Kiara menggeliat tertahan, suara ringisan terdengar dari bibirnya. Kedua kelopak matanya bergerak, sebelum akhirnya secara perlahan mulai terbuka. Gadis yang kini sudah menjadi seorang wanita itu mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, ia mencari kesadarannya.
Wanita itu memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum kembali terbuka dan menunduk. Kedua mata Kiara menatap sendu ke arah tangan kekar Victor yang melingkar di perut rampingnya, seketika air matanya kembali luruh saat mengingat kejadian semalam. Kejadian yang membuat hidup Kiara semakin hancur. Kiara menyingkirkan tangan Victor, wanita itu mencoba beranjak bangun dengan susah payah, ia duduk dan menoleh ke arah Victor. Hatinya kembali merasakan sesak saat bagaimana Victor berkali-kali melakukan hal gila kepadanya, Kiara mengusap air matanya, ia menuruni ranjang dan meraih kemeja Victor. Memakainya, lalu bergegas melangkah keluar dari kamar Victor dengan langkah yang susah. "Shhss, sakit sekali," gumam Kiara saat merasakan perih pada pangkal pahanya, ia terus berusaha agar cepat sampai di kamar pribadinya sebelum seseorang melihatnya. Setibanya di kamar, Kiara masuk ke dalam kamar mandi. Wanita itu menghidupkan shower dan membiarkan tubuhnya terguyur oleh dinginnya air, di bawah guyuran air tersebut. Kiara meluruhkan tubuhnya ke lantai, ia menangis, dan menggosok tubuhnya dengan kasar. Bahkan Kiara mencakar-cakar tubuhnya, melampiaskan segala rasa sesak yang bersarang di benaknya. "Jijik, kau sangat menjijikkan. Kiara, bagaimana bisa kau tidur bersama mertuamu sendiri? Bagaimana bisa, Kiara!" jerit Kiara, ia menangis histeris. Memukul dadanya yang teramat sesak, Kiara terus menggumamkan kata jijik. Wanita itu merasakan jijik pada tubuhnya sendiri, sampai akhirnya Kiara masuk ke dalam bathtub. Mengisinya dengan penuh, Kiara menenggelamkan tubuhnya berkali-kali Sementara itu, Victor baru saja terbangun dari tidurnya. Pria itu meringis saat merasakan sakit pada kepalanya, ia memegang kepalanya dengan beranjak bangun secara pelan. Saat mencari kesadarannya, Victor melihat bercak darah yang ada di spreinya. "Shit! Apa yang kau lakukan, Victor?" umpatnya, ia memejamkan kedua matanya. Mencoba mengingat apa yang telah terjadi, ketika mengingatnya. Victor memukul kepalanya sendiri. "Bodoh! Bagaimana bisa kau menodai, Kiara. Sialan!" Victor mengerang, serbuan rasa sakit bercampur menjadi satu dengan perasaan khawatir.Victor melirik kembali bercak darah yang ada di spreinya, membuat dahinya seketika mengernyit. Jika aktivitasnya semalam membuat Kiara mengeluarkan darah, bukankah berarti Edwin belum pernah memberikan nafkah batin pada Kiara sama sekali?
Yang Victor tahu, anaknya memang menikahi Kiara secara mendadak. Karena selama ini Victor pun tak pernah memberikan penekanan untuk menikah pada Edwin, Victor tentu tak pikir panjang. Anehnya, meskipun Victor jelas memiliki kemampuan untuk mengacarakan pesta besar-besaran untuk merayakan pernikahan anaknya, Edwin justru meminta pernikahannya diadakan secara rahasia, dan lagi-lagi, Victor tak begitu menghiraukannya. Namun, dirinya memang kerap merasa aneh ketika Kiara dan Edwin berada di sekitarnya, seolah keduanya adalah pasangan palsu.
Mengingat itu, Victor pun kini menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan segera turun dari ranjang. Victor melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk bergegas. Pria itu bertekad, bahwa dia harus mencari tahu fakta dibalik pernikahan anaknya yang mendadak.
