Senang bertemu anda pembaca tersayang. Yuk, like dan beri gem pada cerita ini untuk mendukung author. Salam penuh cinta ❤️❤️
Ryuse melirik Sunny. “Kau sudah sarapan?”Sunny mengangguk gugup. “Ya. Aku tidak tahu kau ada di sini.”“Aku baru saja datang, jangan sungkan. Selesai ini aku akan mengantarmu pulang.” Ryuse melirik pakaian Sunny. “Sebaiknya kau mengganti pakaianmu. Akan kuberikan baju gantinya.”Sunny lupa kalau dia masih memakai gaun emas manik-manik itu, dan dia mendadak malu telah dilihat oleh Ryuse.“Ayo,” ajak Ryuse. Dia menyimpan kembali botol air ke dalam kulkas.“Hah, kemana?”“Ikut saja.”Sunny tidak bertanya lagi. Dia berjalan kikuk di belakang Ryuse, menerka-nerka kemana Ryuse membawanya. Mereka menaiki tangga, melewati kamar Sunny dan mendapati diri mereka berhenti di depan kamar Ryuse.“Tunggu sebentar,” ujar Ryuse lembut.Ryuse masuk ke dalam kamar, dan kembali sesaat kemudian sambil membawa kaus dan celana panjang denim miliknya. Dia memberikan itu pada Sunny. Awalnya Sunny ragu-ragu, tetapi Ryuse meyakinkan Sunny bahwa hanya ini pakaian yang cocok dengan badan Sunny.“Aku tidak punya p
Sunny tidak sadar, tubuhnya syok menerima hantaman yang tiba-tiba itu dan Ryuse—kepalanya terbentur kemudi dan melukai pelipisnya. Untungnya, pohon itu hanya menimpa bagian kap mesin. Asap mengepul dari dalam mesin, kapnya ringsek, dan perjalanan mereka terhenti. Ryuse melirik Sunny dengan cemas. Dia menggeser wajah Sunny dan menepuk-nepuk pipinya. “Sansan ... hei, bangunlah. Sansan ... Sunny!” Sunny terbangun dan dia terperanjat. “Apa aku masih hidup?” tanyanya frustasi. “Syukurlah,” Ryuse mendesah lega. “Apa ada yang terluka? Atau tubuhmu terasa sakit?” Ryuse memeriksa tangan dan kaki Sunny. “Aku baik-baik saja. Hanya saja benturan itu membuatku lemas.” “Kau yakin?” sekali lagi Ryuse mamastikan kondisi Sunny. Sunny hanya memberikan anggukan. Ryuse mendesah lagi, menyandarkan tubuhnya ke jok dan memejamkan mata. “Kau berdarah,” ujar Sunny cemas. Ryuse menyentuh pelipisnya dan berkomentar, “ini bukan apa-apa.” Sunny buru-buru mengambil beberapa lembar tisu dan menyeka darah
Ryuse mendekati Sunny dengan tatapan memburu. Sunny merasa terintimidasi dan mundur perlahan sampai tubuhnya menabrak dinding. Melihat wajah Sunny yang memerah, Ryuse menjadi terhibur. Dia terbahak-bahak dan beringsut ke sofa, lantas membuka sepatu hitam kesayangannya yang sudah basah. “Wajahmu semerah tomat,” celoteh Ryuse tanpa rasa bersalah telah membuat Sunny berdebar. Sunny mengambil bantal dan melemparkannya kepada Ryuse. “Kau menyebalkan!” “Hei, ada apa? Kau marah dengan perkataanku?” Ryuse setengah berteriak. “Apakah menyenangkan mempermainkan perasaan orang lain?” Sunny duduk di ranjang sambil bersidekap tangan. Ryuse menyeringai. “Jangan bilang kau merona karena aku.” “Anda terlalu percaya diri, tuan Ryu,” sangkal Sunny, memalingkan muka dari Ryuse. “Tssk ... kau mendadak berbicara formal. Kelihatan sekali sedang melakukan penyangkalan.” Sunny tidak berniat membiarkan Ryuse mengetahui hatinya. Dia perlu berpikir cepat mencari alasan lain agar Ryuse tidak menggoda diri
Sunny membeku. Pikirannya seolah tidak berkordinasi baik dengan tubuhnya. Dia ingin menghindar, tapi bagian dirinya yang lain seolah tidak ingin menjauh. Dalam jarak sedekat ini, Sunny bisa melihat fitur menawan wajah Ryuse dalam kegelapan. Mata Ryuse berkelebat dengan cahaya yang aneh ketika menatap Sunny. Entah itu pengaruh alkohol, entah itu karena cuaca yang dingin, atau mungkin sentuhan terlarang Sunny padanya berhasil membuat Ryuse mendambakan sensasi terbakar itu lagi. Sebagaimana pria normal, pasti akan terangsang oleh gairah yang ditimbulkan dari sentuhan itu. “Tetaplah seperti ini sebentar,” ujar Ryuse lembut di telinga Sunny. Napas Ryuse terasa hangat saat menerpa telinganya dan itu membuat tubuh Sunny bergetar dalam sensasi sensual yang belum pernah dia rasakan. Sunny menginginkan lagi suara itu bergaung di telinganya. Sunny tanpa malu-malu menyentuh wajah Ryuse, menelusuri setiap lekuk wajahnya yang tegas. Sunny sadar, ini tidak benar. Dia melepaskan tangannya dan mem
