Akankah Sunny jatuh pada godaan Ryuse? uh, mulai mendebarkan nih. semua gara-gara pikiran polos Sunny yang terlalu liar😁 Jangan lupa kasih vote dan komentar untuk mendukung author ya. Salam penuh cinta❤️
Ryuse mendekati Sunny dengan tatapan memburu. Sunny merasa terintimidasi dan mundur perlahan sampai tubuhnya menabrak dinding. Melihat wajah Sunny yang memerah, Ryuse menjadi terhibur. Dia terbahak-bahak dan beringsut ke sofa, lantas membuka sepatu hitam kesayangannya yang sudah basah. “Wajahmu semerah tomat,” celoteh Ryuse tanpa rasa bersalah telah membuat Sunny berdebar. Sunny mengambil bantal dan melemparkannya kepada Ryuse. “Kau menyebalkan!” “Hei, ada apa? Kau marah dengan perkataanku?” Ryuse setengah berteriak. “Apakah menyenangkan mempermainkan perasaan orang lain?” Sunny duduk di ranjang sambil bersidekap tangan. Ryuse menyeringai. “Jangan bilang kau merona karena aku.” “Anda terlalu percaya diri, tuan Ryu,” sangkal Sunny, memalingkan muka dari Ryuse. “Tssk ... kau mendadak berbicara formal. Kelihatan sekali sedang melakukan penyangkalan.” Sunny tidak berniat membiarkan Ryuse mengetahui hatinya. Dia perlu berpikir cepat mencari alasan lain agar Ryuse tidak menggoda diri
Sunny membeku. Pikirannya seolah tidak berkordinasi baik dengan tubuhnya. Dia ingin menghindar, tapi bagian dirinya yang lain seolah tidak ingin menjauh. Dalam jarak sedekat ini, Sunny bisa melihat fitur menawan wajah Ryuse dalam kegelapan. Mata Ryuse berkelebat dengan cahaya yang aneh ketika menatap Sunny. Entah itu pengaruh alkohol, entah itu karena cuaca yang dingin, atau mungkin sentuhan terlarang Sunny padanya berhasil membuat Ryuse mendambakan sensasi terbakar itu lagi. Sebagaimana pria normal, pasti akan terangsang oleh gairah yang ditimbulkan dari sentuhan itu. “Tetaplah seperti ini sebentar,” ujar Ryuse lembut di telinga Sunny. Napas Ryuse terasa hangat saat menerpa telinganya dan itu membuat tubuh Sunny bergetar dalam sensasi sensual yang belum pernah dia rasakan. Sunny menginginkan lagi suara itu bergaung di telinganya. Sunny tanpa malu-malu menyentuh wajah Ryuse, menelusuri setiap lekuk wajahnya yang tegas. Sunny sadar, ini tidak benar. Dia melepaskan tangannya dan mem
Pagi berikutnya ketika matahari telah bersinar kembali, badai hujan telah berhenti. Sunny buru-buru mengintip keluar jendela, melihat situasi di luar. Beberapa ranting pohon berserakan di jalan, daun-daun berhamburan di tanah, dan plang papan nama penginapan tergeletak menyedihkan di atas tanah. Sunny bergegas memakai kembali pakaiannya yang sudah kering. Dia bersyukur tidak harus memakai selimut itu lagi yang lebih terlihat seperti buntalan pada tubuhnya. “Kau sudah selesai?” tanya Ryuse setelah berhasil bangun dari tidurnya. Dia meregangkan tangan, dan otot-otot di lengannya menyembul seolah menggoda Sunny. Sunny segera menurunkan pandangan ke lantai. Menatap sepatu kets putih pemberian Ryuse. Sepatunya kebesaran di kaki Sunny, dan modelnya juga terlihat macho, namun dia tidak punya pilihan selain memakai itu dengan sukarela. Ryuse memberikan itu pada Sunny ketika mereka bertolak dari Rosentown kemarin. Sunny menyahut, “Ya. Bisakah kita berangkat sekarang?” “Kau tidak sarapan du
“Ah, tenang Sunny. Bukan seperti yang kau bayangkan. Maksud paman, mereka berdua pergi ke kota menyusul dirimu. Sejak kau pergi, ibumu selalu menangis di depan rumah. Dia selalu teringat padamu,” tutur paman Huben sambil meletakkan jala yang dia perbaiki di atas tanah. “Paman masih ingat dia bilang rindu padamu, dia mencemaskanmu bahkan ibumu sampai pinjam uang pada paman untuk ongkos mereka,” sambung paman Huben. Sunny menarik napas lega, namun dia tidak bisa menutupi kekhawatiranya terhadap ibu dan adiknya. Rury masih terlalu kecil dan tidak tahu apa pun tentang kota, apalagi Jane—dia sakit-sakitan. Bagaimana mungkin mereka bisa melewati kehidupan kota yang keras? “Lantas mengapa paman bilang mereka tiada? Aku hampir mati jantungan,” sungut Sunny. “Sudah berapa lama mereka pergi?” Paman Huben terkekeh. “Paman hanya mengatakan yang terlintas saja. Jangan marah. Mereka pergi dua hari yang lalu. Bagaimana kabarmu? Sudah seminggu kau tidak membantu paman berjualan. Sebenarnya apa yan
