Share

Bab 5. Berteriak Tak Jelas

"Astagfirullah, Momoooooon." suara teriakan Mas Bryan membuat aku lari kejer dari dapur menuju kamar.

"Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak gitu?" tanyaku, kulihat Mas Bryan tampak kusut di atas tempat tidur sambil menggenggam gawai pipihnya.

"Masih nanya, kamu! Lihat jam sekarang sudah pukul berapa!" bentaknya.

Tanpa melirik pun aku sudah tahu pukul berapa sekarang, pukul 08.00 pagi, memang kenapa?" jawabku polos sembari membuka gorden dan jendela kamar.

"Kamu, tuh ya. Kan sudah ku bilang tadi bangunin jam tujuh, ini udah molor sejam jadinya." ketusnya, lalu menyambar handuk yang sedari tadi ku taruh di bibir ranjang lebih tepatnya di dekat kaki Mas Bryan.

Aku menghela napas panjang dan berlalu meninggalkan kamar tanpa merespon apa yang dikatakan Mas Bryan. Percuma juga merespon bakalan nggak selesai-selesai nantinya berdebat. Padahal aku sudah membangunkannya lebih dari tiga kali, jangan kan beranjak duduk menggeliat saja dia tidak.

Sekarang giliran udah pukul 08.00 pagi baru teriak-teriak kayak orang kesurupan. Aku jadi curiga jam berapa Mas Bryan tertidur sampai-sampai lelapnya bagai orang mati suri. Sambil memotong kentang di dapur pikiran ku masih menerka-nerka. Apa jangan-jangan?

Dia sungguh berbeda dua hari ini, baru dua hari rasa sakitnya begitu mengulum jantungku. Tapi aku berusaha untuk bersabar, mungkin memang Mas Bryan ada masalah dengan pekerjaannya. Semoga saja tidak ada hal lain yang sedang disembunyikan oleh laki-laki yang berambut hitam pekat itu.

"Momoooooooon," teriaknya lagi.

Jika tadi aku berlari kejer dari dapur ke kamar, sekarang sengaja aku berjalan santai masuk ke kamar. "Ada apa, Mas? Teriak mulu? Kamu tuh kenapa sih, beberapa hari ini beda sama aku. Agak kasar, aut-autan?"

"Haaaa? Enggak, maaf Mon. Mas lagi banyak pikiran," elaknya seperti menelan Saliva lalu dengan salah tingkah dia membuka pintu lemari dan mengambil kemeja lengan panjang warna merah maroon.

"Jangan seenaknya bilang maaf, kamu kalau memang ada masalah sama kerjaan, sharing ke aku, bukannya aku yang disemprot." cecarku.

Aku yang masih berdiri di ambang pintu mencoba membaca lebih detail gerak-gerik Mas Bryan, "Halah, ngelak lagi kan kamu, Mas. Barusan kenapa manggil aku kayak begitu? Kamu nggak malu apa kedengaran sama tetangga?" gumamku membathin.

"Aku nggak nemuin laptop, makanya aku teriak tadi. Panik"

"Tuh laptop sama sarapan kamu udah ku siapin di meja luar." aku pun merapikan tempat tidur yang acak-acakkan.

"Ooh, baiklah." jawaban bikin aku makin gemesh pengen nyakar, bukannya bilang makasih.

Setelah selesai merapikan tempat tidur, aku pun bertolak ke dapur. Hari ini aku mau masak dendeng balado pake kentang untuk Mas Bryan, ditambah sayur kangkung. Dua menu itu selalu ku gandeng karena Mas Bryan suka begitu, maklum salah satu masakan favorit dia.

"Kurang bersyukur apa kamu, Mas! Di saat kamu membentak dan tidak mengacuhkanku, aku masih berusaha menyiapkan makanan kesukaanmu" bisikku aalam hati.

"Rara, mana Mon? Udah berangkat kuliah?" tanya Mas Bryan, tampak dia duduk di sofa meja luar di depan kamar Rara.

"Kamu rapi-rapi udah nanyain Rara, Mas? Keluhku, betapa tidak aku yang istrinya tak ditanyakan apakah sudah sarapan atau belum. Atau mungkin aku nya saja yang rada sensi?

"Ya enggak, nanya aja. Kamu kok sensian banget sekarang?" protesnya.

Ada apa sebenarnya dengan Mas Bryan? Atau perasaan Monalisa saja yang keliru melihat tingkah suaminya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status