Share

GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA
GARA-GARA MAHAR LIMA JUTA
Author: anggikartika93

Diusir setelah ijab qobul

"Saya terima nikahnya Arini Cantika binti Ardiansyah dengan mas kawin uang lima juta di bayar tunai," Mas Wawan mengucapkan lafadz ijab qobul dengan lancar dan tanpa keraguan sedikit bun.

"Bagaimana para saksi?" tanya Pak Penghulu yang di tunjuk sebagai wali nikah oleh Bapakku. 

"Saaaaah," ucap para saksi dengan teriakan riuh.

Aku keluar dari kamar dengan mengenakan baju pengantin kebaya sederhana yang berwarna putih dan rok batik. Aku juga di gandeng oleh Gina dan Ayu--dua sahabatku-- di samping kanan dan kiriku. 

Mas Wawan tersenyum menatapku. Aku tersenyum malu, baru kali ini aku dipandang tanpa kedip oleh lelaki yang berstatus sebagai suami. 

"Ibu sebenarnya enggak setuju Arini menikah dengan Wawan, Pak! Wawan itu cuma pria kampung yang enggak punya modal! Masa anak Ibu di nikahi hanya dengan pesta sederhana dan mahar lima juta," kata Ibuku dengan sinis kepada Bapakku. 

"Bu, jangan keras-keras. Malu atuh kalo sampai di dengar tetangga," protes Bapak yang kesal karena kata-kata yang Ibu lontarkan.  

"Apa benar Bu si Arini menikah mendadak dan sederhana begini karena hamil di luar nikah?" celetuk Bu Leha, seorang Ibu yang merupakan bandar gosip di kampungku. 

"Iya kali. Bisa jadi iya," jawab Ibu dengan ketus. 

"Hussh enggak boleh bilang gitu Bu. Arini dan Wawan menikah secara baik-baik dan melalui proses ta'aruf. Ibu enggak boleh bilang begitu. 

Hatiku sangat sakit mendengar kalimat Ibuku sendiri dan yang Bu Leha ucapkan. Betapa rendah dan hinanya diri ini di mata mereka. Memang secara penampilan, Mas Wawan adalah pria sederhana dan belum punya pekerjaan tetap. Namun ia selalu berjanji padaku untuk bekerja apa saja yang penting halal demi menghidupi diriku setelah menikah.  

Acara ijab qobul selesai. Mas Wawan menyematkan cincin emas putih dengan di hiasi permata yang bermata putih juga. Begitu cincin tersebut telah di sematkan di tanganku, aku langsung menarik tanganku yang dipegang oleh Mas Wawan.  

"Eh maaf Mas. Aku enggak biasa," bisikku kepada lelaki jangkung itu.  

"Oh iya enggak papa," jawab Mas Wawan yang bisa memaklumi keadaanku. 

"Untung kamu nikahnya enggak gitu dulu Mi. Kamu pinter cari suami yang kaya raya dan memberi mahar tiga puluh juta. Terus acara nikah dan resepsinya di gedung. Enggak kayak Arini yang bisanya cuma nikah ijab qobul doang," kata Ibu lagi kepada Mbak Arumi--kakak perempuanku satu-satunya. 

"Iya dong Bu. Anak siapa dulu. Anak Ibu," kata Mbak Arumi dengan jumawa. 

"Kalian ini berisik sekali! Enggak bisa diam apa," tegur Bapak sekali lagi. 

"Suruh siapa juga Arini mau di nikahi pria kere macam si Wawan. Sudah resiko itu Pak kalau Arini menjadi buah bibir warga kampung sini," timpal Mas Irgi--kakak iparku-- dengan pongahnya. 

Pak penghulu menyerahkan buku nikah kepada kami. Maharpun di serahkan juga oleh Mas Wawan kepadaku, uang lima juta yang di letakkan di dalam sebuah kotak kayu yang begitu antik. 

Bi Siti--tetangga sebelah rumahku membantu membagikan hidangan yang telah kami masak dini hari tadi kepada para tamu. Hanya nasi goreng dengan suwiran telur di atasnya. Aku dan Bi Siti lah yang memasak. Sedangkan Ibu dan Mbak Arumi tidak mau membantu kami memasak dengan alasan masih mengantuk.  

"Makanan macam apa ini? Masa hajatan nikah hidangannya cuma nasi goreng doang?" celetuk salah satu tetangga kami.  

Aku hanya bisa mengelus dada dengan celetukan salah satu tetanggaku yang julid. Maklum biasanya di kampungku, acara hajatan pernikahan pasti di selenggarakan dengan meriah. Jika mengadakan pesta sederhana maka akan di anggap sebuah aib oleh warga kampung. 

