Halo pembaca tersayang. Dukung selalu cerita ini dengan memberikan gems dan vote serta komentar yang baik. terima kasih banyak ❤️❤️
Sunny menatap Ryuse dengan mata terbelalak ketika tangan lelaki itu mendekapnya erat. Raut wajah Sunny menggambarkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Detak jantungnya berdegup kencang dan Sunny bersumpah bahwa napasnya seolah berhenti—memikirkan apakah yang terjadi benar-benar nyata. “Ryu, apa yang kau lakukan?” Sunny berusaha menyusun kata-kata, namun suaranya terdengar seperti bisikan lembut. “Tetaplah seperti ini sebentar,” sahut Ryuse berbisik. Tangan Ryuse mengusap lembut punggung Sunny. Ryuse tidak tahu mengapa dia harus melakukan hal konyol dan tidak tahu malu seperti ini. Tindakannya yang tiba-tiba ini bukan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Perbuatan romansa dan hubungan intim antara lelaki dan wanita, Ryuse tidak peduli dengan semua itu sebelumnya. Namun kehadiran Sunny merubah segalanya. Ryuse pun tidak menyadari perasaan itu. Dia hanya tahu itu adalah perasaan empatinya terhadap kisah Sunny. “Jangan salah paham,” imbuh Ryuse. “Aku melakukan ini sebagai ucapan perp
“Hentikan gertakan itu, Sunny. Wajahmu terlihat jelek jika memandangiku dengan tatapan itu,” ujar Bibi Joyce sembari meraih cangkir teh dari meja tua di hadapannya. “Jika kau melakukan ini, aku berjanji akan merawat adik dan ibumu. Kau hanya perlu berpura-pura menjadi Anne. Marco tidak akan tahu itu, sebab aku memang belum mengenalkan Anne padanya.” Sunny mendesah panjang. Kini napasnya terasa berat, seolah semua udara yang dihirup menekan paru-parunya. Permintaan bibi Joyce sulit diterima oleh pikiran Sunny. Lagipula, selama ini bibi Joyce tidak pernah peduli kepada mereka, dia hanya peduli dengan uang dan barang-barang mahal. Bibi Joyce adalah wanita paling licik yang pernah dia kenal. Apapun akan Bibi Joyce lakukan demi keuntungan dirinya sendiri. Setelah tiga tahun tanpa kabar, dia mendadak datang dengan utang yang menumpuk. Sunny mengamati raut wajah bibi Joyce yang tengah menyesap teh. Dadanya bergemuruh oleh amarah. “Aku tidak mau. Biarkan saja Anne yang menikahi pria it
“Ada apa? Mengapa kau kemari?” teriak Sunny, dia memegang erat batang kelapa sebab Sunny hampir terjatuh. Tangisan Rury merusak perhatiannya pada kelapa-kelapa itu. “Dan—mengapa kau menangis?” “Mama tidak sadar, Kak. Aku—aku menemukannya tergeletak di lantai. Aku sudah membangunkannya tapi dia tidak mendengar suaraku. Mama—” Rury tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Dia takut membuat Sunny panik dan berakhir jatuh. Sunny sadar dia harus segera turun dari atas sana, menenangkan tangisan Rury dan mendekapnya. Sementara hatinya porak-poranda, dia gelisah bercampur cemas dengan kondisi ibunya. Dalam kekhawatiran itu, Sunny turun tergesa-gesa bahkan dia tidak sadar telapak tangannya sudah lecet oleh gesekan kasar dari batang pohon kelapa. Dan ketika Sunny mendapatkan langkah terakhirnya, dia berujar kepada pemilik kelapa, “paman, aku harus segera pulang. Besok saja kerjaan hari ini.” “Tapi—” pria tua belum selesai berbicara, namun Sunny sudah berlari bersama Rury. Sunny tahu
Sunny menyesal telah membuat janji gila tak masuk akal seperti itu pada bibi Joyce. Bila pada akhirnya itu akan memisahkan dia dengan orang terkasihnya. Namun, Sunny juga cukup sadar bahwa perjanjian itu menyelamatkan nyawa ibunya. Sunny tidak bisa berbuat apa pun selain menurut. Dia mengemasi beberapa lembar pakaian terbaik yang dia punya, menyiapkan obat herbal untuk ibunya minum nanti, dan membuat daftar pekerjaan untuk Rury. Sunny menaruh harapan pada adiknya itu, kendati sunny sedikit ragu, namun dia yakin Rury dapat dipercaya. “Mama jangan menangis lagi,” ujar Sunny. “Aku baik-baik saja. Doakan saja aku selalu sehat di sana. Aku akan mengirimi surat pada mama nanti jika aku sudah sampai dan—aku menyayangi kalian berdua.” Sunny mendekap Jane sangat erat seolah itu akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Sunny melirik Rury dan berkata, “Kakak percayakan semua padamu. Jagalah mama kita. Jangan menangis, kau pria tangguh.” Rury mengangguk patuh. “Aku akan menjaga mama. Aku aka
