Share

Part 3

Dia sedikit terdiam, kemudian mendorong bahuku agar terlepas dari bibir seksinya. Uh, manis sekali. 

"Apa yang kau lakukan?" ucapnya, setengah membentak. 

"Menciummu. Kau tak sadar?" Aku tertawa geli. 

Lalu terdengar suara batu berbenturan, bekas langkah gadis yang tadi menyaksikan aksi kami. Kahfi langsung menoleh ke belakang. Raut wajahnya kembali gusar, melihat kekasihnya setengah berlari sambil mengusap air mata. Dasar cengeng!

Pria berpostur tinggi tegap itu langsung mengambil langkah untuk menyusulnya. Meninggalkanku begitu saja tanpa bilang permisi. Dimana sopan santunnya. Tapi kurasa dia terlambat, pintu rumahnya sudah tertutup dari dalam. Ouh, kasihannya temanku itu. 

Pasti gadis itu sedang berdiri bersandar di balik pintu, menutup mulut agar suara tangisnya tak terdengar dari luar. Tempat si bodoh itu berdiri dan mengetuk dengan pelan. Klise, aku sudah sering melihat adegan seperti itu di drama-drama menyedihkan. 

Oh, shit. Aku memukul nyamuk yang menggigiti paha yang selalu kurawat. Kahfi sungguh tega meninggalkanku sendirian dengan nyamuk sebanyak ini. Mau berapa lama lagi dia berada di situ? 

Aku memutuskan untuk duduk di depan pagar. Seperti trotoar jalan yang di semen untuk menutup parit. Terhinanya aku. Yah, daripada kebas karena terlalu lama berdiri. 

Beberapa menit kemudian dia muncul dengan langkah pelan. Masih dengan raut wajah kecewa dan juga menyedihkan. Usahanya pasti tidak berhasil. Sayonara pacaran. 

"Kau masih di sini?" Kini kedua tangannya sudah bertengger di pinggangnya. Apa dia sedang memarahiku? 

"Sure. Aku menunggumu. Kita bisa pulang bersama." Aku langsung melompat untuk berdiri. Kemudian mengaitkan tanganku ke lingkaran tangannya tadi. 

"Minggir, kau!" Dia mengelak, dan melepaskan rangkulanku. Kemudian berjalan duluan. 

"Kau masih marah?"

Dia diam. Tak menjawab dan terus melangkah. 

"Dia masih terlalu kecil, Fi. Sikapnya juga kekanak-kanakan," bujukku lagi. 

"Kau yang kekanak-kanakan." Dia mengusap kasar rambutnya. Berjalan sambil menendang batu-batu kecil yang ada di depannya. 

"Kenapa kau melakukan itu?" tanyanya lagi.

"Yang mana? Menciummu?" Aku kembali terkekeh. "Kau sudah tahu aku sering berbuat gila. Kenapa tiba-tiba heran?"

"Jangan mengorbankan aku dengan kegilaanmu. Astaga, Key. Kau baru saja menciumku. Kau pikir itu lucu, ha? Dimana harga diriku sebagai laki-laki!" rutuknya dengan gigi merapat. 

Aku kembali tertawa. Entah kenapa hatiku begitu senang melihat dia marah seperti ketakutan. 

"Hohoho, kau merasa ternoda, ya?" godaku. "Tenang saja. Aku akan bertanggung jawab. Aku akan menikahimu. Kau puas?" 

"Kau benar-benar mabuk, Key!" Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan kuat, lalu mempercepat langkahnya.

"Tunggu aku, Fi. Aku sangat lelah!" Aku berlari, dan melompat. Menabrakkan tubuh, hingga sampai melingkarkan lenganku ke lehernya. 

"Gendong aku!" Aku naik begitu saja tanpa persetujuan darinya. 

"Dasar gadis liar! Sakit jiwa. Kau tidak sadar kalau tubuhmu bertambah berat, ha?"

Dia terus saja mengoceh sepanjang jalan, menyusuri jalanan kecil menuju rumahnya. Dan aku masih terus menyandarkan kepala dalam gendongannya. 

Hangat. Satu-satunya orang yang selalu menerima maaf dari kesalahanku.

.

Aku terbangun saat sinar matahari masuk dari sela-sela jendela dan menyilaukan mata. Aku memegangi kepalaku yang kini terasa berdenyut. Oh, tidak. Aku bahkan lupa jam berapa Kahfi mengantarku pulang malam tadi. 

Aku mengingat-ingat apa yang terjadi. Kami minum di sebuah bistro, dan mengobrol sepanjang malam. Seperti biasa, dia pasti bosan mendengar celotehku. Tentang kehidupanku yang tidak seberuntung dirinya. 

Kahfi bukan dari golongan kaya raya. Ayahnya dulu hanya supir yang mengantarku ke sekolah dari TK hingga lulus SMP. Kemudian meninggal, akibat penyakit tipes yang dialaminya. Tentu saja aku dan dia masih berteman, karena Papa masih memberikan kompensasi biaya sekolahnya hingga masuk kuliah. 

Namun itu tak bertahan lama, Mama mengamuk karena menganggap Papa ada afair dengan ibunya, yang notabenenya adalah seorang janda. Tuduhan yang akhirnya membuat malu diri Mama sendiri. 

.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Kemudian terbuka, sebelum sempat aku mengizinkannya masuk. Dia berdiri memandangiku yang terlihat berantakan. Ada segelas jus guava di tangannya. 

"Minumlah!" Erik mengulurkan benda yang dipegangnya. "Mama membuatkannya untukmu."

Aku menerimanya dengan malas, kemudian meneguknya sampai habis. Kurasa sari buah ini bisa menghilangkan rasa pusing di kepalaku. 

"Membuat apanya!" Aku berdecih. "Ini hanya jus buah dari kotak kemasan. Kau pikir aku tidak tahu, ha?" Aku mengulurkan gelas kosong kembali padanya. 

Aku kembali menjatuhkan kepala yang masih terasa berat ke atas bantal. Memunggungi laki-laki yang berstatus sebagai kakak tiriku itu. 

"Lain kali kalau mau pulang hubungi aku. Biar aku saja yang menjemputmu. Tak perlu selalu merepotkan orang lain."

Aku membalikkan badan. Menyipitkan mata ke arahnya. Lalu bangkit dan meraih kerah kemejanya. Dia tak melawan. Hanya sedikit mengelak sambil menahan napas. Mungkin tidak tahan dengan bau alkohol dari tubuhku. 

"Kahfi bukan orang lain. Jangan berani-berani kau menyebutnya seperti itu. Dia lebih berarti bagiku daripada kalian semua. Kau dengar itu?" Aku melepaskan cengkramanku, dan mendorong tubuhnya.

"Ya, aku tahu."

"Baguslah, jadi jangan ikut campur lagi urusanku."

"Kau menyukainya?" 

Oh, no. Pertanyaan macam apa itu? Setelah sekian lama, kenapa baru sekarang dia menanyakannya. Bukan baru sekali ini saja dia mengantarku pulang dalam keadaan mabuk. 

"Apa yang membuatmu bertanya? Kau iri, karena aku tak menelepon untuk menjemputku? Kau ingin menguasaiku saat aku sedang mabuk? Kau ingin mengambil kesempatan itu, Erik?" Aku tertawa mengejek. Mengerti kalau selama ini dia masih tertarik padaku. Atau mungkin hanya tubuhku. 

"Kalau iya, kenapa?" ucapnya. Aku semakin tertawa. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status