“Ini bukan apa-apa. Bukankah aku sudah mengantarmu pulang tadi? Lalu mengapa kau bisa ada di sini? Apa sesuatu terjadi?” tanya Ryuse. Sunny terdiam sejenak. Dia hendak mengatakan niatnya, namun melihat kondisi Ryuse yang kacau, Sunny mengurungkan keinginannya. “Aku—“ “Masuk saja dulu. Kau tidak peka kak Ryu. Sudah tengah malam malah membiarkan seorang gadis di luar. Tssk ... pria yang buruk,” gerutu Gordon. Dia berjalan mendahului sunny dan membuka gerbang. Ryuse menatap tajam punggung Gordon. Bibirnya berkedut menahan kekesalan akibat perkataan Gordon. “Aku akan menghabisimu nanti,” ancam Ryuse. Marvin meringis ketika menyentuh pipinya yang luka. Dia menepuk pundak Sunny dan berkata, “Kita bertemu lagi. Ayo, masuklah ...” Sunny menoleh sesaat ke arah Ryuse, berusaha melihat ekspresi pria itu sekali lagi, dan berakhir mengikuti Marvin dengan pandangan terkunci pada koper hitam yang dibawa Marvin. Mereka berada di salah satu ruangan besar di rumah itu, ruang tamu yang tampak sepe
Ryuse menepuk wajahnya dengan frustasi. “Pergilah! Jika tidak, akan kuhajar kalian sampai mampus.” Marvin tersenyum gugup, sadar bahwa dirinya dan Gordon berada dalam situasi sulit sekarang. “Kakak, kami hanya bercanda.” kemudian melirik Gordon, memberikan isyarat visual bahwa ini semua gara-gara mulut besar Gordon. “Satu,” hitung Ryuse dingin. Gordon dan Marvin saling pandang. “Dua,” imbuh Ryuse lagi. “Kakak, jangan masukkan ke dalam hati. Aku cuma menggoda saja. Sebab selama ini kakak tidak terlihat seperti itu,” tutur Gordon. “Tig—” “Baik! Kami akan pergi,” pungkas Marvin putus asa. Dia menarik Gordon untuk ikut dengannya. Mereka berdua hilang di sayap kanan rumah. “Kau terlalu keras terhadap mereka,” ujar Sunny tiba-tiba. Ryuse melirik Sunny. “Mereka berdua adalah duo yang paling menyebalkan. Aku tidak tahan lagi! Menjadikan aku sebagai objek candaan, itu hal yang paling kubenci. Ah, kau jangan pernah berpikir untuk membela mereka. Aku tidak suka itu. Cukup pikirkan saja
Ya ampun! Dia tidak bisa menatap Ryuse lagi dengan tatapan penuh tekad itu setelah perasaannya ketahuan. Rona merah sialan! Sunny mengutuki dirinya yang ceroboh, membiarkan perasaannya diketahui secara nyata. Sekarang, mungkin Ryuse akan menganggapnya gadis yang tidak tahu malu. “Ini karena ac-nya terlalu dingin,” celetuk Sunny gugup. “Kau sedang dalam proses menipu diri sendiri.” “Aku tidak.” “Ya, kau akan,” tukas Ryuse. “Lantas, apa untungnya bagimu? Apa kau akan memikirkan aku juga?” celetuk Sunny. Ryuse terlonjak. Dia tidak menduga Sunny akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Seperti biasa, Ryuse akan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. “Jadi di mana rumah bibimu?” “Jangan mengalihkan pembicaraan.” “Pembicaraan yang mana?” tukas Ryuse datar. Sunny mendesah frustasi. “Lupakan,” ujarnya. “Aku tidak terlalu ingat di mana rumah mereka. Waktu itu aku masih sangat kecil ketika papa membawaku mengunjungi mereka. Yang kuingat—jalan untuk sampai ke rumah mereka harus m
“Camila?” Ryuse terperanjat melihat kehadiran Camila. “Apa yang kau lakukan di sini?” Camila melirik sekilas ke arah Sunny, membuang muka dan menatap Ryuse dengan tatapan marah. Dia tidak pernah membayangkan akan mendapatkan pemandangan yang memuakkan di hari yang baik ini. Sebelumnya Camila sedang menikmati bunga wisteria di taman itu. Dia tidak sengaja melihat Ryuse dan Sunny yang bergandengan. Hatinya terbakar cemburu, Camila gelap mata dan memulai pertengkaran yang tidak perlu. “Jadi, dia pacarmu? Sangat tidak cocok ... Bisa-bisanya kakak bersamanya, sementara denganku—kak Ryu tidak pernah melihatku sebagai wanita.” “Camila ... ” ujar Ryuse frustasi. “Tolong jangan mengatakan hal itu lagi. Aku sudah menegaskan padamu berkali-kali bahwa kau seperti adik bagiku. Kumohon—jangan salah paham denganku. Sekarang kembali lah ... ” “Aku tidak mau!” tukas Camila, melipat tangan sambil melirik Sunny dengan tatapan cemooh. Sunny menjadi tidak nyaman dengan pandangan Camila yang menelisi