit dengan mata berkilat penuh ancaman. "Livia..." Livia mundur satu langkah, menyembunyikan Caca di belakang punggungnya seolah boneka itu bisa melindunginya dari amarah Zayn. "Ehehe... kita bicara baik-baik, ya?" Zayn merenggangkan rahangnya, menenangkan diri sebelum benar-benar melakukan sesuatu yang akan membuat gadis itu menangis lagi. "Sialan kau..." gumamnya pelan. "Kau ingin mati?" Livia langsung menggeleng keras. "Tidak, terima kasih!" Zayn menutup matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Mulai sekarang, jauhkan kakimu dari aset berhargaku." Livia berkedip, lalu menunduk melihat kakinya. "Tapi sepertinya tidak ada yang rusak. Aku tidak pakai tenaga penuh kok." Zayn benar-benar ingin membenturkan kepalanya ke dinding saat itu juga. Zayn masih berdiri dengan tangan mengepal, menahan diri agar tidak melempar sesuatu ke arah Livia. Sementara itu, gadis polos itu malah sibuk membelai boneka kelinci kesayangannya dengan penuh kasih sayang. "Kau benar-benar menjengkelkan," gumam Zayn akhirnya, mengusap wajahnya seolah mencoba menghapus stres yang baru saja bertambah dalam hidupnya. Livia mendongak dengan wajah polos. "Kamu bilang apa tadi?" "Aku bilang kau menjengkelkan." Livia memiringkan kepala, ekspresinya seakan sedang mencerna kata-kata Zayn dengan hati-hati. "Tapi aku lucu, kan?" tanyanya tiba-tiba dengan wajah penuh harapan. Zayn menatapnya dengan ekspresi datar. "Tidak." Livia cemberut. "Mama selalu bilang aku itu menggemaskan. Bahkan kucing di jalan saja suka padaku!" Zayn mendesah, mengabaikannya, lalu berjalan menuju sofa dan duduk dengan tenang. Tapi baru saja ia ingin bersandar, suara Livia kembali terdengar. "Zayn, aku lapar." Zayn meliriknya dengan malas. "Kau baru saja menangis gara-gara boneka. Sekarang kau lapar?" Livia mengangguk cepat. "Aku perlu energi agar bisa bermain dengan Caca!" Zayn menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. "Kau itu 21 tahun atau 12 tahun, sih?" Livia tertawa kecil. "Tebak sendiri!" Zayn hanya memijat pelipisnya sebelum akhirnya menekan tombol interkom di meja sampingnya. "Sediakan makan malam untuk nona ini. Sekalian siapkan cokelat panas juga," ucapnya tanpa melihat Livia. Livia langsung bersorak, "Yay! Aku akan dapat cokelat panas lagi!" Zayn menutup interkom, lalu menatapnya dengan tajam. "Jangan berpikir aku akan selalu menuruti keinginan bodohmu." Livia tersenyum cerah, seolah tidak mendengar ancaman terselubung itu. "Tapi tetap saja, aku mendapatkan cokelat panas, kan?" Zayn hanya mendengus. "Terserah." Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa nampan dengan semangkuk sup hangat, beberapa potong roti, dan secangkir cokelat panas. Livia langsung bertepuk tangan dengan penuh semangat. "Terima kasih!" katanya riang sebelum mulai makan dengan lahap. Zayn mengamatinya dari seberang ruangan, bertanya-tanya bagaimana mungkin gadis sekonyol ini bisa berada di hidupnya sekarang. Dia terbiasa menghadapi orang-orang kejam dan licik di dunia bisnis, bukan gadis polos yang lebih peduli pada boneka dan cokelat daripada kenyataan hidup. Saat itu juga, dia sadar. Hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah gadis ini muncul.Zayn Vanderbilt selalu menganggap dirinya pria yang memiliki kendali penuh atas segala hal. Bisnisnya berjalan lancar, musuh-musuhnya berakhir di bawah kakinya, dan hidupnya terorganisir tanpa cela.Tapi sejak kedatangan