Siapa, ya, namanya? Lee, bukan. Tori, bukan. Siti, apa lagi. Betti, itu tukang jahit di sebelah rumah Bude yang mulutnya lebih pedas dari rica-rica tapi hatinya baik. Roti, ah bukan, itu makanan ringan untuk sarapan pagi yang harganya bisa sangat mahal di bandara atau di kapal ferry. Terus siapa? Aduuh, kepalaku sibuk mencari data namanya hingga tak sadar motorku sudah berdiri ia angkat.
“Udah.” Si Tampan menepuk tangannya, membersihkan dari debu. “Cepetlah, Jei!” ucap lelaki yang berada di depan gedung. Tampak satpam itu mengangguk hormat di depan lelaki itu. Ah, iya, baru aku ingat namanya Jei. “Duluanlah, Malfin.” Jei melambaikan tangan pada temannya. Jei kemudian menatapku heran yang terpaku dan terdiam. Ya, diam-diam mencuri pandang padanya. “Mau ke mana, Bil?” “Ke hatimu. Eh, ke gedung itu.” Aku menunjuk ke arah gedung. “Mau barengan?” Napasku tersendat seketika. “Mau, mau.” Aku mengangguk dua kali. “Ayo.” Jei memiringkan kepala, mengajak berjalan bersama sambil melangkah di depanku. Brak!! Aku tersungkur karena kakiku menabrak helm yang tergeletak di sebelah motor. Apes! Mana pas di depan si Syah Rukh Khan lagi. Tak apalah, mungkin saja dengan begini ia akan berjongkok sambil memasang senyum termanis lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. “Ayo, berdiri.” Tuh, kan. Saat dengan semringah aku ingin menyambut uluran tangan itu, baru aku sadar rupanya yang mengulurkan tangan adalah si satpam, bukan Jei. Langsung kutepis dengan kasar dan aku berlari mengejar Jei setelah sekali lagi memeriksa wajahku di kaca spion sambil memainkan bibir. "Ee, Jei, kamu duluan aja." Suaraku bergetar membuat Jei menoleh. "Oke." Bukan apa-apa. Jantungku tak mau diam kalau berjalan bersamanya. Belum siap. *** “Napa telat lu, Bil!” Berno sudah menunjuk pada arloji di pergelangan tangan. Suaranya mirip seperti orang sedang berkumur. Tangan satunya memegang pipi yang tampaknya agak bengkak. “Ditanya malah senyum-senyum aja, sih, lu!” “Diam lu. Gue lagi apes tauk!” “Makanya jangan begadang lu. Udah Salat Subuh molor mulu kayak kucing hamil 9 bulan 32 hari.” “Ah udah ah, mana slide presentasi gue? Terus, tuh, kenapa muka bengkak sebelah?” “Ini.” Berno menyodorkan sebundel kertas. “Gue sakit gigi. Habis ini lu anterin gue ke dokter, ya.” “Iya. Gue presentasi dulu, daah.” Aku menepuk pundak Berno. “Auu. Gigi gue sakit jangan pukul-pukul napa.” Aku hanya terkekeh sambil melambai meninggalkannya dan memasuki ruang presentasi. Apa hubungannya coba, wong aku memukul bahu, kan, yang sakit giginya. “Selamat datang, Bu. Direktur dan wakil direktur kami sudah menunggu di dalam.” Wanita bermata biru itu menyilakan dengan ramah. Aku mengucap basmalah dan masuk dengan ceria, menyunggingkan senyum terbaik. “Bilqis?” “J-Jei? Malfin?” kagetku. Dua orang itu adalah lelaki yang kutemui sebelumnya. Melihat Jei yang rupawan ternyata salah satu Direktur perusahaan besar membuat baut di lututku seperti mendadak lepas. Bicaraku pun terasa gagap. “Kamu yang presentasi?” Aduhai. Suara itu. Jangan, jangan pingsan please, Bilqis! Kamu pasti bisa. Aku berusaha menguasai keadaan, terutama rasa gugup dalam diriku sendiri. Dan