Dia sedikit terdiam, kemudian mendorong bahuku agar terlepas dari bibir seksinya. Uh, manis sekali.
"Apa yang kau lakukan?" ucapnya, setengah membentak.
"Menciummu. Kau tak sadar?" Aku tertawa geli.
Lalu terdengar suara batu berbenturan, bekas langkah gadis yang tadi menyaksikan aksi kami. Kahfi langsung menoleh ke belakang. Raut wajahnya kembali gusar, melihat kekasihnya setengah berlari sambil mengusap air mata. Dasar cengeng!
Pria berpostur tinggi tegap itu langsung mengambil langkah untuk menyusulnya. Meninggalkanku begitu saja tanpa bilang permisi. Dimana sopan santunnya. Tapi kurasa dia terlambat, pintu rumahnya sudah tertutup dari dalam. Ouh, kasihannya temanku itu.
Pasti gadis itu sedang berdiri bersandar di balik pintu, menutup mulut agar suara tangisnya tak terdengar dari luar. Tempat si bodoh itu berdiri dan mengetuk dengan pelan. Klise, aku sudah sering melihat adegan seperti itu di drama-drama menyedihkan.
Oh, shit. Aku memukul nyamuk yang menggigiti paha yang selalu kurawat. Kahfi sungguh tega meninggalkanku sendirian dengan nyamuk sebanyak ini. Mau berapa lama lagi dia berada di situ?
Aku memutuskan untuk duduk di depan pagar. Seperti trotoar jalan yang di semen untuk menutup parit. Terhinanya aku. Yah, daripada kebas karena terlalu lama berdiri.
Beberapa menit kemudian dia muncul dengan langkah pelan. Masih dengan raut wajah kecewa dan juga menyedihkan. Usahanya pasti tidak berhasil. Sayonara pacaran.
"Kau masih di sini?" Kini kedua tangannya sudah bertengger di pinggangnya. Apa dia sedang memarahiku?
"Sure. Aku menunggumu. Kita bisa pulang bersama." Aku langsung melompat untuk berdiri. Kemudian mengaitkan tanganku ke lingkaran tangannya tadi.
"Minggir, kau!" Dia mengelak, dan melepaskan rangkulanku. Kemudian berjalan duluan.
"Kau masih marah?"
Dia diam. Tak menjawab dan terus melangkah.
"Dia masih terlalu kecil, Fi. Sikapnya juga kekanak-kanakan," bujukku lagi.
"Kau yang kekanak-kanakan." Dia mengusap kasar rambutnya. Berjalan sambil menendang batu-batu kecil yang ada di depannya.
"Kenapa kau melakukan itu?" tanyanya lagi.
"Yang mana? Menciummu?" Aku kembali terkekeh. "Kau sudah tahu aku sering berbuat gila. Kenapa tiba-tiba heran?"
"Jangan mengorbankan aku dengan kegilaanmu. Astaga, Key. Kau baru saja menciumku. Kau pikir itu lucu, ha? Dimana harga diriku sebagai laki-laki!" rutuknya dengan gigi merapat.
Aku kembali tertawa. Entah kenapa hatiku begitu senang melihat dia marah seperti ketakutan.
"Hohoho, kau merasa ternoda, ya?" godaku. "Tenang saja. Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu. Kau puas?"
"Kau benar-benar mabuk, Key!" Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan kuat, lalu mempercepat langkahnya.
"Tunggu aku, Fi. Aku sangat lelah!" Aku berlari, dan melompat. Menabrakkan tubuh, hingga sampai melingkarkan lenganku ke lehernya.
"Gendong aku!" Aku naik begitu saja tanpa persetujuan darinya.
"Dasar gadis liar! Sakit jiwa. Kau tidak sadar kalau tubuhmu bertambah berat, ha?"
Dia terus saja mengoceh sepanjang jalan, menyusuri jalanan kecil menuju rumahnya. Dan aku masih terus menyandarkan kepala dalam gendongannya.
Hangat. Satu-satunya orang yang selalu menerima maaf dari kesalahanku.
.