Livia Everleigh, semua prinsip itu seolah ditampar lalu dilempar keluar jendela.Seperti pagi ini.Alih-alih menikmati ketenangan sebelum bekerja, dia justru harus berhadapan dengan suara berisik yang menggema di seluruh rumah.BRAK!Zayn yang sedang mengenakan jasnya berhenti sejenak. Alisnya bertaut. Suara itu datang dari lantai bawah.BRAK!Lagi. Dan kali ini diikuti oleh suara seorang gadis yang memekik panik."Oh, tidak! Tidak! Kenapa bisa begini?!"Zayn menutup matanya sesaat, menarik napas panjang sebelum akhirnya berjalan keluar kamar dengan langkah penuh ketidaksabaran. Begitu mencapai ruang tengah, matanya langsung menangkap pemandangan yang hampir membuatnya kehilangan kesabaran.Livia.Gadis itu berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi bersalah.Dan di se
Livia melangkah ringan di belakang Zayn, memasuki gedung Vanderbilt Corp. yang megah. Matanya berbinar saat melihat sekeliling. Dinding kaca yang tinggi, lantai marmer yang licin berkilau, dan para karyawan yang berpakaian rapi membuat tempat ini terlihat seperti dunia yang berbeda bagi Livia. Ia berjalan dengan lincah, mengamati segala sesuatu dengan penuh rasa ingin tahu, sampai tiba-tiba matanya tertuju pada seorang wanita yang baru keluar dari lift. Wanita itu mengenakan gaun ketat berwarna merah mencolok dengan sepatu hak tinggi yang berbunyi setiap kali melangkah. Riasannya begitu tebal hingga wajahnya hampir seperti boneka porselen yang dipoles berlebihan. Livia berhenti dan menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. Matanya berkedip beberapa kali, memastikan apa yang ia lihat benar-benar nyata. Kemudian, ia menyenggol lengan Zayn yang berjalan di sampingnya. "Zayn..." bisiknya pelan, tapi suaranya cukup terdengar. Zayn hanya melirik sekilas tanpa mengurangi kecepatannya.
Belum juga jantung Livia kembali berdetak normal setelah adegan barusan, tiba-tiba pintu ruangan terbuka dengan kasar. BRUK! Seorang pria bertubuh tinggi besar melangkah masuk. Kulitnya hitam pekat, otot-otot lengannya terlihat kokoh di balik kemeja hitam yang dikenakannya. Wajahnya penuh garis tegas dengan ekspresi datar yang dingin. Matanya tajam, nyaris tanpa emosi, membuat auranya terasa begitu mengintimidasi. Livia yang masih berdiri di depan meja Zayn langsung meloncat kecil dan bersembunyi di belakang kursi sang CEO. Tangannya mencengkram sandaran kursi dengan erat, sementara matanya menatap pria sangar itu dengan penuh ketakutan. “Bos,” suara pria itu berat dan dalam. “Saya sudah mengurus laporan yang Anda minta.” Zayn mendongak dengan santai, “Letakkan di meja.” Pria itu melangkah lebih dekat, meletakkan map tebal di atas meja kerja Zayn dengan gerakan yang begitu terukur dan tegas. Livia menelan ludah. Ia benar-benar terlihat seperti pembunuh bayaran yang baru pulang
Restoran mewah yang mereka datangi memiliki suasana elegan dengan lampu gantung kristal berkilauan di langit-langit. Para pelanggan yang datang kebanyakan adalah eksekutif kelas atas yang berbicara dengan nada rendah dan anggun, menambah kesan eksklusif tempat itu. Namun, di salah satu sudut ruangan, duduklah seorang gadis polos yang tampak bersemangat seperti anak kecil yang baru saja dilepas di toko permen. Livia menggoyang-goyangkan kakinya di kursi, matanya berbinar saat membaca menu di tangannya. "Wow! Zayn! Lihat ini! Ada steak wagyu, ada lobster, ada sushi premium, ada pasta dengan keju yang meleleh! Wah, aku harus coba semua!" Zayn, yang sedang menuangkan air mineral ke gelasnya, hanya melirik sekilas. "Pesan yang wajar saja. Kau tidak mungkin menghabiskan semuanya." Livia mendengus. "Mana tahu kau? Perutku mungkin kecil, tapi kemampuannya besar!" Pelayan datang dengan senyum ramah. "Apa yang ingin Anda pesan, Tuan?" Zayn menyerahkan menunya. "Steak medium rare dan salad
