Aku masih berkutat di dapur, sedangkan Mas Bryan baru dengan virtual dengan rekan kantornya. Sembari asyik menggoreng kentang, terdengar suara pintu kamar Rara sepertinya dia sudah bangun. Pintu kamar Rara memang agak mandet mungkin tukangnya kurang pas memasang pada saat rumah ini dibangun.
Gegas aku menemui Rara, ku tarik dia sampai ke dapur. Tidak mungkin juga aku ngocehin Rara di depan pintu kamarnya, sedangkan Mas Bryan sedang melakukan virtual di depan laptop."Kak, apaan sih narik-narik? Sakit tau." Rara memijat-mijat pergelangan tangannya yanh ku pegang dengan sedikit erat, hingga ada bekas merah berbentuk jari-jariku.Aku sudah merasa gondok dengan dia, sikap Rara yang sudah mulai tidak sopan kalau dibiarkan akan membuat semuanya semakin parah, terparahnya aku bisa usir dia dari sini."Kenapa jam segini baru bangun, Ra?" bisikku pelan."Ooh, semalam aku begadang bikin tugas. Tidurnya udah subuh kak, lagian hari ini juga kuliahnya lewat virtual makanya aku bisa nyantai dikit." Jawabnya santai tanpa merasakan kalau aku sedang jengkel dengan dia."Kok kakak nggak percaya ya kalau kamu ngerjain tugas. Atau kamu lagi ngerjain sesuatu yang dilarang? Hayo ngaku?"Bukannya ngaku dan ketakutan, Rara malah menghela napas ringan. "Aku heran deh, kakak kenapa sih? Curigaannya ke tolong banget? Udah ah, aku mau ke kamar dulu. Mau kuliah virtual soalnya." dengan bersungut-sungut Rara meninggalkan aku yang masih keheranan melihat tingkah santai tak bersalahnya.Apa aku yang salah ya? Tapi kenapa, ah sudahlah jika nanti masih ku temukan hal yang ganjil terpaksa aku akan cari cara untuk membuktikannya. Aku butuh jawaban, sekalipun nanti terungkap yang menyakitkan bukankah lebih baik aku tahu lebih awal ketimbang semuanya terlambat.***"Mon, Mas lapar siapin makan siang yah." pinta Mas Bryan yang baru saja selesai melaksanakan kerja lewat virtual. Dia terduduk lesu di sofa ruang tamu. Sekilas tampak bagiku yang tengah membereskan perintilan Mas Bryan yang masih tergeletak di atas meja, meja itu memang multi fungsi selain bisa untuk dijadikan meja makan bisa juga dijadikan meja kerja. Aku sibuk memindahkan piring berisikan lauk-pauk, sayur-mayur dari lemari sambal yang ada di dapur ke meja bekas pakai untuk virtual tadi. "Mas, sudah siap nih makanannya. Yuk, mari makan," ajakku. Dengan gontai Mas Bryan pun berjalan menuju kursi di dekat aku berdiri. Dia menoleh ke belakang, melihat pintu kamar Rara yang masih tertutup rapat. "Rara di kamar, Mon? Ajak makan sekalian biar rame," pinta Mas Bryan."Kita makan duluan aja, Mas. Rara katanya masih jadwal kuliah online." Jelasku sambil meletakkan piring yang sudah berisikan nasi, lauk-pauk, dan sayur-mayur tinggal siap di santap oleh Mas Bryan."Ya coba aja panggil dulu, biar sekalian, biar rame juga kitanya Mon,""Memang kamu merasa sepi banget Mas kalau cuma makan berdua sama aku?!" nada bicaraku naik satu oktaf membuat Mas Bryan yang tadinya sedikit lesu menjadi tergagap."Eeeuuumm, nggak Mon. Yuk, makan. Kamu sensi mulu, bikin kepala ku jadi tambah pusing," sindirnya. Dengan menahan sesak di dada tak ku pedulikan ucapan Mas Bryan, selera makan ku hilang sekejap, kalau bukan karena lapar mungkin aku sudah bertolak ke kamar dan membiarkan Mas Bryan makan sendiri.Duuuh aduuuuh, Mas Bryan lagi puber atau lagi apa sih, Rara lagi, Rara lagi. Deeeuuuhhh..."Mas, kok aku ngerasa hawa rumah tangga kita panas aja yah beberapa hari ini. Kamu sibuk, aku pun gitu. Gimana kalau ntar malam kita jalan-jalan keluar sambil nyari cemilan," ajakku pada Mas Bryan yang masih berlanjut berkutat di depan laptop. Ku lirik jam di dinding berbentuk hello kitty berwarna pink midle putih itu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore."Berdua aja? Sepi Mon, ajak Rara lah, masa dia di tinggal