PoV Author
"Mengapa Ibu tidak periksa, sejak awal ketahuan hamil?" tegur dokter pada Yulia.
"Saya masih ragu, Dok. Kebetulan, sudah beberapa kali kecewa oleh alat tes kehamilan sebelum-sebelumnya. Jadi, ketika mendapat garis dua, saya memilih untuk tidak terlalu peduli." Yulia menjawab bohong. Ia sengaja memilih rumah sakit yang belum pernah didatanginya.
Sejak dua bulan lebih yang lalu, dirinya melakukan tes kehamilan. Dan seketika itu pula, ia memberitahukan pada kekasih gelapnya dan rutin memeriksakan kandungannya setiap bulan. Terhitung sudah tiga kali dirinya periksa bersama pria itu. Dan yang terakhir adalah ketika suami Siska menangkap gambarnya dari belakang.
"Setidaknya, beritahu aku, suamimu." Wajah Raffa tampak tak baik-baik saja. Bukannya bahagia, ia malah berpikir ke segala arah tentang kehamilan istrinya yang ia anggap janggal.
"Mas, kamu marah padaku?" tanya Yulia dengan wajah sendu.
"Apa bayinya sehat, Dok?" tanya Raffa, tak mempedulikan rengekan istrinya.
"Alhamdulillah, sehat. Semuanya sudah berkembang sesuai usainya. Nanti saya beri resep vitamin, ya."
"Baik, Dok. Terima kasih." Raffa berdiri dari kursinya. Ia hanya melirik pada sang istri, seolah memintanya untuk segera bangun.
"Mas! Mas!" panggil Yulia, menyeimbangi langkah lebar suaminya.
"Cepat sedikit. Aku sudah terlambat," tukas Raffa.
"Tapi aku sedang hamil, Mas. Gak baik jalan terlalu cepat," jelas Yulia dengan napas memburu, terus mengejar langkah suaminya.
Pria berkemeja biru muda itu mendadak berhenti, membalikkan tubuh hingga menghadap sang istri.
"Bukankah kamu tidak peduli pada bayi di dalam rahimmu? Selama dua bulan lebih, kau tetap pergi aerobik, bukan? Segitu tak pedulinya kah?" tanya Raffa yang sudah tersulut emosi.
"A-aku ... aku ..."
"Aku buru-buru. Ini kuncinya." Raffa meninggalkan istrinya di koridor rumah sakit, bergegas keluar dari rumah sakit dan menghentikan taksi yang melintas.
'Aku sangat menyayangi bayi ini. Itulah sebabnya, aku tetap mempertahankannya. Meski aku sendiri tak tahu, siapa ayah bayi ini sebenarnya.' Yulia terpaku menatap kepergian suaminya. Ia hanya membatin, menyesalpun tiada guna.
Raffa pergi ke kantor menggunakan taksi, tanpa peduli istrinya yang masih terdiam di rumah sakit. Hatinya terlalu kecewa mendengar kalimat jawaban sang istri pada dokter tadi, yang mengatakan bahwa ia tidak terlalu peduli pada kehamilannya.
'Keterlaluan kamu, Yul. Sudah lama kita menantikannya, tapi setelah Allah beri, seperti itu caramu menyikapinya,' kata Raffa di dalam hati.
Sesampainya di kantor, Raffa langsung disuguhkan dengan setumpuk dokumen yang harus ditandatangi, serta beberapa laporan hasil meeting pagi tadi.
Meski tidak fokus, ia harus tetap berusaha profesional.
**
Di taman sebuah danau, seorang wanita tengah menangis seorang diri. Ia tengah menunggu kedatangan seseorang, yang terpaksa harus ia minta untuk datang.Wanita itu adalah Yulia. Dirinya meminta Evano datang ke lokasinya, sekarang juga.
Tiga puluh menit menunggu, pria muda berkulit putih itu tiba setengah berlari, menghampiri wanita yang membelakangi jalanan.
"Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Evano, berjongkok di hadapan Yulia.
Yulia tak menjawab pertanyaan pria itu, melainkan menatapnya sendu. Tangan kanannya terulur menyentuh bahu Evano, sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menghapus air matanya.
"Mas Raffa sudah tahu aku hamil," tukas Yulia.
"Jadi kumohon, jangan pernah ganggu aku lagi. Jauhi aku. Anggap saja aku tidak pernah hadir dalam hidupmu. Bila perlu, anggap saja aku sudah mati," sambungnya, bercampur deraian yang lolos dari ujung matanya.
"Gak bisa. Aku yakin bayi ini anakku," pungkas Evano, menyentuh dengan lembut perut bulat Yulia yang kebetulan berada tepat di hadapan wajahnya.
"Apa yang membuatmu seyakin itu?" tanya Yulia.
"Sembilan tahun kalian menikah, dan kamu tak sekalipun dihamilinya. Artinya, hanya aku yang berpontensi menghamilimu. Kecuali ..." ucapan Evano seolah menguap begitu saja, menggantung tanpa akhir.
"Kecuali, apa?" tanya Yulia, menatap tajam pria di hadapannya.
"Kecuali ada laki-laki lain yang juga kau perlakukan sepertiku," sambung Evano.
Plak!
Tangan kanan Yulia melayang dan mendarat tepat mengenai ujung bibir Evano, hingga pria itu langsung memegangi ujung bibirnya yang terasa sakit.
"Kau kira, aku ini apa?" tanya Yulia dengan tatapan menikam.
"Persetan dengan semua itu. Aku tidak peduli, kamu seperti apa padaku. Tapi aku akan sangat marah, jika benar ada laki-laki lain selain aku dan suamimu!" balas Evano, bangkit dan menunjuk wajah Yulia. Sorot matanya terlihat marah atas perlakuan Yulia.
"Aku tidak mungkin seperti itu. Jaga ucapanmu!" tegas Yulia.
"Dan aku minta, jaga bayi kita, sampai dia lahir. Kita akan buktikan, anak siapa yang kau kandung." Evano menatap sinis wanita di sampingnya.
"Jelas anakku dan Mas Raffa. Kita hanya melakukannya dua kali saja, saat itu," tukas Yulia.
"Satu kali saja, jika dalam kondisi subur bisa berpotensi hamil, Yulia. Jadi, tidak menutup kemungkinan bahwa, bayi itu memang anakku," geram Evano.
"Sudahlah. Aku benci berdebat ini lagi dan lagi. Sebaiknya, cepat cari cara untuk bisa bercerai dari suamimu, tanpa ada kesahalan darimu," sambung Evano.
"Gila, kamu, ya! Aku tidak akan bercerai dari Mas Raffa. Sebaiknya, segera menyingkir dari hidupku." Yulia berdiri, mendorong dengan kasar pria yang usianya dua tahun lebih muda darinya.
"Oh, ya? Bukankah saat itu, kamu yang mengemis padaku, agar aku memutuskan hubungan dengan pacarku?" sindir Evano, tersenyum miring ke arah Yulia.
"Mulanya begitu. Tapi setelah kejadian semalam, aku sadar seribu persen bahwa, kamu bukan laki-laki yang baik. Selama ini aku hanya dibutakan oleh rayuan gilamu itu!"
"Oh, begitu, ya. Jadi benar, semalam kamu melihatku hersama Fany di resto? Katanya, kamu gak lihat apa-apa."
"Kapan aku bilang seperti itu?" tanya Yulia, dengan tatapan memicing.
"Semalam, lewat chat. Tak berapa lama, ponselmu tidak aktif. Aku datang ke rumahmu. Aku cemas, melihatmu menuruni anak tangga seperti semalam. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada kehamilanmu?" jelas Evano.
