Hari-hari setelah kejadian di showroom Reno Auto Prestige membawa perubahan besar dalam hidup Dion. Seolah-olah dunia mulai berputar ke arah yang benar setelah sekian lama membiarkannya terpuruk.
Namun, kemenangan kecil itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang yang jauh lebih besar.
Dion kini berdiri di atas pusaran kekuatan yang telah diwariskan oleh ayahnya. Aryasatya Group bukan hanya sebuah kerajaan bisnis, melainkan sebuah raksasa ekonomi yang menggenggam berbagai lini usaha: properti, otomotif, perbankan, farmasi, hingga teknologi. Dan Dion, sang pewaris tunggal yang selama ini disangka mati suri, kini mulai membuka mata dan menggenggam kendali.
Pagi itu, Dion melangkah masuk ke kantor pusat Aryasatya Group yang menjulang di jantung kota Jakarta. Bangunan 88 lantai itu berdiri seperti simbol keabadian, dilapisi kaca hitam dengan desain arsitektur modern yang anggun. Para karyawan yang melihat Dion hanya bisa saling bertukar bisik, belum percaya bahwa pria berpakaian sederhana itu adalah pemilik tunggal perusahaan yang mereka banggakan.
Namun tidak semua menyambut Dion dengan hangat. Banyak eksekutif senior yang tidak mengenalnya, bahkan ada yang menentangnya secara diam-diam. Mereka menganggap Dion sebagai pewaris tidak kompeten, hanya pemuda liar yang pernah jadi aib keluarga.
Rapat direksi pagi itu menjadi panggung pembuktian.
"Saudara Dion," ucap salah satu direktur keuangan, pria berkacamata dengan suara dingin, "mohon maaf, apakah Anda yakin memiliki kualifikasi untuk memimpin? Anda... maaf jika terdengar kasar... dikenal lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan dan barak militer. Dunia bisnis bukan ladang peperangan."
Dion menatap pria itu dengan tenang, lalu tersenyum kecil.
"Justru karena saya pernah memimpin ribuan pasukan di medan perang nyata, saya tahu bagaimana mengatur strategi, membaca lawan, dan memimpin tim. Anda pikir kursi direksi ini lebih berat dari medan perang yang dipenuhi ranjau dan peluru?"
Ruangan hening.
"Saya tidak datang ke sini untuk jadi boneka pewaris. Saya datang untuk mereformasi perusahaan ini. Dan saya sudah pelajari semua laporan tahunan, termasuk penyimpangan dana yang... saudara Kevin tutupi selama dua tahun terakhir."
Direktur keuangan itu pucat. Dion membuka folder dan menampilkan grafik penyimpangan dana proyek fiktif yang ditandatangani oleh direktur tersebut.
"Mulai hari ini, semua laporan keuangan akan diaudit oleh tim independen. Dan saya akan turun langsung ke semua anak usaha. Tidak akan ada yang bisa bermain api di dalam istana saya."
Para direksi saling pandang. Diam. Tak ada yang berani menyangkal lagi.
Di luar rapat, Dion kembali ke ruangannya yang luas. Sebuah ruangan dengan jendela kaca setinggi langit-langit, memberikan pemandangan kota Jakarta yang padat dan bergemuruh. Di sana, ia berdiri sendirian, memandangi horizon.
Tak butuh waktu lama, asistennya masuk. Seorang wanitamuda nan cantik bernama Shella yang sejak awal sudah diberi kepercayaan penuh.
"Tuan Dion, Anda yakin ingin turun langsung ke pabrik farmasi besok pagi? Itu wilayah yang cukup... keras. Banyak preman lokal yang selama ini dilindungi oleh direksi lama."
"Justru karena itu aku harus datang langsung," kata Dion. "Kalau aku hanya duduk di balik meja dan membiarkan mereka terus menggerogoti akar, Aryasatya Group hanya tinggal nama."
Shella mengangguk. Dalam hatinya, ia semakin yakin: pria ini bukan sekadar pewaris. Ia adalah pemimpin sejati.
Sore itu, Dion mampir ke satu tempat yang dulu menjadi titik balik hidupnya—barak militer tempat ia ditempa. Di sana, ia disambut oleh para mantan rekan seperjuangannya. Pria-pria kasar dengan sorot mata tajam, namun memiliki loyalitas dan kehormatan yang tidak ternilai.
"Jenderal!" seru salah satu mantan prajurit, memberikan hormat penuh.
Dion membalas dengan hormat pula. "Aku datang bukan sebagai jenderal, tapi sebagai saudara."
Mereka berkumpul di ruang kecil yang dulu menjadi ruang pelatihan. Dion membawa kabar penting.
