“Aku akan buat Mas Joko ketagihan mencari aku!” bisiknya lirih. Membuat dada Joko semakin berdebar-debar. “Itu kamarku, Mas! Aku jamin Mas akan ketagihan. Layanan aku sangat memuaskan.” Suaranya membuat merinding. Hingga tengkuk Joko bulu kuduknya berdiri.
‘Aku kok jadi kayak lihat setan?’ bisik Joko dalam hati.
Kini mereka berdua sudah berada dalam sebuah kamar, yang tak begitu luas. Bernuansa putih dengan aroma terapi melati yang wangi. Hembusan angin AC semakin menambah suasana kamar ini nyaman.
Terdengar suara pintu yang ditutup perlahan.
Klek!
Terlihat wanita ini sedang merapikan sprai berwarna putih yang tersingkap. Joko merasakan dadanya yang sesak. Seperti sulit untuk bernapas. Dia sampai menghela napasnya berkali-kali. Hanya untuk sekedar mendapatkan tambahan oksigen.
“Kamu baik-baik aja ‘kan Mas,” ucap wanita itu manja. Lalu dia mengusap keringat yang luruh di wajah Joko.
“Walah, baju kamu sampai basah kayak gini Mas. Dilepas aja ya, sambil aku pijit nanti.”
“Tu-tungg—“
Belum sampai Joko selesai berucap. Jemari tangan yang putih mulus telah bergerak mengusap bagian dada Joko yang bidang. Senyumnya tampak menawan. Membuat bibir Joko terkatup rapat dengan gigi gemertak. Seperti saat ini dia sedang berhadapan seorang hantu. Mungkin hantu Bu Sapto.
“Mas mau dipijat dulu?”
Akhirnya Joko mengangguk. Sang wanita mulai menanggalkan kemeja kerja serta celana yang di pakai Joko. Belum sampai Joko naik ke atas kasur. Wanita cantik itu sudah menanggalkan semua pakaiannya, kecuali Bra dan celana dalam yang terlihat aneh di mata Joko. Karena dia belum pernah melihat pakaian dalam wanita seperti itu.
Sontak Joko memalingkan muka. Tubuhnya tak bisa dia kondisikan dengan normal. Dari ujung rambut hingga kaki, bergetar seperti orang yang menggigil.
“Mbak … Mbak! Tunggu dulu, katanya mau pijat badanku?”
“Memang iya, Mas. Kenapa?” Suara sang wanita mendesah manja.
“I-iya, tapi Mbak! Kok bajunya dilepas semua?”
Sang wanita langsung tertawa terbahak. Dia berjalan cantik menghampiri Joko. Memeluknya dari belakang hingga dua benda kenyal terasa bagai menembus punggungnya.
“Mas kesini mau apa?” bisiknya lirih. Sembari kedua tangannya terus mengusap dada Joko. Jakun Joko naik turun. Hasrat kelelakiannya mulai ikut bergelora. Terbakar hangat tubuh sang wanita.
“Aku suka lelaki seperti kamu Mas. Namamu Mas Joko ‘kan? Asli enggak pake KW ‘kan?”
Joko hanya bisa mengangguk. Hingga raut wajah memerah menahan gejolak rasa.
“Soalnya yang ke sini kebanyakan pakai nama samaran. Oh iya, namaku … Ana, Mas,” bisik sang wanita lirih.
Sontak Joko terkejut dan berbalik menatap tajam sang wanita, “Si-siapa Mbak?” Wajah Joko semakin memucat.
“Ana, Mas.”
“Eeehh … sebentar Mbak! A-Anaaa …?” ulang Joko terperanjat.
“Memangnya ada apa, Mas?”
Wajah Joko yang sudah tegang. Semakin bertambah tegang. Kedua bola matanya melotot. Tanpa sepatah kata, buru-buru Joko memungut pakaian di lantai. Dengan cepat dia memakai kemeja dan celana lagi.
