Home / Urban / GEROBAK BINTANG LIMA / PERALIHANKEKUASAAN

Share

PERALIHANKEKUASAAN

Author: CHAN KENNAN
last update Last Updated: 2025-06-10 12:18:53

Ruang rapat itu dingin dan mencekam. Dinding marmer putih memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang menggantung angkuh di tengah langit-langit. Di bawahnya, meja bundar kayu jati tua berdiri megah, dikelilingi oleh orang-orang yang mengenakan setelan mahal dan wajah dingin tanpa senyum. Mereka adalah keluarga Aryasatya—kerabat darah dan pengurus kerajaan bisnis yang kini sedang menunggu satu sosok yang selama ini hilang dari peta keluarga: Dion Aryasatya.

Pintu terbuka perlahan. Semua mata menoleh serempak.

Dion melangkah masuk. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana dan celana panjang abu-abu. Tak ada jas, tak ada dasi, bahkan sepatunya bukan kulit mahal. Tapi sorot matanya... tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Ia berjalan mantap menuju kursi di tengah ruangan, lalu duduk tanpa banyak bicara.

Beberapa orang langsung terlihat tidak senang.

"Jadi ini dia? Si tukang bakso yang katanya pewaris?" gumam seorang pria paruh baya, paman dari pihak ayahnya.

"Jangan bercanda! Kita butuh pemimpin, bukan pengemis berbau kuah!" sahut yang lain.

Dion menatap mereka tenang, tanpa emosi. Pak Damar, pengacara keluarga yang berdiri di sisi meja, membuka map cokelat di tangannya.

"Sesuai surat wasiat terakhir Bapak Aryasatya yang telah kami notarisasikan, Dion Aryasatya ditunjuk sebagai pemegang saham mayoritas sekaligus pemimpin utama Grup Aryasatya, menggantikan ayahnya."

"Kau pasti sudah gila, Damar!" seru salah satu komisaris. "Dion tak tahu apa-apa soal bisnis. Dia bahkan tak pernah ikut satu pun rapat!"

Pak Damar tidak gentar. Ia mengeluarkan dokumen asli dan menunjukkannya.

"Keputusan ini legal dan tidak bisa diganggu gugat. Tuan Aryasatya mempercayakan semuanya kepada Dion."

Dion menghela napas pelan. Suaranya kemudian terdengar, dalam dan tenang.

"Kalian benar. Aku tidak pernah duduk di meja ini. Aku tidak pernah belajar neraca, saham, atau akuisisi. Tapi ketika kalian mengamankan bisnis dari serangan kompetitor, aku menjaga nyawa prajurit dari peluru dan ranjau. Aku tahu apa itu kepemimpinan. Aku tahu bagaimana menyelamatkan nyawa dalam tekanan."

Beberapa orang tertawa sinis.

"Ini bukan medan perang, Dion. Ini korporasi."

"Salah," balas Dion cepat. "Justru ini lebih kejam dari perang. Di sini, pengkhianatan datang dari orang serumah. Kalian pikir aku tidak tahu? Aku sudah pelajari semua laporan. Aku tahu siapa yang menggelapkan dana, siapa yang menyuap pejabat, dan siapa yang menjual informasi ke kompetitor."

Ruangan sunyi. Wajah-wajah mulai tegang.

"Kau mengancam kami?" tanya salah satu bibi Dion dengan suara tinggi.

"Tidak," kata Dion singkat. "Aku hanya memperingatkan. Kalau kalian ingin tetap menjadi bagian dari Aryasatya Group, bersihkan cara kalian. Atau keluar."

Seorang sepupu Dion berdiri perlahan. "Aku mendukung Dion. Ayahku dulu selalu bicara tentang bagaimana Dion menyelamatkan keluarganya dalam banyak hal. Bukan cuma dari medan perang, tapi dari kehancuran moral."

Pak Damar menambahkan, "Kita akan mulai masa transisi tiga hari ke depan. Semua divisi akan melapor langsung kepada Dion. Siapa yang keberatan boleh keluar, tapi saham akan dibekukan hingga audit selesai."

Rapat itu berubah menjadi ladang konflik. Beberapa orang memilih meninggalkan ruangan dengan wajah merah padam, tapi ada juga yang mulai menunjukkan rasa hormat yang lama hilang.

Setelah dua jam, ruangan itu kembali kosong. Hanya Dion dan Pak Damar yang masih duduk di dalam.

"Bagaimana rasanya kembali ke meja kekuasaan?" tanya Pak Damar sambil tersenyum.

"Seperti kembali ke medan perang. Tapi musuhnya lebih rapi pakaiannya."

