Hampir setiap bersama, kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu melakukan penyatuan, tak ada kata lelah bagi keduanya. Seolah benar adanya, jika kesalahan itu dilakukan maka akan mendapatkan sensasi yang berbeda.
"Terima kasih, Sayang," ucap Rudi sambil mencium pucuk kepala Santi. Setelah raganya merasakan kelelahan yang luar biasa karena dipaksa bekerja menuruti hasratnya."Apa sih nggak buat kamu, Mas, yang penting kamu bahagia," sahut Santi sambil tersenyum menggoda. Dengan Rudi gadis bukan perawan itu mempunyai perasaan lebih. Tak seperti lelaki yang sempat singgah di hidupnya, yang hanya dimanfaatkan hartanya saja."Kamu memang paling mengerti diriku, Sayang," balas Rudi. Setelah itu lelaki itu memejamkan matanya dengan bibir mengulas senyum kepuasan. Tak lama kemudian sudah terdengar dengkuran halus dari bibir tipisnya. Santi tersenyum, baginya wajah itu tak pernah membosankan, semakin dipandang semakin membuatnya terpesona.Besok Rudi akan pulang, menemui anak dan istrinya. Membayangkan kalau Rudi akan memadu kasih dengan istrinya saja membuat Santi cemburu luar biasa, rasanya tak rela jika mereka berbagi peluh dalam nyanyian rindu. Mengingat hal itu, membuat Santi semakin mempererat pelukannya."Hai, ada apa? Mau lagi?" goda Rudi yang terkejut dengan sikap wanita simpanannya."Aku ikut ya, Mas," rengeknya lagi, persis seperti anak kecil yang tengah menginginkan sesuatu, tetapi belum terpenuhi."Nggak usah, Sayang," sahut Rudi dengan suara serak. Sepersekian detik kemudian suasana menjadi hening kembali karena Rudi kembali memejamkan matanya.Santai menatap Rudi yang sudah terlelap, jari lentiknya menelusuri wajah sang kekasih hati. Santi benar-benar dibuat jatuh cinta oleh lelaki beristri tersebut. "Aku tetap akan datang, Mas. Aku tak rela jika kamu bersama keluargamu itu. Aku akan datang dan mengambilmu untuk selamanya," ucapnya sebelum ikut terlelap dalam dekapan Rudi.Dengan Rudi, Santi tak pernah menuntut lebih. Harta bendanya sudah dibilang cukup banyak. Rumah yang saat ini ditempati, sudah beralih atas namanya. Hasil dari menjadi gudik seorang bos bernama Hendrawan.Sementara mobil dan motor dia hasilkan ketika menjadi simpanan seorang pejabat, dulu.Santi tak perlu susah payah menggaet target. Para lelaki hidung belang lah yang berlomba-lomba ingin menjadikannya boneka hidup, segalanya akan diberikan asal Santi mau menjadi pemuas nafsu mereka.Bahkan, minggu lalu dia masih sempat melayani bos Hendrawan untuk yang terakhir kalinya. Setelah lelaki tua itu memaksa dan mengancamnya."Pokoknya aku mau dobel, Nduk," pinta lelaki berperut buncit itu. Bos batu bara kebetulan datang ke kota Santi. Sebenarnya dia sudah pensiun karena usianya yang memang terbilang sudah tua. Semua urusan pekerjaan sudah dialihkan pada putranya. Namun, semangatnya di ranjang masih luar biasa, terkadang membuat Santi kewalahan."Tapi, nanti aku juga dikasih lebih loh," sahut Santi dengan suara manja. Sejak awal dia memang tak pernah memakai hatinya. Namun, kali ini ada yang berbeda, Santi melakukannya karena terpaksa karena hatinya sudah dia serahkan seutuhnya untuk Rudi."Soal itu mah gampang, yang penting sebelum aku pergi jauh dari sini. Kamu harus puas-puasin aku," ucap lelaki itu lagi. Mereka layaknya sepasang kekasih yang ingin menuntaskan segala rasa sebelum jarak memisahkan.Santi tersenyum. "Mas, sebenarnya aku tuh bingung," ucap Santi, sambil memainkan jari lentiknya di dada Hendrawan. Setelah itu wanita pemilik hidung bangir itu membetulkan letak kepala di dada lelaki baya itu. Setelah mereka berbagi peluh."Bingung kenapa, Nduk?" tanya Hendrawan penuh perhatian."Hidupku terlantar tanpa kamu, Mas," sahutnya sambil tersenyum licik."Apa kamu ikut Mas saja? Agar kita selalu bersama, biar aku selalu bisa memanjakan