Tak lama kemudian, Victor sudah selesai dengan ritual mandinya, ia memunguti pakaian Kiara yang ia robek semalam. Lagi-lagi, ia kembali menyesali perbuatannya. Biasanya, Victor tak pernah pulang ke rumah ketika dirinya mabuk berat, dan memilih untuk menghabiskan malam bersama wanita panggilan di hotel. Namun entah apa yang ada di pikirannya, hingga ia memutuskan pulang, dan berujung mengambil keperawanan menantunya sendiri. "Dimana Kiara?" tanya Victor pada Paula, pelayan di rumahnya, saat tidak melihat batang hidung Kiara di sekitar rumahnya. "Nona Kiara ada di kamarnya, Tuan. Suhu tubuhnya sangat panas, sepertinya Nona Kiara demam," jawab Paula. Mendengar itu, Victor seketika panik. "Kau sudah berikan obat, kan?"Tak menunggu jawaban dari pelayan, Victor beranjak bangun dan berlari menuju kamar Kiara yang terletak di lantai tiga.
Setibanya di kamar Kiara, Victor mendekati ranjang, ia melihat Kiara yang tengah memejamkan kedua matanya dengan tubuh yang menggigil. Victor sangat khawatir, sampai membuatnya lupa jika bisa saja tindakannya menyebabkan orang lain curiga. Victor juga tau jika Edwin dan Kiara memiliki kamar yang terpisah, sebab Edwin pernah menjelaskan jika Kiara juga membutuhkan privasi. Namun setelah melihat fakta jika Kiara masih gadis, Victor yakin jika bukan hanya alasan privasi. "Kia," bisik Victor, pria itu duduk di bibir ranjang. Tangan besarnya mengelus lembut rambut Kiara. "Badanmu panas sekali, kita ke rumah sakit ya?" Victor ingin menggendong Kiara, namun urung ia lakukan saat Kiara terbangun dan terkejut. "Menjauh! Jangan menyentuhku!" Kiara mendorong Victor, wanita itu nampak ketakutan melihat Victor. Bahkan kini wanita itu bergerak menjauh. "Pergi, Dad. Aku mohon pergilah, jangan sentuh aku. Aku menjijikkan, pergilah ... aku mohon," mohon Kiara dengan suara bergetar, air mata wanita itu terus luruh membasahi pipinya. Ekspresi ketakutan tergambar jelas di wajahnya. Victor yang melihat Kiara sontak merasakan sesak pada benaknya, ia merasa bersalah kepada Kiara. Apalagi melihat Kiara yang sangat ketakutan seperti ini, dan lagi—Victor tidak sengaja melihat beberapa luka di tubuh Kiara. Yang bisa di pastikan jika Kiara sempat melukai tubuhnya sendiri. "Aku tidak akan melakukan apapun, Kia. Aku ingin membawamu ke dokter, dan untuk permasalahan semalam, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud menyentuhmu. Kamu boleh membenciku, Kiara. Tapi yang jelas, aku siap untuk bertanggungjawab, karena bagaimana pun, aku yang sudah mengambil kesucianmu," ucapnya tanpa sadar. Kiara menggeleng keras, wanita itu semakin menangis histeris. Kiara menutup kedua telinganya, air matanya terus mengalir. Bersamaan dengan tubuhnya yang bergetar hebat. ''Tidak, lebih baik sekarang Daddy pergi. Kiara mohon, Kiara tidak ingin mendengarkan apapun lagi!" jerit Kiara dengan isak tangis yang terdengar memilukan, membuat Victor mengalah. "Baik. Sekali lagi maafkan, Daddy." Victor mendesah pelan, pria itu menatap Kiara sejenak. Sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan Kiara. "Paula," panggil Victor kepada kepala maidnya, ia mendekati Paula. "Ya, Tuan?" Paula menunduk hormat ke arah Victor. "Kau sedang membuatkan makanan untuk Kiara?" tanya Victor saat ia melihat Paula yang tengah membuat bubur. "Benar, Tuan. Saya sedang membuatkan bubur untuk Nona Kiara, dan setelah itu mengantarnya ke kamar," jawab Paula, Victor mengangguk. "Antarkan obat untuk Kiara juga, jika suhu tubuhnya tidak berubah. Kau bisa membawanya ke rumah sakit, katakan kepadaku berapapun biayanya," titah Victor. "Baik, Tuan. Saya akan