Aku terbangun saat sinar matahari masuk dari sela-sela jendela dan menyilaukan mata. Aku memegangi kepalaku yang kini terasa berdenyut. Oh, tidak. Aku bahkan lupa jam berapa Kahfi mengantarku pulang malam tadi.
Aku mengingat-ingat apa yang terjadi. Kami minum di sebuah bistro, dan mengobrol sepanjang malam. Seperti biasa, dia pasti bosan mendengar celotehku. Tentang kehidupanku yang tidak seberuntung dirinya.
Kahfi bukan dari golongan kaya raya. Ayahnya dulu hanya supir yang mengantarku ke sekolah dari TK hingga lulus SMP. Kemudian meninggal, akibat penyakit tipes yang dialaminya. Tentu saja aku dan dia masih berteman, karena Papa masih memberikan kompensasi biaya sekolahnya hingga masuk kuliah.
Namun itu tak bertahan lama, Mama mengamuk karena menganggap Papa ada afair dengan ibunya, yang notabenenya adalah seorang janda. Tuduhan yang akhirnya membuat malu diri Mama sendiri.
.
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Kemudian terbuka, sebelum sempat aku mengizinkannya masuk. Dia berdiri memandangiku yang terlihat berantakan. Ada segelas jus guava di tangannya.
"Minumlah!" Erik mengulurkan benda yang dipegangnya. "Mama membuatkannya untukmu."
Aku menerimanya dengan malas, kemudian meneguknya sampai habis. Kurasa sari buah ini bisa menghilangkan rasa pusing di kepalaku.
"Membuat apanya!" Aku berdecih. "Ini hanya jus buah dari kotak kemasan. Kau pikir aku tidak tahu, ha?" Aku mengulurkan gelas kosong kembali padanya.
Aku kembali menjatuhkan kepala yang masih terasa berat ke atas bantal. Memunggungi laki-laki yang berstatus sebagai kakak tiriku itu.
"Lain kali kalau mau pulang hubungi aku. Biar aku saja yang menjemputmu. Tak perlu selalu merepotkan orang lain."
Aku membalikkan badan. Menyipitkan mata ke arahnya. Lalu bangkit dan meraih kerah kemejanya. Dia tak melawan. Hanya sedikit mengelak sambil menahan napas. Mungkin tidak tahan dengan bau alkohol dari tubuhku.
"Kahfi bukan orang lain. Jangan berani-berani kau menyebutnya seperti itu. Dia lebih berarti bagiku daripada kalian semua. Kau dengar itu?" Aku melepaskan cengkramanku, dan mendorong tubuhnya.
"Ya, aku tahu."
"Baguslah, jadi jangan ikut campur lagi urusanku."
"Kau menyukainya?"
Oh, no. Pertanyaan macam apa itu? Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang dia menanyakannya. Bukan baru sekali ini saja dia mengantarku pulang dalam keadaan mabuk.
"Apa yang membuatmu bertanya? Kau iri, karena aku tak menelepon untuk menjemputku? Kau ingin menguasaiku saat aku sedang mabuk? Kau ingin mengambil kesempatan itu, Erik?" Aku tertawa mengejek. Mengerti kalau selama ini dia masih tertarik padaku. Atau mungkin hanya tubuhku.
"Kalau iya, kenapa?" ucapnya. Aku semakin tertawa.
