PoV RaffaSembilan tahun aku menikahi Yulia. Empat tahun pertama, aku masih menjabat sebagai manager tingkat menengah, dua tahun menjabat sebagai senior manager dan tiga tahun terakhir aku diangkat menjadi direktur personalia.Sejak pertama kali menikah, kuberikan semua uang gaji yang kuterima, namun Yulia tidak mau menerimanya. Katanya, dia tidak mau pusing mengelola keuangan. Pada akhirnya, aku yang me-manag semua keuangan termasuk jatah bulanan keluarganya.Yulia kuberi jatah belanja untuk makan kami sehari-hari, jatah kebutuhannya dan apa pun yang dia ingin beli pasti kuberikan uangnya. Karena merasa risih menyimpan uang sisa belanja, aku mengajaknya membuka rekening bank, namun dia tidak mau. Akhirnya aku membuatkan rekening atas nama diriku sendiri. Yulia hanya memegang kartu ATMnya saja.Setiap bulannya, Yulia akan melapor, berapa uang belanja yang tersisa dalam rekening. Aku memintanya menyimpannya saja untuk tabungan, siapa tahu suatu saat bisa kubelikan rumah untuk keluarga
"Bapak benci perilakumu, Yulia!" balas Pak Sujita menyentak.Sudahlah, sepertinya sudah cukup bermain-main. Aku tidak ingin ada lagi tangan yang melayang ke wajahnya jika aku terlalu lama di sini."Mas! Mobilku," rengeknya lagi, ketika aku membuka pintu mobil."Tunggu!" pintaku. Geram rasanya diperlakukan seperti maling. Gegas kuambil berkas di dalam mobil dan menunjukkannya. Aku beruntung, tidak terlalu lama mengurus berkas ini."Lihat, siapa nama pemilik mobil ini sekarang!" Kutunjuk nama yang tertera pada STNK dan BPKB mobil ini yang sudah kualihkan menjadi atas namaku."Mengapa bisa begini, Mas? Surat-surat mobil ini atas namaku," tanya Yulia dengan dahi berkerut. Tentu saja nada bicaranya naik beberapa oktaf."Tadinya begitu. Tapi sejak kemarin, aku sudah membalik nama kepemilikkannya menjadi atas namaku." Kukatakan itu dengan senyuman tipis.Yulia terdiam, seolah berpikir bagaimana caranya bisa seperti ini. Tentu saja aku bisa melakukan itu, karena sudah memintanya menandatangan
PoV AuthorSenja mulai bergelayut menutupi awan cerah dengan warna kelabunya. Raffa terus fokus mengendarai mobil sedan teranyar yang setahun lalu ia hadiahkan untuk Yulia. Meski ada rasa bersalah telah merebut kembali sesuatu yang ia berikan, namun Raffa merasa Yulia pantas mendapatkan itu semua.Ia berbincang ringan dengan ibunya yang duduk kursi samping kemudi. Namun tiba-tiba, ponsel dalam saku celananya berdering. Raffa segera merogoh ke dalam saku, mengeluarkan ponsel itu dan meminta sang ibu untuk menerima panggilan yang masuk, tanpa melihat nama di layar ponselnya yang menyala.Lelaki itu menajamkan pendengarannya ketika sang ibu sudah menjawab salam dari si penelepon.Panggilan itu dari telepon rumah Raffa. Pelakunya adalah Satya."Hallo.""Assalamu'alaikum, Bu.""Wa'alaikumussalam.""Maaf, Bu. Mas Raffa ada? Atau, kalian masih di jalan?" tanya Satya."Di jalan, ada apa?" tanya Bu Ajeng sedikit malas."Mbak Yulia kecelakaan dan sekarang sedang dibawa ke rumah sakit. Satya aka
PoV Author"Bapak tunggu di luar saja," tukas perawat itu dengan ramah.Ya, wanita tersebut adalah Yulia. Sang ayah dan kedua adiknya sangat khawatir dengan kondisi Yulia yang sejak terjadinya kecelakaan tak sadarkan diri.Ketiganya tak berhenti merafalkan do'a, memohon pertolongan kepada sang pemilik hidup.Yulia mengalami kecelakaan di depan jalan komplek setelah tak lama Raffa melajukan mobilnya. Wanita itu mencoba mengejar, namun kakinya terperosok ke dalam lubang yang berada di tengah jalan. Lubang yang tercipta akibat tergerus oleh roda-roda kendaraan dan derasnya air hujan belakangan ini. Jalanan di depan komplek tersebut memang belum diperbaiki.Yulia jatuh tersungkur ke atas aspal dan tanpa ia sadari, sebuah motor dari arah berlawanan tengah melaju kencang dan tak sengaja menabraknya.Tak hanya Yulia yang celaka. Pengendara motor tersebut pun mengalami luka di beberapa bagian tubuh akibat membelokkan paksa roda duanya hingga ia terpental ke tepi jalan.Hingga sampai di rumah
