Share

Hinaan para tetangga

"Dek, kita enggak usah bersedih di usir Ibu. Gimana kalau kita ke rumahku aja? Daripada kita tinggal di pondok belakang ini, sungguh tak layak di sebut pondok. Apalagi tempat bernaung untuk kita tinggali," tawar Mas Wawan kepadaku. Aku masih mengusap air mataku yang terjatuh karena kata-kata Ibu.

Mataku berbinar-binar mendengar kalau Mas Wawan akan mengajakku ke rumahnya. Tetapi memang benar apa yang di katakan Mas Wawan, pondok di belakang yang di sebut Ibu lebih mirip kandang kambing ketimbang rumah.

"Emang enggak papa di rumah Mas?" tanyaku dengan suara tangis yang terisak. 

"Siapa yang bilang enggak boleh? Yuk kita bereskan dulu pakaian kita," kata Mas Wawan dengan sabar membujukku.

"I, iya Mas. Tapi aku kan belum pernah ke rumah kamu sama sekali. Aku malu Mas." 

Di kampungku terbilang tak elok jika seorang gadis berkunjung ke rumah seorang laki-laki jika belum menikah.

"Nah makanya karena kita sudah sah. Ayo kita ke rumahku."

Aku pun mengangguk. Dengan cekatan Mas Wawan memasukkan pakaian kami ke dalam tas yang tadi di lempar oleh Mbak Arumi. 

"Pakai kerudungmu dulu, Sayang," kata Mas Wawan sambil menyerahkan kerudung model bergo berwarna hitam kepadaku. Untungnya aku memakai daster lengan panjang yang panjangnya sampai mata kaki.

"Oh iya hampir lupa Mas," balasku mengambil kerudung yang berada di tangan Mas Wawan. 

Mas Wawan tersenyum melihat tingkahku. Aku memakai kaos kaki hitam. Dasterku juga berwarna hitam polos dengan aksen renda coklat di bagian lengan dan dada. Penampilanku seperti orang yang sedang berduka cita. Memang benar aku sedang berduka cita karena di usir oleh Ibuku dari rumah. 

"Kita naik apa Mas ke rumahmu? Bukannya kamu tau, kalau aku tak punya sepeda motor lagi karena sudah di jual oleh Ibuku," tukasku dengan nada sedih. 

"Kok bisa di jual?" tanya Mas Wawan dengan mengernyitkan kening. 

"Katanya karena aku cuma bekerja di rumah jualan online jadinya daripada sepeda motorku nganggur, mending di jual aja. Itung-Itung sebagai biaya ganti rugi karena menyekolahkanku dulu."

Pekerjaanku adalah jualan online. Hobiku adalah membuat kerajinan makrame. Makrame adalah suatu seni yang menyatukan simpul yang terdiri atas beberapa tali atau benang untuk membuat sebuah karya tangan.

Aku suka membuat tas dan dompet dari tali kur. Kemudian memasarkannya secara online melalui aplikasi sosial media yang kumiliki. Peminat tas dan dompet buatanku mulai dari teman-temanku sendiri sampai ke luar pulau. Biasanya mereka memesan terlebih dahulu model tas atau dompet yang mereka inginkan. 

Mas Wawan geleng-geleng kepala mendengar ceritaku. Mungkin ia tak habis pikir atau bahkan tak percaya dengan apa yang kukatakan. 

"Kok ada ya Ibu macam itu. Aku aja tadi kaget, kok bisa sih Ibumu bersikap begitu kepada kita," sahut Mas Wawan dengan nada yang bertanya-tanya. 

Tentu saja aku malu dengan kalimat yang Mas Wawan ucapkan. Baru beberapa jam sah menjadi suamiku, tapi sudah mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan dari Ibuku sendiri.

"Maafkan Ibuku ya Mas. Mungkin kamu kaget dengan sikap beliau yang seperti itu. Tapi aku sudah terbiasa dengan sikap beliau," jawabku dengan perasaan yang tak enak. 