Livia menatap piring-piring di depannya dengan ekspresi horor. Steaknya masih tersisa setengah, lobster yang tadi ia perjuangkan baru termakan sedikit, dan pasta creamy-nya masih hampir utuh. Sementara itu, sushi yang tadi ia makan dengan penuh semangat ternyata baru berkurang tiga potong. Zayn, yang sudah selesai makan, duduk bersandar sambil melipat tangan di dada. "Aku sudah menduga ini akan terjadi." Livia menggigit bibirnya, merasa bersalah. "Aku pikir aku bisa menghabiskan semuanya… Tapi perutku sudah penuh." "Tentu saja penuh. Kau memesan makanan seperti sedang menyiapkan pesta ulang tahun." Zayn menatapnya tajam. "Sekarang apa yang akan kau lakukan? Kau tahu, membuang makanan itu namanya pemborosan." Livia menggembungkan pipinya. "Aku tidak berniat membuangnya! Mungkin aku bisa membawanya pulang?" Zayn mengangkat alis. "Kau yakin akan memakannya nanti?" Livia mengangguk mantap. "Tentu! Aku tidak akan membiarkan makanan seenak ini terbuang sia-sia!" Zayn mendesah, lalu m
Mobil melaju dengan kecepatan stabil di bawah langit senja. Livia duduk di kursi penumpang dengan wajah berbinar, memeluk boneka kelinci kesayangannya yang baru saja kembali ke pelukannya. Tangannya dengan lembut membelai bulu lembut boneka itu, senyum lebarnya tidak luntur sejak Zayn menyerahkan boneka itu padanya."Tuan Kelinci Vanderbilt!" seru Livia penuh semangat, mengangkat bonekanya tinggi-tinggi seolah sedang memperkenalkannya ke dunia. "Kau akhirnya kembali ke rumah! Aku sangat senang!"Zayn meliriknya sekilas, sebelah alisnya terangkat. "Aku tidak tahu kalau kau tipe gadis yang memberi nama belakang pada boneka."Livia menoleh padanya dengan tatapan serius. "Tentu saja! Aku harus memberikan nama yang sesuai dengan status sosialnya!""Status sosial?" Zayn menahan tawa. "Jadi boneka ini berasal dari keluarga terpandang juga?"Livia mengangguk cepat. "Tentu! Dia adalah bangsawan kelinci yang sangat terhormat. Dan sekarang, dia akan menjadi teman dekat Caca!"Zayn menghela napas
Setelah drama panjang dan negosiasi yang melelahkan, akhirnya Zayn menyerah. Dengan langkah berat, dia berjalan menuju kamarnya, diikuti oleh Livia yang masih memeluk dua boneka kelinci kesayangannya.Begitu mereka masuk ke dalam kamar, Zayn melepas jam tangan dan meletakkannya di atas meja. Livia, di sisi lain, langsung melompat ke tempat tidur king-size dengan ekspresi puas."Kasurmu empuk sekali!" serunya sambil berguling-guling. "Aku seperti tidur di awan!"Zayn hanya menatapnya datar sebelum beralih ke lemari, menarik keluar kaus hitamnya dan melepaskan kemeja yang dikenakannya. Livia yang sedang asyik berguling tiba-tiba berhenti. Matanya membesar saat melihat punggung Zayn yang penuh dengan garis otot yang sempurna.Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah tato dan beberapa bekas luka di tubuh pria itu.Dengan rasa ingin tahu yang besar, Livia bangkit dari tempat tidur dan berjalan pelan mendekat. "Zayn…?"Zayn yang sedang bersiap mengenakan kausnya menoleh sekilas. "Apa?