sendiri." Tanpa menoleh aku yang tengah menyapu rumah langsung menghentikan aktivitas lalu di duduk berhadapan dengan Mas Bryan."Mas, kamu nggak lagi ada sesuatu yang ditutupin sama aku 'kan?" tanyaku penuh selidik."Eng-enggak, lah apa juga yang mesti di tutupin Mon, Mon." Daya tangkapku Mas Bryan seperti tak jujur, aku yakin ini pasti tidak ada yang beres."Terus kenapa nyebut sepi mulu? Dulu zaman pacaran malah kamu suka kita pergi berduaan, sekarang kok malah gitu?" "Ya, enggak kenapa-kenapa Mon. Kamu tuh aneh ya. Udahlah, nggak usah pergi. Malesin gayamu, kayak curigaan a
"Mas Bryan, Rara sedang apa kalian. Kelihatannya gurih kali pembicaraannya." Sindirku. Belum lagi netraku panas melihat mereka duduk berdekatan."Eh sayang, nggak ngomongin apa-apa, biasa seputar virtual aja," elak Mas Bryan dia tampak gugup dan salah tingkah. Begitupun dengan Rara."Kak, Mas, Rara ke kamar dulu ya. Mau lanjutin bikin tugas." dia berjalan setengah berlari memasuki kamarnya. Tingkahnya tak jauh berbeda dengan Mas Bryan."Sini duduk, Mon!" Mas Bryan menepuk-nepuk kursi sofa bekas didudukin Rara."Ngomongin virtual maksudnya gimana, Mas? Memang ada yang lucu sama virtualnya?" selidiki ketika baru mehenyakkan pantay di kursi sofa bekas pakai Rara."Iyaa, virtualnya lucu Mon. Lebih ribet dan parahnya lebih mengekang. Bikin makin mumet dan berasa kayak sedang dipatroli." jawab Mas Bryan dengan mengubah posisi duduknya."Bukannya lebih enak, Mas. Nggak perlu capek-capek ke area, bolak-balik ketemu klien. Sekarang follow up kliennya bisa via WA atau by phone kan lebih hemat t
Keesokan harinya..."Assalamu'alaikum," terdengar ucapan salam di luar sana dibarengi dengan ketukan pintu."Assalamu'alaikum, Monalisa," ucap sekali lagi, sungguh jelas ini suara perempuan."Waalaikumsalam, sebentar," sahutku di dalam rumah. Aku yang ketika itu sedang berkutat di dapur memasak untuk sarapan dan makan siang. Gegas bertolak ke depan untuk membukakan pintu."Mamaaa..." sorakku girang kucium punggung tangannya dengaj takzim lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan Mas Bryan, Mama Merta adalah mertuaku."Momoon,""Kamu, apa kabar?" tanya Mama sembari melepaskan pelukanku."Alhamdulillah, aku sehat, Ma. Mari masuk, Ma." aku pun menggandeng tangan Mama dan membawa koper bawaan Mama. "Kok sepi Mon, mana Bryan dan Rara?" tanya Mama seraya duduk di sofa ruang tamu."Oooh, Mas Bryan lagi mandi, Ma. Rara lagi di kamarnya." Jelasku."Oh pantes sepi,""Astagfirullah, Ma. Maaf sebelumnya Mama kan abis perjalan jauh cuci dulu tangannya Ma. Buat ngejaga-jaga aja""Oh iya, Mama lupa
"Mon, itu Bryan kenapa? Kok Mama perhatikan dia nggak seperti biasanya. Mama ngerasa ada sesuatu," ucap Mama ketika menaruh tas pribadinya di atas nakas kamarku.Ku toleh Mama dengan perasaan yang campur aduk, "Jujur, enggak, jujur, enggak. Duh Ya Allah.""Mon, kok malah melamun Mama tanyain juga." sergah Mama, suara Mama yang sedikit tinggi membuyarkan lamunan ku.""Eh iya, Ma. Nggak kenapa-kenapa, hmm.""Kok, hmm aja Mon. Memangnya kamu nggak ngerasa ada yang aneh dari gelagatnya Bryan tadi?" selidik Mama.Aku mendekat ke pintu kamar lalu menutupnya biarlah ini menjadi privasi antara aku dan Mama. Sebenarnya juga tak ingin melibatkan Mama dalam kegundahanku, tapi Mama Merta sangatlah baik bahkan rasa sayang yang dia berikan tak jauh beda dari Mamaku yang sudah berpulang ke pangkuan yang Kuasa. Jika Mama tidak menanyakan, aku pun juga tak ingin jujur. Mana tauan dengan bercerita ke Mama ada rasa plong yang kurasakan."Ma, sini duduk dulu." Ajakku. Kami duduk berdampingan kening Mama
