Share

Bab 3

Bab 3

Aku memergoki mereka di toilet, ini waktunya untuk membuat mereka mengaku.

"Mah, Mama ngapain di sini? Ke sini sama siapa?" tanyaku basa-basi.

Mama terlihat gugup, matanya terus berputar mencari alasan untuk ia katakan padaku.

"Emm, Mama ke sini sendiri, naik taksi online tadi, ada cucunya teman Mama yang lahiran. Kamu gimana sih, tanya dengan siapa Mama pergi, kan Papa lagi ke luar kota," jawab Mama Gita panjang. Aku tahu ini hanya sebagian kebohongan yang ia lakukan.

Teringat ucapannya barusan mengenai papa mertuaku yang berada di luar kota. Apakah beliau sudah tahu kelakuan istri dan anak satu-satunya?

"Oh gitu, itu kok seperti kenal dengan Karin, sekretaris Mas Irfan," cecarku sekali lagi.

"Oh, jelas kenal, sekretaris anak sendiri masa nggak kenal, Nggi. Mama kan juga sering berkunjung ke kantor di saat Papa ke luar kota," elaknya lagi. 

Itu artinya sudah tak ada harapan untuk mempertahankan pernikahanku. Ya, tidak ada kejujuran meskipun sudah kepergok.

"Iya, kamu mah aneh, Nggi, namanya sekretaris dari anak pemilik PT. Anggara Pratama, pasti ikut dikenal juga. Kamu jangan mikir macam-macam, ya, Nggi, kita kan sudah lama kenal," susul Karin membuatku sedikit menelan ludah. Rasanya ingin kulepeh ludah ini di hadapannya.

"Oh, gitu, ya. Mama mau bareng aku dan Mas Irfan?" tanyaku menawarkan tumpangan.

"Emm, Mama belum selesai belanja di sini, nanti minta antar Karin kalau berkenan," ucapnya sambil melirik ke arah Karin. Lirikan dan kedipan matanya pun mulai dimainkan seraya kode untuk Karin.

"Ya sudah, aku ke depan dulu, ya." 

Akhirnya aku kembali ke kasir, mungkin bungkus kadonya sudah selesai.

Mas Irfan sedang menggenggam ponselnya, sambil menunggu kasir yang masih sibuk membungkus kado pilihanku. Entahlah, itu kado nantinya untuk siapa, temanku belum ada yang melahirkan.

Ketika aku menghampiri Mas Irfan, aku berdiri tepat di sebelahnya.

"Kok lama?" tanya Mas Irfan.

"Ada Mama di toilet," sahutku sambil melipat kedua tangan di atas dada. Melihat respon Mas Irfan yang agak sedikit terkejut, aku pun mengangkat kedua alis.

"Mama Gita?" tanyanya seraya terkejut. Rasanya aku ingin tertawa lepas dengan sandiwara yang ia tunjukkan.

"Iya, Mama Gita, siapa lagi? Mamaku kan di kampung," jawabku dengan nada datar.

"Oh, terus Mama bilang apa?" tanyanya penuh selidik.

"Ya, sama kayak aku, mau beli kado," sahutku membuat Mas Irfan menghela napas panjang.

"Syukurlah," celetuknya membuatku mengernyitkan dahi.

"Maksudnya syukurlah?" tanyaku balik.

"Ya ... bersyukur Mama masih peduli dengan temannya," jawabnya sedikit gugup sambil tersenyum tipis.

Aku pun mengindahkan ucapannya, meskipun sudah tahu ini hanya kebohongan saja. Namun, ia tetap mengelak dan berkelit, jadi aku harus benar-benar memiliki bukti untuk membuktikan perselingkuhannya. Ya, aku akan meminta bantuan papa mertuaku untuk membongkar semua ini. Ia pasti berkenan membantuku. Sebab, aku menikah dengan Mas Irfan karena dijodohkan oleh Papa Angga.

Kelihatannya kasir sudah menyelesaikan bungkus kadonya. Kemudian, aku meminta Mas Irfan bayar.

"Berapa, Mbak?" tanyaku padanya.

"Jadi Rp. 325.000; rupiah, Kak," jawabnya.

Aku menyoroti Mas Irfan, dan meminta untuk membayarnya.

"Mas, bayarin ya, aku nggak bawa dompet," celetukku sambil meringis seraya merayunya.

"Hem, kalau nggak bawa uang ngapain ngotot tadi," cetusnya membuatku mengelus dada. Bisa-bisanya ia bicara seperti itu padaku.

Aku sengaja melakukan ini, agar Mas Irfan ambil uang dari ATMnya, aku tahu ia tak membawa uang cukup banyak, ia pasti mengandalkan ATM untuk membayarnya. Kalau membayar makanan saja, pasti cukup, tapi bayar baby walker, sepertinya tak cukup.

"Sudahlah, Mas. Bayarin dulu, ya. Rp. 325.000 saja," rayuku. Kemudian, ia meraih dompetnya, lalu matanya tiba-tiba menyipit.

"Nggak cukup nih, aku ambil uang dulu, ya," ucapnya. Kemudian, aku tengok ke belakang, tak ada mesin ATM di sini. Akhirnya aku coba tawarkan diri untuk mengambil uang di seberang.

"Di sini nggak ada ATM B*I, Mas. Adanya di seberang tuh, sini aku yang ambilin," pintaku.

"ATM per*ata, Sayang," sahutnya. Kali ini aku akan mempertanyakan ATM yang seharusnya kupegang, bukan Karin.

"Mas, ATM untuk khusus pengeluaran kita kan B*I, jangan pakai ATM payroll lah," tuturku.

Mas Irfan terdiam, ia tampak kebingungan dengan cecaran yang aku lontarkan. Mau berkelit bagaimana lagi Mas Irfan padaku?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status