Ana yang melihat ulah pelanggannya, terkesiap. Dia pun kebingungan. Merasa ada yang salah. Sampai Ana menarik lengan Joko.
“Ada apa ini, Mas? Kok malah pakai baju lagi?”
“Mbak Ana, maaf! Aku enggak jadi pijat.”
Lalu Joko merogoh saku celana. Dia mengambil dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang.
“Sekali lagi maaf, Mbak Ana!”
Dia menyematkan uang kertas itu di tangan Ana. Yang melongo melihat kejadian secepat ini. Bahkan belum pernah dia alami selama ini.
“Tunggu, Mas Joko!”
Dia menghentikan langkah Joko.
“A-ada apa lagi, Mbak?”
“Kapan kita bisa ketemu lagi, Mas?”
“Ma-maaf, Mbak Ana. Aku harus balik pulang!”
“Tunggu dulu, Mas Joko!” Ana memeluk rapat pinggang Joko. Sejak penolakan itu, membuat Ana malah terkesima dan simpati oleh gaya Joko. “Aku suka gaya kamu yang sok jual mahal Mas Joko.”
“Bu-bukan jual mahal, Mbak. Maaf saja istriku di rumah sudah nungguin. Sekali lagi aku minta maaf, ya.”
Lelaki itu melepaskan paksa pelukan Ana yang sangat erat. Setelah berhasil. Segera Joko keluar kamar, dengan langkah kaki yang cepat bergerak. Selama berjalan menuju parkiran mobil. Dia terus menyebut nama sang istri.
“Ana, untung nama kamu menyelematkan aku Sayang,” bisik Joko. Ternyata kesamaan nama Ana Dolly dengan Ana sang istri bisa menyelamatkan Joko dari kenakalan sesaat.
Bergegas lelaki itu, menuju parkiran mobil. Dia tak pedulikan lagi Yono dan kawan-kawannya. Yang mungkin saat ini tengah sibuk bergelut hangat dengan para wanita penghibur itu.
Di dalam mobil. Joko meraih ponsel yang berada di dashboard. Tampak dia sudah tak sabar ingin segera mendengar suara istrinya.
“Hallo, Sayang!”
Terdengar suara manja Ana.
“Sayang, kamu di mana?”
“Di rumah. Kan lagi nungguin Sayang. Tapi kenapa kok telat?”
“Ehhh, tadi dadakan Bos aku minta meeting.”
“Ohhh, meetingnya ‘kan beneran ya Sayang?”
“I-iya, dong. Ehhh, Ana kamu pakai baju tidur kamu yang sexy itu ya! Yang warna merah ada kupu-kupunya.”
“Tumben sih, Mas?”
“Jangan lupa juga dandan yang cantik dan wangi! Dah aku perjalanan pulang sekarang. I love you.”
“ I love you sayang.” Suara Ana tak kalah sexy dengan Ana Dolly. Yang membuat Joko sudah adem panas.
Mobil pun melaju dengan kecepatan tinggi. Saat berada di sebuah tikungan. Joko memperlambat laju mobil. Lalu berputar balik dan berhenti di sebuah ruko. Dia tertuju pada sebuah toko baru yang kelihatan ramai.
“Toko Surga Dunia,” desis Joko. Lalu dia memperhatikan lagi gambar reklame yang ada di depan toko itu. “Enggak salah, pasti ini tempatnya.”
Segera Joko turun dari mobil. Yang di parkir berseberangan dengan toko itu. Pembeli toko itu cukup banyak.
“Sepertinya lagi ada diskonan. Nanti … ahhh! Tunggu agak sepi aku baru masuk.”
Setelah menunggu hampir setengah jam. Joko menguatkan hati menahan malu memasuki toko itu. Dua orang gadis muda langsung menyapanya ramah.
“Sore, Om. Mau cari dalaman apa? Di sini lengkap dari ukuran sedang sampai super jumbo.”
‘Busyet, nih anak. Yang diomongin kok soal ukuran. Heran?!’