"Kenapa, Dok? Bayi saya baik-baik saja, 'kan?" sambar Yulia, tanpa menunggu dokter selesai bicara."Ibu tenang dulu, ya. Dengarkan dulu pertanyaan saya," tukas dokter yang kini sudah dapat menemukan detak jantung janin dalam kandungan Yulia."Tapi kenapa Dokter minta maaf. Saya takut bayi saya kenapa-kenapa, Dok!" sentak Yulia, sudah kadung terkejut dan panik."Maaf, Ibu, Bapak, seperti apa posisi jatuhnya tadi? Itu yang ingin saya tanyakan. Saya sudah berusaha sopan sama Ibu." Dokter wanita berusia di atas empat puluh tahun itu sedikit tersinggung dengan bentakan Yulia."Iya maaf, Dok. Posisi jatuhnya nyaris menelungkup. Tapi sepertinya tidak sampai menindih perut," jelas Satya, mencoba memecah ketegangan. Dokter itu mengangguk-angguk seraya tetap fokus pada monitor. "Ini janin Ibu Yulia. Semua masih baik-baik saja. Ini suara detak jantungnya.""Syukurlah," ucap Satya dan Yulia, mulai menitikkan air mata haru. Wanita itu melihat pergerakan bayi di dalam kandungannya, serta mendengar
Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu terus menatap kosong ke arah jalanan. Ia merasa tak berguna sebagai laki-laki muda di keluarganya. Untuk makan saja, ia tak punya. Satya sedikit menyesal karena selama ini terlalu manja mengandalkan uang kiriman kakak iparnya.Satya yang sudah sedewasa itu, tak sekalipun memanfaatkan waktu luangnya untuk mencoba bekerja. Ia hanya menikmati pendidikan yang diraihnya dengan uang Raffa.Ia bahkan beberapa kali mengulang skripsi karena tidak begitu serius. Teman-teman seangkatannya sudah mulai sukses dalam berkarir, sementara ia masih betah di semester akhir S2-nya."Beli, Pak.""Beli apa, Bang?""Roti yang ini harganya berapa?" tanya Satya, mengacungkan sebungkus roti ke udara."Tiga ribuan, Bang.""Air minumnya?""Tiga ribu lima ratus."Satya pun akhirnya mengambil tiga bungkus roti dan sebotol air mineral ukuran sedang, lalu membayarnya.Kini hanya tersisa uang dua ribu lima ratus di tangannya. Satya berjalan gontai, tak tahu apa yang harus mere
PoV AuthorSeorang lelaki dewasa yang seharusnya sudah bisa mencari uang sendiri dan bahkan sudah di usia menikah itu terus menatap sang kakak tanpa berkedip. Jauh di dalam pikirannya ia sangat menyesali apa yang barusan didengarnya. 'Mengapa Mbak Yulia bisa berubah sedrastis ini?' batinnya."Ayolah, Sat. Gak ada cara lain. Setidaknya ada ongkos buat kamu pulang dan ambil barang-barang Mbak," mohon Yulia lagi."Satya tidak akan sudi menginjakkan kaki di rumah laki-laki itu lagi, apalagi memohon bantuan padanya. Mbak sadar diri, dong! Laki-laki itu sudah mencuci otak Mbak jadi selicik ini."Dengan tegas Satya menolak permintaan Yulia yang baru saja ia utarakan. Yulia berbisik pada Satya, agar adiknya mau mendatangi apartement Evano dan memintanya memberi sedikit uang pada Satya, karena kebetulan jarak rumah sakit itu tidak jauh dari apartement Evano."Cuma dia yang paling dekat, Sat!" bentak Yulia, kesal."Enggak! Lebih baik aku jalan kaki pulang ke rumah, jika memang di rumah ada uang
"Raffa!" balasnya, berdiri dan mendekat ke arah mobil sedan berwarna putih tersebut."Ya Allah, alhamdulillah aku bisa ketemu Mas Raffa di sini." Pria dewasa itu lantas memeluk tubuh kakak iparnya yang baru saja keluar dari dalam mobil."Kamu ngapain, di sini?" tanya Raffa dengan sorot keheranan."Aku mau pulang ke rumah Mas Raffa. Disuruh sama Mbak Yulia, Mas.""Terus, ngapain duduk di sini?" tanya Raffa lagi.Satya mulai menghela napas, ingin mengatakan apa yang telah terjadi seharian ini."Ceritakan nanti saja. Sekarang kamu masuk ke mobil," suruh Raffa, marangkul bahu adik iparnya.Hari kian malam, Raffa dan ibunya baru saja memulai perjalanan pulang ke kampung dan kebetulan melihat Satya terduduk di tepi jalan di bawah lampu jalan.Kini mereka membawa Satya ke sebuah kafe terdekat."Bu, tunggu sebentar, ya. Raffa mau bicara sebentar sama Satya," izin Raffa pada Bu Ajeng."Iya. Selesaikan dulu masalah kalian. Kasihan juga Ibu lihatnya," bisik Bu Ajeng setelah Satya mendahului kelu