Jika seperti ini keadaannya di mana fitnah juga cacian menghujam tanpa kenal lelah, aku jadi teringat kata seorang penulis terkenal sebut saja Tere Liye, dia berkata 'Tidak masalah sering dihina, dicaci. Banyak orang mulia lahir dari seluruh penghinaan dan cacian'.
Semoga aku mampu bersabar dengan ujian yang diberikan Tuhan. Tidak perlh menulis skenario hidup sendiri karena semua sudah diatur dalam garis takdir setiap insan. Kita hanya perlu ikhlas dan bersabar, tetapi jangan lupa ikhtiar lahir batin.
"Pelakor mending ngaku aja!" sorak salah satu dari mereka yang aku tidak tahu namanya.
"Anakku bukan pelakor. Jangan mentang kami miskin kalian seenak jidat memberi hinaan. Nurul hanya bersandiwara agar Yumna kalian benci untuk menutupi kesalahan sebelumnya. Apa tidak ingat? Apa lupa kalian lebih mengenal Yumna ketimbang Nurul yang bukan orang sini?" Ibu berdiri di depanku laiknya pahlawan. Suaranya gemetar seperti menahan luka yang terus menghantam dada.
"P
Gus Qabil datang dengan seorang temannya mungkin, aku tidak tahu. Dia melangkah cepat dan berhenti tepat di depan ibu. Para tetangga semakin riuh dan saling bertanya siapa dan apa hubungannya lelaki itu denganku.Nurul tersenyum. "Siapa yang merebut suami siapa?" beonya menatap Gus Qabil tajam. "Tanyakan pada perempuan yang ada di dekatmu.""Apa maksudmu?""Yumna telah mencoba menggoda suamiku Mas Ilham. Kemarin dia sengaja pura-pura terjebak hujan, lalu meminjam payung. Sorenya sengaja mengembalikan sendirian padahal niat hati ingin merebut."Ketika melirik ponsel, rupanya sudah hampir masuk waktu zuhur. Mereka betah berdiri karena cuaca yang mendadak mendung sejak tadi. Namun, aku menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."Tuduhan yang kamu beri itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Apa kamu siap?" Dalam keadaan seperti ini, Gus Qabil terlihat mampu menguasai diri."Tidak usah ikut campur!" timpal Nurul, lalu melenggang pergi se
Karena penasaran, aku duduk di samping ibu ingin mendengarkan semua cerita beliau. Namun, kepala sedikit menunduk takut tidak bisa menahan gejolak hati untuk selalu mengagungkan cinta. "Innā lillahi wainnā ilaihi rāji'ūn, terus anaknya sekarang diasuh siapa, Nak Gus?" "Sama umi." Air mata Gus Qabil menggenang ketika aku melihat padanya. Rasa penasaran yang semakin meraja membuatku enggan beranjak. Ibu meminta mereka minum dulu. Sejujurnya ingin bertanya sedang membahas siapa, tetapi takut juga malu. Aku bahkan belum melihat wajah orang yang datang bersama Gus Qabil karena terus menunduk. Setelah menarik napas panjang berulang kali, bibir atasku mulai terangkat. "S-siapa yang meninggal, Bu?" "Istrinya Gus Qabil, Nduk." Spontan aku menutup mulut dengan tangan kiri. Pantas saja beliau terluka sampai ingin menitikkan air mata ketika bercerita. Akan tetapi, aku masih bingung kenapa beliau memberitahu kami. Ah, mungkin karena ibu yang bertan
Pukul empat sore Mas Dika benar sudah pulang, dia langsung membuat kopi dan menyambar cemilan yang ada di meja makan. Aku ingin bertanya hal apa yang membuatnya pulang secepat itu, tetapi dia bilang tidak ingin ditanya apa pun dulu.Mereka mungkin menganggap aku tidak penting sampai seperti ada rahasia yang disembunyikan. Mereka semua bertindak tanpa aku ketahui apalagi melibatkan untuk ikut mengambil peran. Semuanya penuh sandiwara."Mereka datang!" tukas Mas Dika tanpa menatapku."Siapa, Mas?"Tidak ada jawaban, aku langsung mengekor di belakang Mas Dika yang sedang membuka pintu. Rupanya mereka berdua. Baru saja hendak ke kamar, tangan dicekal kuat.Mas Dika menyeret tangan ini dan membuatku duduk di sampingnya. Dia seperti ingin melindungi. Aku hanya diam, tidak ingin pula menatap salah satu dari keduanya. Skenario Tuhan memang tidak bisa kita tebak, kesedihan berganti bahagia dan kini ketegangan."Minta maaf sama Yumna!" titah Mas