membawa Nona Kiara ke rumah sakit jika obatnya tidak memiliki efek," "Hm, jangan lupa mengabariku jika terjadi sesuatu kepada Kiara," "Baik, Tuan," jawab Paula kembali, Victor tidak menjawab. Pria itu langsung melangkah pergi. ** "Aku ingin kau selidiki Edwin, dan bagaimana bisa putraku menikah dengan Kiara, Jangan lupa selidiki hubungannya bersama Cecilia, aku ingin kau mendapatkan hasilnya dengan cepat," titah Victor, ia menatap tajam ke arah Joshua, asisten pribadinya, ketika dirinya telah sampai di perusahaan miliknya. "Saya akan segera mendapatkan informasinya. Tuan," ucap Joshua. "Bagus, setelah ini kirimkan satu anak buahmu untuk mengawal Kiara dari jauh. Perintahkan dia untuk melaporkan hasilnya kepadaku, karena aku semalam tidak sengaja mengeluarkan benihku berkali-kali di dalam rahimnya," "Baik Tuan," "Pergilah," ucap Victor, Joshua segera bangkit dan berpamitan kepada Victor. Pria itu segera melangkah pergi meninggalkan Victor, seperginya Joshua. Victor menghembuskan nafasnya pelan, ia mengusap wajahnya kasar. Lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kerja. "Bodoh jika kamu merahasiakan sesuatu dari ayahmu sendiri, Edwin."Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar, menyoroti ranjang besar yang masih berantakan sisa malam penuh gairah. Kiara terbangun lebih dulu, hanya mengenakan jubah satin tipis. Di sampingnya, Victor masih terlelap, wajah dinginnya terlihat begitu damai saat tidur.Namun tawa kecil dari lorong memecah keheningan. “Mamaaa…” suara cadel memanggil.Pintu kamar berderit terbuka, menampakkan Kenneth yang menyeret boneka beruangnya, dan Felix yang berlari kecil sambil cekikikan. Keduanya, kembar berusia satu tahun, tampak seperti malaikat kecil yang baru saja turun dari surga.“Sayang-sayang mama sudah bangun, ya?” Kiara segera bangkit, meraih keduanya ke dalam pelukan. Ia menciumi pipi chubby Kenneth dan Felix bergantian, membuat mereka tertawa riuh.Victor bergumam pelan, membuka mata. “Tuhan… aku bahkan belum sempat minum kopi, tapi sudah punya tiga malaikat di kamarku.”Kiara terkekeh. “Malaikat? Lebih mirip duo nakal.”Felix langsung merangkak ke atas ranjang, menindih perut ayahny
Mobil hitam itu melaju menembus jalanan malam, kaca-kaca masih berembun dari panas yang mereka ciptakan sendiri. Kiara bersandar di dada Victor, napasnya masih belum sepenuhnya kembali normal.Namun, Victor tak banyak bicara. Tangannya tetap di setir, wajahnya dingin tapi matanya menyimpan bara yang tak kunjung padam.“Kenapa kau diam?” tanya Kiara lembut, ujung jarinya menggambar garis tipis di pergelangan tangan suaminya.Victor melirik sekilas, lalu menaruh tangannya di paha Kiara—erat, penuh kepemilikan. “Aku masih berusaha waras. Kau membuatku kehilangan kendali, Kiara.”Senyum kecil tersungging di bibir wanita itu. “Bukankah kau menyukainya?”Victor mengerem pelan saat lampu merah menyala. Ia menoleh penuh, wajahnya begitu dekat hingga Kiara bisa merasakan hembusan napasnya. “Aku menyukainya... tapi aku juga benci. Karena aku tahu semua pria di pesta tadi menginginkanmu. Dan aku—aku tidak pernah tahu bisa merasa seposesif ini.”Kiara mengangkat dagunya sedikit, menantang. “Bukan
