POV penulis Lidia dan Adi berpandangan."Apa kita ketahuan?!""Aku enggak peduli. Kita langsung pergi saja dari sini!"Adi lalu memacu mobilnya meninggalkan tanah kosong dengan seruan lelaki yang baru saja kencing di dekat selokan. "Hei, kamu kenapa sih?" tanya sekelompok lelaki yang juga sedang memegang senter."Tadi aku melihat mobil parkir di sini setelah aku kencing. Lalu ada dua orang mencurigakan yang mendadak masuk ke dalam mobil itu, jadi aku teriakin mereka.""Lalu mana mereka sekarang?" tanya salah seorang diantara kumpulan orang yang sedang siskamling itu seraya mengarahkan senter ke seluruh penjuru tanah kosong. Yang ditanya mengedikkan bahu. "Lah nggak tahu dimana. Wong mereka kabur."Terdengar helaan nafas kecewa beberapa orang. "Pasti mereka pasangan mes*m.""Belum tentu. Bisa jadi mereka pasangan pesugihan yang nyari korban di sini.""Duh, pikiran kamu. Kebanyakan nonton horor. Bagaimana kalau mereka ternyata maling dan baru saja merampok salah satu rumah di kampun
Wajah Hesti benar-benar tersipu. Dan saat dia hendak membalas pesan dari Narendra, sebuah suara seperti kaca pecah terdengar memekakkan telinga. Prangggg!!!![Ya Tuhan Mas, sepertinya ada yang melempar kaca jendela ku.][Hah? Siapa?][Entahlah, aku juga enggak tahu. Aku periksa dulu ya.]Tanpa menunggu jawaban dari Rendra, Hesti turun dari ranjangnya dan membuka pintu kamar. Dengan perlahan dia berjalan ke arah asal suara. "Apa itu Pi? Apa yang sedang terjadi?" tanya Hesti yang menemukan Papinya sedang memasukkan sesuatu ke dalam saku celananya. Papinya menoleh melihat Hesti. Ada rona terkejut terlihat dari wajahnya. "Tadi Papi main bola kasti sama Verico. Eh, bolanya malah kena jendela dan pecah.""Aduh, bagaimana dong Pi?" tanya Hesti dengan wajah khawatir sambil melihat kaca jendela yang berlubang sebesar batu. "Gampang saja. Habis ini Papi akan manggil tukang untuk benerin kok.""Hm,.ya sudah. Kalau begitu, sekarang Verico dimana Pi?" "Tuh, ada di dalam kamarnya. Tadi sih mau
"Dengar ya?! Kalau Adi saja yang telah menjamah kamu berulangkali tidak ingin menikahi mu, apalagi aku?" tanya Narendra sarkas membuat Lidia berteriak dan langsung menuju ke arah Narendra lalu menampar pipi lelaki itu. Plaaakkk!!!Pipi Narendra memerah. Tapi Narendra hanya tersenyum saja. Dengan tenang, dipandangnya mata Lidia."Mbak Lidia ... Mbak Lidia, dengar baik-baik ya. Lelaki manapun tentu akan berpikir seribu kali jika ingin menikahi mu. Bayangkan kamu kan sudah dijamah oleh Adi, dan saya sanksi jika hanya Adi saja yang menjamah kamu. Sorry to say Mbak, tapi lelaki akan mencari perempuan yang baik untuk jadi istri dan ibu bagi anaknya daripada perempuan yang hanya menang cantik dan seksi saja. Kalau kamu ingin mendapat pendamping hidup, kamu harus instrospeksi dulu."Narendra terdiam sejenak dan melihat respon Lidia yang tampak menahan marah. "Hm, saya sudah selesai bicara. Jadi sekarang saya akan pulang."Narendra berdiri dari kursi nya dan berjalan menuju ke pintu ruang t
"Hm, Mama boleh usul enggak? Seandainya setelah pemberian dooprize pada customer yang beruntung, dilanjutkan acara lamaran kalian bagaimana? Pasti romantis dan meriah," usul Mama Rendra membuat Hesti yang sedang menyesap teh hangatnya terbatuk-batuk. "Uhuk! Uhuk!""Yang, kamu kenapa?" tanya Narendra kaget melihat Hesti yang terbatuk-batuk. Hesti menginjak kaki Narendra yang berada di sampingnya sambil tersenyum kecut. Narendra menyeringai, menahan rasa sakit karena kakinya diinjak. "Kamu sakit, Sayang?" tanya Mama Narendra cemas. Hesti dengan cepat menggeleng. "Saya hanya terkejut Ma. Uhm, rencana ini terlalu indah untuk saya. Tapi terlalu mendadak," sahut Hesti."Hm, kenapa? Bukankah rencana yang baik harus disegerakan pelaksanaannya?" tanya Mama Rendra. "Atau orang tua kamu tidak setuju dengan hubungan kalian berdua?" lanjut Mama Rendra lagi. Hesti dengan cepat menggeleng. "Bukan. Bukan itu Ma. Mami dan Papi mendukung kok tentang hubungan saya dan Mas Rendra.""Lalu? Apa lagi
