Share

Bab 2

Bab 2

Mas Irfan melirikku sejenak. Mungkin keheranan dengan sikapku yang tiba-tiba ngerengek minta ke toko bayi yang sama persis dengan Karin.

"Mas, lapar, Dek," ucapnya. Aku mengecap kesal dan berpaling darinya, pandangan aku fokuskan ke depan dengan kedua tangan dilipat di atas dada.

Sebentar lagi kami melewati Toko Baby Shop Michael, pasti mobil Karin masih berada di sana. Tidak lama kemudian, Mas Irfan memarkirkan mobilnya ke depan toko baby yang kumaksud. Aku melirik ke arahnya dengan mata menyipit.

"Katanya mau beli kado, sana!" suruhnya membuatku terkejut.

"Kirain nggak jadi, Mas, kamu nggak ikut turun?" tanyaku lagi.

"Kamu saja, aku tunggu di sini, jangan lama-lama, perutku sudah bunyi," pesan Mas Irfan beruntun.

Aku menghela napas, pasti ia takut ketemu dengan Karin yang sedang bersama ibunya. Pastinya akan kupertanyakan jika kami berpapasan.

"Mas, sebentar saja, ya, temani aku, please," lirihku memohon.

Mas Irfan terlihat fokus pada ponselnya. Tak menanggapi permintaanku. Akhirnya, aku coba jurus merajuk padanya agar ia menuruti keinginanku.

Bruk!

Pintu mobil kubanting seraya merajuk. Ya, cara ini pasti berhasil membuat Mas Irfan turun dari mobil. Sebab, ia paling takut aku ngambek.

Kulipat kedua tangan tepat di atas dada. Kemudian berdiri di samping mobil, lalu kulirik ke arah kaca mobilnya.

Tidak lama kemudian, Mas Irfan pun turun dari mobilnya. Lalu ia menghampiriku dan menarik pergelangan tangan ini.

"Ayo!" ajaknya. Kemudian, aku tersenyum tipis di hadapannya.

"Gitu dong, Mas. Seumur-umur kita nggak pernah belanja bareng setelah menikah, ya kan?" sindirku.

"Jangan lama-lama, ya, Sayang, lapar banget nih perutku," sahut Mas Irfan.

Kemudian, aku dan Mas Irfan melangkah ke arah pintu masuk toko yang termasuk besar itu. Kulihat mobil Karin masih berada di parkiran, beratiia masih berada di sini.

"Mas, ini bukannya mobil sekretaris kamu?" sindirku. Mata Mas Irfan beralih ke mobil Honda jazz berwarna merah.

"Sepertinya iya," jawabnya pura-pura tak mengenali mobil Karin. Santai sekali jawabannya, apa ia sudah siap dipertemukan di dalam nanti?

Kami pun segera masuk untuk mencari kado. Padahal, tidak ada satu teman pun yang melahirkan, ini hanya alasanku saja untuk bertemu dengan Karin.

Mata Mas Irfan tampak gentayangan ke mana-mana. Aku yakin ia sedang berusaha mengalihkan perhatianku agar tidak berpapasan dengan Karin. Namun, apes sedang berada di pihaknya. Ketika aku memilih baby walker, Karin pun sedang meraih baby walker.

"Anggi," sapanya dengan mata membulat.

"Karin, kamu di sini?" tanyaku pura-pura terkejut.

"Iya, lagi beli perlengkapan bayi," jawabnya sambil menyorot Mas Irfan. "Kamu beli perlengkapan bayi, memang lagi hamil, Nggi?" sindir Karin padaku. Hal ini sering kali kudengar dari segelintir orang, jadi sudah tidak kaget lagi dengan sindiran ini.

"Memang kalau beli perlengkapan bayi, harus hamil ya? Lalu kalau kamu melahirkan nanti, tak perlu bawa kado untuk anakmu kelak?" sindirku balik. 

"Yah, gitu aja baper, jawab saja beli kado teman, nggak usah baper segala, Anggi," jawabnya. Bicara padaku, tapi mata sebentar-sebentar menyoroti Mas Irfan. 'Memang dasar perempuan gatel,' gumamku dalam hati.

Aku celingukan mencari keberadaan Mama Gita, ke mana dia? Padahal tujuanku ke sini untuk memergoki mereka jalan berdua.

"Kamu sudah dapet kadonya? Ayo bungkus! Aku sudah lapar," celetuk Mas Irfan. Aku belum lihat batang hidung mamanya, sepertinya Mas Irfan telah menghubungi mamanya. Sepertinya aku telah kecolongan.

"Iya, aku sudah dapet, Mas. Kita minta bungkus dulu," ucapku. "Karin, aku duluan ya, kapan-kapan kita dinner bareng, ajak suamimu untuk dinner bareng," usulku membuat mata Karin melirik lagi ke arah Mas Irfan.

"Iya, next time kita dinner bareng," sahutnya dengan senyum terpaksa.

Kemudian, aku menyerahkan barang ke kasir untuk dibungkus. Tiba-tiba kepikiran toilet, apa Mama Gita bersembunyi di toilet?

"Mbak, di sini ada toilet?" tanyaku pada kasir yang melayani.

"Ada, Bu," jawabnya. Tiba-tiba saja mata Mas Irfan menyorotku.

"Kamu ngapain nanyain toilet, kebelet?" tanyanya.

"Iya, Mas, aku kebelet, nggak apa-apa kan ke toilet dulu?" tanyaku dengan alis terangkat.

Aku sengaja lakukan ini, pasti Mama Gita bersembunyi di toilet setelah Mas Irfan memberitahukan tadi saat ia ngotot tak mau turun dari mobil.

"Tahan sajalah, buang air di restoran nanti kan bisa," sahut Mas Irfan. Miris sekali, ia menyuruhku untuk menahan buang air kecil, hanya karena cemas ketahuan rahasianya terbongkar.

"Mas, aku kebelet," tegasku. Tanpa basa-basi dan mendengarkan larangan Mas Irfan, aku pun beranjak ke kamar mandi toko. Rasanya tak sabar bertemu dengan mama mertuaku di sini.

Aku pun ke toilet sendiri, karena toiletnya ada dua, khusus wanita dan lelaki, jadi Mas Irfan tidak bisa nerobos ke toilet wanita. Di depannya pun juga ada wastafel untuk sekadar cuci tangan.

Kemudian, aku sengaja menunggu mereka di depan pintu, tidak masuk ke toilet. Aku yakin Karin dan Mama Gita sudah berada di dalam.

Benar dugaanku, kulihat Mama Gita dan Karin sedang berada di wastafel mondar-mandir. Setelah beberapa detik, aku pun coba menghampiri mereka yang sedang terlihat bingung.

"Mama," sapaku pelan.

"Anggi!" Mama tampak terkejut melihat kedatanganku ke toilet.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status