Pagi datang dengan lambat. Cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai kamar yang masih tertutup rapat, menerangi ruangan dengan sinar keemasan. Namun, tidak ada kehangatan yang biasa terasa. Livia terbangun dengan mata yang masih berat. Dia menggeliat pelan, mencari kenyamanan di kasur empuk yang terasa begitu asing baginya. Butuh beberapa detik baginya untuk mengingat di mana dia berada dan siapa yang bersamanya semalam. Tapi yang dia temukan hanyalah tempat tidur kosong di sebelahnya. Tidak ada Zayn. Biasanya, setiap kali dia bangun, pria itu masih terlelap atau setidaknya ada di ruangan ini, sibuk dengan sesuatu. Tapi kali ini… kehadirannya seolah menghilang begitu saja. Livia mengerjapkan mata, duduk perlahan sambil memeluk boneka kelincinya, Caca. Suasana terasa lebih dingin dari biasanya. Perasaan aneh mulai mengusik hatinya. Kemarin malam… semuanya berakhir buruk. Zayn marah padanya. Sangat marah. Dia menghembuskan napas pelan, mencoba mengusir kecemasan yang mulai
Di sudut kota tua Milan yang penuh arsitektur klasik, cahaya lampu malam menyinari bangunan kuno yang kini telah disulap menjadi sebuah aula pelelangan mewah. Di sinilah, di antara tamu-tamu berdasi dan gaun gemerlap, dunia bawah tanah bertemu dengan kemewahan permukaan.Zayn Vanderbilt berdiri tegak di antara kerumunan elite. Mengenakan setelan hitam Armani yang membentuk tubuh tegapnya dengan sempurna, tatapannya tajam menelusuri suasana. Di sampingnya, Axel berdiri dengan kedua tangan disilangkan di depan dada, waspada terhadap segala gerak-gerik mencurigakan.“Target kita adalah peti nomor 17,” bisik Axel, suaranya nyaris tak terdengar. “Isinya senjata prototipe yang hanya muncul sekali di pasar gelap dalam dua dekade.”Zayn mengangguk tanpa memalingkan wajah. Ia menyapu ruangan dengan matanya—dan saat itulah, langkah seorang wanita menarik perhatian banyak mata.Wanita itu melangkah anggun, dengan gaun merah menyala membelah ruangan yang dipenuhi dominasi hitam dan emas. Rambut p
Pintu gerbang rumah Vanderbilt terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dan bangunan megah bercat putih bersih. Mobil merah mewah itu melaju pelan, seperti pangeran yang baru pulang dari medan perang—tapi isinya justru dua wanita cerewet dan satu bocah super heboh.Begitu mobil berhenti, Finnian langsung membuka pintu belakang.“Yesss! Aku duluan yang sampe!” serunya sambil berlari ke dalam rumah seperti sedang lomba lari estafet.“FINNIAN! Sepatunya lepas! Eh—YA AMPUN, dia bawa boneka kucingnya masuk juga!” Serenity turun dengan rambut sedikit berantakan karena tertiup AC mobil, lalu menoleh ke Livia yang masih tertawa di dalam mobil.“Welcome to my chaotic life, sayang,” ujarnya dramatis.Livia menutup pintu dan berjalan beriringan dengan Serenity.Begitu masuk, suasana rumah yang biasanya hening karena aura misterius Zayn, kini berubah. Suara tawa Finnian menggema, disusul dengan suara Serenity yang berteriak, “Jangan lompat di sofa, Nak! Itu harganya bisa bayar SPP kuliah kamu s
Sore itu, mentari mulai condong ke barat, membentuk bayangan panjang di sepanjang terminal penjemputan. Livia berdiri dengan ransel mungilnya, topi bulat berwarna pastel menutupi sebagian rambutnya yang terurai manis. Dia memandangi layar ponselnya yang, entah sudah berapa kali, dicek untuk melihat apakah ada kabar dari Zayn."Nggak ada juga… dia bener-bener lupa, ya?" gumam Livia sambil mengerucutkan bibir. Meski wajahnya tampak cemberut, ada seulas manis yang tetap membuat siapa pun yang melihatnya ingin menyubit pipinya. Ia berdiri kikuk, sendiri, seperti anak ayam kehilangan induk.Namun tiba-tiba—"BRAAAAK!" suara pintu mobil mewah yang terbuka dari arah jalan mengagetkannya. Mobil berwarna merah menyala, dengan velg hitam elegan dan jendela kaca gelap yang baru saja menepi, benar-benar menarik perhatian banyak pasang mata.Livia melongo. Matanya melebar.“Eh? Itu… Lamborghini?” gumamnya, ragu. Tapi sebelum sempat dia memastikan, jendela di bagian penumpang depan turun perlahan.
