Bab 4
"Mas nggak tahu, Dek, hilang ATM nya," jawabnya dengan mata terpaku padaku. Keringatnya mulai menetes satu persatu."Mas, ATM hilang kok santai, apa sudah diblokir?" tanyaku pura-pura percaya dengan ucapannya."Be-belum, Dek. Baru tadi hilangnya, besok aku ke Bank," sahutnya terbata-bata sembari mengusap lehernya seraya gugup.Aku menghela napas seraya kesal padanya. Padahal, sedari tadi darah ini memang sudah bergemuruh menahan emosi. Sebab, ia terus menerus berkelit dalam kebohongan."Mbak, Mas, ini jadi gimana?" tanya kasir memastikan pembayarannya."Astaga, sebentar ya, Mbak. Saya ambil uang dulu di seberang," ucap Mas Irfan. "Atau pakai kartu kredit saja, Dek?" tanyanya lagi."Nggak, segitu saja pakai kartu kredit, miskin banget sih," cetusku sambil mengalihkan pandangan.Aku kesal bukan karena ATM. Akan tetapi dengan jawaban Mas Irfan yang selalu menutupi kebohongannya dengan kebohongan lainnya.Mas Irfan melangkahkan kakinya, tapi tiba-tiba Karin datang bersama Mama Gita."Mas, kamu cari ini?" tanya Karin sambil menunjukkan ATM B*I berwarna biru. Ya, itu ATM Mas Irfan yang dikhususkan untuk belanja semua keperluan. Jadi hampir separuh gaji Mas Irfan ditransfer ke rekening itu setelah memberikan aku jatah bulanan.Aku yang melihat pun tidak menyia-nyiakan waktu ini. Kurampas ATM tersebut dari Karin."Kenapa bisa ada di kamu?" tanyaku kesal."Tadi jatuh di kantor, Nggi, maaf aku tadi mau berikan tapi takut kamu buruk sangka," jawabnya membuatku geram. Astaga, semua bersandiwara untuk menutupi kebohongan. Muak rasanya melihat mereka semua melakukan ini."Sudahlah, mulai saat ini ATM B*I aku yang pegang, kamu ceroboh, Mas," usulku.Kemudian, Mama Gita mencoba rampas ATM yang aku pegang tapi tak berhasil."Kamu tuh istri lancang, ATM suami kok dikuasai," imbuh mama mertuaku membuatku sedikit emosi. Ingin rasanya membuat mama mertuaku tercengang bahwa aku sudah mengetahui sandiwara mereka. Namun, aku masih belum memiliki apa-apa jika nanti aku yang harus mengalah. Ya, aku harus memiliki salah satu aset yang Mas Irfan punya. Sebab, aku tak memiliki keturunan sebagai alasan.Kami berdebat di sebuah toko masalah rumah tangga. Hanya membuat ramai saja dan huru-hara di sini. Hingga kasir menegur kami semua."Mbak, ini bagaimana belum bayar?" tanyanya sekali lagi."Sudah, Mbak. Nanti sekalian saya yang bayar," jawab Karin sambil menyerahkan semua belanjaannya di kasir. Kulihat segala macam popok ia beli juga, ya Tuhan perih rasanya melihat kenyataan ini."Tuh kan, malu nggak kamu? Udah nuduh macam-macam eh dibayarin belanjaannya," celetuk Mama Gita. Padahal aku tahu uang yang ia gunakan juga hasil tarikan tunai di ATM suamiku. Namun, lagi-lagi aku harus mengurungkan niat untuk membongkar sekarang, hanya karena belum mendapatkan apa-apa dari keluarga Mas Irfan."Ayo, Mas. Pulang! Jangan lupa ya, nanti ganti uang Karin di kantor," suruhku sambil menarik pergelangan tangan Mas Irfan."Loh, kita nggak jadi makan malam?" tanyanya."Nggak usah, kita pulang saja, aku sudah nggak mood, kalau mau makan, pesan online saja, nanti makan di rumah," usulku lagi.