"Jangan lakukan hal bahaya lagi, ya. Jaga dia baik-baik," mohon Evano, kembali mendekat hendak mengusap perut Yulia.
"Semalaman aku gak pegang hape. Jangan-jangan ..." Yulia membolakan mata, kemudian membekap mulutnya yang sedikit terbuka. Menyadari suatu kecerobohannya.
PoV AuthorDengan gagah Raffa keluar dari ruang persidangan. Senyum kepuasan tersirat di wajahnya yang kali ini mengenakan kacamata hitam. Setelan jas warna hitam dengan celana senada, membuatnya terlihat sangat elegan dan misterius.Hasil putusan sidang benar-benar telah memberinya kepuasan. Jeremy mendapatkan hukuman lebih dari delapan belas tahun, karena terjerat pasal berlapis. Kekerasan hingga percobaan pem_bu_nuhan, penggunakan obat-obatan keras dan telah membuka tempat haram berkedok gym."Terima kasih banyak, Pak Endri. Sudah ke sekian kalinya Bapak membantu saya dalam proses hukum yang terpaksa saya ambil. Kalau bukan Bapak yang menjadi pengacara saya, entahlah.""Kembali kasih, Pak. Tapi saya yakin, siapa pun itu, jika Pak Raffa kliennya sudah pasti menang. Bapak tidak bersalah dan terbilang cerdik dalam mengumpulkan bukti. Juga tidak mudah terperangkap oleh lawan," puji Pak Endri pada pria di hadapannya."Ya, berdasarkan pengalaman mungkin ya, Pak." Raffa terkekeh di akhir
PoV RaffaMalam ini, di rumah sakit kembali kami berada. Sore tadi, saat tengah menemani Embun memilih tas, sambil menunggu jam tayang film yang kami tonton, tiba-tiba saja ponselku berdering."Pak, maaf, ini Cyra badannya panas banget." Suara Bi Murni di ujung telepon, sontak saja membuyarkan konsentrasiku. Kutatap Embun yang tengah memandangku penuh khawatir."Ya Allah ... oke, Bi, saya segera pulang." Tanpa memberitahu Embun lebih dulu, kuputuskan untuk membatalkan acara nonton film."Ada apa, Yah?" tanya Embun tak sabar, ketika kumatikan panggilan."Cyra sakit, Sayang. Badannya panas," jelasku."Ya Allah! Ayo, Mas, kita pulang sekarang." Embun menarik jemariku, melupakan hasratnya untuk membeli tas.Kami berjalan cepat keluar dari mal, sore tadi. Melupakan tiket menonton yang sudah terlanjur dibeli, serta meninggalkan mobil yang belum selesai dipoles di bengkel.Sepanjang perjalanan, Embun sangat gelisah. Sesekali ia mengusap ujung netranya dengan tisyu, seperti tengah merasakan p
PoV Author"Saya minta maaf, Pak atas kejadian ini. Anak saya baru belajar nyetir," ucap seorang wanita berusia kisaran 60 tahun. Sementara anaknya yang menabrak adalah seorang gadis muda berpakaian seksi."Ndin, minta maaf!" suruh sang Ibu yang dandanannya tak kalah mentereng.Embun dan Raffa yang sejak tadi diam di depan mobil mereka, tampak risih melihat kedua wanita beda usia yang terlihat kurang senonoh."Ma-maaf, Mas, aku gak sengaja," ucap gadis bertubuh tinggi itu, sedikit terbata-bata."Ya, sudah, gak pa-pa. Lain kali hati-hati," pesan Raffa, sambil berjalan ke arah belakang mobilnya untuk mengecek kerusakan yang terjadi."Nanti kami ganti rugi atas kerusakannya, Pak." Ibu dari wanita itu menyusul dan menawarkan ganti rugi.Ada yang terasa tak enak didengar oleh Embun. Ibu dari gadis itu sudah berumur, tetapi memanggil Bapak pada suaminya. Sementara gadis itu, justeru memanggil suaminya dengan sebutan Mas."Ya ... sepertinya memang harus begitu. Tergores cukup dalam bamper mo
