"Astagfirullah, Momoooooon." suara teriakan Mas Bryan membuat aku lari kejer dari dapur menuju kamar.
"Ada apa, Mas? Kok teriak-teriak gitu?" tanyaku, kulihat Mas Bryan tampak kusut di atas tempat tidur sambil menggenggam gawai pipihnya."Masih nanya, kamu! Lihat jam sekarang sudah pukul berapa!" bentaknya.Tanpa melirik pun aku sudah tahu pukul berapa sekarang, pukul 08.00 pagi, memang kenapa?" jawabku polos sembari membuka gorden dan jendela kamar."Kamu, tuh ya. Kan sudah ku bilang tadi bangunin jam tujuh, ini udah molor sejam jadinya." ketusnya, lalu menyambar handuk yang sedari tadi ku taruh di bibir ranjang lebih tepatnya di dekat kaki Mas Bryan.Aku menghela napas panjang dan berlalu meninggalkan kamar tanpa merespon apa yang dikatakan Mas Bryan. Percuma juga merespon bakalan nggak selesai-selesai nantinya berdebat. Padahal aku sudah membangunkannya lebih dari tiga kali, jangan kan beranjak duduk menggeliat saja dia tidak.Sekarang giliran udah pukul 08.00 pagi baru teriak-teriak kayak orang kesurupan. Aku jadi curiga jam berapa Mas Bryan tertidur sampai-sampai lelapnya bagai orang mati suri. Sambil memotong kentang di dapur pikiran ku masih menerka-nerka. Apa jangan-jangan?Dia sungguh berbeda dua hari ini, baru dua hari rasa sakitnya begitu mengulum jantungku. Tapi aku berusaha untuk bersabar, mungkin memang Mas Bryan ada masalah dengan pekerjaannya. Semoga saja tidak ada hal lain yang sedang disembunyikan oleh laki-laki yang berambut hitam pekat itu."Momoooooooon," teriaknya lagi.Jika tadi aku berlari kejer dari dapur ke kamar, sekarang sengaja aku berjalan santai masuk ke kamar. "Ada apa, Mas? Teriak mulu? Kamu tuh kenapa sih, beberapa hari ini beda sama aku. Agak kasar, aut-autan?""Haaaa? Enggak, maaf Mon. Mas lagi banyak pikiran," elaknya seperti menelan Saliva lalu dengan salah tingkah dia membuka pintu lemari dan mengambil kemeja lengan panjang warna merah maroon."Jangan seenaknya bilang maaf, kamu kalau memang ada masalah sama kerjaan, sharing ke aku, bukannya aku yang disemprot." cecarku.Aku yang masih berdiri di ambang pintu mencoba membaca lebih detail gerak-gerik Mas Bryan, "Halah, ngelak lagi kan kamu, Mas. Barusan kenapa manggil aku kayak begitu? Kamu nggak malu apa kedengaran sama tetangga?" gumamku membathin."Aku nggak nemuin laptop, makanya aku teriak tadi. Panik""Tuh laptop sama sarapan kamu udah ku siapin di meja luar." aku pun merapikan tempat tidur yang acak-acakkan."Ooh, baiklah." jawaban bikin aku makin gemesh pengen nyakar, bukannya bilang makasih.Setelah selesai merapikan tempat tidur, aku pun bertolak ke dapur. Hari ini aku mau masak dendeng balado pake kentang untuk Mas Bryan, ditambah sayur kangkung. Dua menu itu selalu ku gandeng karena Mas Bryan suka begitu, maklum salah satu masakan favorit dia."Kurang bersyukur apa kamu, Mas! Di saat kamu membentak dan tidak mengacuhkanku, aku masih berusaha menyiapkan makanan kesukaanmu" bisikku aalam hati."Rara, mana Mon? Udah berangkat kuliah?" tanya Mas Bryan, tampak dia duduk di sofa meja luar di depan kamar Rara."Kamu rapi-rapi udah nanyain Rara, Mas? Keluhku, betapa tidak aku yang istrinya tak ditanyakan apakah sudah sarapan atau belum. Atau mungkin aku nya saja yang rada sensi?"Ya enggak, nanya aja. Kamu kok sensian banget sekarang?" protesnya.Ada apa sebenarnya dengan Mas Bryan? Atau perasaan Monalisa saja yang keliru melihat tingkah suaminya?Aku masih berkutat di dapur, sedangkan Mas Bryan baru dengan virtual dengan rekan kantornya. Sembari asyik menggoreng kentang, terdengar suara pintu kamar Rara sepertinya dia sudah bangun. Pintu kamar Rara memang agak mandet mungkin tukangnya kurang pas memasang pada saat rumah ini dibangun.Gegas aku menemui Rara, ku tarik dia sampai ke dapur. Tidak mungkin juga aku ngocehin Rara di depan pintu kamarnya, sedangkan Mas Bryan sedang melakukan virtual di depan laptop."Kak, apaan sih narik-narik? Sakit tau." Rara memijat-mijat pergelangan tangannya yanh ku pegang dengan sedikit erat, hingga ada bekas merah berbentuk jari-jariku.Aku sudah merasa gondok dengan dia, sikap Rara yang sudah mulai tidak sopan kalau dibiarkan akan membuat semuanya semakin parah, terparahnya aku bisa usir dia dari sini."Kenapa jam segini baru bangun, Ra?" bisikku pelan."Ooh, semalam aku begadang bikin tugas. Tidurnya udah subuh kak, lagian hari ini juga kuliahnya lewat virtual makanya aku bisa nyantai dikit."