"Boros, nggak pernah masak, dasar istri pemalas," umpat Mama Gita kembali membuat dadaku bergemuruh.Kalau bukan mertua, pasti sudah kulayangkan tamparan keras untuknya. Bagaimana mau masak, Mas Irfan tak pernah suka masakan istrinya, ia lebih suka makan di restoran dan sejenisnya.Kemudian, kami pun pergi meninggalkan Toko Baby Shop Michael, dan mengurungkan niat untuk makan malam. ATM B*I telah aku pegang, aku akan segera memindahkan isi saldo ke rekeningku."Mas, tunggu, aku mau ke ATM sebentar." Aku meminta berhenti di depan ATM, ia pun menurutinya."Jangan lama-lama, tak usah lancang cek mutasi bank, kalau kamu masih mau dipercaya olehku," pesannya beruntun, rupanya ia cemas juga dengan mutasi. Padahal aku hanya ingin memindahkan isi saldonya.Setelah itu, aku pun memindahkan saldo yang tersisa, hanya bisa transfer sesama bank senilai Rp. 20.000.000. Ya, hanya segitu yang aku bisa pindahkan malam ini. Sebab, ada batas limit transfer perhari. Padahal, saldonya masih lumayan banyak, aku cek masih Rp. 134.000.000.Aku pun kembali ke mobil, lalu memakai seat belt kembali untuk pulang."Sayang, aku lapar banget, makan dulu saja, ya," rayunya."Ya sudah, tapi ada syaratnya," jawabku."Mas, aku minta uang tabungan yang di sini, dipindahkan ke ATM ku," rayuku lagi."Kan ATM juga kamu yang pegang, kenapa harus pindah?" "Mas, aku khawatir nanti kamu blokir ATM itu bagaimana?" tanyaku lagi."Ya nggak lah, asalkan kamu hemat dan tidak mempergunakan untuk yang tidak penting.""Tadi sudah aku pindahin 20 juta," sahutku."Iya, ada notifikasinya nih di ponsel aku, sengaja loh Mas dari tadi mancing untuk kamu jujur, eh ternyata istriku ini memang jujur, jadi besok aku pindahin ke rekening kamu semua ya," ujarnya membuat senyum ini mengembang. Akhirnya, rencanaku berhasil untuk membuat Mas Irfan mempercayai aku."Makasih ya, Mas," ucapku manja."Kita makan dulu, ya," rayunya lagi. Aku pun mengangguk setuju dengan ajakannya.***Setibanya di restoran pilihan Mas Irfan, kami pun makan malam berdua. Kemudian, ia pun menerima telepon.
"Papa nelpon, nih Sayang," ucapnya. Mataku membulat diiringi senyum merekah ketika Mas Irfan sebut papa mertua yang menghubunginya."Angkat, Mas. Load speaker, ya," pintaku. Mas Irfan pun menekan tombol hijau untuk menerima panggilan. Kemudian, klik tombol speaker agar aku dapat mendengarkan pembicaraan."Halo, Pah," ucap Mas Irfan membuka percakapan."Halo, Irfan, kamu di mana? Sedang bersama Anggi, nggak?" tanyanya."Iya, Pah, aku lagi bersama Anggi, ada apa, Pah?" tanya Mas Irfan menyelidik."Tolong load speaker Papa ingin bicara dengan Anggi sekalian," suruhnya. Padahal, sudah dalam keadaan speaker aktif."Iya, Pah, sudah," jawab Mas Irfan kembali."Ini ada yang neror Papa, ia bilang bahwa Irfan ada hubungan khusus dengan Karin," ucapnya membuatku seketika menatap mata Mas Irfan."Itu tidak benar, Pah," sanggah Mas Irfan."Ya, makanya Papa ingin tekankan ke kamu, dan ingin meyakinkan Anggi," timpal papa.Mas Irfan pasti mengelak, ia takkan bisa jawab jujur pada papanya. Sebab, pernikahan kami berlangsung karena permintaan papa mertuaku."Pah, kalau itu sampai terjadi, sungguh aku sangat kecewa," jawabku dengan sengaja. Ini semua kulontarkan karena ingin membuat Mas Irfan ketakutan."Tenang, Anggi. Papa takkan membiarkan Irfan menyakitimu. Kalau sampai terbukti benar mereka memiliki hubungan, Papa akan pastikan mereka yang akan berpisah, bukan kamu yang mengalah," terang papa mertuaku.'Rasakan kamu, Mas, meskipun aku belum bisa memberikan kamu keturunan, papamu takkan membiarkan ada yang menyakitiku,' batinku lagi sambil tersenyum tipis.BersambungBab 72Tidak lama kemudian, berselang beberapa jam kemudian, Sherina dan Satrio datang. Mereka langsung bertemu dengan Anggi dan Irfan di kantor yang nyaris hancur.Sherina mengejutkan sesuatu, ia memberikan informasi yang membuat Satrio terbelalak."Pak, saya tahu pelaku pembakaran kantor Irgi Pratama," jelas Sherina.Anggi dan Irfan tertegun, ia nyaris tak berkedip menatap wajah wanita yang sempat dituduh sebagai penerornya. Kaki Anggi melangkah ke arah Sherina, meskipun berat Sherina hanya menghela napas di hadapan Anggi."Saya tahu, pasti kamu mau menuduh saya lagi, iya kan?" sindir Sherina. Sebelum ditanya ia sudah menebak apa yang akan Anggi lakukan.Kemudian, Irfan menggandeng erat tangan istrinya. Ia tidak ingin Anggi melakukan kesalahan yang kedua kalinya.&nbs
Bab 71Angga langsung menghubungi Rendi. Namun, ia ragu-ragu sebab orang kepercayaannya itu sedang berada di rumah sakit menemani Arya.Tangan Angga dihentak-hentakkan, seraya kebingungan harus menghubungi siapa untuk menugaskan ke Jogja. Sebab, ia sudah amat kelelahan mengurusi urusan di sini.Angga menghela napas panjang. Sedangkan Anggi dan Irfan saling beradu pandangan, mereka berdua tiba-tiba mengangguk."Pah, kami berdua yang ke Jogja, besok pagi berangkat," ucap Irfan membuat mata Angga seketika berair."Apa kalian tidak lelah? Aku khawatir dengan kesehatan kalian," tutur Angga belum mengizinkan mereka berdua."Pah, kami berdua masih muda, sedangkan Papa usianya sudah tidak memungkinkan lagi untuk kecapean, jadi biarkan saja ya, kami belajar mengurus hal yang ekstrim seperti ini," rayu Anggi.Kemudian, Gita merangkul pundak lelaki yang sangat setia padanya, dilingkarkan tangan di leher Angga.
