Beranda / Romansa / GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA / Diusir setelah ijab qobul

Share

GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA
GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA
Penulis: anggikartika93

Diusir setelah ijab qobul

Penulis: anggikartika93
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-29 10:36:12

"Saya terima nikahnya Arini Cantika binti Ardiansyah dengan mas kawin uang lima juta di bayar tunai," Mas Wawan mengucapkan lafadz ijab qobul dengan lancar dan tanpa keraguan sedikit bun.

"Bagaimana para saksi?" tanya Pak Penghulu yang di tunjuk sebagai wali nikah oleh Bapakku. 

"Saaaaah," ucap para saksi dengan teriakan riuh.

Aku keluar dari kamar dengan mengenakan baju pengantin kebaya sederhana yang berwarna putih dan rok batik. Aku juga di gandeng oleh Gina dan Ayu--dua sahabatku-- di samping kanan dan kiriku. 

Mas Wawan tersenyum menatapku. Aku tersenyum malu, baru kali ini aku dipandang tanpa kedip oleh lelaki yang berstatus sebagai suami. 

"Ibu sebenarnya enggak setuju Arini menikah dengan Wawan, Pak! Wawan itu cuma pria kampung yang enggak punya modal! Masa anak Ibu di nikahi hanya dengan pesta sederhana dan mahar lima juta," kata Ibuku dengan sinis kepada Bapakku. 

"Bu, jangan keras-keras. Malu atuh kalo sampai di dengar tetangga," protes Bapak yang kesal karena kata-kata yang Ibu lontarkan.  

"Apa benar Bu si Arini menikah mendadak dan sederhana begini karena hamil di luar nikah?" celetuk Bu Leha, seorang Ibu yang merupakan bandar gosip di kampungku. 

"Iya kali. Bisa jadi iya," jawab Ibu dengan ketus. 

"Hussh enggak boleh bilang gitu Bu. Arini dan Wawan menikah secara baik-baik dan melalui proses ta'aruf. Ibu enggak boleh bilang begitu. 

Hatiku sangat sakit mendengar kalimat Ibuku sendiri dan yang Bu Leha ucapkan. Betapa rendah dan hinanya diri ini di mata mereka. Memang secara penampilan, Mas Wawan adalah pria sederhana dan belum punya pekerjaan tetap. Namun ia selalu berjanji padaku untuk bekerja apa saja yang penting halal demi menghidupi diriku setelah menikah.  

Acara ijab qobul selesai. Mas Wawan menyematkan cincin emas putih dengan di hiasi permata yang bermata putih juga. Begitu cincin tersebut telah di sematkan di tanganku, aku langsung menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Wawan.  

"Eh maaf Mas. Aku enggak biasa," bisikku kepada lelaki jangkung itu.  

"Oh iya enggak papa," jawab Mas Wawan yang bisa memaklumi keadaanku. 

"Untung kamu nikahnya enggak gitu dulu Mi. Kamu pinter cari suami yang kaya raya dan memberi mahar tiga puluh juta. Terus acara nikah dan resepsinya di gedung. Enggak kayak Arini yang bisanya cuma nikah ijab qobul doang," kata Ibu lagi kepada Mbak Arumi--kakak perempuanku satu-satunya. 

"Iya dong Bu. Anak siapa dulu. Anak Ibu," kata Mbak Arumi dengan jumawa. 

"Kalian ini berisik sekali! Enggak bisa diam apa," tegur Bapak sekali lagi. 

"Suruh siapa juga Arini mau di nikahi pria kere macam si Wawan. Sudah resiko itu Pak kalau Arini menjadi buah bibir warga kampung sini," timpal Mas Irgi--kakak iparku-- dengan pongahnya. 

Pak penghulu menyerahkan buku nikah kepada kami. Maharpun di serahkan juga oleh Mas Wawan kepadaku, uang lima juta yang di letakkan di dalam sebuah kotak kayu yang begitu antik. 

Bi Siti--tetangga sebelah rumahku membantu membagikan hidangan yang telah kami masak dini hari tadi kepada para tamu. Hanya nasi goreng dengan suwiran telur di atasnya. Aku dan Bi Siti lah yang memasak. Sedangkan Ibu dan Mbak Arumi tidak mau membantu kami memasak dengan alasan masih mengantuk.  