kamu." Lelaki itu memberi penawaran.Mendengar jawaban itu tak serta membuat Santi senang, karena sejatinya dia hanya ingin merayu agar rumah yang dia tempati beralih nama atas dirinya."Ya nggak mau, nanti di sana Mas itu pasti kemana-mana diikuti sama Ibu Maya. Terus aku tinggal di mana kalau ikut ke sana."Pelan-pelan Santi mulai melepaskan umpan. Selama hampir dua tahun menjadi simpanan Hendrawan, lelaki itu tak mengizinkannya tinggal di rumah yang sama. Dua-tiga bulan Santi harus pindah, agar tak sampai terendus keluarganya."Terus kamu maunya apa, Nduk? Hem?" tanya lelaki itu lagi."Uang untuk membeli rumah, biar nanti kalau Mas datang kayak gini, nggak bingung lagi.""Kamu mau beli rumah?" Santi mengangguk. "terus rumah yang dulu?" tanya Hendrawan."Udah kujual, Mas. Pas aku nggak punya uang," jawabannya dengan suara yang dibuat sesedih mungkin."Bilang dong dari tadi. Gampang itu, nanti tak transfer.""Transfer sekarang," rengeknya lagi."Baiklah, kamu memang cewek matre, tapi aku suka." Lelaki hidung belang itu meraih ponselnya, kemudian mentransfer sejumlah uang pada rekening Santi. Setelah selesai dengan urusannya dia memberi kode bahwa dia ingin lagi. Bibir Santi tersenyum, walaupun hatinya mengumpat, "dasar tua bangka rakus!"Santi harus segera pergi karena Rudi sudah berkali-kali menghubunginya. Wanita bertubuh seksi itu meninggalkan Hendrawan yang masih terlelap akibat kelelahan. Santi bahkan tak peduli seandainya lelaki itu mati."Ada apa, Dek?""Kinan ndak nyahut, Bang.""Kinan! Kinan! Buka pintunya, Kinan!"Karena masih belum ada jawaban, Iyan pun mulai mendobrak pintu. Namun, setelah dobrakan kedua terdengar anak kunci yang diputar. Suami-istri itu saling berpandangan, kemudian perlahan melangkah mundur. Pintu kamar terbuka, Iyan dan Ambar sama-sama terperanjat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata."Lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat ...." Tubuh berlumuran darah itu ambruk tetapi masih bisa ditahan oleh Iyan, sehingga tak sampai tersungkur."Ya Allah, Kinan!" seru Ambar bersamaan dengan Iyan."Ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!"Keduanya bergegas ke depan menuju mobil, kemudian dengan kecepatan tinggi Iyan membelah jalanan yang tidak terlalu padat.**Semua keluarga kembali dan langsung ke rumah sakit di mana Kinan dirawat. Begitu juga dengan Miranti dan Bowo, keduanya langsung berangkat setelah mendapatkan kabar. Diiringi isak tangis, Miranti berkali-kali meminta maaf pada Farida kar
Malam sudah larut ketika mobil yang dikendarai Iyan sampai di kediamannya. Selama perjalanan, kedua pasutri itu membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sementara Kinan memilih untuk memejamkan matanya, wanita bertubuh agak berisi itu berpura-pura tidur untuk meredam gejolak amarah karena cemburu, hingga dia benar-benar terlelap, walaupun tak nyenyak. Iyan meminta Ambar untuk membangunkan Kinan. Sementara dia membuka pintu."Mbak Kinan, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Ambar dengan suara pelan sambil mengguncang pundak wanita pemilik wajah manis itu. Kinan mengerjap, setelah kesadaran pulih, tanpa bicara dia keluar dari mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di samping mobil."Terima kasih, Mas," ucap Kinan saat dia sampai di depan Iyan yang berdiri di samping pintu, Iyan hanya tersenyum dan itu membuat Kinan melanjutkan langkahnya dengan pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu semakin kesal ketika Iyan melangkah ke arah istrinya.Kinan se