Bab 70"Baiklah, kami bebaskan Sherina dan Satrio berdasarkan bukti yang Bapak berikan, tentunya kami juga akan segera mencari keberadaan saudara Dodi," ucap komandan membuat seketika suasana mencair. Semuanya mengelus dadanya masing-masing seraya lega dengan keputusan yang diambil oleh komandan.Kemudian, komandan memerintahkan petugas untuk membebaskan Sherina dan Satrio tanpa syarat apapun. Mereka berdua dibebaskan karena terbukti tidak bersalah.Semuanya bangkit menyambut kedatangan Sherina dan Satrio. Kemudian, seketika itu juga Alex menyergap tubuh Satrio."Pah," sapa Satrio pada Alex. Meskipun ayah sambung, tapi Alex memperlakukan Satrio seperti anak kandungnya. Mereka berdua melepaskan rasa haru, air matanya pun tak terasa meleleh membasahi pipinya."Kamu sudah bebas, janji Papa sudah ditepati," timpal Alex kepada anaknya.Seisi ruangan berjabat tangan, namun senyum Sherina terlihat sangat terpaksa
Bab 69Setelah dibuka rekaman yang tersimpan. Terdengar suara di antara mereka yang berada di satu meja restoran berdebat."Kenapa kamu lakukan ini sampai terlalu jauh? Bukankah Pak Irgi telah memberikan pesangon cukup besar?" tanya istrinya Dodi. "Kamu tega melihat anak istrimu kini luntang-lantung tidak jelas?" tambahnya lagi dengan nada menekan."Sudahlah, tahu apa kamu urusan lelaki? Sekarang habiskan makanan, kita akan terbang ke Jawa Timur!" Dodi terdengar tambah marah.Kemudian, hening seketika. Setelah itu Dodi terdengar menghubungi seseorang."Candra, tolong kamu habiskan laki-laki yang bernama Arya, dia telah terlalu jauh ikut campur," suruh Dodi melalui sambungan telepon."Gila kamu, Mas! Sudah bersalah malah nyelakain orang! Bukankah janji kamu hanya menakut-nakuti keluarga Pratama? Kenapa sejauh ini?" sentak istrinya."Kamu mau ikut pergi atau di sini?" Pertanyaan terakhir y
Bab 68"Ada apa dengan Arya, Ren?" tanya Anggara. Posisinya yang tadi duduk setelah menyuruh Anggi dan Irfan masuk kini berdiri."Pah, tenang ya, duduk bicaranya biar tenang," pesan Irfan sambil mengelus-elus punggung mertuanya."Arya kecelakaan, Pak," terang Rendi memberikan informasi yang membuat keluarga Pratama kehilangan harapan."Astaga, lalu bagaimana kondisinya?" tanya Angga terkejut sekaligus panik. Lalu mulutnya komat-kamit memberikan informasi pada anak mantu dan sahabatnya yang berada di sebelah Angga."Kondisinya belum sadarkan diri, Pak. Sekarang ada di Rumah Sakit Sentosa," ucapnya membuat Angga tanpa pikir panjang mematikan sambungan teleponnya. Ia menghela napas berat seraya tidak mempercayai takdir."Yuk kita ke Rumah Sakit Sentosa!" ajaknya sambil meraih tas kecil yang ia bawa.Mereka berempat bersiap ke rumah sakit. Kali ini sepasang suami istri itu yang menenangkan p
Bab 67"Saya minta maaf atas tuduhan yang kemarin," ucap Anggi dengan kerendahan hati."Tidak salah dengar? Anggi yang bersikeras menahanku kini minta maaf?" sindir telak Sherina. Sepertinya ada dendam kesumat di dalam hati Sherina.Kemudian, Irfan membuka percakapan dengan memotong pembicaraan Sherina. Ini supaya tidak berlarut-larut dalam dendam."Ya, ini kesalahpahaman, mohon dimaklumi, Sherina. Maaf kami benar-benar baru mengetahui yang sebenarnya," tutur Irfan coba membela istrinya.Hening, seketika suasana hening, Satrio pun menatap lekat ke arah Anggi."Saya tahu, kamu seperti itu karena tuduhan anak buah peneror itu, saya paham betul," timpal Satrio."Saya janji akan membersihkan nama baik kalian nantinya," ucap Anggi.Sedangkan Sherina masih duduk terpaku bersandar dengan santai. Ia merasa menang atas ucapan maaf yang telah dilontarkan Anggi dan Irfan."Saya