Share

KESEDIHAN MENDALAM

7. KESEDIHAN MENDALAM

AIRA

“Turunlah.’ Perintah Ardi saat taxi yang kami tumpangi tiba di depan rumah. Pria yang sangat kucintai tak menatap sedikitpun ke arahku. Wajahnya terlihat datar dan dingin.

“Bisakah kau mengantarku sampai depan pintu. Aku masih ....”

“Tidak bisa! cepat turunlah!” Ardi membuang pandangan jauh.

“Tapi Ardi, aku butuh bantuanmu. Kau tahu’kan aku baru saja mengalami ....”

“Cukup Aira! Jangan mencoba mengingatkanku dengan kejadian buruk itu! Cepat turun dan pergilah!”

“Ardi. Aku ....”

Belum selesai berbicara, dia sudah turun dari mobil dan menutup pintu dengan kasar. Tanpa kusadari, ardi sudah membukakan pintu mobil untukku. Aku pikir dia akan berbaik hati dengan mengantar hingga depan rumah. Namun apa yang dilakukannya sangat membuat hatiku tersayat. Lelaki yang sangat kucintai menarik lengan dan memaksaku unrtuk keluar. Setelah berhasil, dia langsung masuk mobil tanpa berpesan apapun padaku. Sakit sekali bagai di sayat ribuan pisau.

Kenapa dia bisa berubah secepat itu. Bukankah dia sendiri penyebab dari kehancuran diriku. Dia yang menodai gadis lain, malah aku yang harus menanggung dosanya.

Secara tidak langsung, Ardi juga sudah menghianatiku. Berselingkuh tanpa kuketahui.

Meremas dada yang terasa amat sakit. Ingin menjerit dalam kekalutan. Harus mengadu kepada siapa. Oh Tuhan, kenapa aku di hukum seperti ini. Apa kesalahan besar yang sudah kuperbuat.

Menjatuhkan diri ke tanah. Hanya aliran airmata yang deras menggambarkan bagaimana tersiksanya diriku menanggung beban ini sendirian. Aku bahkan tak punya muka walau hanya untuk bertemu dengan kedua orangtuaku. Apa jadinya kalau mereka tahu aku telah ternoda.

“Aira. Kamu kenapa?” tanpa kusadari wanita yang melahirkanku sudah berada di hadapan. Tergambar kecemasan pada wajah tirusnya. Segera menghambur ke pelukan wanita yang sangat kucintai dan menumpahkan kesedihan pada pundaknya. Bak seorang anak yang kehilangan orangtua seperti itulah tangisanku..

“Ada apa, Nak? Katakan pada ibu.” Ibu melonggarkan pelukan. Dadaku naik turun menahan kesedihan, emosi dan amarah yang nyaris meledak dalam dada.

“Aku kotor bu, aku kotor.” memukuli dadaku dengan kembali meledakkan tangis kepedihan.

“Astaghfirulloh hal’adzim.’ Ibu menutup mulutnya yang menganga lebar dan mundur beberapa langkah. Tubuhnya bergetar. Kelopak mata mengembun. Ibu pasti sangat syok, sama seperti diriku.

“Gak mungkin, Aira. Bagaimana itu bisa terjadi? Kau sudah menghianati kepercayaan ayah     dan ibumu, Nak. Tega sekali kau melakukan perbuatan serendah itu!” ibu mengguncang tubuhku dengan keras. Airmata mengalir deras bak anak sungai yang tak bertepi.

“Bukan kemauan Aira, Bu. Aku di pe***sa!” aku mencoba membela diri.

Cengkeraman ibu pada lenganku mulai mengendur. Tak berani menatap mata dan juga ekspresi wajahnya saat mendengar kenyataan pahit ini. Aku hanya bisa menundukkan kepala lebih dalam.

’Siapa pelakunya?! Ardi?!”

Aku menggeleng dengan cepat.

“Kalau bukan dia lalu siapa?!” ibu kembali mencekal lenganku dan mengoyangkan tubuhku dengan keras.

“Aira tidak tahu, bu. Yang aku tahu, pria itu berniat membalas dendam karena adiknya sudah di nodai oleh Ardi.”

“Apa?! Jadi karena kesalahan Ardi, kau yang harus menanggung akibatnya. Ini tidak adil bagimu, Nak. Sekarang mana Ardi. Dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya! Kita datangi saja rumah orang itu! Mana Ardi. Mana?” ibu mlihat ke arah belakangku. Dia mencari-cari sosok Ardi.

“Percuma, Bu. Ardi juga tidak mengenal laki-laki itu.”

“Bagaimana mungkin?! Sekarang di mana dia. Di mana Ardi?”

“Dia sudah pergi.”

“Apa dia tidak mengantarmu?”

Aku hanya bisa menggeleng. Kembali airmata tumpah kala mengingat perlakuan Ardi. Ibarat  terjatuh, tertimpa tangga pula. Ibarat luka yang masih berdarah, harus di siram dengan air cuka. Sakit yang teramat sakit. Rasanya diri ini tak mampu lagi menjalani hidup setelah ini.

“Bagaimana bisa?! semua yang menimpamu karena dia. Kenapa tega dia meninggalkanmu sendirian.”

“Aku tidak tahu. Ibu. Tolong, aku mau masuk ke rumah.”

“Iya, Nak. Tapi tolong jangan sampai ayahmu tahu. Ibu khawatir sakit jantungnya kambuh. Juga adikmu. Kalo sampai tahu, dia bisa menghajar orang itu sampai mati. Ibu tak mau adikmu masuk penjara. Biar pria itu saja yang membusuk di dalam penjara. Kau mengerti, nak?” ibu membelai rambutku.