Joko berjalan menuju ke sebuah etalase yang memajang beberapa model pakaian dalam wanita. Seraya dia mengingat pakaian dalam yang dikenakan Ana Dolly.
“Mbak, apa ada pakaian dalam satu set. Yang bagian atasnya itu bolong, bagian cupnya. Hanya ada kain tipis nerawang, enggak ada juga enggak soal sih. Terus bagian celananya itu cuman tali, sama mutiara gitu Mbak. Apa ada yang kayak gitu?” Suara Joko terdengar berbisik.
“A-apa Pak?”
_II_
Jangan lupa berikan vote kalian.
"Wulaaan???" ulang Bu RT dengan gigi yang berbunyi gemertak. Semakin membuat Pak RT salah tingkah dan kelimpungan."Modyarrrr!" bisik Pak RT. "Bagaimana bisa aku kelepasan omong. Kenapa aku harus bilang rumahnya Wulan?" Masih berbisik."Dari ... mana Bapak bisa tahu aku cariin Bapak di rumah janda gatel itu?""Ehhh, perasaan aku tadi enggak bilang. Ibu saja kali yang kedengerannya kayak gitu.""Pak, aku serius. Kupingku ini masih jangkep, enggak bakalan salah denger!""Yaaaa, aku tadi 'kan cuman nebak. Ibu 'kan biasanya memang suka ke situ."Pak RT menjawab enteng, pura-pura tenang dan santai, seolah tidak ada yang terjadi. Mendengar jawaban suami yang seperti itu, Bu RT hanya bisa manyun satu meter. Wanita bertubuh subur itu, berlalu meninggalkan suaminya yang senyum-senyum sendiri.'Aku mau kirim pesan sama Dek Wulan. Pokoknya aku enggak bisa terima dia jalan sama si Beny itu!' bisik Pak RT dalam hati.Tangannya b
"Tuh, Pak. Pakai tali itu, kayak Tom Cruise di Mission Impossible. Ngerti Pak?""Ta-tali?"Wulan manggut-manggut. Lalu, dia maju beberapa langkah. Menarik kain panjang dan mengikatnya pada salah satu sisi pagar besi."Ayo sekarang Bapak naik, dan pegang tali ini!""Se-sekarang aku harus naik pagar ini, terus melompat ke bawah, Wulan?""Iya, enggak ada pilihan!""Waduuhhh!"Wulan bergerak cepat. Dia mengikat ujung kain dan melingkarkan di perut buncit Pak RT."Sekarang juga Pak RT turun, atau Bu RT akan keluarkan jurus lemparan maut. Bisa bendol dahi Bapak nanti.""I-iyaaa ...."Dengan berhati-hati, Pak RT mulai menaiki pagar. Sesekali dia melongok ke bawah."Dek, aku takut.""Pegang yang kencang, Bapak!"Wulan mengeluarkan tenaganya untuk menghentakkan kain tersebut."Loh ... loh, Dek Wulan! A-apa yang mau kamu lakukan?""BIar Bapak cepat mendarat di bumi!
"Pak RT bisa ketahuan lho.""Biarinlah! Aku enggak mau ada masalah sama nih wanita. Bisa-bisa namaku dicatut terus sama dia kalau berurusan pelakor. Belum lagi suaranya yang super kencang itu."Ana hanya bisa menghela napas panjang. Sekilas dia melihat Mbok Lasmi yang berdiri di belakang Bu RT. Dia lebih tertarik menghampirinya, dan menanyakan perihal Joko dan Ana. Wanita cantik itu, meninggalkan Wulan dengan segala keruwetannya bersama Bu RT.Di sisi lain, Bu RT mulai menyusuri segala penjuru ruang. Wulan berusaha untuk tenang, sampai sudut matanya menangkap jempol kaki Pak RT di balik korden."Matek, Pak!" bisik Wulan terkesiap.Segera Wulan berdiri di depan korden, berusaha untuk menutupi jempol kaki Pak RT."Kok, Pak RT enggak ada? Memang kamu sembunyikan di mana ... haaaa?"Wulan menggeleng."Buat apa saya sembunyikan? Ibu bisa cek seluruh isi kamar dari lantai bawah sampai atas. Loh, kurang opo coba?""Kurang ajar!