"Makasih, Ma." Tangisku kembali pecah tatkala Mama memeluk.Di saat rapuh dan tak punya tempat untuk curhat selain Allah, kehadiran Mama sungguh memberikan energi, ditambah Mama yang berada di pihakku.Di saat menantu-menantu lainnya tak dapat perlakuan elok dari sang mertua, aku tentu beruntung bisa memiliki mertua sebaik dan se-care Mama Merta."Semoga saja ini hanya pikiran burukku saja, Ma. Semoga saja apa yang kutakutkan tidak terjadi," ucapku penuh harap. Sekalipun gerak-gerik Mas Bryan sangat mencurigakan malah terang-terangan sikapnya jelas tampak berbeda, aku tetap berharap Mas Bryan benar-benar terbebani oleh pekerjaannya."Iya, Mon. Mama pun begitu. Sangat memalukan jika Bryan sampai melakukan hal yang keji seperti itu." lalu Mama menyeka airmata ku yang rajin kali jatuh jika sudah berada di depan Mama.🎀🎀🎀Makan siang kali ini Mas Bryan dan Rara ikut bergabung dengan aku dan Mama. Tumben, iya tumben banget malahan. Mungkin tampaknya Mas Bryan tak ingin Mama menaruh curi
"Ini, Bu. Kami ada yang keluaran paling canggih, kameranya unik dan tak akan dikenali," tawar pelayan sembari memperlihatkan barang itu padaku.Ini sama persis dengan barang yang kulihat melalui gool*. Kameranya bagus dan tak berbentuk seperti kamera cctv. Ku pastikan Mas Bryan dan Rara tidak akan mengetahuinya. Untuk pemasangannya pun gampang. Aku sendiri pun bisa memasangnya saking canggihnya kamera cctv yang kubeli."Boleh pak, bungkus langsung eh tapi aku beli jadinya 3 aja deh." Setelah semua selesai aku pun bergegas pulang ke rumah, ngeri kalau berlama-lama di luar. Sambil jalan pulang aku mau beli ayam goreng drive true nambah-nambah lauk-pauk di rumah. Takutnya pada bosan sama menu yang di rumah, apalagi ini juga sambil jalan pulang.Aku juga beli es krim dan mocaflut kesukaanku, maklum cuaca sangat panas, tapi belum sebanding dengan panas hati yanh ku rasakan.Sesampainya di rumah, tampak Mama sedang berada di teras rumah dengan seorang perempuan seusia ku. "Eh, Mon dari ma
"Eh, Mama." Sapaku, lalu beranjak duduk. "Mama, mau pergi sebentar ya Mon. Itu si Mayora ngajakin ke Emolle." Keningku mengerut, netraku memperhatikan penampilan Mama dari ujung kaki sampai rambut, walaupun sudah berumur 56 tahun stelan mama masih stylist dan masih belum.mengenakan hijab. Maklum nyonya-nyonya konglomerat. Papa mertua ku adalah pengusaha terkenal di bidang furniture."Oh iya, Ma. Silakan, hati-hati yah Ma. Virus pada ngeri zaman sekarang," jawabku nyengir. "Iya." Mama pun menutup pintu tapi aku sangat enggan melepas kepergiannya dengan perempuan tetangga baruku itu.Terdengar deru mesin mobil yang perlahan kian melaju lalu hilang dari pendengaran ku, tapi entah kenapa jantungku berdegup kencang ketika mendengar bunyi mesin mobil tersebut. Tak ingin berkecimpung dengan pikiran yang terlalu menguras bathin, aku pun bertolak ke kamar.Setelah selesai beres-beres rumah dan mandi, masih belum ada terdengar hiruk-pikuk dari kamar Rara, biasanya kalau perempuan yang masih
Aku memeriksa laci nakas satu per satu berharap ada bukti yang ku temukan atas keraguanku dengan Mas Bryan. Lacinya kosong, aku bertolak memeriksa lemari, tetap nihil, memeriksa laci nakas yang berada di samping kiri dan kanan ranjang. Hasil tetap sama tak ku temukan apa-apa.Sepersekian detik, netraku tertuju pada springbed ranjang, tak mengulur waktu dengan sigap dan kekuatan estra aku mengangkat springbed tetap dengan satu harapan, ada bukti yang ku temukan. Mengangkat mulai dari sudut kiri atas, kiri bawah, lalu kanan bawah, dan deg!Jantung berpacu, mataku melotot tajam, pada satu map berwarna biru yang tergeletak cantik di bawah springbed kanan atas. Dengan tangan gemetar ku coba mengambilnya.Kubuka map walau tangan sangat gemetaran, rongga dadaku terasa semakin sesak, kamar yang luasnya 4x4 ditambah hembusan AC tak mampu menurunkan hawa panas disekejur tubuhku. Mungkin panas di luar sana tak kalah panasnya di diriku.Dan, ketika map itu kubuka, ada dua buah buku nikah, alisku