"Mas, kok aku ngerasa hawa rumah tangga kita panas aja yah beberapa hari ini. Kamu sibuk, aku pun gitu. Gimana kalau ntar malam kita jalan-jalan keluar sambil nyari cemilan," ajakku pada Mas Bryan yang masih berlanjut berkutat di depan laptop. Ku lirik jam di dinding berbentuk hello kitty berwarna pink midle putih itu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore.
"Berdua aja? Sepi Mon, ajak Rara lah, masa dia di tinggal sendiri." Tanpa menoleh aku yang tengah menyapu rumah langsung menghentikan aktivitas lalu di duduk berhadapan dengan Mas Bryan."Mas, kamu nggak lagi ada sesuatu yang ditutupin sama aku 'kan?" tanyaku penuh selidik."Eng-enggak, lah apa juga yang mesti di tutupin Mon, Mon." Daya tangkapku Mas Bryan seperti tak jujur, aku yakin ini pasti tidak ada yang beres."Terus kenapa nyebut sepi mulu? Dulu zaman pacaran malah kamu suka kita pergi berduaan, sekarang kok malah gitu?" "Ya, enggak kenapa-kenapa Mon. Kamu tuh aneh ya. Udahlah, nggak usah pergi. Malesin gayamu, kayak curigaan aja sama suami sendiri.""Berarti bener dong, ada yang kamu umpetin dari aku, Mas?""Enggak, udah ah. Jangan ganggu, aku mau kerja." Dia membawa laptop serta perintilan kerjanya lalu bertolak ke lantai dua. Seumur menikah, Mas Bryan paling malas ke lantai dua entah kenapa sekarang dia memutuskan lari ke lantai dua ketimbang ke kamar.Apa aku sebegitu mengesalkan? Atau benar akan kecurigaanku beberapa hari ini? Sedangkan Rara sedari tadi mengeram diri di kamar. Sekalipun dia keluar kamar cuma untuk mengambil nasi lalu masuk ke kamar lagi. Tak ingin terlalu dalam bergelut dengan kondisi yang menurutku janggal, aku pun memutuskan untuk pergi ke minimarket sekedar mengecek keadaan apakah jual beli masih aman. Apalagi berita maraknya virus itu makin merajalela dengan gampangnya.Aku pun tadi mengajak Mas Bryan keluar rumah tak juga sepernuhnya serius. Ingin nge-test saja, ternyata perlakuannya sungguh di luar ekspetasiku yang membuat aku semakin menaruh curiga antara dia dan Rara."Rien, semalam minimarket tutup jam berapa?" tanyaku pada Rienna yang sedang santai di meja kasir. Kebetulan tidak ada pelanggan yang berbelanja."Semalam aku dan temen lainnya pulang pukul setengah 10, Bu. Kata Bapak, biar dia yang nutup minimarket. Jadi aku nggak tahu juga jam berapa Bapak nutupnya, Bu." jelas Rienna."Oh gitu, gimana penjualan hari ini Rien? Rame nggak? Soalnya yang lihat di medsos virusnya begitu cepat nularnya.""Kemarin masih lumayan, Bu kayak biasa. Tapi sekarang baru ada lima orang yang belanja, itupun juga beli air mineral dingin, Bu." kulihat wajah Rienna sedikit lesu, pas menjawabnya."Bu, hmmm, apa kami ...""Kamu mau nanya apa Rien, kok terbata gitu?" "Enggak, Bu. Tadi aku lihat di sosmed banyak karyawan yang dirumahkan. Apa kami bernasib sama juga seperti mereka, Bu?" Rienna tertunduk, terasa bagiku kegundahan yang dia rasakan, apalagi Rienna adalah tulang punggung keluarga selepas ditinggal pergi untuk selamanya oleh Ayah tercinta."Semoga saja tidak Rien, aku juga nggak mau kalian dirumahkan, doakan saja biar minimarket ini ada penjualan setiap harinya." ucapku menenangkan.Kurang lebih satu jam aku di memantau minimarket ku putuskan untuk masuk ke dalam rumah kebetulan sebentar lagi azan Magrib berkumandang. Tapi alangkah kagetnya aku melihat Mas Bryan dan Rara sedang bercengkrama di ruang tamu, tertawa kecilnya terhenti ketika melihat sosokku berdiri di ambang pintu. Bukan netraku saja yang terbelalak, Rara dan Mss Bryan pun ternganga."Mas Bryan, Rara sedang apa kalian. Kelihatannya gurih kali pembicaraannya." Sindirku. Belum lagi netraku panas melihat mereka duduk berdekatan."Eh sayang, nggak ngomongin apa-apa, biasa seputar virtual aja," elak Mas Bryan dia tampak gugup dan salah tingkah. Begitupun dengan Rara."Kak, Mas, Rara ke kamar dulu ya. Mau