"Bunda gak sakit, Yah." Bibir manis istriku justeru melengkungkan senyuman."Mak-maksudnya?" Aku sedikit heran. Jelas-jelas ia sakit sejak tiga hari lalu, bahkan kini sampai tak sadarkan diri dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit. Mengapa raut wajahnya justeru menampakkan kebahagiaan?"Dareen mau punya adik. Seperti yang Ayah mau, tambah anak biar tambah ramai dan tambah rezeki. Baju-baju hamil aku juga akan terpakai lagi," kekeh Embun, sedikit menggodaku.Allah ... benarkah apa yang barusan kudengar? Embun, istriku tengah mengandung untuk yang ke tiga kalinya, di usianya yang sudah tak muda lagi. Aku sangat bahagia, akan tetapi, ada rasa takut yang menggelayut perlahan. Usianya sudah bukan usia yang pantas untuk melahirkan. Apakah Embun-ku masih mampu melahirkan anak kami? Buah cinta kami yang ke sekian."Bunda serius?" tanyaku, untuk memastikan.Embun-ku mengangguk dengan wajah teduh nun manisnya. Layaknya tetesan embun pagi yang senantiasa memberikan kesejukan, senyumannya terus te
Aku terkejut bukan main. Dalam persidangan, Jeremy mengaku telah mengenal Yulia sejak lama. Ia juga mengaku sudah mengenal Evano. Kedua pasangan selingkuh yang kini telah sama-sama meninggal itu, rupanya sudah menyisakan luka di hati Jeremy."Jika saja saat itu kamu hanya melepaskan Yulia tanpa membu_nuhnya, aku tidak akan segi_la ini ingin menghabisimu!""Apa? Yulia? Membu_nuh? Aku tidak membu_nuh siapa pun. Baik Yulia maupun Evano, sama meninggal karena ulah mereka sendiri.""Ya! Yulia ma_ti karena tergi_la ingin bertahan denganmu!""Dia kecelakaan, karena berusaha mengambil alih kendaraan dalam kondisi yang lemah, Jeremy. Kamu tahu apa soal Yulia?" selidikku saat persidangan itu."Aku tau semua tentang dia. Aku tau betapa besar lukanya karena mencintaimu. Aku tau seberapa hancur Yulia saat kau tinggalkan! Kamu terlalu naif, Baji_ngan!""Mengapa aku yang disalahkan? Mereka telah selingkuh sampai Yulia yang kala itu masih sah menjadi istriku hamil oleh selingkuhannya."Kemarin, amara
Pagi yang begitu cerah, menampakkan semburat jingganya di sela jendela kamar kami. Kubuka selimut berwarna ungu, yang mana sudah tak menampakkan keberadaan wanita tercantik yang selalu tidur di sisiku.Pastilah wanita cantik berwajah teduh itu sudah sibuk mengurus rumah, sebelum anak-anak kami terbangun. Padahal, adzan subuh saja belum berkumandang.Hari ini adalah minggu, yang artinya aku tidak pergi ke kantor. Akan kumanfaatkan hari libur ini untuk membantu meringankan tugas istriku. Salah. Semua tugas rumah adalah tugasku, namun Embun memilih berbakti padaku dan mengurusnya sebagai sebuah ungkapan kasihnya."Sayang ..." Kupanggil wanita berambut hitam sepunggung itu, di balik dinding sekat ruang makan dan dapur."Eh, Yah. Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut. Tentu saja wanitaku tak ingin suara kami mengganggu tidur yang lainnya."Udah, dong!" Kulingkarkan tangan di perutnya, menyandarkan dagu di bahunya yang sudah menguarkan wangi sabun dan shampo."Bunda sudah mandi?" selidikku