"Makanan macam apa ini? Masa hajatan nikah hidangannya cuma nasi goreng doang?" celetuk salah satu tetangga kami.  

Aku hanya bisa mengelus dada dengan celetukan salah satu tetanggaku yang julid. Maklum biasanya di kampungku, acara hajatan pernikahan pasti di selenggarakan dengan meriah. Jika mengadakan pesta sederhana maka akan di anggap sebuah aib oleh warga kampung. 

Aku sangat malu sebenarnya kepada Mas Wawan dan Ayahnya karena omongan pedas Ibu dan tetangga kampung ini. Ibu dari Mas Wawan tidak ikut ke sini karena sedang sakit dan berada di kampungnya. 

"Tapi nasi goreng ini enak lho. Tak salah memang anakku memilih menantu yang pandai memasak," sahut Ayah mertuaku yang asyik menikmati nasi goreng buatanku. 

"Ya iyalah, bagi orang kampung sih masakan anakku enak. Baru pertama kali ya menikmati makanan enak," balas Ibuku kepada besannya.  

Kulihat wajah Ayah mertuaku memerah. Seperti menahan emosi atau malu. Tapi beliau hanya diam saja tanpa mau membalasnya sedikitpun. 

Acara akad nikah selesai. Tetangga sudah pada pulang, termasuk ayah mertuaku. Tinggallah kami keluarga inti yang ada di rumah ini.  

"Jangan lupa kalian bereskan piring-piring ini dan di cuci," perintah Ibu kepada Mas Wawan.  

"Iya Bu, siap," jawab Mas Wawan.  

"Mas, tenang aja. Nanti aku bantuin kok," bisikku di telinga suamiku. 

"Enggak usah Dek. Kamu ganti baju dan istriahat aja sana. Ini sudah tugas dan kewajibanku sebagai suami. Tugas suami bukan hanya mencari nafkah buat istrinya. Tetapi pekerjaan rumah tangga itu sebenarnya tugas suami," balas Mas Wawan dengan tersenyum simpul. 

"Baguslah kalau kamu juga mengerti tugas rumah tangga. Sudah kerja serabutan, jangan sampai kamu malas dan ongkang-ongkang kaki di rumah ini," sahut Ibu ketus.  

"Tapi Mas Irgi aja enggak pernah membantu pekerjaan rumah tangga," protesku kesal.  

"Ya bedalah. Suami Mbakmu kerja kantoran, dia berangkat pagi dan pulang sore. Orang habis kerja itu capek. Wajarlah ia istirahat." 

Aku kesal dengan jawaban Ibu yang terlalu memanjakan Mas Irgi. Padahal kalau di rumah, kerjaan Mas Irgi memang hanya main game saja. Ia tak malu dengan Bapak, yang selalu sigap membantu Ibu mengerjakan rumah tangga. 

Aku langsung berganti pakaian daster. Setelah itu aku menyapu ruang tamu. Mas Wawan membawa piring-piring ke dapur. Ia juga mengumpulkan dan membuang gelas-gelas bekas air mineral. Ibu, Mbak Arumi, dan Mas Irgi hanya diam saja tak sedikit pun membantu kami. Sementara itu, setelah acara selesai tadi, Bapak ada urusan di kantornya yaitu di kantor desa yang menjadi tempat Bapak bekerja selama ini.  

Aku menyabuni piring-piring kotor dan Mas Wawan lah yang membilasnya dengan air bersih.  

"Sudah kubilang untuk istirahat, tapi kamu malah bantuin aku," kata Mas Wawan merajuk. 

"Ah sudahlah Mas. Bukankah kalau pekerjaan itu di kerjakan berdua lebih ringan?" balasku memberi semangat kepada Mas Wawan. 

Mas Wawan mengangguk. Akhirnya pekerjaan kami selesai, kami bersiap akan masuk kamar dan beristirahat. 

"Mau kemana kalian?" tegur Ibu yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu kamar kami. 

"Mau ke kamar Bu, istirahat," jawab Mas Wawan dengan sopan. 

"Heh, orang seperti kamu enggak pantas tidur di rumahku! Lebih baik kalian tidur di pondok belakang rumah!" perintah Ibu menunjuk ke arah belakang rumah. 