“Iya.” Aku mengangguk.

“Tenanglah. Ibu selalu ada di sampingmu. Kau tak pernah sendiri.” Mengecup keningku dengan lembut. Kecupan itu terasa begitu hangat. Sejenak aku mampu melupakan kesedihan.

Aku tahu hati ibu sangat teluka melebihi diriku. Namun dia berusaha terlihat tegar. Beliau pasti tidak ingin memperlihatkan kesedihannya di hadapanku. Dengan begitu, semoga bisa seperti ibu yang tak pernah berhenti berharap untuk bisa bangkit dari keterpurukan.

***

Memicingkan mata saat melihat cahaya mentari masuk ke dalam kamar. Kulihat ibu sedang membuka jendela. Terlintas kembali kejadian semalam.

Tubuh menggigil. Menyilangkan kedua tangan di depan dada. Aku sangat takut. Peristiwa itu selalu menghantui. Semalaman tak bisa tidur. Baru setelah subuh mata ini mampu terpejam. Aku benar-benar sangat ketakutan.

Saat melihat gordyn kamar yang bergerak karena tertiup angin saja, aku sudah ketakutan. Bayangan pria durjana itu akan muncul dari balik jendela. Walau  telah membersihkan diri semalam, tubuh ini tetap terasa kotor.

“Aku jijik sama tubuh ini, jijik.” Aku mencakar beberapa bagian tubuh dengan  kasar. Tak peuli dengan rasa sakit akibat tergores oleh kuku. Hati lebih terkoyak. Rasa sakit pada jiwaku melebihi dari luka ini.

“Aira! Apa yang kamu lakukan, Nak?” Ibu mencekal lenganku dengan kuat. Aku terus meronta dan berusaha melepaskan diri.

“Lepaskan, bu. Aira mau mati saja.”

“Istighfar, Nak.  Kau tak boleh bicara begitu. Ini sudah takdir yang harus kau jalani.” Ibu mengelus pipiku dengan lembut. Beliau mencoba untuk membuatku tenang. Rasanya sulit untuk bisa mengembalikan kepercayaan diri ini. Harga diri sudah terkoyak dan takkan mungkin bisa kembali seperti semula.

“Kenapa harus aku yang menjalani takdir seburuk ini, bu? Kenapa Tuhan tidak adil kepadaku?!” aku menghambur ke pelukan ibu.

“Artinya kau adalah manusia yang terpilih. Alloh pasti akan memberikan cobaan sekaligus dengan penawarnya. Suatu saat nanti, kau pasti akan mendapatkan kebahagiaan setelah ini. Percayalah. Badai pasti segera berlalu. Kau hanya perlu waktu untuk bisa memulihkan kepercayaan dirimu kembali.”

“Tapi Aira sudah tak bermahkota. Artinya sudah tidak punya harga diri. Aku sudah kotor. Aku sudah ternoda.”

“Benar itu kakak?! Lalu siapa pelakunya?! Katakan padaku!”

Suara itu bak petir menggelegar. Tanpa menyadari, adik lelakiku satu-satunya sudah berdiri di pintu dan mendengar semuanya. Bagaimana ini. Dia pasti akan berusaha mencari dan menghukum orang itu. Ryan, selalu berusaha membela keluarga. Walau usianya masih enam belas tahun, dia seorang yang sangat berani. Demi membela keluarga, dia mampu melakukan apapun dan tak peduli dengan dirinya sendiri. Diusianya yang masih labil sangat mudah terpicu oleh emosinya.

Aku hanya terdiam. Tak tahu apa yang harus kujawab. Namun ibu bergerak cepat. Beliau segera menenangkan anak bungsunya.

“Ryan. Sabar, Nak. Kamu pasti salah mendengar. Sudahlah. Kamu sekarang sarapan lalu berangkat saja ke sekolah. Ibu sudah masak nasi goreng kesukaanmu.” Ibu mengelus dada adikku. Namun Ryan menepisnya dengan kasar.

‘Tidak, Ibu! Kupingku masih sehat. Aku mendengar sendiri ucapan Kak Aira!“ Ryan mendekat ke arahku. Aku terus menundukkan kepala lebih dalam. Hanya airmata yang mampu menjawab semua pertanyaan adikku.

“Apa Kak Ardi yang melakukannya?! Jawab aku, Kak. Jawab aku?!”

Bukannya menjawab pertanyaannya aku semakin larut dalam tangis.

“Dasar kurangajar!”

Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, Ryan berlalu pergi secepat kilat. Bahkan tak peduli saat ibu berusaha untuk menahan kepergiannya.

 Aku dan ibu sangat khawatir. Kami saling pandang dan tak mengerti apa yang harus di lakukan.

“Bu. Bagaimana ini? Aku tak mau Ryan salah langkah. Ardi tidak bersalah. Jangan sampai dia yang jadi sasaran kemarahan Ryan. Kasihan, bu.”

‘Ibu juga tidak tahu, Aira.”

“Tolong kejar dia, bu. Cegah Ryan. Tolong.”

“Baik, sayang.”

Ibu berlari mencapai arah pintu. Namun langkahnya terhenti seiring dengan suara deru motor milik Ryan yang sudah melesat dengan cepat. Ibu menjatuhkan diri ke lantai. Tubuhnya berguncang hebat tanda kesedihan yang mendalam. Aku segera memeluk ibu. Kami berdua saling bertangisan. Entah apa yang akan terjadi. Ryan pasti akan menghajar Ardi habis-habisan. Aku sangat takut kalau sampai Ardi tidak terima dan melaporkannya ke polisi. Bisa menjadi masalah baru nantinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status