Setelah keluar dari kantin dengan perut kenyang dan hati riang, Livia berjalan sambil bersenandung kecil menuju taman kampus. Di sebelahnya, Aisha melangkah santai dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaket. Angin siang yang sejuk menyapu rambut mereka, sementara cahaya matahari menerobos sela dedaunan, menciptakan bayangan teduh di sepanjang jalur setapak.“Dosen nggak masuk, tumben banget ya,” ucap Livia riang, tangannya mengayun ke depan dan ke belakang seperti anak kecil.Aisha hanya mengangguk malas. “Mungkin beliau sakit kepala lihat tugas-tugasmu,” gumamnya pelan.Livia melotot pelan, tapi hanya beberapa detik sebelum ia tertawa. “Kau jahat, tahu nggak?”Ketika mereka tiba di taman, Livia langsung mengenali sosok yang sedang duduk di bangku panjang, tak jauh dari kolam. Mahasiswa itu tengah membuka novel dengan tatapan serius, namun senyumnya langsung muncul ketika melihat Livia datang.“Reyhan!” seru Livia sembari melambai, seperti anak TK yang baru melihat teman TK-nya juga
Langit siang di atas gedung Vanderbilt Corporation tampak mendung, seakan meramalkan badai yang tak hanya akan melanda kota, tetapi juga dunia bisnis kelam yang selama ini Zayn sembunyikan rapat-rapat di balik jas dan dasi mahalnya.Zayn Vanderbilt tengah duduk di ruang kerjanya yang luas dan minimalis. Layar laptop di depannya menampilkan laporan proyek dari salah satu anak perusahaan di luar negeri, namun pikirannya jelas tidak sepenuhnya tertambat pada angka-angka itu. Sejak pagi, rasa gelisah samar mengganggu fokusnya. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan, tetapi cukup kuat untuk membuat alisnya terus berkerut.Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan. Zayn tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa pelakunya. Hanya ada satu orang yang cukup berani dan cukup penting untuk melanggar etika formal seperti itu.Axel Reinhardt. Tangan kanan sekaligus sahabat lamanya, yang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia bawah tanah dibanding ruang rapat."Sudah kuduga kau belum meninggalk
Finnian duduk di kursi dengan kaki yang belum menyentuh lantai, sibuk memindahkan telur ke atas pancake dan menyebutnya "roket makanan ke bulan."Livia duduk di sebelahnya, tertawa kecil sambil membantu Finnian mengoleskan madu. Ia terlihat lebih segar pagi ini. Luka di lengannya sudah mulai mengering, dan semangatnya mulai kembali setelah beberapa hari rehat dari kampus.Serenity duduk di seberang Zayn sambil menyeruput kopi, lalu membuka suara, “Jadi, hari ini aku mau nganter Finnian ke sekolah Montessori yang kamu rekomendasikan itu. Semoga anak ini bisa duduk tenang lebih dari dua menit.”Finnian langsung protes, “Aku bisa duduk! Tapi kalau kursinya empuk!”Semua tertawa.Zayn yang sejak tadi diam, akhirnya bicara, “Aku sudah kirim berkasnya ke kepala sekolah. Mereka akan bantu proses pendaftaran hari ini.”Serenity mengangkat dua jempol. “Good. Aku nggak tahu mesti mulai dari mana. Banyak sekolah lihat aku sebelah mata. Ya, you know… single mom dengan sejarah drama.”Livia yang d