Jadi kau benar-benar iri padanya? Setelah sekian lama? Ke mana saja kau selama ini saat aku tengah bersamanya?""Tapi baru malam itu aku melihatmu menciumnya. Apa kau menikmatinya? Atau hanya mengerjainya?""Oh, shit. Brengsek kau, Erik. Kau memata-mataiku?" Aku memukul dadanya secara brutal.Dia tak melawan. Hanya terkadang sedikit mendongak, agar aku bisa lebih leluasa memukulinya."Tak perlu menunggu kau mabuk jika ingin mendapatkanmu. Kalau aku mau, saat ini pun aku bisa memaksamu melakukannya," geramnya, sambil menangkis dan mendapatkan kedua tanganku di genggamannya. Lalu mendorong tubuhku ke atas ranjang hingga terduduk, hampir terlentang.Dia terus menatapku dengan tajam, tentu saja aku semakin menantang. Pantang bagiku terlihat lemah dan takut di hadapan mereka. Lalu ia pun bergegas keluar dan membanting pintu.Fiuhh... aku selamat.*Aku kembali mengunjungi kios Kahfi usai melakukan pemot
Kau sudah tidak waras, Key. Tanggung jawab seperti apa itu?" Dia menekan ujung rokoknya di atas kursi hingga padam."Kau seharusnya senang, Fi. Kau sangat beruntung bisa mendapatkan aku," sahutku penuh percaya diri. Dia terkekeh mendengarnya."Kenapa kau tertawa? Kau pikir aku bercanda? Ayo temui Ibumu. Aku akan bicara padanya."Dia semakin tergelak sampai menggelengkan kepalanya. Dasar sialan."Mabukmu belum juga hilang rupanya. Biar kubuat kau agar sadar." Dia bangkit, sambil mengambil semprotan air yang biasa ia gunakan untuk membasahi rambut atau membersihkan wajah pelanggannya."Hentikan itu, Fi. Aku tidak mabuk. Kau membuatku basah. Dasar sialan!" umpatku, sambil merebut benda yang digunakannya itu."Oh, begitu. Baiklah. Jadi kau sudah sadar? Kurasa kau ingin sekali menikah denganku, ya? Kau iri karena aku punya pacar?""Kalian baru putus. Kau yang sudah tidak tahan ingin menikah. Jadi aku berbaik h
Kau tidak serius soal menikahi Kahfi, kan?" cecarnya tanpa basa-basi lagi."Bukan urusanmu. Kau sudah melihat kami berciuman. Masih bilang aku bercanda?""Kau hanya bermain-main, Key. Kau hanya ingin membuat Papamu marah. Kau sudah gagal. Jadi, cepat batalkan niatmu itu.""Memangnya kau siapa, berani mengatur hidupku?""Aku mengenal semua teman kencanmu, Key. Kahfi bukan termasuk kriteria seperti mereka.""Sudah kubilang jangan menilai Kahfi di depanku. Tentu saja dia berbeda dari para bedebah itu. Mereka tak sama, dan aku tidak ingin kehilangan laki-laki seperti dia.""Pikirkan lagi, Key," ucapannya sedikit melunak. "Jangan anggap pernikahan seperti mainan yang biasa kau mainkan. Kau bisa menyakiti perasaannya.""Oh, my brother. Mulia sekali hatimu," sindirku dengan nada mendayu. "Kau sedang memikirkan perasaannya, atau perasaanmu?" Telunjukku kini telah menempel di dagunya.Aku mendekatkan wajah, merasakan h
Aku menoleh ke belakang, dan kulihat laki-laki berambut lurus lagi lebat itu, tengah berdiri menatapku."Kak Key serius?" tanya Sifa tiba-tiba."Hush. Jangan sembarangan!" bantah Ibunya.Aku hanya bolak balik memandang mereka secara bergantian, lalu mengangkat bahu. Kuserahkan padamu, Fi..Kahfi mengantarku keluar hingga menuju ke mobil. Meminta aku menunggu, karena dia akan berbicara pada Ibunya. Padahal apa susahnya tadi, ia hanya tinggal menyambung saja ucapanku. Atau ada ritual khusus, yang aku tidak boleh tahu?Oh, ya ampun. Dia membuatku menjadi pusing saja. Kupikir membicarakan sesuatu itu adalah hal yang sangat mudah. Hanya mengatakan kami akan menikah, sudah. Dasar lamban.Aku terpaksa pulang, setelah dia menjanjikan pasti datang malam ini. Yeah, ternyata dia masih takut dengan ancamanku. Tentu saja dia akan kehilangan muka di depan Papa, jika aku sampai benar-benar mengatakan bahwa aku sedang h