"Iya, enggak usah di pikirkan. Oh ya, tapi kita jalan kaki aja ke rumahku. Kamu mau aja kan?" 

"Iya enggak papa Mas."

Aku berjalan bersama Mas Wawan dengan bergandengan tangan. Sepanjang jalan kami bertukar cerita tentang masa kecil kami yang indah. Para warga kampung melihat kami dengan tatapan sinis. Aku menyadari arti tatapan mereka karena bagi mereka aku hanya menikah dengan pria miskin.

"Mau kemana Ar? Kok baru jadi manten sudah bawa tas aja?" celetuk Bu Sinta, salah satu Ibu-ibu tukang gosip. 

"Halah paling di usir sama Ibunya karena menikah dengan pria miskin! Kok bisa ya sarjana tapi menikah dengan pria miskin. Percuma sekolah tinggi. Mending enggak usah sekolah aja sama sekali," balas Bu Indah yang di sambut gelak tawa oleh Ibu-ibu yang lain. 

Mas Wawan hanya membalas dengan  senyuman ejekan Ibu-ibu itu. Jelas aku tak terima dengan ejekan mereka. 

"Mas balas dong Ibu-ibu itu! Jangan diem aja kayak gini," kataku sewot dan tak terima suamiku di hina.

Mas Wawan menenteng tas yang berisi pakaian kami sedari tadi. Ia mengambil ponsel dari saku celananya. Sepertinya ia sedang mengecek notifikasi dari ponsel miliknya yang bergambar apel di gigit. Tentu saja aku terkejut melihatnya.

 

'Wow itu kan ponsel mahal! Aku aja enggak sanggup untuk membelinya. Kok bisa sih Mas Wawan mempunyai ponsel itu," kataku dalam hati. 

"Kita tunggu sebentar di sini dulu ya," ujar Mas Wawan yang membuatku jengah. 

"Lho kok nunggu di sini sih Mas? Apa enggak lihat tuh Ibu-Ibu pada berbisik melihat ke arah kita?" protesku kesal.

"Sabar ya. Sebentar lagi datang kok, enggak sampai lima menit," jawab Mas Wawan sambil menarik hidungku gemas. 

"Ih apaan sih Mas," balasku menepis tangan Mas Wawan. "Apanya yang datang?" tanyaku heran. 

Mas Wawan hanya tersenyum menanggapi pernyataanku. Tak sampai lima menit. Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan kami. 

"Ayo masuk," ajak Mas Wawan meraih tanganku. 

Aku terbengong. Tak percaya dengan apa yang kulihat di hadapanku. Kenapa sampai Mas Wawan menyuruhku naik mobil mewah ini. 

"Ayo cepat masuk. Udah di tungguin tuh sama Ayah," kata Mas Wawan lagi. 

"Ayah?" celetukku kebingungan. 

Pria yang menyetir mobil itu menoleh kepadaku dan tersenyum memamerkan deretan giginya yang masih bagus walau pria itu sudah berusia setengah baya. 

"Ayah! Lho kok bisa Ayah menyetir mobil ini?" tanyaku lagi yang mungkin membuat Mas Wawan bosan mendengar pertanyaanku. 

"Ayo buruan masuk," ajak Mas Wawan lagi. Ia memasukkan tas kami di bagasi mobil. Aku dan Mas Wawan duduk di bagian tengah mobil. 

Sementara itu Ibu-ibu kampung melongo melihat kami menaiki mobil mewah. Sayup-sayup kudengar pembicaraan mereka. 

"Apa enggak salah tuh si Arini dan suaminya naik mobil mewah?" celetuk Bu Indah dengan penuh keheranan. 

"Halah, paling si Wawan itu jongos. Terus di jemput majikannya deh dengan mobil mewah," jawab Bu Sinta dan di iyakan oleh Ibu-ibu yang lain.

Hmmm, benar juga ya yang di katakan Ibu-ibu itu kalau Mas Wawan adalah Asisten Rumah Tangga dan Ayahnya adalah supir pribadi si majikan. 

* * 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status