"Itu, kayaknya Bu RT? Ngapain mereka berdua?"Ana pun ikut mengikuti mereka. Sengaja dia berjaga jarak, agar tidak ketahuan."Apa, Pak RT bener-bener selingkuh sama Mbak Wulan? Kok sampai Bu RT bawa klompen?"Kedua matanya semakin menyipit tajam. Memperhatikan segala gerak gerik mereka."Bukannya Mbak Wulan itu sama Mas Beny, ya?"Rasa penasaran membuat Ana terus mengikuti kedua wanita itu. Dia mengendap-endap, mirip dengan agen MI (Mission Impossible). Merapatkan tubuhnya ke dinding rumah. Sambil sesekali menyelinap di antara pohon mangga."Loh, mereka main bukapagar aja. Aku harus cepat ke sana!"Ana pun berlari kecil mengejar mereka yang sudah memasuki, halaman rumah Wulan. Teriakan Bu RT mengguncangkan perumahan pagi ini."Bapaaaaaaakkk!!!" Sembari siap melemparkan serangan jurus maut.Klompen di tangan kanan sudah siap melayang."Bapaaaaaakkk!" teriak Bu RT tak peduli didengar oleh tetangga yang lain.
"Mbok Lasmi?!" Tampak raut wajahnya keheranan melihat kedatangannya. "Tumben, Mbok? Ada apa?""Ehhh ... Bu RT. Ini lho, tadi saya masak opor ayam. Mau kasih incip.""Wahhh, kebetulan saya juga belum masuk ini, Mbok. Ayo masuk dulu, Mbok!"Mbok Lasmi langsung terlihat senang. Dia meletakkan mangkoknya di atas meja makan."Opor sukaannya Pak RT, MBok.""Ohhh, sekarang ke mana Pak RTnya, Bu?""Paling di dalam. Sukanya 'kan pelihara kembang-kembang, Mbok."Mbok Lasmi, menyeringai masam. Mmebuat Bu RT menarik dagunya hampir menyentuh leher."Memangnya ada apa sih, Mbok?""Soalnya tadi saya kok melihatnya Pak RT keluar rumah, Bu RT. Jalan ke sana!""Sana, mana toh Mbok?""Sana itu lho, Bu RT. Mosok enggak paham toh?"Ucapan Mbok Lasmi semakin membuat Bu RT penasaran."Maksud Mbok Lasmi ke belakang?" Mbok Lasmi mengangguk. "Rumahnya si janda genit itu?" Hampir berteriak Bu RT mengatakanny
"Gimana itu, Mbok? Kok, yo bisa-bisanya itu celana belalainya Mas Joko sampai gosong. Mana berlubang lagi. Gimana itu coba?!" sentak Ana dengan kesal."Sa-sabar dulu Mbak Ana. Nanti buntutnya ini, biar Mbok jahit.""Mana bisaaa, Mbok!"Ana sangat kesal, sampai membanting G-string belalai milik Joko. Napasnya memburu seiring amarah yang mau meledak."Mbok itu enggak tahu ini apa?""Ta-tahu, Mbak. I-itu 'kan ... ehhh, buat tempatnya manuk toh Mbak?""Manuk ... manuk opo, Mbok?""Ehhh ...."Mbok Lasmi hanya bisa gigit jari. Setiap jawaban yang dia lontarkan semakin membuat Ana marah dan berteriak. Langkah Ana terdengar menghentak di lantai."Walahhh, cuman tempat manuk gini ae kok yo marah-marah toh Mbak Ana ini."Ana yang mendengar gerutu Mbok Lasmi menghentikan langkahnya. Lalu, berbalik, "Mbok ngomong apa barusan?""E-enggak, ada ngomong Mbak.""Ngomong! Wong aku ini denger Mbok."