"Ada apa, Amel?" tanyaku setengah berbisik ketika kami berada di kamar yang sudah terkunci.
Amel diam, berulang kali dia menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan. Aku jadi semakin khawatir merasa ada sesuatu yang terjadi, terlebih ketika mengingat mimpi tadi malam.
Bahkan hingga satu menit berlalu, Amel masih mengatup bibir rapat. Matanya terus menatapku seperti mencari jawaban. Aku tidak suka seperti ini karena jantung tidak berhenti berdegup kencang.
"Amel, ada apa? Terjadi sesuatu?" tanyaku tidak sabar.
"Aku pikir masalah sudah selesai, Yum," lirih Amel setelah beberapa saat.
"Maksudnya masalah apa? Aku tidak mengerti."
Perempuan berjilbab biru itu mendesah pelan, aku tahu sekarang kalau ada beban yang sedang dibawanya. Seseorang yang memakai ekspresi itu merasa dadanya seperti dihantam batu besar. Aku tahu karena sudah berulang kali merasakan.
Tangannya terlihat gemetar, aku semakin tidak sabar. Kenapa Amel mengulur
"Mel, bangun!" Aku menggoyang-goyangkan tubuh Amel. "Kenapa?" "Ada pesan dari Mas Ilham." Tanpa kata, Amel gegas bangun dan menyambar ponselku. Dia membaca tanpa suara. Air mukanya jelas terkejut. Aku saja sampai shock beberapa detik. "Mas Ilham mengaku kalau yang membajak akun itu adiknya sendiri?" "Lah iya, itu dia tulis sendiri." Amel membaca ulang pesan Mas Ilham, kali ini suaranya terdengar walau pelan. "Yumna, maaf karena aku baru mengirim pesan ini padamu. Sebenarnya yang membajak akun kamu itu adik aku sendiri si Latifah. Dia diajak Nurul dengan janji bakal dibeliin hp baru. Maaf banget, apa kamu marah?" Jelas aku marah karena merusak harga diriku apalagi sampai melibatkan Gus Qabil. Aku yakin Nurul sengaja karena jengkel pada beliau pasal kemarin. Dendam yang terus tumbuh dalam hati memang membinasakan. Amel berdiri dengan berkacak pinggang, dia memaksaku untuk mendatangi Nurul langsung. Memang tebakan kami sebelumnya benar, tetapi aku tidak ingin melabrak karena hanya
Beruntung kami tidak menabrak langsung karena Amel menjatuhkan motornya. Hanya luka sedikit, tidak sampai berdarah. Aku lega, kemudian membantu Amel berdiri."Kamu baik-baik saja, Mel?" tanyaku khawatir."Tidak. Aku tidak baik-baik saja melihat pelipismu berdarah begitu."Aku memegang pelipis dan ada jejak darah di telapak tangan. Amel masih belum kuat berdiri hanya bisa duduk di pinggir jalan, mungkin ada sakit yang tidak bisa ditahannya. Aku memahami.Sembilan menit berlalu, ada mobil putih berhenti di samping kami. Seseorang ke luar dari kursi depan dengan sedikit menundukkan kepala. Dia memakai sarung hitam bermotif, baju kemko dan pecih putih."Kalian baik-baik saja?""Tadi kami hampir menabrak mobil, Gus," jawabku menatap Gus Hanan."Innalillāhi, kalau begitu ikut mobil kami saja, Mbak. Pelipismu juga ada lecet begitu.""Terimakasih, Gus, tapi kami baik-baik saja." Amel ikut menjawab ketika aku menoleh padanya.Tid
"Gak bilang apa-apa, cuma ngetik bacot pakai kapital semua.""Pantas saja!"Saat merasa cukup baikan, Amel pamit pulang. Aku mencegah memintanya istirahat dulu sampai Mas Dika pulang, dia menolak. Entah, sekarang Amel seperti menghindari masku."Kalau begitu aku yang antar! Nanti dijemput Mas Dika sepulang kerja," tawarku lagi.Amel tetap kekeh dengan penolakannya. Aku tidak bisa berbuat banyak selain hanya mengangguk pasrah. Sejujurnya hati merasa tidak tenang kalau Amel pulang sendirian, tetapi dia sangat keras kepala.Lihat saja, dia sudah berada di motornya. Pandai sekali mengambil kesempatan di saat tidak ada ibu di rumah. Amel pulang dengan senyum manisnya. Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiran perempuan itu.***Saat makan siang bersama ibu, ponsel di kamar berdering. Aku gegas menyudahi makan dan melangkah cepat. Takut-takut terjadi sesuatu. Gelas yang sejak tadi aku bawa tanpa sadar jatuh ke lantai hingga pecah berk
"Hidup tidak selalu sesuai rencana karena ada Tuhan yang paling berkuasa. Namun, aku tidak ingin lagi berputus asa atau mencoba jalan yang salah karena pada hikatnya kita akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatan." —Yumna Alishba Nazafarin. *** Kabar Amel masih belum ada, begitu juga dengan Mas Dika. Aku bisa merasakan bagaimana khawatirnya masku itu. Ya, semua karena cinta jadi pasti tidak akan kembali atau bisa tidur tenang jika belum menemukan sosok yang dicarinya. Bukan hanya itu, kehadiran Gus Hanan dan buku yang diserahkan pada ibu turut menambah pikiran. Pasalnya sejak menerima buku itu, ibu masih mengurung dalam kamar. Aku tahu beliau sedang membaca semua isinya. Sebuah amanah agar tidak memberitahu yang lain menjadikan ibu pelit berbagi. Aku penasaran dengan dua kakak beradik itu. Apa yang terjadi sampai menyerahkan buku segala? Bersamaan pula dengan hilangnya Amel. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal karena belum bisa memecah teka-teki. Ponsel masih hening, tidak ad