"Aku tak tahu lagi harus bicara apa, Key. Aku cemburu. Benar-benar cemburu melihat kau bersamanya," ucapnya dengan napas yang naik turun."Lepaskan aku, bodoh!" makiku, menggerakkan kedua tanganku yang kini terkunci di tembok. Tangannya terus menekan hingga aku tak bisa melepaskan diri."Kumohon. Belum terlambat untuk kita, Key. Aku tak mau lagi menjadi kakak tiri bagimu. Kau tahu sendiri bagaimana perasaanku.""Sialan kau bajingan. Beraninya bicara seperti itu setelah kau dan keluargamu menghancurkan keluargaku. Menghancurkan seluruh hidupku. Kau brengsek Erik. Kalian semua bajingan!" Aku berteriak histeris.Tanpa sadar aku mulai menangis. Mengeluarkan air mata, yang selama ini kutahan agar tak terlihat di hadapan mereka."Maafkan aku, Key. Bukan hanya kau saja. Aku dan Elena juga sama hancurnya seperti perasaanmu saat ini. Kita semua korban, Key."Kulihat matanya memerah, ada yang ikut menggenang di pelupuk matanya. Menat
Aku dan Kahfi baru saja turun dari taksi online. Dia langsung membawaku ke rumah yang selama ini dia tempati bersama Ibu dan adiknya. Aku menyukai rumah ini, juga para penghuninya."Tidak ke rumah mertuamu dulu, Fi?" Ibu mertua menyambut kedatangan kami."Key ingin langsung pulang ke sini," sahut suamiku. Aku memasang senyum termanis di depan Ibu dan juga adik iparku."Kamarnya belum dibereskan. Kami pikir masih akan lama di sana.""Kamar yang mana? Nanti aku rapikan.""Pakai kamar Ibu saja. Tempat tidurnya lebih besar.""Tidak mau!" sanggahku segera. "Aku mau tinggal di kamar Kahfi." Aku kembali melebarkan senyumku..Untuk sekian lama, aku tak pernah lagi memasuki ruangan ini. Tak banyak berubah. Warna cat dan juga perlengkapannya masih sama sejak terakhir aku memasukinya.Kahfi selalu mengunci pintu dan melarangku untuk masuk sejak dia masuk SMP. Saat itu aku masih kelas lima SD. Sama sek
Aku memperhatikan dia yang sedang memasang karpet berwarna coklat muda. Bulunya terlihat begitu tebal, dan sepertinya sangat halus. Disusunnya dua buah bantal, kemudian duduk bersantai di atasnya."Ke sini!" Dia menepuk sisi di sebelah kanannya. Aku membuang pandangan, masih tak terima dengan sikapnya tadi."Kau marah?""Menurutmu?""Berhenti merokok. Tak baik untuk kesehatanmu.""Are you crazy? Kenapa baru sekarang? Sudah bertahun-tahun kau membagi rokokmu padaku.""Sekarang berbeda. Aku melarangmu.""No, Kahfi. Aku tidak mau. Aku akan membelinya sendiri, dan aku tidak akan membaginya denganmu." Aku memutar bola mata, malas."Coba saja lakukan itu. Akan kupatahkan rahangmu itu.""What? Kau sedang mengancamku?" Aku langsung bangkit dan mendatanginya."Kau bicara apa tadi?""Kau sudah dengar dengan jelas. Aku tak mau mengulanginya." Dia menjatuhkan kepalanya ke bantal super besar itu.
Mataku menatap sinis kepadanya."Kau bicara apa?" tanyanya datar. Tangannya meraih koper besar di atas lemari."Kau sudah mendengar pertanyaanku.""Kau menuduhku, hanya karena dia menatapku?""Oh, shit. Kau bahkan tahu dia sedang menatapmu. Kalian saling berpandangan di hadapanku, ha?""Hentikan omong kosongmu, Key. Kau terlihat seperti seseorang yang sedang cemburu.""Kau benar! Aku tak ingin kau akrab dengan keluarga itu, apalagi dia.""Jangan berlebihan. Aku bahkan tak pernah bicara padanya.""Semoga saja itu benar. Kau tak ingin aku membuat masalah baru lagi, kan?""Cepatlah! Kau bilang tak ingin berlama-lama di sini.""Oke! Ini sudah sangat cepat.""Kau yakin semua barang-barangmu muat di kamarku?""Kamar kita. Jangan serakah, Fi. Sekarang itu juga kamarku.""Terserah kau saja.".Aku bernyanyi riang dengan irama musik 'Senorita'. Mengikuti tiap bait lirik yang dibawak