Langit malam menjingga saat Victor dan Kiara melangkah keluar dari mobil mewah hitam mereka, disambut kilau lampu taman dan alunan musik jazz yang lembut dari dalam mansion bergaya kolonial milik rekan bisnis Victor. Suara tawa halus dan denting gelas sampanye mengisi udara, membawa aroma elegan dari pesta eksklusif itu.Victor tampil dalam setelan jas armani berwarna abu-abu gelap yang membentuk tubuh tegapnya dengan sempurna. Dasi hitamnya rapi, dan sikapnya seperti biasa—tenang, dingin, penuh kuasa. Namun malam ini, tak satu pun mata tertuju padanya.Semua mata memandang wanita di sisinya.Kiara mengenakan gaun hitam panjang berpotongan rendah di dada, dengan belahan tinggi di paha yang menyibak langkahnya. Kain satin yang membungkus tubuhnya memeluk setiap lekuk dengan anggun, seolah diciptakan khusus untuknya. Rambut panjangnya disanggul sebagian, membiarkan beberapa helaian jatuh liar membingkai wajah cantiknya. Bibir merahnya melengkung dalam senyum memikat, dan matanya berkila
Keesokan paginya, cahaya lembut itu memantul di dinding berlapis aksen emas, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan udara segar pagi. Aroma kopi yang baru diseduh dari mesin espresso di sudut ruangan bercampur dengan wangi samar parfum Kiara yang selalu memikat.Victor baru saja selesai mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tetesan air sesekali jatuh dari ujung-ujungnya saat ia menggosok kepalanya dengan handuk kecil. Ia hanya mengenakan celana panjang linen hitam yang tergantung rendah di pinggulnya, memperlihatkan garis otot perut yang terpahat sempurna. Dengan langkah santai, ia keluar dari kamar mandi, berniat mengambil kemeja dari lemari. Namun, langkahnya terhenti seketika. Ia meneguk salivanya, matanya terkunci pada pemandangan di depannya.Kiara berdiri di dekat cermin besar bergaya art deco, tubuhnya dibalut g-string merah yang begitu menggoda, dengan tali tipis yang nyaris tak terlihat melingkari pinggul rampingnya. Sehelai bra renda senada membingkai lekuk tubuhnya
Malam hari menyapa penthouse mewah keluarga Anderson dengan langit New York yang berkelip lembut dari balik jendela kaca besar. Kota itu tampak hidup, namun di dalam, kehidupan yang jauh lebih hangat sedang berlangsung—bersama dua bocah laki-laki berusia satu tahun yang menjadi pusat semesta pasangan kuat ini.Di ruang keluarga yang didesain dengan nuansa hangat dan elegan, karpet lembut membentang di atas lantai marmer. Mainan edukatif premium berserakan rapi, dan aroma lembut lavender menyebar dari diffuser di sudut ruangan.“Ken... jangan ganggu Felix, Sayang,” ucap Kiara sambil tersenyum lembut, membetulkan posisi duduk Kenneth yang tengah berusaha merebut boneka singa dari saudara kembarnya.Felix meringis kecil, matanya bulat menatap sang ibu, lalu tiba-tiba menghambur ke arah Victor dengan tangan terentang. “Pa...pa...”Victor yang tengah melepas dasi dan jasnya segera berjongkok, menyambut bocah kecil itu ke dalam pelukannya. “Felix-ku! Sudah belajar manggil Papa, ya?” bisikny
Cahaya pagi menelusup masuk melalui jendela kaca setinggi langit-langit, menyinari interior elegan ruang rapat utama Anderson Corporation yang berada di jantung kota New York. Lampu gantung kristal berkilau lembut di atas meja konferensi panjang berlapis kayu walnut Italia, dikelilingi pria dan wanita dalam setelan rapi dan penuh kharisma. Victor Anderson duduk di kepala meja, tegap dan tak tergoyahkan dalam balutan jas bespoke berwarna charcoal, kemeja putih bergaris tipis dan dasi sutra biru navy. Wajahnya tak menunjukkan emosi, namun jemarinya yang mengetuk permukaan meja menunjukkan ada yang tak sabar bergolak dalam dirinya. Di layar besar, grafik pertumbuhan pasar ditampilkan dengan presisi. Presentasi tengah berlangsung, namun Victor hanya sesekali meliriknya. “As expected,” ucapnya datar namun menohok, setelah kepala divisi pemasaran selesai memaparkan. “Namun ekspektasi saya bukan hal yang biasa. Saya menginginkan progres, bukan stabilitas semu.” Ruangan hening. Bebera