“Ma-mati?” Sunny akhirnya berbicara setelah susah payah mendapatkan suaranya yang hampir tenggelam oleh kengerian. Marco hanya memberikan senyum simpul, sekejap berubah menjadi senyum manis nan mengerikan. “Benar— mati! Maka mintalah wanita ini untuk melunasinya segera,” sahut Marco.Sunny menoleh bibi Joyce dan memberikan sorot kecewa. “Teganya bibi ... ”Lagi-lagi Bibi Joyce hanya memberikan alasan yang menyakitkan. “Aku tidak punya pilihan. Sudah terjadi dan tidak perlu menyesal.” Bibi Joyce segera meninggalkan ruangan itu setelah mendapat izin dari Marco. Kali ini dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Bodoh sekali dia jika harus mengkhawatirkan Sunny. Itu sudah menjadi rencananya, bibi Joyce memang sengaja menjebak Sunny dan dia punya kesempatan untuk kabur selagi Marco mempercayainya.Marco bodoh, gumam bibi Joyce.Sunny berusaha membuat tubuhnya tetap tenang, walau sebenarnya dia cemas dengan ancaman Marco. Bulu-bulu di tubuhnya merinding ketika dia membayangkan dirinya b
Ryuse menoleh dengan sorot keterkejutan. Dia tidak menduga Sunny akan meminta hal rumit seperti ini.Sunny berlari menghampiri Ryuse dan dia berujar, “tolong aku, tuan. Aku tidak mau di sini bersamanya. Aku harus pulang ke tempat ibuku.”Ryuse menatap mata coklat Sunny lamat-lamat. Seakan mata itu memohon kepadanya, sunny tidak berbohong, dia ketakutan dan sedih.“Aku tidak bisa ... Kau milik pria itu,” Ryuse melirik Marco. “Aku tidak mencuri kepunyaan orang lain. Selesaikan saja urusanmu dengannya.”Ryuse memutar tubuhnya, berjalan kembali menuju tangga yang diikuti oleh Gordon dan Marvin. Mereka sudah terlambat untuk urusan lainnya. Tidak ada waktu untuk memikirkan yang bukan urusannya.“Dasar gadis gila. Kembali ke sini kau. Tidak akan kulepaskan. Don! Bawa dia kemari!” pekik Marco.“Aku mungkin akan dibunuhnya. Kumohon ... ibuku membutuhkan aku.” Sekali lagi Sunny memohon. Kali ini dia bertaruh pada keberuntungan. Sunny hampir menangis. Mati-matian dia menahan air mata dan suaran
Bibi Joyce mati! Bibi Joyce mati! Kata-kata itu bergaung dalam benak Sunny. Selanjutnya mungkin dirinya akan menyusul bibi Joyce. Bibi Joyce terlentang di lantai, tidak ada luka yang berarti, hanya ada bekas jerat di leher bibi Joyce. Rambut ikal gonjesnya terlihat berantakan, bibir membaranya tidak lagi semerah yang Sunny ingat, dan sarung tangan renda hitam sudah terkoyak, seakan itu menunjukkan perlawanan bibi Joyce dari maut. Sunny masih ingat rambut kebanggaan bibinya itu masih tersisir rapi ketika meninggalkan rumah Marco. Sekarang yang kembali hanyalah tubuh dingin dan kaku. Sunny tersungkur. Dia meratapi kematian bibinya. Dia telah berusaha sangat keras untuk tidak menyalahkan perlakuan bibi Joyce selama ini padanya, tapi situasi yang dia hadapi kini jauh lebih serius dan membuatnya marah. Dia marah karena bibi Joyce menjebaknya dan meninggalkannya. Dia juga marah karena kematiannya ini membuat dirinya berada dalam situasi sulit. Dia marah karena Marco mengambil salah
“Kakak Ryu, mengapa kau termenung?” Marvin menepuk pundak Ryuse yang tengah menatap hampa pemandangan di luar jendela. Ryuse mendesah dalam diam panjang. Dia melirik Marvin yang menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ryuse memutar langkah, dia kembali ke meja kerjanya. Kaki terangkat ke atas meja, kepala bersandar pasrah pada bahu kursi, dan dia memejamkan mata sejenak. “Tidak ada.” Hanya itu yang keluar dari mulut Ryuse. Datar dan tanpa ekspresi. “Sungguh? Tapi kau terlihat berbeda belakangan ini. Tsssk ... apa ada yang mengganjal di hatimu?” Mata Marvin membulat besar ketika dia membayangkan penyebab kegelisahan Ryuse karena wanita. “Apa kau menyukai seseorang? Oh, ayolah kau bisa bertukar pikiran denganku. Aku cukup berpengalaman.” Marvin memainkan mata menggoda Ryuse. “Pergilah! Mulutmu berisik sekali.” “Sikapmu semakin mencurigakan. Baiklah jika kak Ryu tidak mau berbagi, maka aku akan mencari tahu sendiri,” ujar Marvin sembari terkekeh. Dia berjalan ke pintu dengan lagak k