"Itu kan dekat kandang kambing Bu," Mbak Arumi menimpali. 

"Iya, biar aja sekalian mereka yang mengurus kambing-kambing kita," sahut Ibu sinis. 

"Tapi Bu.. " aku berusaha memprotes. 

Namun Ibu dan Mbak Arumi saling berpandangan. Mereka kemudian masuk ke kamarku dan membawa pakaianku. 

"Lebih baik kamu dan suamimu tinggal di pondok itu, aku enggak sudi punya anak yang susah payah ku sekolahkan sampai jadi sarjana tapi malah memilih menikah dengan pria miskin!" hardik Ibu sambil menghamburkan pakaianku dan Mas Wawan di halaman belakang rumah kami.  

Aku dan Mas Wawan memunguti pakaian kami sambil menitikkan airmata.  

"Ya Allah Bu, kenapa sih Ibu tega banget sama kami?" tanyaku sambil mengusap air mataku namun tak di hiraukan oleh Ibu. 

* * 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Wawan Dijebak

    Beberapa bulan kemudian...Toko pertanian milik Arini makin ramai. Ia kini tak hanya menjual pupuk dan alat pertanian, tapi juga menjadi tempat konsultasi petani kecil di sekitar kota. Bahkan, Dinas Ketahanan Pangan Provinsi menunjuk toko tersebut sebagai salah satu UMKM binaan unggulan.Karena kegigihannya, Arini diundang sebagai pembicara dalam seminar perempuan wirausaha tingkat provinsi. Undangan itu membuatnya gugup sekaligus bangga. Siapa sangka, perempuan yang dulu dianggap hanya 'anak angkat', kini berdiri sejajar dengan para pengusaha tangguh?Di sisi lain, Wawan pun tak kalah bersinar. Setelah bekerja sebagai penyuluh pertanian honorer, ia akhirnya lolos tes PPPK di Dinas Pertanian. Nilainya nyaris sempurna, tak heran, Wawan memang lulusan cumlaude jurusan pertanian. Dedikasi dan kerja kerasnya yang luar biasa kini membuahkan hasil yang begitu manis.Di hari seminar itu, Arini tampil anggun mengenakan gamis berwarna pastel dan hijab segiempat bermotif polkadot. Wanita ayu it

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Peluang untuk Arini

    Keesokan harinya...Pagi itu cuaca cerah. Matahari belum terlalu terik, angin berembus lembut menyapu halaman toko alat pertanian milik Arini. Di sudut halaman, seorang wanita paruh baya mengenakan kerudung ala Yenny Wahid dan daster batik lengan panjang. Wanita tua itu sedang menyapu dengan cekatan.Dialah Bi Sumi, yang kini tinggal bersama Arini dan Wawan. Meski sudah tidak bekerja pada Bu Risna, rasa tanggung jawab dan cintanya terhadap keluarga membuatnya tetap rajin membantu Termasuk merawat halaman toko tempat Arini merintis usahanya.Namun saat menyapu ke bagian depan, Bi Sumi tiba-tiba berhenti. Matanya membelalak, wanita tua itu terkejut melihat dua sosok yang begitu ia kenal. Tepat di seberang gang kecil ada dua orang yang duduk bersandar di tembok Mereka adalah Irgi, anak kandungnya, dan Arumi, menantunya. Mereka tampak kusut dan letih. Suara lirih keluhan pun terdengar dari bibir Arumi."Aku lapar banget, Mas. Kita cuma minum air dari galon warung tadi. Gimana ini? Kamu j

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Hijrah ke Kota

    Arini hanya bisa mematung, tubuhnya masih gemetar. Pecahan kaca berserakan di lantai ruang tengah, suara tangisannya menggema, namun ia berusaha menahannya agar tidak makin menambah kepanikan.Wawan kembali masuk ke dalam rumah setelah gagal mengejar pelaku. Napasnya memburu, pria itu berusaha menenangkan istrinya."Maaf, Dek. Mas nggak berhasil tangkap orangnya. Tapi Mas sudah lihat motornya, nanti kita lapor polisi," katanya sambil meraih tangan Arini dan membawanya menjauh dari pecahan kaca.Arini hanya mengangguk. Di dalam hatinya, ia tahu siapa yang kemungkinan besar berada di balik ini semua.Dan benar saja…Keesokan paginya, ketika Arini dan Wawan membersihkan pecahan kaca dan memperbaiki jendela, terdengar suara motor berhenti di depan rumah kontrakan mereka. Wawan menyipitkan mata, ia merasa mengenali suara itu.“Arumi,” bisik Arini pelan, ketika melihat Arumi turun dari motor bersama Irgi.Arumi melipat tangannya di dada, berdiri dengan kepala terangkat tinggi. “Wah, rumah or