lanjutin bikin tugas." dia berjalan setengah berlari memasuki kamarnya. Tingkahnya tak jauh berbeda dengan Mas Bryan."Sini duduk, Mon!" Mas Bryan menepuk-nepuk kursi sofa bekas didudukin Rara."Ngomongin virtual maksudnya gimana, Mas? Memang ada yang lucu sama virtualnya?" selidiki ketika baru mehenyakkan pantay di kursi sofa bekas pakai Rara."Iyaa, virtualnya lucu Mon. Lebih ribet dan parahnya lebih mengekang. Bikin makin mumet dan berasa kayak sedang dipatroli." jawab Mas Bryan dengan mengubah posisi duduknya."Bukannya lebih enak, Mas. Nggak perlu capek-capek ke area, bolak-balik ketemu klien. Sekarang follow up kliennya bisa via WA atau by phone kan lebih hemat t
Keesokan harinya..."Assalamu'alaikum," terdengar ucapan salam di luar sana dibarengi dengan ketukan pintu."Assalamu'alaikum, Monalisa," ucap sekali lagi, sungguh jelas ini suara perempuan."Waalaikumsalam, sebentar," sahutku di dalam rumah. Aku yang ketika itu sedang berkutat di dapur memasak untuk sarapan dan makan siang. Gegas bertolak ke depan untuk membukakan pintu."Mamaaa..." sorakku girang kucium punggung tangannya dengaj takzim lalu memeluk wanita yang sudah melahirkan Mas Bryan, Mama Merta adalah mertuaku."Momoon,""Kamu, apa kabar?" tanya Mama sembari melepaskan pelukanku."Alhamdulillah, aku sehat, Ma. Mari masuk, Ma." aku pun menggandeng tangan Mama dan membawa koper bawaan Mama. "Kok sepi Mon, mana Bryan dan Rara?" tanya Mama seraya duduk di sofa ruang tamu."Oooh, Mas Bryan lagi mandi, Ma. Rara lagi di kamarnya." Jelasku."Oh pantes sepi,""Astagfirullah, Ma. Maaf sebelumnya Mama kan abis perjalan jauh cuci dulu tangannya Ma. Buat ngejaga-jaga aja""Oh iya, Mama lupa
"Mon, itu Bryan kenapa? Kok Mama perhatikan dia nggak seperti biasanya. Mama ngerasa ada sesuatu," ucap Mama ketika menaruh tas pribadinya di atas nakas kamarku.Ku toleh Mama dengan perasaan yang campur aduk, "Jujur, enggak, jujur, enggak. Duh Ya Allah.""Mon, kok malah melamun Mama tanyain juga." sergah Mama, suara Mama yang sedikit tinggi membuyarkan lamunan ku.""Eh iya, Ma. Nggak kenapa-kenapa, hmm.""Kok, hmm aja Mon. Memangnya kamu nggak ngerasa ada yang aneh dari gelagatnya Bryan tadi?" selidik Mama.Aku mendekat ke pintu kamar lalu menutupnya biarlah ini menjadi privasi antara aku dan Mama. Sebenarnya juga tak ingin melibatkan Mama dalam kegundahanku, tapi Mama Merta sangatlah baik bahkan rasa sayang yang dia berikan tak jauh beda dari Mamaku yang sudah berpulang ke pangkuan yang Kuasa. Jika Mama tidak menanyakan, aku pun juga tak ingin jujur. Mana tauan dengan bercerita ke Mama ada rasa plong yang kurasakan."Ma, sini duduk dulu." Ajakku. Kami duduk berdampingan kening Mama
"Makasih, Ma." Tangisku kembali pecah tatkala Mama memeluk.Di saat rapuh dan tak punya tempat untuk curhat selain Allah, kehadiran Mama sungguh memberikan energi, ditambah Mama yang berada di pihakku.Di saat menantu-menantu lainnya tak dapat perlakuan elok dari sang mertua, aku tentu beruntung bisa memiliki mertua sebaik dan se-care Mama Merta."Semoga saja ini hanya pikiran burukku saja, Ma. Semoga saja apa yang kutakutkan tidak terjadi," ucapku penuh harap. Sekalipun gerak-gerik Mas Bryan sangat mencurigakan malah terang-terangan sikapnya jelas tampak berbeda, aku tetap berharap Mas Bryan benar-benar terbebani oleh pekerjaannya."Iya, Mon. Mama pun begitu. Sangat memalukan jika Bryan sampai melakukan hal yang keji seperti itu." lalu Mama menyeka airmata ku yang rajin kali jatuh jika sudah berada di depan Mama.🎀🎀🎀Makan siang kali ini Mas Bryan dan Rara ikut bergabung dengan aku dan Mama. Tumben, iya tumben banget malahan. Mungkin tampaknya Mas Bryan tak ingin Mama menaruh curi