Pak Damar tertawa pelan. "Kau punya semua yang dibutuhkan, Dion. Karisma, keberanian, dan yang paling penting: hati yang terluka tapi tidak hancur."

Dion berdiri dan berjalan keluar. Di luar gedung, matahari sore menyinari kota dengan sinar keemasan. Mobil hitam sudah menunggunya.

"Ayo," kata Pak Damar. "Kita pulang ke rumah besar."

"Rumah besar?"

"Tempat di mana kau dilahirkan. Tempat di mana semua ini dimulai. Dan tempat di mana kau akan membuktikan siapa sebenarnya Dion Aryasatya."

"Tentu aku sangat merindukan rumah itu, rindu ibu juga, tapi tidak!aku tidak akan kembali ke rumah itu, jika tanpa Vania,istriku,"tegas Dion.

meski Dion telah dikhianati istrinya tapi ia tetap masih mengingatnya dan ingin membagikan kebahagiaan ini bersama istrinya yang masih ia cintai dan sayangi namun hatinya yetap masih kesal dan jengkel kepadaReno yang telah menghina sekaligus merebut istrinya.

"Ayo,Dion. ibu sudah menunggu anda di rumah"Ajak Pak Damar sambil membukakan intu mobil mewahnya untuk Dion namun, Dion menggelengkan kepalanya dan malah berjalan menuju motor tuanya yang sudah jelek yang terparkir di pojokparkiran itu.

Dion menatap langit senja. Badai dalam dadanya mulai berubah menjadi kompas yang mengarah pada satu tujuan: kebangkitan.

Dan ia tahu, danbertekad ingin membuktikan siapa dirinya sekaligus memberikan pelajaran kepada semua orang yang sudah merendahkannya.Dn ini baru permulaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GEROBAK BINTANG LIMA   BARA YANG MASIH MENYALA

    Pagi itu, Dion kembali mendorong gerobak baksonya meski showroom Reno kini telah resmi menjadi miliknya. Baginya, gerobak itu bukan simbol kemiskinan, tapi simbol kesederhanaan yang menenangkan. Ia belum ingin menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya ke dunia luar. Masih banyak yang perlu ia urai dan rencanakan.Di jalanan, beberapa pelanggan setia menyapanya."Baksonya yang pedas, Bang Dion!" seru seorang tukang parkir."Pagi, Pak Dion! Satu mangkok biasa, ya?" ujar ibu penjaga warung sembako.Dion tersenyum ramah, seperti biasa. Tak ada yang tahu bahwa pria itu kini pemilik baru showroom mewah di seberang jalan, atau bahwa ia adalah jenderal perang legendaris yang pernah ditakuti di medan tempur.Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari kejauhan, sebuah mobil sport berhenti. Seorang wanita cantik keluar—Vania. Dengan sepatu hak tinggi dan kacamata hitam, ia berjalan mendekat. Beberapa orang yang makan bakso terdiam."Kita perlu bicara," kata Vania dingin."Kalau soal bakso,

  • GEROBAK BINTANG LIMA   LUKA-LUKA YANG TAK TAMPAK

    Malam masih pekat ketika Dion terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi buruk kembali mengusiknya—tentang suara dentuman meriam, jeritan prajurit, dan wajah-wajah yang gugur dalam komandonya. Ia duduk di ranjang sambil menatap dinding, hening. Di kamar sempit itu, hanya suara detik jam yang terdengar.Namun bukan mimpi buruk itu yang paling menghantuinya. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Vania—istrinya, wanita yang dulu ia pertaruhkan hidup dan mati—kini membencinya, menjauhinya, bahkan berselingkuh dengan lelaki lain. Dan yang lebih ironis, lelaki itu adalah Reno, orang yang pernah ia bantu bangkit secara finansial bertahun lalu.Saat mentari mulai naik, Dion bersiap mendorong gerobaknya seperti biasa. Namun langkahnya terhenti saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Showroom Reno. Sekarang. Kamu harus lihat ini. -V"Dion terdiam. Nama pengirim hanya huruf "V". Ia tak yakin. Tapi hatinya bergetar. Nalurinya berkata:

  • GEROBAK BINTANG LIMA   gEROBAK MASIH BERJALAN

    Pagi itu, matahari menyembul malu-malu dari balik gedung-gedung tinggi Jakarta. Langit mendung, seolah menyatu dengan suasana hati Dion yang masih kelabu. Meski showroom mobil mewah milik Reno sudah resmi menjadi bagian dari Aryasatya Grup—dan secara hukum sah menjadi miliknya—Dion belum merasa puas.Harga diri yang terinjak selama bertahun-tahun tidak bisa ditebus hanya dengan satu pembalasan. Luka batin, pengkhianatan Vania, dan segala hinaan dari masyarakat belum sepenuhnya terhapus.Maka pagi itu, Dion tetap mendorong gerobaknya. Bukan karena ia terpaksa. Tapi karena ini adalah pilihannya. Ia ingin menyelesaikan luka itu dengan caranya sendiri—bukan dengan kemewahan, tapi dengan kerja keras dan ketulusan.Di sebuah sudut sekolah dasar di daerah Tebet, Dion berhenti. Ia biasa mangkal di sana setiap Senin pagi, menyambut anak-anak sekolah yang suka dengan baksonya. Ia membuka tutup panci, membiarkan uap kaldu yang harum itu menguar ke udara."Bang Dion! Baksonya lima ya, kayak biasa

  • GEROBAK BINTANG LIMA   LANGKAH PERTAMA SANG DEWA OERANG

    Hari-hari setelah kejadian di showroom Reno Auto Prestige membawa perubahan besar dalam hidup Dion. Seolah-olah dunia mulai berputar ke arah yang benar setelah sekian lama membiarkannya terpuruk.Namun, kemenangan kecil itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang yang jauh lebih besar.Dion kini berdiri di atas pusaran kekuatan yang telah diwariskan oleh ayahnya. Aryasatya Group bukan hanya sebuah kerajaan bisnis, melainkan sebuah raksasa ekonomi yang menggenggam berbagai lini usaha: properti, otomotif, perbankan, farmasi, hingga teknologi. Dan Dion, sang pewaris tunggal yang selama ini disangka mati suri, kini mulai membuka mata dan menggenggam kendali.Pagi itu, Dion melangkah masuk ke kantor pusat Aryasatya Group yang menjulang di jantung kota Jakarta. Bangunan 88 lantai itu berdiri seperti simbol keabadian, dilapisi kaca hitam dengan desain arsitektur modern yang anggun. Para karyawan yang melihat Dion hanya bisa saling bertukar bisik, belum percaya bahwa pria berpa

  • GEROBAK BINTANG LIMA   SHOWROOM MILIK ARYASATYA GRUP

    Malam itu sunyi. Kota sudah lelah dengan hiruk-pikuk siang hari, lampu-lampu jalan bersinar seperti kunang-kunang di tengah aspal basah sisa hujan. Dion mengendarai motor tuanya melintasi pusat kota, sekadar melepas penat setelah rapat yang menguras energi dan emosi. Ia mengenakan helm lusuh, jaket kulit yang mulai pudar warnanya, dan raut wajah penuh pikiran.Dion memilih menunda pulang ke rumah besarnya dan memilih berjalan-jalan dengan motor tuanya sekedar untuk menenangkan pikiran dan hatinya.Namun sebuah pemandangan membuatnya berhenti mendadak di pinggir jalan.Di seberang jalan, berdiri sebuah showroom mobil mewah berlampu terang. Logo "Reno Auto Prestige" terpampang besar di atas bangunan kaca modern itu. Tapi yang menarik perhatian Dion bukanlah mobil-mobil mewah yang dipajang... melainkan sosok seorang wanita.Vania.Istrinya.Ia berdiri di dekat salah satu mobil sport, mengenakan gaun elegan berwarna merah marun dan sepatu hak tinggi. Di sampingnya, Reno—pria muda berpenam

  • GEROBAK BINTANG LIMA   PERALIHANKEKUASAAN

    Ruang rapat itu dingin dan mencekam. Dinding marmer putih memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang menggantung angkuh di tengah langit-langit. Di bawahnya, meja bundar kayu jati tua berdiri megah, dikelilingi oleh orang-orang yang mengenakan setelan mahal dan wajah dingin tanpa senyum. Mereka adalah keluarga Aryasatya—kerabat darah dan pengurus kerajaan bisnis yang kini sedang menunggu satu sosok yang selama ini hilang dari peta keluarga: Dion Aryasatya.Pintu terbuka perlahan. Semua mata menoleh serempak.Dion melangkah masuk. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana dan celana panjang abu-abu. Tak ada jas, tak ada dasi, bahkan sepatunya bukan kulit mahal. Tapi sorot matanya... tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Ia berjalan mantap menuju kursi di tengah ruangan, lalu duduk tanpa banyak bicara.Beberapa orang langsung terlihat tidak senang."Jadi ini dia? Si tukang bakso yang katanya pewaris?" gumam seorang pria paruh baya, paman dari pihak ayahnya."Jangan bercanda! Kita b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status