"Aku butuh tim. Orang-orang yang bisa kupercaya. Dunia bisnis lebih kejam daripada medan perang. Dan aku ingin membangun ulang Aryasatya Group dengan fondasi baru—loyalitas, integritas, dan kekuatan."
Mereka setuju. Dalam seminggu, Dion berhasil membentuk satuan elit rahasia berisi mantan tentara dan analis profesional, yang akan menjadi mata dan telinganya di dalam perusahaan.
Tak lama kemudian, nama Dion Aryasatya mulai terdengar di kalangan konglomerat. Banyak yang terkejut saat mendengar bahwa mantan pemuda liar itu kini mengaudit seluruh sistem bisnis Aryasatya Group dan menyingkirkan puluhan pejabat lama.
Di balik semua itu, Reno dan Vania mulai merasa tekanan. Reno kehilangan kendali atas showroom-nya, Vania kehilangan pengaruh sosial yang biasa ia banggakan. Kehidupan mewah mereka mulai runtuh satu demi satu.
Dalam sebuah pesta sosial, Vania yang dulu dipuja, kini mulai dijauhi. Semua tamu lebih tertarik membicarakan tentang Dion.
"Kamu tahu nggak, ternyata dia di barak berhasil menjadijenderal bintang lima..."
"Aryasatya Group sekarang makin agresif. Dion katanya sendiri yang negosiasi sama investor luar."
Vania mendengar semua itu. Wajahnya pucat. Ada penyesalan, tapi lebih banyak ketakutan. Ia sadar, lelaki yang dulu ia hina dan campakkan kini berdiri jauh di atas dirinya.
Suatu malam, di penthouse pribadi Dion, ia duduk di balkon sambil menyesap kopi. Lampu kota gemerlap di kejauhan.
Ia membuka satu dokumen penting: rencana akuisisi perusahaan media besar yang selama ini dikendalikan oleh lawan politik keluarganya.
Langkah ini bukan sekadar ekspansi bisnis—ini adalah pengambilalihan narasi.
"Kalau mereka bisa membunuhku dengan opini publik, aku akan mematikan mereka dengan kebenaran."
Dion tersenyum kecil. Ia tahu perangnya belum usai. Tapi kini, ia tidak lagi berjalan sebagai orang yang dihina dan direndahkan. Ia adalah Dion Aryasatya.
Pewaris. Jenderal. Dan sekarang, penguasa.
Pagi itu, Dion kembali mendorong gerobak baksonya meski showroom Reno kini telah resmi menjadi miliknya. Baginya, gerobak itu bukan simbol kemiskinan, tapi simbol kesederhanaan yang menenangkan. Ia belum ingin menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya ke dunia luar. Masih banyak yang perlu ia urai dan rencanakan.Di jalanan, beberapa pelanggan setia menyapanya."Baksonya yang pedas, Bang Dion!" seru seorang tukang parkir."Pagi, Pak Dion! Satu mangkok biasa, ya?" ujar ibu penjaga warung sembako.Dion tersenyum ramah, seperti biasa. Tak ada yang tahu bahwa pria itu kini pemilik baru showroom mewah di seberang jalan, atau bahwa ia adalah jenderal perang legendaris yang pernah ditakuti di medan tempur.Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari kejauhan, sebuah mobil sport berhenti. Seorang wanita cantik keluar—Vania. Dengan sepatu hak tinggi dan kacamata hitam, ia berjalan mendekat. Beberapa orang yang makan bakso terdiam."Kita perlu bicara," kata Vania dingin."Kalau soal bakso,
Malam masih pekat ketika Dion terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi buruk kembali mengusiknya—tentang suara dentuman meriam, jeritan prajurit, dan wajah-wajah yang gugur dalam komandonya. Ia duduk di ranjang sambil menatap dinding, hening. Di kamar sempit itu, hanya suara detik jam yang terdengar.Namun bukan mimpi buruk itu yang paling menghantuinya. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Vania—istrinya, wanita yang dulu ia pertaruhkan hidup dan mati—kini membencinya, menjauhinya, bahkan berselingkuh dengan lelaki lain. Dan yang lebih ironis, lelaki itu adalah Reno, orang yang pernah ia bantu bangkit secara finansial bertahun lalu.Saat mentari mulai naik, Dion bersiap mendorong gerobaknya seperti biasa. Namun langkahnya terhenti saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Showroom Reno. Sekarang. Kamu harus lihat ini. -V"Dion terdiam. Nama pengirim hanya huruf "V". Ia tak yakin. Tapi hatinya bergetar. Nalurinya berkata:
Pagi itu, matahari menyembul malu-malu dari balik gedung-gedung tinggi Jakarta. Langit mendung, seolah menyatu dengan suasana hati Dion yang masih kelabu. Meski showroom mobil mewah milik Reno sudah resmi menjadi bagian dari Aryasatya Grup—dan secara hukum sah menjadi miliknya—Dion belum merasa puas.Harga diri yang terinjak selama bertahun-tahun tidak bisa ditebus hanya dengan satu pembalasan. Luka batin, pengkhianatan Vania, dan segala hinaan dari masyarakat belum sepenuhnya terhapus.Maka pagi itu, Dion tetap mendorong gerobaknya. Bukan karena ia terpaksa. Tapi karena ini adalah pilihannya. Ia ingin menyelesaikan luka itu dengan caranya sendiri—bukan dengan kemewahan, tapi dengan kerja keras dan ketulusan.Di sebuah sudut sekolah dasar di daerah Tebet, Dion berhenti. Ia biasa mangkal di sana setiap Senin pagi, menyambut anak-anak sekolah yang suka dengan baksonya. Ia membuka tutup panci, membiarkan uap kaldu yang harum itu menguar ke udara."Bang Dion! Baksonya lima ya, kayak biasa
Hari-hari setelah kejadian di showroom Reno Auto Prestige membawa perubahan besar dalam hidup Dion. Seolah-olah dunia mulai berputar ke arah yang benar setelah sekian lama membiarkannya terpuruk.Namun, kemenangan kecil itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang yang jauh lebih besar.Dion kini berdiri di atas pusaran kekuatan yang telah diwariskan oleh ayahnya. Aryasatya Group bukan hanya sebuah kerajaan bisnis, melainkan sebuah raksasa ekonomi yang menggenggam berbagai lini usaha: properti, otomotif, perbankan, farmasi, hingga teknologi. Dan Dion, sang pewaris tunggal yang selama ini disangka mati suri, kini mulai membuka mata dan menggenggam kendali.Pagi itu, Dion melangkah masuk ke kantor pusat Aryasatya Group yang menjulang di jantung kota Jakarta. Bangunan 88 lantai itu berdiri seperti simbol keabadian, dilapisi kaca hitam dengan desain arsitektur modern yang anggun. Para karyawan yang melihat Dion hanya bisa saling bertukar bisik, belum percaya bahwa pria berpa
Malam itu sunyi. Kota sudah lelah dengan hiruk-pikuk siang hari, lampu-lampu jalan bersinar seperti kunang-kunang di tengah aspal basah sisa hujan. Dion mengendarai motor tuanya melintasi pusat kota, sekadar melepas penat setelah rapat yang menguras energi dan emosi. Ia mengenakan helm lusuh, jaket kulit yang mulai pudar warnanya, dan raut wajah penuh pikiran.Dion memilih menunda pulang ke rumah besarnya dan memilih berjalan-jalan dengan motor tuanya sekedar untuk menenangkan pikiran dan hatinya.Namun sebuah pemandangan membuatnya berhenti mendadak di pinggir jalan.Di seberang jalan, berdiri sebuah showroom mobil mewah berlampu terang. Logo "Reno Auto Prestige" terpampang besar di atas bangunan kaca modern itu. Tapi yang menarik perhatian Dion bukanlah mobil-mobil mewah yang dipajang... melainkan sosok seorang wanita.Vania.Istrinya.Ia berdiri di dekat salah satu mobil sport, mengenakan gaun elegan berwarna merah marun dan sepatu hak tinggi. Di sampingnya, Reno—pria muda berpenam
Ruang rapat itu dingin dan mencekam. Dinding marmer putih memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang menggantung angkuh di tengah langit-langit. Di bawahnya, meja bundar kayu jati tua berdiri megah, dikelilingi oleh orang-orang yang mengenakan setelan mahal dan wajah dingin tanpa senyum. Mereka adalah keluarga Aryasatya—kerabat darah dan pengurus kerajaan bisnis yang kini sedang menunggu satu sosok yang selama ini hilang dari peta keluarga: Dion Aryasatya.Pintu terbuka perlahan. Semua mata menoleh serempak.Dion melangkah masuk. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana dan celana panjang abu-abu. Tak ada jas, tak ada dasi, bahkan sepatunya bukan kulit mahal. Tapi sorot matanya... tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Ia berjalan mantap menuju kursi di tengah ruangan, lalu duduk tanpa banyak bicara.Beberapa orang langsung terlihat tidak senang."Jadi ini dia? Si tukang bakso yang katanya pewaris?" gumam seorang pria paruh baya, paman dari pihak ayahnya."Jangan bercanda! Kita b