Share

Bab 7. Ngerasa Rumah Tangga Panas

"Mas, kok aku ngerasa hawa rumah tangga kita panas aja yah beberapa hari ini. Kamu sibuk, aku pun gitu. Gimana kalau ntar malam kita jalan-jalan keluar sambil nyari cemilan," ajakku pada Mas Bryan yang masih berlanjut berkutat di depan laptop. Ku lirik jam di dinding berbentuk hello kitty berwarna pink midle putih itu sudah menunjukkan pukul 17.00 sore.

"Berdua aja? Sepi Mon, ajak Rara lah, masa dia di tinggal sendiri." Tanpa menoleh aku yang tengah menyapu rumah langsung menghentikan aktivitas lalu di duduk berhadapan dengan Mas Bryan.

"Mas, kamu nggak lagi ada sesuatu yang ditutupin sama aku 'kan?" tanyaku penuh selidik.

"Eng-enggak, lah apa juga yang mesti di tutupin Mon, Mon." Daya tangkapku Mas Bryan seperti tak jujur, aku yakin ini pasti tidak ada yang beres.

"Terus kenapa nyebut sepi mulu? Dulu zaman pacaran malah kamu suka kita pergi berduaan, sekarang kok malah gitu?" 

"Ya, enggak kenapa-kenapa Mon. Kamu tuh aneh ya. Udahlah, nggak usah pergi. Malesin gayamu, kayak curigaan aja sama suami sendiri."

"Berarti bener dong, ada yang kamu umpetin dari aku, Mas?"

"Enggak, udah ah. Jangan ganggu, aku mau kerja." Dia membawa laptop serta perintilan kerjanya lalu bertolak ke lantai dua. Seumur menikah, Mas Bryan paling malas ke lantai dua entah kenapa sekarang dia memutuskan lari ke lantai dua ketimbang ke kamar.

Apa aku sebegitu mengesalkan? Atau benar akan kecurigaanku beberapa hari ini? Sedangkan Rara sedari tadi mengeram diri di kamar. Sekalipun dia keluar kamar cuma untuk mengambil nasi lalu masuk ke kamar lagi. 

Tak ingin terlalu dalam bergelut dengan kondisi yang menurutku janggal, aku pun memutuskan untuk pergi ke minimarket sekedar mengecek keadaan apakah jual beli masih aman. Apalagi berita maraknya virus itu makin merajalela dengan gampangnya.

Aku pun tadi mengajak Mas Bryan keluar rumah tak juga sepernuhnya serius. Ingin nge-test saja, ternyata perlakuannya sungguh di luar ekspetasiku yang membuat aku semakin menaruh curiga antara dia dan Rara.

"Rien, semalam minimarket tutup jam berapa?" tanyaku pada Rienna yang sedang santai di meja kasir. Kebetulan tidak ada pelanggan yang berbelanja.

"Semalam aku dan temen lainnya pulang pukul setengah 10, Bu. Kata Bapak, biar dia yang nutup minimarket. Jadi aku nggak tahu juga jam berapa Bapak nutupnya, Bu." jelas Rienna.

"Oh gitu, gimana penjualan hari ini Rien? Rame nggak? Soalnya yang lihat di medsos virusnya begitu cepat nularnya."

"Kemarin masih lumayan, Bu kayak biasa. Tapi sekarang baru ada lima orang yang belanja, itupun juga beli air mineral dingin, Bu." kulihat wajah Rienna sedikit lesu, pas menjawabnya.

"Bu, hmmm, apa kami ..."

"Kamu mau nanya apa Rien, kok terbata gitu?" 

"Enggak, Bu. Tadi aku lihat di sosmed banyak karyawan yang dirumahkan. Apa kami bernasib sama juga seperti mereka, Bu?" Rienna tertunduk, terasa bagiku kegundahan yang dia rasakan, apalagi Rienna adalah tulang punggung keluarga selepas ditinggal pergi untuk selamanya oleh Ayah tercinta.

"Semoga saja tidak Rien, aku juga nggak mau kalian dirumahkan, doakan saja biar minimarket ini ada penjualan setiap harinya." ucapku menenangkan.

Kurang lebih satu jam aku di memantau minimarket ku putuskan untuk masuk ke dalam rumah kebetulan sebentar lagi azan Magrib berkumandang. Tapi alangkah kagetnya aku melihat Mas Bryan dan Rara sedang bercengkrama di ruang tamu, tertawa kecilnya terhenti ketika melihat sosokku berdiri di ambang pintu. Bukan netraku saja yang terbelalak, Rara dan Mss Bryan pun ternganga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status