"Selama ini kamu mandang rendah aku karena dianggap orang ketiga antara Mas Ilham dan Yumna padahal kamu sadar gak sih kalau kamu itu sudah bersikap munafik!" cerca Nurul, matanya merah. Tidak jarang ketika kita sudah berserah diri, merelakan segalanya, justru di sanalah keajaiban datang dengan tiba-tiba. Meskipun pada kenyataannya pasrah itu tidak semudah membalikkan tangan, tetap harus belajar karena seperti inilah hakikat kehidupan sesungguhnya. Masalah datang untuk membuat kita dewasa. "Tidak usah membela diri, Nurul. Selama ini kamu salah menilaiku dan membuka semua kedokmu. Bahkan sebelum aku mengajakmu bersahabat, bukankah sudah lebih dulu bersikap munafik?" "Apa maksudmu, Amel?" Mas Ilham turut membuka suara. Amel tersenyum sambil mengotak-atik ponselnya, lalu menunjukkan sebuah video. "Video itu aku rekam ketika bersama Yumna dan dia tidak tahu itu. Kamu sendiri bisa melihat Nurul yang melepas jilbab, kan? Dia bersama seorang lelaki dan bukan hanya sekal–" "Cukup!" potong
"Ibu ini memang suka ngerjain anak sendiri. Lihat, Yumna sudah baper padahal cuma bercanda!" tegur ayah membuat senyumku pudar."Tunggu! M-maksud Ayah apa?""Ibumu bercanda, Nduk. Tadi itu Gus Qabil datang bertamu saja, terus bertanya tentang duduk masalah yang kamu alami."Mas Dika terbahak mendengar penuturan ayah. Bibir manyun lima senti karena kecewa, sementara ibu tetap diam seakan tidak ada yang terjadi. Aku merutuki diri sendiri yang mudah dikerjain.Siapa yang tidak bahagia jika dilamar pemuda seperti Gus Qabil. Walaupun sudah duda, tetap saja keren. Menikah dengan pemuda salih nan gagah adalah impian setiap perempuan beragama. Namun, sepertinya hanya sebatas angan."Makanya, jangan ngarep! Gus Qabil gak mungkin suka sama kamu, Yum!" tukas Mas Dika, kemudian kembali melanjutkan tawa."Sudah-sudah, lebih baik sekarang kita semua tidur atau besok akan kesiangan." Kini ibu mulai membuka suara.Aku beranjak masuk kamar. Setelah me
"Ada apa, Amel?" tanyaku setengah berbisik ketika kami berada di kamar yang sudah terkunci.Amel diam, berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan. Aku jadi semakin khawatir merasa ada sesuatu yang terjadi, terlebih ketika mengingat mimpi tadi malam.Bahkan hingga satu menit berlalu, Amel masih mengatup bibir rapat. Matanya terus menatapku seperti mencari jawaban. Aku tidak suka seperti ini karena jantung tidak berhenti berdegup kencang."Amel, ada apa? Terjadi sesuatu?" tanyaku tidak sabar."Aku pikir masalah sudah selesai, Yum," lirih Amel setelah beberapa saat."Maksudnya masalah apa? Aku tidak mengerti."Perempuan berjilbab biru itu mendesah pelan, aku tahu sekarang kalau ada beban yang sedang dibawanya. Seseorang yang memakai ekspresi itu merasa dadanya seperti dihantam batu besar. Aku tahu karena sudah berulang kali merasakan.Tangannya terlihat gemetar, aku semakin tidak sabar. Kenapa Amel mengulur
"Mel, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan tubuh Amel. "Kenapa?" "Ada pesan dari Mas Ilham." Tanpa kata, Amel gegas bangun dan menyambar ponselku. Dia membaca tanpa suara. Air mukanya jelas terkejut. Aku saja sampai shock beberapa detik. "Mas Ilham mengaku kalau yang membajak akun itu adiknya sendiri?" "Lah iya, itu dia tulis sendiri." Amel membaca ulang pesan Mas Ilham, kali ini suaranya terdengar walau pelan. "Yumna, maaf karena aku baru mengirim pesan ini padamu. Sebenarnya yang membajak akun kamu itu adik aku sendiri si Latifah. Dia diajak Nurul dengan janji bakal dibeliin hp baru. Maaf banget, apa kamu marah?" Jelas aku marah karena merusak harga diriku apalagi sampai melibatkan Gus Qabil. Aku yakin Nurul sengaja karena jengkel pada beliau pasal kemarin. Dendam yang terus tumbuh dalam hati memang membinasakan. Amel berdiri dengan berkacak pinggang, dia memaksaku untuk mendatangi Nurul langsung. Memang tebakan kami sebelumnya benar, tetapi aku tidak ingin melabrak karena hanya
Beruntung kami tidak menabrak langsung karena Amel menjatuhkan motornya. Hanya luka sedikit, tidak sampai berdarah. Aku lega, kemudian membantu Amel berdiri."Kamu baik-baik saja, Mel?" tanyaku khawatir."Tidak. Aku tidak baik-baik saja melihat pelipismu berdarah begitu."Aku memegang pelipis dan ada jejak darah di telapak tangan. Amel masih belum kuat berdiri hanya bisa duduk di pinggir jalan, mungkin ada sakit yang tidak bisa ditahannya. Aku memahami.Sembilan menit berlalu, ada mobil putih berhenti di samping kami. Seseorang ke luar dari kursi depan dengan sedikit menundukkan kepala. Dia memakai sarung hitam bermotif, baju kemko dan pecih putih."Kalian baik-baik saja?""Tadi kami hampir menabrak mobil, Gus," jawabku menatap Gus Hanan."Innalillāhi, kalau begitu ikut mobil kami saja, Mbak. Pelipismu juga ada lecet begitu.""Terimakasih, Gus, tapi kami baik-baik saja." Amel ikut menjawab ketika aku menoleh padanya.Tid