Narendra dan Hesti pun segera menuju ke toko milik keluarga Adi. Dan alangkah terkejutnya mereka saat melihat Adi sedang menata baju-baju anak seumuran Verico di dalam sebuah papper bag. Hesti segera maju mendekati Adi. "Mas, mana Verico?" tanya Hesti to the point. "Hah? Verico?! Kan sama kamu? Kenapa jadi tanya sama aku?" tanya Adi kaget. Matanya juga menyiratkan rasa terkejut. Narendra menatap Adi tanpa berkedip. Sebenarnya Narendra ingin sekali meninju Adi saat itu juga karena telah mengambil fotonya dalam keadaan yang tidak senonoh dengan Lidia, tapi Narendra menahan diri karena kasus Verico yang hilang lebih penting. "Mas, kamu jangan mengada-ada deh. Jangan pura-pura nggak tahu! Hak asuh Verico kan jatuh di tangan ku. Kalau kamu mau ketemu dengan Verico, seharusnya kamu memberi tahu aku dulu dong. Yang fair, Mas!"Adi mengernyitkan dahinya dan bingung menatap ke arah Hesti."Demi Tuhan aku enggak membawa Verico!""Kamu jangan bohong, Mas!""Aku enggak bohong! Silakan cari di
"Baiklah Lidia. Kamu akan mendapatkan apa yang inginkan," sahut Narendra sambil menyeringai dan mengakhiri panggilan telepon nya. Lidia yang sedang berada di dalam kamarnya segera menciumi layar ponselnya setelah panggilan teleponnya diakhiri."Lid!"Terdengar suara ibunya memanggil dengan diiringi suara ketukan pintu. "Masuk saja, Bu."Ibunya duduk dan memandang serius ke wajah Lidia. "Lidia ingin bicara.""Ibu ingin bicara." Lidia dan ibunya berkata bersamaan."Biar Lidia dulu yang bicara," tukas Lidia dengan mata berbinar. Ibunya menggeleng kan kepalanya. "Biar ibu dulu yang bicara!"Keduanya tampak berebut bicara."Lidia dulu, Bu. Dengarkan Lidia baik-baik, Lidia dalam tiga hari ini akan menikah di hotel mewah."Ibunya mendelik saking terkejutnya dengan penuturan sang anak. "Tidak mungkin. Dengan siapa kamu akan menikah?" tanya Ibunya kaget. "Apa dengan Pak Adi? Tapi kata mu, Pak Adi ingin kembali pada Bu Hesti?" tanya Ibunya memberondong Lidia dengan berbagai pertanyaan.Li
Mendadak tubuh Narendra seolah membeku saat melihat bungkus obat tidur yang tergeletak di atas meja dan sudah kosong!"Astaga, Lidia! Kamu sudah gila?! Kamu telah memberikan obat ini untuk Verico?! Anak sekecil ini kamu beri obat tidur? Apa kamu enggak waras?" tanya Narendra marah.Ingin sekali rasanya Narendra menampar Lidia, tapi karena menurutnya menolong Verico adalah hal yang terpenting untuk saat ini, maka Narendra menahan diri. "Baiklah. Aku akan membawa Verico langsung ke rumah sakit, kalian yang membawa Lidia ke kantor polisi ya," ucap Narendra sambil menatap kepada ketiga anak buahnya.Ketiga anak buahnya mengangguk. Lalu Narendra segera keluar dari rumah itu dan menelepon Hesti. "Halo, Hesti! Verico sudah ketemu! Tapi kondisinya nggak begitu bagus. Kirimkan segera ambulance dari rumah sakit tempat kamu bekerja ke alamat yang sebentar lagi alamatnya aku share loct! Oke!"Terdengar seruan bahagia bercampur harapan dan kecemasan dari seberang telepon sebelum Narendra mengak
"Dia tampak lelah sekali ya, Pi?" tanya Narendra pada Papi saat melihat Hesti yang tertidur pulas di samping Verico."Iya. Semalam katanya dia telah menangkap Lidia, saat Lidia mencoba melukai nya," sahut Papi seraya tersenyum melihat cucu dan anaknya yang sedang berbagi ranjang pasien untuk tidur berdua. "Iya. Saat Hesti menghubungi saya untuk meminta bantuan menelepon polisi, Lidia telah diikat dengan baik oleh satpam rumah sakit. Rekaman video yang menunjukkan bahwa Lidia berusaha menyerang Hesti secara membabi buta pun telah diamankan oleh pihak kepolisian.""Lalu bagaimana kelanjutan hukuman Lidia?"Narendra mengedikkan bahu nya. "Entahlah Pi. Yang jelas Lidia dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari penculikan anak, penyalahgunaan obat, penganiayaan, entahlah kalau ada pasal lainnya," sahut Narendra. Papi manggut-manggut. "Hm, Rendra, biarkan Hesti istirahat dulu. Ayo kita keluar dari sini. Ke kantin rumah sakit. Ada yang ingin Papi bicarakan padamu sebagai sesama lelaki."Na