"Mas, kok aku ngerasa hawa rumah tangga kita panas aja yah beberapa hari ini. Kamu sibuk, aku pun gitu. Gimana kalau ntar malam kita jalan-jalan keluar sambil nyari cemilan," ajakku pada Mas Bryan yang masih berlanjut berkutat di depan laptop. Ku lirik jam di dinding berbentuk hello kitty berwarna pink midle putih itu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore."Berdua aja? Sepi Mon, ajak Rara lah, masa dia di tinggal sendiri." Tanpa menoleh aku yang tengah menyapu rumah langsung menghentikan aktivitas lalu di duduk berhadapan dengan Mas Bryan."Mas, kamu nggak lagi ada sesuatu yang ditutupin sama aku 'kan?" tanyaku penuh selidik."Eng-enggak, lah apa juga yang mesti di tutupin Mon, Mon." Daya tangkapku Mas Bryan seperti tak jujur, aku yakin ini pasti tidak ada yang beres."Terus kenapa nyebut sepi mulu? Dulu zaman pacaran malah kamu suka kita pergi berduaan, sekarang kok malah gitu?" "Ya, enggak kenapa-kenapa Mon. Kamu tuh aneh ya. Udahlah, nggak usah pergi. Malesin gayamu, kayak curigaan a
"Mas Bryan, Rara sedang apa kalian. Kelihatannya gurih kali pembicaraannya." Sindirku. Belum lagi netraku panas melihat mereka duduk berdekatan."Eh sayang, nggak ngomongin apa-apa, biasa seputar virtual aja," elak Mas Bryan dia tampak gugup dan salah tingkah. Begitupun dengan Rara."Kak, Mas, Rara ke kamar dulu ya. Mau lanjutin bikin tugas." dia berjalan setengah berlari memasuki kamarnya. Tingkahnya tak jauh berbeda dengan Mas Bryan."Sini duduk, Mon!" Mas Bryan menepuk-nepuk kursi sofa bekas didudukin Rara."Ngomongin virtual maksudnya gimana, Mas? Memang ada yang lucu sama virtualnya?" selidiki ketika baru mehenyakkan pantay di kursi sofa bekas pakai Rara."Iyaa, virtualnya lucu Mon. Lebih ribet dan parahnya lebih mengekang. Bikin makin mumet dan berasa kayak sedang dipatroli." jawab Mas Bryan dengan mengubah posisi duduknya."Bukannya lebih enak, Mas. Nggak perlu capek-capek ke area, bolak-balik ketemu klien. Sekarang follow up kliennya bisa via WA atau by phone kan lebih hemat t
Keesokan harinya..."Assalamu'alaikum," terdengar ucapan salam di luar sana dibarengi dengan ketukan pintu."Assalamu'alaikum, Monalisa," ucap sekali lagi, sungguh jelas ini suara perempuan."Waalaikumsalam, sebentar," sahutku di dalam rumah. Aku yang ketika itu sedang berkutat di dapur memasak untuk sarapan dan makan siang. Gegas bertolak ke depan untuk membukakan pintu."Mamaaa..." sorakku girang kucium punggung tangannya dengaj takzim lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan Mas Bryan, Mama Merta adalah mertuaku."Momoon,""Kamu, apa kabar?" tanya Mama sembari melepaskan pelukanku."Alhamdulillah, aku sehat, Ma. Mari masuk, Ma." aku pun menggandeng tangan Mama dan membawa koper bawaan Mama. "Kok sepi Mon, mana Bryan dan Rara?" tanya Mama seraya duduk di sofa ruang tamu."Oooh, Mas Bryan lagi mandi, Ma. Rara lagi di kamarnya." Jelasku."Oh pantes sepi,""Astagfirullah, Ma. Maaf sebelumnya Mama kan abis perjalan jauh cuci dulu tangannya Ma. Buat ngejaga-jaga aja""Oh iya, Mama lupa