Pagi berikutnya ketika matahari telah bersinar kembali, badai hujan telah berhenti. Sunny buru-buru mengintip keluar jendela, melihat situasi di luar. Beberapa ranting pohon berserakan di jalan, daun-daun berhamburan di tanah, dan plang papan nama penginapan tergeletak menyedihkan di atas tanah. Sunny bergegas memakai kembali pakaiannya yang sudah kering. Dia bersyukur tidak harus memakai selimut itu lagi yang lebih terlihat seperti buntalan pada tubuhnya. “Kau sudah selesai?” tanya Ryuse setelah berhasil bangun dari tidurnya. Dia meregangkan tangan, dan otot-otot di lengannya menyembul seolah menggoda Sunny. Sunny segera menurunkan pandangan ke lantai. Menatap sepatu kets putih pemberian Ryuse. Sepatunya kebesaran di kaki Sunny, dan modelnya juga terlihat macho, namun dia tidak punya pilihan selain memakai itu dengan sukarela. Ryuse memberikan itu pada Sunny ketika mereka bertolak dari Rosentown kemarin. Sunny menyahut, “Ya. Bisakah kita berangkat sekarang?” “Kau tidak sarapan du
“Ah, tenang Sunny. Bukan seperti yang kau bayangkan. Maksud paman, mereka berdua pergi ke kota menyusul dirimu. Sejak kau pergi, ibumu selalu menangis di depan rumah. Dia selalu teringat padamu,” tutur paman Huben sambil meletakkan jala yang dia perbaiki di atas tanah. “Paman masih ingat dia bilang rindu padamu, dia mencemaskanmu bahkan ibumu sampai pinjam uang pada paman untuk ongkos mereka,” sambung paman Huben. Sunny menarik napas lega, namun dia tidak bisa menutupi kekhawatiranya terhadap ibu dan adiknya. Rury masih terlalu kecil dan tidak tahu apa pun tentang kota, apalagi Jane—dia sakit-sakitan. Bagaimana mungkin mereka bisa melewati kehidupan kota yang keras? “Lantas mengapa paman bilang mereka tiada? Aku hampir mati jantungan,” sungut Sunny. “Sudah berapa lama mereka pergi?” Paman Huben terkekeh. “Paman hanya mengatakan yang terlintas saja. Jangan marah. Mereka pergi dua hari yang lalu. Bagaimana kabarmu? Sudah seminggu kau tidak membantu paman berjualan. Sebenarnya apa yan
“Ini bukan apa-apa. Bukankah aku sudah mengantarmu pulang tadi? Lalu mengapa kau bisa ada di sini? Apa sesuatu terjadi?” tanya Ryuse. Sunny terdiam sejenak. Dia hendak mengatakan niatnya, namun melihat kondisi Ryuse yang kacau, Sunny mengurungkan keinginannya. “Aku—“ “Masuk saja dulu. Kau tidak peka kak Ryu. Sudah tengah malam malah membiarkan seorang gadis di luar. Tssk ... pria yang buruk,” gerutu Gordon. Dia berjalan mendahului sunny dan membuka gerbang. Ryuse menatap tajam punggung Gordon. Bibirnya berkedut menahan kekesalan akibat perkataan Gordon. “Aku akan menghabisimu nanti,” ancam Ryuse. Marvin meringis ketika menyentuh pipinya yang luka. Dia menepuk pundak Sunny dan berkata, “Kita bertemu lagi. Ayo, masuklah ...” Sunny menoleh sesaat ke arah Ryuse, berusaha melihat ekspresi pria itu sekali lagi, dan berakhir mengikuti Marvin dengan pandangan terkunci pada koper hitam yang dibawa Marvin. Mereka berada di salah satu ruangan besar di rumah itu, ruang tamu yang tampak sepe
Ryuse menepuk wajahnya dengan frustasi. “Pergilah! Jika tidak, akan kuhajar kalian sampai mampus.” Marvin tersenyum gugup, sadar bahwa dirinya dan Gordon berada dalam situasi sulit sekarang. “Kakak, kami hanya bercanda.” kemudian melirik Gordon, memberikan isyarat visual bahwa ini semua gara-gara mulut besar Gordon. “Satu,” hitung Ryuse dingin. Gordon dan Marvin saling pandang. “Dua,” imbuh Ryuse lagi. “Kakak, jangan masukkan ke dalam hati. Aku cuma menggoda saja. Sebab selama ini kakak tidak terlihat seperti itu,” tutur Gordon. “Tig—” “Baik! Kami akan pergi,” pungkas Marvin putus asa. Dia menarik Gordon untuk ikut dengannya. Mereka berdua hilang di sayap kanan rumah. “Kau terlalu keras terhadap mereka,” ujar Sunny tiba-tiba. Ryuse melirik Sunny. “Mereka berdua adalah duo yang paling menyebalkan. Aku tidak tahan lagi! Menjadikan aku sebagai objek candaan, itu hal yang paling kubenci. Ah, kau jangan pernah berpikir untuk membela mereka. Aku tidak suka itu. Cukup pikirkan saja