berhasil, aku akhirnya bisa mempresentasikan program pembibitan PT kami. Selesai, lega. “Jelek, yang lain aja!” ujar Malfin ketus sambil menghempas sebundel proposalku di atas meja. “Aku suka, menurutku yang ini saja. Kita gak perlu buang-buang waktu dengarkan presentasi lain,” debat Jei. Senyumku terkembang. Mereka berdebat kecil. Namun, Jei semakin ngotot hingga Malfin pun tak dapat menjawab lagi. “Selamat, Bilqis.” Jei mengulurkan tangannya. What? Bersamalan dengan Jei? Mimpi apa aku semalam. Oh, tidak, aku tidur nyenyak jadi tak mimpi apa-apa. Saat aku ingin menyambut uluran tangan Jei itu, tiba-tiba teriakan Berno di luar membuatku kaget dan menoleh ke belakang. “Bilqiis, aku udah gak tahan. Ayo ke Dokter Gigiii!” Aku mendengkus kesal. Saat aku kembali menoleh ke Jei, tangannya sudah tersimpan rapi di saku celana. Kesempatan emas itu lenyap seketika. Kukepal erat tanganku. Bernooo!!! “Bernooo!” ujarku geram. “Eh, iya, Bil.” “Kenapa lu teriak-teriak pas gue lagi presentasi? Ganggu fokus aja tau gak!” “Maaf, gue gak tahan. Ayo ke Dokter Gigi biar dibius. Ini pertama gue sakit gigi jadi baru tahu sakit banget, Bil.” “Pakai mobil, ‘kan? Motor Bude biar gue titip sini dulu.” “Okeh.” Berno mengangguk cepat, masih memegangi pipinya yang membengkak. Di mobil, Berno resah. Mungkin ia takut karena ini pertama kalinya ia ke Dokter Gigi. Seperti yang dideskripsikan oleh orang-orang tua semasa kami kecil, Dokter Gigi itu sangat menyeramkan. “Mungkin gak gigi gue dicabut, Bil?” “Pake tang.” Aku refleks menjawab, membuat sohibku itu lebih pucat lagi. “Be-beneran, Bil?” “Pokoknya rasanya itu sakit banget kayak jempol kelindes mobil truk. Itu yang bekas cabutan bisa bengkak, berdarah, bernanah, tiap malam demam gak bisa tidur. Belum lagi gak bisa makan sebulan, kurus kering lu kayak tiang bendera.” “Aduuh, jangan nakut-nakutin, Bil.” “Pokoknya sakit gigi itu, sakit banget.” Aku tertawa, menertawakan Berno. “Tapi kata pepatah mending sakit gigi dari pada sakit hati, Bil.” Seketika tawaku diam, mulutku seperti tersumpal. Sesampainya kami ke poli gigi di rumah sakit. Berno sudah ketakutan. Berkali-kali ia meminta pulang, aku terus menyeretnya ke meja pendaftaran. Mendaftarkan namanya dan menunggu antrian dipanggil. Setengah jam kemudian, namanya pun disebut dan diminta memasuki ruang poli. Aku ikut masuk menemaninya. Dalam ruangan, Dokter Gigi itu rupanya cantik muda dan teduh perawakannya. Berjilbab rapi panjang sambil memamerkan lesung pipit di pipinya yang agak tembem. “Ini pasti yang sakit.” Ia menunjuk Berno. “Dokter tahu aja.” Aku menjawab. “Jelas, dia yang kelihatan ketakutan.” Aku terkekeh. Sementara Berno malah tersenyum-senyum sendiri. Padahal tadi memintanya masuk ke ruangan itu sulitnya minta ampun, seperti menyeret kambing untuk mandi di kali. “Sini saya periksa.” Berno langsung lompat ke kursi yang disediakan dan membuka mulutnya lebar-lebar. Dokter muda itu memakai sarung tangan dan memasang masker medis, lalu dengan spatula kecil mulai mengaduk-ngaduk mulut Berno. “Kamu malas gosok gigi.” Dokter bergumam. “Dia gosok gigi sebulan sekali, Dok.” Aku tertawa pelan. Berno mengepalkan tangan, mengacungkan