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Kebenaran Mulai Terungkap

    Setelah semua masalah ini, aku merasa... seperti baru saja menikah denganmu lagi, Mas," ucap Arini sambil menyandarkan kepalanya di bahu Wawan.Wawan tersenyum lembut. "Dan aku seperti baru menemukan makna sejati jadi suami."Mereka tertawa kecil. Tetapi keduanya tahu, ini bukan akhir dari segalanya, hanya awal dari kehidupan pernikahan mereka yang lebih dewasa.****Beberapa minggu setelah pindah ke kontrakan kecil di ujung desa, kehidupan Arini dan Wawan terasa lebih tenang. Walau rumahnya sederhana hanya terdiri dari dua kamar, namun mereka bahagia karena bisa saling mendukung dan hidup tanpa tekanan dari orangtua. Terutama kedua orangtua dari Wawan. Namun ketenangan itu nyatanya hanya bertahan sebentar. Suatu pagi, saat Arini sedang menggantung jemuran, ia mendengar suara gaduh di luar pagar kontrakan. Betapa kagetnya dia ketika melihat Arumi dan Irgi berdiri di sana sambil membawa koper!"Apa-apaan ini? Kalian ngapain di sini?" tanya Arini terkejut."Eh, bukan rumah ini punya ka

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Semakin terkuak

    Arumi ternganga mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Ibunya. Dirinya tidak menyangka kalau selama ini Arini bukan adik kandungnya. Memang selama ini Bu Mala selalu membedakan perlakuan kedua anaknya. Bu Mala selalu mengutamakan Arumi ketimbang Arini. Secara fisik memang Arumi jauh lebih cantik dan berkulit putih daripada Arini yang berkulit kuning langsat. Namun soal sifat memang jauh lebih rajin dan penurut Arini. Sejak kecil Arini selalu disuruh mengalah demi kepentingan pribadi Arumi oleh Bu Mala. Arumi selalu mendapatkan fasilitas yang baik, sedangkan Arini mendapatkan fasilitas seadanya. Begitulah Bu Mala membedakan kedua anaknya. Kalau Arumi salah maka ia selalu dibela tanpa mementingkan perasaan Arini. * * Pak Agus hanya menghela nafasnya panjang. Ia hanya diam mendengarkan omelan istrinya yang sudah bosan ia dengar selama berpuluh-puluh tahun ini. Pria tua itu sudah menjelaskan berkali-kali tanpa henti kepada Bu Mala. Namun Bu Mala tetap saja tidak mau mendengarkan.

  • GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA    Kenyataan pahit

    "Sekali lagi, aku minta maaf, Mas," kata Arini lagi. Gadis itu tidak dapat berkata-kata selain maaf. Kedua pelupuk matanya terasa menghangat, pandangannya kabur, tetapi ia berusaha menahan agar cairan bening yang tertahan itu tidak mengalir. Arini hanya ingin mengungkapkan kegusarannya selama ini. Apalagi ibu mertuanya sudah menunjukkan rasa tidak suka secara terang-terangan. Ia tidak mau beban yang dirasakannya dipendam sendiri dan sampai berlarut-larut ia tahan. Ia tidak mau hal ini menjadi duri dalam daging di dalam pernikahannya. Walau kelihatannya adalah sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan. Namun Arini takut kalau hal yang kelihatan kecil ini menjadi api pemantik dalam perjalanan rumah tangganya nantinya.Wawan hanya bisa diam. Dia sungguh merasa malu dengan istrinya sendiri. Apalagi ketika tau kenyataan yang sebenarnya kalau Ibundanya sengaja memberikan istrinya pil KB. Padahal ia sudah berkata pada ibunya kalau dia sangat menginginkan seorang anak. Sungguh kenyataan yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status