Aku sangat malu sebenarnya kepada Mas Wawan dan Ayahnya karena omongan pedas Ibu dan tetangga kampung ini. Ibu dari Mas Wawan tidak ikut ke sini karena sedang sakit dan berada di kampungnya. 

"Tapi nasi goreng ini enak lho. Tak salah memang anakku memilih menantu yang pandai memasak," sahut Ayah mertuaku yang asyik menikmati nasi goreng buatanku. 

"Ya iyalah, bagi orang kampung sih masakan anakku enak. Baru pertama kali ya menikmati makanan enak," balas Ibuku kepada besannya.  

Kulihat wajah Ayah mertuaku memerah. Seperti menahan emosi atau malu. Tapi beliau hanya diam saja tanpa mau membalasnya sedikitpun. 

Acara akad nikah selesai. Tetangga sudah pada pulang, termasuk ayah mertuaku. Tinggallah kami keluarga inti yang ada di rumah ini.  

"Jangan lupa kalian bereskan piring-piring ini dan di cuci," perintah Ibu kepada Mas Wawan.  

"Iya Bu, siap," jawab Mas Wawan.  

"Mas, tenang aja. Nanti aku bantuin kok," bisikku di telinga suamiku. 

"Enggak usah Dek. Kamu ganti baju dan istriahat aja sana. Ini sudah tugas dan kewajibanku sebagai suami. Tugas suami bukan hanya mencari nafkah buat istrinya. Tetapi pekerjaan rumah tangga itu sebenarnya tugas suami," balas Mas Wawan dengan tersenyum simpul. 

"Baguslah kalau kamu juga mengerti tugas rumah tangga. Sudah kerja serabutan, jangan sampai kamu malas dan ongkang-ongkang kaki di rumah ini," sahut Ibu ketus.  

"Tapi Mas Irgi aja enggak pernah membantu pekerjaan rumah tangga," protesku kesal.  

"Ya bedalah. Suami Mbakmu kerja kantoran, dia berangkat pagi dan pulang sore. Orang habis kerja itu capek. Wajarlah ia istirahat." 

Aku kesal dengan jawaban Ibu yang terlalu memanjakan Mas Irgi. Padahal kalau di rumah, kerjaan Mas Irgi memang hanya main game saja. Ia tak malu dengan Bapak, yang selalu sigap membantu Ibu mengerjakan rumah tangga. 

Aku langsung berganti pakaian daster. Setelah itu aku menyapu ruang tamu. Mas Wawan membawa piring-piring ke dapur. Ia juga mengumpulkan dan membuang gelas-gelas bekas air mineral. Ibu, Mbak Arumi, dan Mas Irgi hanya diam saja tak sedikit pun membantu kami. Sementara itu, setelah acara selesai tadi, Bapak ada urusan di kantornya yaitu di kantor desa yang menjadi tempat Bapak bekerja selama ini.  

Aku menyabuni piring-piring kotor dan Mas Wawan lah yang membilasnya dengan air bersih.  

"Sudah kubilang untuk istirahat, tapi kamu malah bantuin aku," kata Mas Wawan merajuk. 

"Ah sudahlah Mas. Bukankah kalau pekerjaan itu di kerjakan berdua lebih ringan?" balasku memberi semangat kepada Mas Wawan. 

Mas Wawan mengangguk. Akhirnya pekerjaan kami selesai, kami bersiap akan masuk kamar dan beristirahat. 

"Mau kemana kalian?" tegur Ibu yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu kamar kami. 

"Mau ke kamar Bu, istirahat," jawab Mas Wawan dengan sopan. 

"Heh, orang seperti kamu enggak pantas tidur di rumahku! Lebih baik kalian tidur di pondok belakang rumah!" perintah Ibu menunjuk ke arah belakang rumah. 

"Itu kan dekat kandang kambing Bu," Mbak Arumi menimpali. 

"Iya, biar aja sekalian mereka yang mengurus kambing-kambing kita," sahut Ibu sinis. 

"Tapi Bu.. " aku berusaha memprotes. 

Namun Ibu dan Mbak Arumi saling berpandangan. Mereka kemudian masuk ke kamarku dan membawa pakaianku. 

"Lebih baik kamu dan suamimu tinggal di pondok itu, aku enggak sudi punya anak yang susah payah ku sekolahkan sampai jadi sarjana tapi malah memilih menikah dengan pria miskin!" hardik Ibu sambil menghamburkan pakaianku dan Mas Wawan di halaman belakang rumah kami.  

Aku dan Mas Wawan memunguti pakaian kami sambil menitikkan airmata.  

"Ya Allah Bu, kenapa sih Ibu tega banget sama kami?" tanyaku sambil mengusap air mataku namun tak di hiraukan oleh Ibu. 

* * 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status