tinju. “Mulut kamu juga nih. Aduuh.” Dokter menepis angin di depan wajahnya. “Mulutnya juga ember, Dok. Gak bisa jaga rahasia,” lanjutku. Kembali acungan tinju Berno arahkan padaku. Namun, lihatlah Berno itu, tadi bukan main susahnya mengajak ia masuk ke dalam rumah sakit. Kini ia menurut saja seperti kerbau dicokol hidungnya. Ah, tentu saja karena Dokter itu. Bening meneduhkan. Dokter muda itu hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. “Nama Dokter siapa?” Aku bertanya basa-basi. Aku tahu pasti Berno sangat ingin tahu namanya. “Putri. Panggil saja Putri.” “Oh, Bu Dokter Putri.” “Akan lebih enak didengar jika tanpa kata ‘Bu’, cukup panggil Putri saja. Lagian kita seumuran. Jadi, panggil nama aja.” Putri meletakkan spatula logam ke sebuah wadah di atas meja kerjanya dan meladeni berbincang. “Dokter sudah menikah?” Aku tahu, Berno juga sangat ingan menanyakan itu. Putri hanya tersenyum. Menggeleng pelan. Aku mengedip sebelah mata pada Berno. “Aargh,” gumam Berno yang merasa ditinggal dengan mulut terbuka terlalu lama. Putri segera kembali menghampiri mulut Berno yang memang ember itu. Ponselku berdering. Layar menunjukkan sebuah nama yang tak ingin kutemui. Azmi. Senyumku seketika hilang diganti tatapan tajam. *** Bersambung …Mobil merah yang kami naiki sampai dengan elegan di sebuah café mewah di kota kami. De’Leon, begitu tulisan di depan café itu, dengan tampilan minimalis ala eropa dan gambar menu-menu Perancis di sebagian dinding.Harusnya ini adalah momen paling menyenangkan bagiku: menaiki mobil sport keren dengan orang tampan sejagad raya. Namun, hatiku tak begitu menyenangkan, menerka-nerka siapa gerangan orang yang akan kami temui.“Jei, siapa yang akan kita temui, ibu kamu?” Aku mencoba menghibur diriku sendiri. Ayo, Jei, jawab saja kalau itu ibumu. Jangan jawab hal yang kutakutkan.Jei membukakan pintu mobil.“Nanti kamu akan tahu sendiri, sebentar lagi. Aku mohon, Bil, tolong jelaskan sedetailnya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku gak mau dia salah paham. Kamu ngerti ‘kan maksudku, Bil?”Aku mengangguk. Jei kemudian mengajakku masuk ke café itu disambut oleh pelayan rapi. Aroma khas memanjakan hidung. Sedap sekali. Di meja nomor 27 itu kami duduk dan tiada sesiapa pun. Orang yang dimaksu
TANGAN Mita gemetar higga tampak kertas fotokopi itu bergetar pula. Matanya sibuk menggerayai permukaan kertas. Bu Saniah heran dan mengkerut keningnya. Suasana mendadak tegang dan sunyi, sayang tiada bunyi jangkrik yang berkerik-kerik.“Ini-ini ….” Mita berujar tapi tak kuat, tersekat.“Ada apa, Mit?” Bu Saniah bergabung dan ikut melihat fotokopi sertifikat itu.“Ini palsu, ‘kan? Ini buat-buatan kamu aja ‘kan Kak Bilqis? Segitunya kamu mau menghancurkan keluargaku, ini pasti palsu. Kak Azmi, katakan ini palsu, Kak. Katakan.” Mita beralih pada Azmi yang masih bersungut.Azmi tak menjawab. Bergeming.“Atau perlu kutunjukkan yang asli?” ancamku pelan saja. “Maksudmu apa, Kak?” Mita memelototkan mata.“Aku bisa buktikan dengan pengacara, saksi bahkan di bawah payung hukum yang sah. Pokoknya, Aku mau kalian pergi dari sini, itu aja. Aku udah gak mau lihat wajah kalian lagi. Dari pada aku selalu emosi dan terus buat dosa, mendingan kalian kuusir. Maaf, jangan tersinggung.” Aku mengangkat