Zayn memasuki rumahnya dengan langkah tegap dan ekspresi kaku yang sudah menjadi ciri khasnya. Setelah seharian dikejar rapat dan laporan dari jaringan bawah tanah yang mencurigakan, ia hanya ingin memeriksa kondisi Livia, memastikan luka gadis itu tidak kambuh dan pikirannya tetap aman.Namun baru saja membuka pintu utama, alisnya langsung bertaut saat mendengar…“TEMBAK DINO KUNINGNYA, FINN! TEMBAKKK!!”Suara Livia.“BUNYI SIRINEEE!! DINONYA LEMES!! AAAAKK!”Dan... suara kakaknya?Zayn mendecak pelan dan mempercepat langkahnya. Sampai akhirnya ia berhenti di ambang ruang keluarga.Pemandangan yang ia lihat sukses membuatnya nyaris kehilangan kata.Di tengah ruangan mewah bergaya modern itu, Livia duduk bersila di lantai, memakai bando kelinci, sambil memegang joystick mainan game dinosaurus yang diproyeksikan ke layar besar. Di sebelahnya, Finnian berdiri di atas meja kopi, berteriak heboh sambil menggenggam boneka t-rex yang matanya menyala.Dan di ujung sofa, Serenity—kakaknya yan
Pagi hari itu, matahari bersinar malu-malu dari balik tirai kamar yang setengah terbuka. Udara masih segar, sedikit dingin, dan aroma harum dari diffuser lavender masih melayang di udara. Namun, alih-alih disambut dengan ceria seperti biasa, pagi ini Livia terbangun dengan nyut-nyutan di pergelangan tangannya yang masih dibebat perban.“Ugh… kenapa rasanya kayak habis tinju sama Iron Man…” gumamnya pelan, memeluk guling dengan ekspresi meringis.Sebenarnya, lukanya tidak terlalu parah—cuma sedikit memar dan tergores karena kecelakaan kecil di lab praktek kemarin. Tapi tentu saja, bagi seorang Zayn Vanderbilt, itu sudah sama saja seperti Livia baru saja selamat dari kecelakaan pesawat.Belum sempat Livia bangkit dari tempat tidur, pintu kamarnya terbuka pelan. Zayn masuk, membawa nampan sarapan dengan ekspresi datar—yang artinya dia sedang menahan marah dalam kadar medium. Seperti biasa, gaya CEO-nya tetap terpancar dari rambut sampai ujung kaki, padahal cuma pakai kaus lengan panjang
Keesokan HarinyaLivia kembali menjalani rutinitasnya di kampus. Kali ini dengan dua pengawal tambahan yang dikirim oleh Zayn. Meski awalnya sempat protes, akhirnya ia menyerah karena takut Zayn benar-benar memasang CCTV di tiap sudut kampus.Di kampus, Aisha kembali muncul. Luka di bahunya tertutup perban, dan senyumnya sedikit dipaksakan.“Akudenger cowok kamu ngamuk ya kemarin?” tanya Aisha ketus saat menyusul Livia ke taman belakang kampus tempat mereka biasa duduk saat istirahat.Livia menggigit roti sandwich-nya perlahan, cengengesan. “Hehe... iya, agak serem sih... tapi dia baik kok. Kamu nggak apa-apa kan? Bahumu gimana?”Aisha menyipitkan mata.“Lucu ya kamu... masih bisa nanyain aku padahal udah jelas-jelas aku bikin kamu luka waktu praktik.”Livia langsung menegakkan duduknya. “Itu nggak sengaja kan? Aku tahu kok. Nggak usah merasa bersalah... aku juga sering jatuh sendiri, saking cerobohnya.”Aisha hanya mendecih kecil, kemudian menghela napas.“Kadang aku bingung deh... k