"Mon, itu Bryan kenapa? Kok Mama perhatikan dia nggak seperti biasanya. Mama ngerasa ada sesuatu," ucap Mama ketika menaruh tas pribadinya di atas nakas kamarku.Ku toleh Mama dengan perasaan yang campur aduk, "Jujur, enggak, jujur, enggak. Duh Ya Allah.""Mon, kok malah melamun Mama tanyain juga." sergah Mama, suara Mama yang sedikit tinggi membuyarkan lamunan ku.""Eh iya, Ma. Nggak kenapa-kenapa, hmm.""Kok, hmm aja Mon. Memangnya kamu nggak ngerasa ada yang aneh dari gelagatnya Bryan tadi?" selidik Mama.Aku mendekat ke pintu kamar lalu menutupnya biarlah ini menjadi privasi antara aku dan Mama. Sebenarnya juga tak ingin melibatkan Mama dalam kegundahanku, tapi Mama Merta sangatlah baik bahkan rasa sayang yang dia berikan tak jauh beda dari Mamaku yang sudah berpulang ke pangkuan yang Kuasa. Jika Mama tidak menanyakan, aku pun juga tak ingin jujur. Mana tauan dengan bercerita ke Mama ada rasa plong yang kurasakan."Ma, sini duduk dulu." Ajakku. Kami duduk berdampingan kening Mama
"Makasih, Ma." Tangisku kembali pecah tatkala Mama memeluk.Di saat rapuh dan tak punya tempat untuk curhat selain Allah, kehadiran Mama sungguh memberikan energi, ditambah Mama yang berada di pihakku.Di saat menantu-menantu lainnya tak dapat perlakuan elok dari sang mertua, aku tentu beruntung bisa memiliki mertua sebaik dan se-care Mama Merta."Semoga saja ini hanya pikiran burukku saja, Ma. Semoga saja apa yang kutakutkan tidak terjadi," ucapku penuh harap. Sekalipun gerak-gerik Mas Bryan sangat mencurigakan malah terang-terangan sikapnya jelas tampak berbeda, aku tetap berharap Mas Bryan benar-benar terbebani oleh pekerjaannya."Iya, Mon. Mama pun begitu. Sangat memalukan jika Bryan sampai melakukan hal yang keji seperti itu." lalu Mama menyeka airmata ku yang rajin kali jatuh jika sudah berada di depan Mama.🎀🎀🎀Makan siang kali ini Mas Bryan dan Rara ikut bergabung dengan aku dan Mama. Tumben, iya tumben banget malahan. Mungkin tampaknya Mas Bryan tak ingin Mama menaruh curi
"Ini, Bu. Kami ada yang keluaran paling canggih, kameranya unik dan tak akan dikenali," tawar pelayan sembari memperlihatkan barang itu padaku.Ini sama persis dengan barang yang kulihat melalui gool*. Kameranya bagus dan tak berbentuk seperti kamera cctv. Ku pastikan Mas Bryan dan Rara tidak akan mengetahuinya. Untuk pemasangannya pun gampang. Aku sendiri pun bisa memasangnya saking canggihnya kamera cctv yang kubeli."Boleh pak, bungkus langsung eh tapi aku beli jadinya 3 aja deh." Setelah semua selesai aku pun bergegas pulang ke rumah, ngeri kalau berlama-lama di luar. Sambil jalan pulang aku mau beli ayam goreng drive true nambah-nambah lauk-pauk di rumah. Takutnya pada bosan sama menu yang di rumah, apalagi ini juga sambil jalan pulang.Aku juga beli es krim dan mocaflut kesukaanku, maklum cuaca sangat panas, tapi belum sebanding dengan panas hati yanh ku rasakan.Sesampainya di rumah, tampak Mama sedang berada di teras rumah dengan seorang perempuan seusia ku. "Eh, Mon dari ma
"Eh, Mama." Sapaku, lalu beranjak duduk. "Mama, mau pergi sebentar ya Mon. Itu si Mayora ngajakin ke Emolle." Keningku mengerut, netraku memperhatikan penampilan Mama dari ujung kaki sampai rambut, walaupun sudah berumur 56 tahun stelan mama masih stylist dan masih belum.mengenakan hijab. Maklum nyonya-nyonya konglomerat. Papa mertua ku adalah pengusaha terkenal di bidang furniture."Oh iya, Ma. Silakan, hati-hati yah Ma. Virus pada ngeri zaman sekarang," jawabku nyengir. "Iya." Mama pun menutup pintu tapi aku sangat enggan melepas kepergiannya dengan perempuan tetangga baruku itu.Terdengar deru mesin mobil yang perlahan kian melaju lalu hilang dari pendengaran ku, tapi entah kenapa jantungku berdegup kencang ketika mendengar bunyi mesin mobil tersebut. Tak ingin berkecimpung dengan pikiran yang terlalu menguras bathin, aku pun bertolak ke kamar.Setelah selesai beres-beres rumah dan mandi, masih belum ada terdengar hiruk-pikuk dari kamar Rara, biasanya kalau perempuan yang masih