Mas Dika mengantarku pulang ketika mendengar Mama Amel menyampaikan maksud anak sambungnya. Aku tahu ada rasa tidak enak di raut wajahnya. Mau bagaimana lagi karena orang sakit memang harus dituruti.Aku seperti musafir yang mengembara tanpa tujuan. Teman di rumah sakit dan tidak mau dijenguk, masa libur beribadah belum usai, pun masa mengaji di Ustaz Hasan belum dimulai. Ke mana kaki melangkah seharusnya sementara selain Amel, aku tidak punya teman."Turun, mas mau ke toko dulu, kerja lembur malam ini karena izin tadi."Aku turun dari motor tanpa merespons Mas Dika. Hati terasa hampa bahkan hampir saja muntah karena kepala pusing. Bagaimana jadinya jika Amel tidak mau bertemu dalam kurun waktu panjang? Dulu banyak kesibukan karena masih mahasiswi, setelah Mas Ilham datang menghancurkan segalanya aku jadi seperti pengangguran banyak acara.Patutkah menyalahkan Mas Ilham atas keputusan yang aku buat dahulu? Apakah penyesalan ini akan mendapat sesuatu yang
"Setelah ditelfon Mas Dika aku pikir semuanya sudah berakhir, Bu. Mas Dika marah-marah karena Amel hilang, aku jadi takut dan menyangka sudah tidak dianggap penting lagi. Ketika sendiri tak ada yang mengingatkan, iman memang mudah goyah. Akhirnya, keputusan untuk bunuh diri sudah bulat. Beruntung Gus Hanan datang dan mengingatkanku yang sudah putus asa.""Apa pun yang terjadi, jangan pernah melakukan itu lagi atau ibu tidak akan pernah menganggapmu anak dunia akhirat, tidak akan pernah rida dengan setetes air susu yang kamu minum."Aku mengangguk lemah, kemudian membuang napas kasar. Berarti tadi Gus Hanan berperan sebagai pahlawan karena menyelamatkanku dari murka Allah dan orangtua. Entah bagaimana caraku nanti membalas kebaikannya."Bu, tadi Mas Ilham menelfonku."Ibu yang baru saja berdiri kembali duduk. "Apa katanya?"Aku ceritakan semua tanpa menyembunyikan apa-apa. Mata ibu langsung berair, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Beliau menasihati u
"Yumna!" panggil ayah membuatku berteriak karena kaget. Pintu kamar terbuka lebar, aku jadi ketahuan telah menguping. Ayah menautkan kedua alis menatap ibu yang terkejut melihatku. Asli, tertangkap basah itu sangat memalukan. "Kamu nguping pembicaraanku dengan ibu?" tanya Mas Dika seperti sengaja membuatku kena marah. "Pembicaraan apa?" Ayah ikut bertanya. Ibu mendekat pada ayah dan membisikkan sesuatu. Aku kesal karena hanya sendirian yang tidak tahu perkara ini. Mereka berdua langsung pergi meninggalkanku sendirian yang masih diselimuti rasa kesal. Mas Dika tertawa menang dari kejauhan, aku sampai ingin melayangkan tinju kalau saja mampu. Mereka curang dan aku dianaktirikan. Cahaya matahari sudah menembus masuk rumah, Mas Dika dan ayah pun pamit pada ibu, sekali lagi tidak untukku. Mereka bertiga kompak sekali membuat si Cantik penasaran. Kalau aku mati, pasti ada rasa menyesal di hatinya. "Ibu, jadi Gus Qabil bakal nikah sama siapa?" tanyaku semakin penasaran begitu melihat ib
"Kapan aku bilang susah move on?" Aku berkacak pinggang. "Asal kamu tahu ya, walau kamu berikan Mas Ilham dengan cuma-cuma, aku gak bakal nerima!" "Lalu siapa yang nangis-nangis kemarin?" "Itu cuma masa lalu yang tidak patut dibahas lagi sekarang. Kamu mending pulang deh, kasihan ngeliat kamu memaksakan senyum begitu. Cemburu karena suami dan adik iparmu datang ke sini meminta maaf?" Nurul menatap tajam, kedua tangannya terkepal kuat. Aku tahu dia sangat marah, tetapi tidak bisa berbuat banyak. "Sudahlah, lebih baik kamu pulang untuk menenangkan diri. Lama di sini bisa membuat garis kerutan di wajahmu karena marah." Aku mendekat dan mengambil sapu tadi, kemudian masuk rumah. Bukan maksud membalas kejahatan dengan kejahatan pula, tetapi memberi pelajaran agar berhenti mengusik orang lain. Aku malah berharap Nurul taubat dan hidup rukun dengan suami dan semua orang. Aku bukan orang yang pandai mengendalikan amarah apalagi jika terus diko