"Ya udah kalau terserah abang. Kamu nggak boleh protes ya." Akhirnya dia berucap. Ambar yang mendengarnya hanya menghedikkan bahu sebagai jawaban.Wanita pemilik bulu mata lentik itu mengerutkan keningnya setelah mobil yang dikendarai suaminya hanya berpindah tempat parkir."Hotel?" tanyanya sambil mengamati sekitar."Iya, katanya terserah aku. Aku kan mau makan itu," goda Iyan sambil menaik turunkan kedua alisnya."Abang ...." Ambar benar-benar tak menyangka suaminya bisa berpikir ke situ."Udah dua malam loh, Dek. Kamu tak tahu bagaimana rasanya jadi aku." Saat mengatakannya Iyan memasang muka memelas hingga membuat Ambar gemas."Tapi ... tapi kenapa mesti di hotel? Aku ndak bawa surat nikah loh," sanggah Ambar cepat."Tenang," sahut Iyan sambil mengeluarkan buku tipis dari laci mobil."Abang, ish ...." Ambar semakin salah tingkah dibuatnya."Yuk! Ayo ... apa mau tak gendong?" ancam Iyan karena Ambar tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Bundanya Alif itu mengalah, dengan langk
Sepanjang perjalanan Kinan tak henti-hentinya bercerita, walaupun tak ada tanggapan yang berarti dari Iyan. Sementara Ambar masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini bundanya Alif itu tengah berbalas pesan dengan Vina. [Hai, Mbakku. Lagi ngapain?] tanya Vina dalam pesannya.Ambar mengambil foto lalu mengirimkan pada Vina [Lagi nganterin bumil periksa] balasnya.Vina mengirimkan emoticon mata terbelalak, menandakan kalau dia tengah terkejut. [Baru kemarin dia periksa loh. Wah nggak bener ini] balasnya yang diakhiri dengan emoticon marah.[Biarin aja kita ikuti saja permainannya. Rencana kalina mau nginep berapa hari?] Ambar mengalihkan pembicaraan.[Terus Abang bagaimana? Apa dia nggak nolak gitu?] tanya Vina lagi, gadis itu sungguh penasaran campur geram pada Kinan.[Udah, tapi mo gimana lagi, di rumah cuma ada kita kan] terkirim dan langsung centang biru. Vina sedang mengetik."Dek Ambarku, seru banget main ponselnya, sampai senyam-senyum sendiri." Iyan yang sudah penasaran dengan sika
Kedua insan yang tengah kasmaran itu meredam gejolak yang tadinya berkorbar. "Aku akan melihatnya," ucap Ambar dengan suara serak dan napas tersengal."Aku saja," cegah Iyan yang juga tengah mengatur napasnya."Jangan, Bang. Itu pasti Kinan. Bair aku aja. Abang mandi dulu gih, sebentar lagi Magrib," ujar Ambar sambil melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbak Kinan?" tanya Ambar setelah pintu terbuka."Maaf, Mbak Ambar. Mas Iyan-nya ada? Aku mau bicara dengannya." Tanpa rasa segan Kinan mencari lelaki yang jelas-jelas sudah beristri."Katakan saja, nanti aku sampaikan padanya," sahut Ambar cepat."Aku lebih enak ngomong sama Mas Iyan langsung." Kinan masih bersikeras dengan keinginannya."Ada apa, Dek?" tanya Iyan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat Iyan yang tengah mengacak rambutnya yang basah, Kinan menjadi kesal, wanita yang tengah hamil muda itu cemburu."Nanti habis Magrib, Mas Iyan antar aku periksa ke bidan ya? Sebenarnya balum waktunya balik, tapi badanku rasanya kura
"Maaf, Tante. Aku ndak bisa ikut, tadi aku sudah bilang sama Mas Iyan?" Ucapan Kinan mengejutkan semua orang yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Mereka semua menoleh pada wanita berparas ayu tersebut.Vina yang sudah bersiap mengangkat ransel, kembali meletakkannya. "Bagaimana bisa, Kinan. Alif aja ikut kami, harusnya kamu ngerti dong." Vina sudah tidak tahan lagi. Adik ipar Ambar itu semakin kesal menghadapi keras kepalanya Kinan."Aku sungguh kurang enak badan, Vin. Kamu tahu, bahkan hanya mendengar kata 'naik mobil' perutku sudah mual," sanggah Kinan."Omong kosong!" umpat Vina yang sudah tidak tahan lagi dengan sandiwara Kinan."Vina ...." Sebenarnya Farida mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, setelah semua bekerjasama memberi waktu pada Iyan dan Ambar, Kinan malah merusaknya. "Dia hanya berpura-pura, Bu," tukas Vina. Namun, wanita yang melahirkannya itu tak begitu menghiraukan. "Sudahlah, jika Kinan tak mau ikut, nggak usah dipaksa. Ayo sekarang kita ke depan, kasih