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
Semua orang diam kecuali suara musik yang menggema kencang. Tegang.“Namanya … Lita.” Azmi menjawab pertanyaan Berno soal siapa wanita simpanannya itu. Seketika hadirin bersorak, riuh, bersiul-siul lalu reda kembali.Sementara Lita sudah salah tingkah. Tatapan kami bertemu dan ia langsung menundukkan kepala, sedikit merasa bersalah, tetapi lebih banyak rasa malunya. Aku mengangkat ujung bibir dan tetap menatapnya tajam. Ini saatnya semua terbongkar, Lita. Takkan ada yang tertutupi lagi.“Fitnah!” Lita berdiri. Kembali suara sorakan di sekeliling menggema. “Ini pasti settingan. Ini hanya dalam rangka hiburan, ‘kan? Jangan percaya ini semua hadirin.”Tak satu pun yang menghiraukan Lita.“Krik krik!” Seseorang menirukan suara jangkrik. Lelucon kalau ada orang berkata, tetapi tiada yang menghiraukan sama-sekali. Beberapa orang terkekeh.“Kayak ada yang ngomong, tapi siapa, ya?” sindir Berno sambil pura-pura celingukan dari tas panggung. Lita tampak semakin kesal dan menghentakkan kakin
PLAK!Sebuah tamparan mendarat di pipi Bu Saniah, keras sekali dan tak berbalas. Padahal tadinya Bu Saniah mantan mertuaku itu yang hampir menamparku. Namun, nyatanya tangan Lita yang menamparnya."Jangan sentuh sahabat saya, Bu." Lita menatap Bu Saniah dengan tajam, setajam silet, tetapi bukan acara gosip artis."Heh. Beraninya nampar saya kamu, ya!" ujar Bu Saniah memegangi pipinya. Puluhan pasang mata memperhatikan.Drama apa lagi?Sekonyong-konyong Bu Saniah melayangkan tangan ke pipi Lita. Lita mengelak dan hanya menyentuh dagunya. Beberapa lelaki bagian keamanan kemudian mendatangi mereka dan memisahkan. Bu Saniah diseret ke belakang."Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi." MC di panggung harus menenangkan kembali para undangan yang masih riuh."Lit, kamu kembali duduk aja. Aku gak apa-apa," pungkasku. Padahal dalam hatiku sedang bertanya-tanya."Oh, ya, dah, aku duduk lagi." Lita lalu kembali ke tempat duduk istimewanya. Sama seperti kursi para petinggi perusahaan. Tida
“Oom-oom.” Mita menyeret manajer keuangan perusahaanku, Samian Palupi. Lelaki yang diseret tampak risih dan tak senang. Sebentar-sebentar ia melepas tangan Mita yang memegangi lengannya.“Ada salah satu staf rendahan di perusahaan ini yang sering jahat sama aku, Oom,” adu Mita. Perempuan berambut lurus itu lantas menunjuk-nunjuk ke arahku.“Pecat aja dia, Oom!” Mita merengek macam anak kecil bibirnya mencebik sehingga kelihatan semakin ‘dower’.Aku menggelengkan kepala, tetapi bukan karena terbawa irama musik dari panggung, bukan! Pecat saja kalau berani. Malah sebaliknya, aku yang akan memberhentikan lelaki macam Samian dari perusahaanku.“Eeh, Mita, jangan pegang-pegang tangan Oom gini di tempat umum. Nanti kita ketahuan.” Lelaki bernama Samian itu berusaha melepas tangan Mita yang terus mengupil di hidungnya. Eh, maksudnya terus menarik lengannya.Sementara Mita terus berusaha menggandeng Samian dan menyeret ke arahku. Samian menolak, tentu saja karena tahu kalau wanita yang dimaks