"Ini, Bu. Kami ada yang keluaran paling canggih, kameranya unik dan tak akan dikenali," tawar pelayan sembari memperlihatkan barang itu padaku.Ini sama persis dengan barang yang kulihat melalui gool*. Kameranya bagus dan tak berbentuk seperti kamera cctv. Ku pastikan Mas Bryan dan Rara tidak akan mengetahuinya. Untuk pemasangannya pun gampang. Aku sendiri pun bisa memasangnya saking canggihnya kamera cctv yang kubeli."Boleh pak, bungkus langsung eh tapi aku beli jadinya 3 aja deh." Setelah semua selesai aku pun bergegas pulang ke rumah, ngeri kalau berlama-lama di luar. Sambil jalan pulang aku mau beli ayam goreng drive true nambah-nambah lauk-pauk di rumah. Takutnya pada bosan sama menu yang di rumah, apalagi ini juga sambil jalan pulang.Aku juga beli es krim dan mocaflut kesukaanku, maklum cuaca sangat panas, tapi belum sebanding dengan panas hati yanh ku rasakan.Sesampainya di rumah, tampak Mama sedang berada di teras rumah dengan seorang perempuan seusia ku. "Eh, Mon dari ma
"Eh, Mama." Sapaku, lalu beranjak duduk. "Mama, mau pergi sebentar ya Mon. Itu si Mayora ngajakin ke Emolle." Keningku mengerut, netraku memperhatikan penampilan Mama dari ujung kaki sampai rambut, walaupun sudah berumur 56 tahun stelan mama masih stylist dan masih belum.mengenakan hijab. Maklum nyonya-nyonya konglomerat. Papa mertua ku adalah pengusaha terkenal di bidang furniture."Oh iya, Ma. Silakan, hati-hati yah Ma. Virus pada ngeri zaman sekarang," jawabku nyengir. "Iya." Mama pun menutup pintu tapi aku sangat enggan melepas kepergiannya dengan perempuan tetangga baruku itu.Terdengar deru mesin mobil yang perlahan kian melaju lalu hilang dari pendengaran ku, tapi entah kenapa jantungku berdegup kencang ketika mendengar bunyi mesin mobil tersebut. Tak ingin berkecimpung dengan pikiran yang terlalu menguras bathin, aku pun bertolak ke kamar.Setelah selesai beres-beres rumah dan mandi, masih belum ada terdengar hiruk-pikuk dari kamar Rara, biasanya kalau perempuan yang masih
Aku memeriksa laci nakas satu per satu berharap ada bukti yang ku temukan atas keraguanku dengan Mas Bryan. Lacinya kosong, aku bertolak memeriksa lemari, tetap nihil, memeriksa laci nakas yang berada di samping kiri dan kanan ranjang. Hasil tetap sama tak ku temukan apa-apa.Sepersekian detik, netraku tertuju pada springbed ranjang, tak mengulur waktu dengan sigap dan kekuatan estra aku mengangkat springbed tetap dengan satu harapan, ada bukti yang ku temukan. Mengangkat mulai dari sudut kiri atas, kiri bawah, lalu kanan bawah, dan deg!Jantung berpacu, mataku melotot tajam, pada satu map berwarna biru yang tergeletak cantik di bawah springbed kanan atas. Dengan tangan gemetar ku coba mengambilnya.Kubuka map walau tangan sangat gemetaran, rongga dadaku terasa semakin sesak, kamar yang luasnya 4x4 ditambah hembusan AC tak mampu menurunkan hawa panas disekejur tubuhku. Mungkin panas di luar sana tak kalah panasnya di diriku.Dan, ketika map itu kubuka, ada dua buah buku nikah, alisku
"Ya ampun, Mona. Aku turut prihatin. Tapi tenang, apa pun itu, aku akan pastikan kamu pemenang semuanya." semangat Romi makin membuat energi ku bertambah."Semoga Rom.""Sudah, minum dulu tehnya. Nanti biar aku yang urus tetek-bengek perintilan persiapan.""Siap, nggak usah buru-buru, Rom. Aku mau siapin dulu semuanya, jika udah rampung baru deh dikelarin semua.""Siap, Monalisa. Kalau urusan itu aku mah percaya kamu bakalan mampu menghadapinya. Semangat, masih banyak lho lelaki bujangan dan duda keren yang ketceh badai." goda Romi lagi."Sekarang persetan dulu dengan itu, Rom. Mau ngasih pelajaran dulu." jawabku memainkan alis. "Dah ya, aku pamit. Gimananya nanti kukabari lagi." aku beranjak."Yang sabar yah, Mon." "Tak apa, Rom." jawabku sok tegar.Kini aku melaju ke sebuah bank, tempat Mas Bryan dan aku menabung. Aku ingin menarik semua uang yang ada di dalamnya. Semoga saja tabungan itu tak berkurang. Awas saja dia gunakan untuk membelikan mahar gundiknya itu.Sebelum pergi ke te