Namaku adalah Jane. Aku merupakan seorang istri dari kepala divisi pemasaran di perusahaan kosmetik terkenal di kota ini. Umur pernikahanku dengan Mas Reno masih tiga tahun. Belum lama dan masih tergolong pengantin muda.
Meski begitu, hubunganku dengannya sudah sangat lama. Lima belas tahun kami berpacaran hingga akhirnya mantap untuk memutuskan menikah.
Sebenarnya orang tuaku tidak setuju, sebab aku belum menyelesaikan kuliahku di jurusan bahasa inggris. Aku berbakat di pendidikan, tetapi pikirku, aku lebih berbakat dalam hal menaklukan cinta.
Hari ini bakat itu kuragukan. Hatiku rasanya ingin meledak saat wajah perempuan tidak asing mendatangiku dan saat ini duduk manis di depanku. Dia memperkenalkan dirinya dengan nama Anggi.
"Begini, Mbak, saya ke sini atas inisiatif saya sendiri. Bukan dari suruhan Mas Reno" akunya tanpa basa-basi.
Hatiku mulai tidak karuan, wajahnya sangat familier di halaman f******k Reno. Hampir di setiap postingan Reno ada komentar darinya. Dia juga sering membagikan foto kebersamaan rekan-rekan kerja kantor dengan memberi tag ke akun Reno. Ya, benar sekali, foto itu hanya menandai akun Reno.
Tidak sampai di situ, Reno malah meloloskan tinjauan foto dengan membiarkan dindingnya dipenuhi foto-foto dari akun wanita ini. Meskipun itu adalah foto kebersamaan tim kantor, tetapi lucu sekali, jika sampai harus memenuhi dinding akun suami orang. Apa tidak malu?
"Maksudnya apa?" tanyaku pura-pura dungu. Air teh yang kubuatkan untuknya, sengaja kuracik tidak manis. Biar begitu, dia meminum air dicangkirnya hingga habis.
Gadis di depan Jane menarik napas, lalu berujar, "Saya mencintai suami Mbak Jane dan saya memohoh agar kami bisa mendapatkan restu dari Mbak," jelasnya berlagak sopan.
"Kamu sudah berbicara dengan Mas Reno?" tanyaku berusaha tenang, menahan sekuat tenaga taring yang ingin merayap keluar.
"Sudah Mbak, tetapi beliau bilang bahwa tekadnya tidak akan bergeser sedikitpun, meskipun nanti Mbak Jane tidak merestui."
"Beliau bilang begitu?" tanyaku penasaran. Gadis yang entah kenapa Tuhan karuniakan wajah cantik ini mengangguk mengiyakan. "Berarti, Mas Reno sudah bertekat bulat ingin menikahi kamu?"
"Iya Mbak, beliau bersedia . Saya berjanji tidak akan mengganggu kebahagian Mbak Jane dengan Mas Reno. Saya akan menjadi adik yang baik dan akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Tania. Anak Mas Reno dan Mbak Jane yang sudah saya anggap seperti anak sendiri,"ujarnya tidak tahu malu.
Saat ini, aku sedang tidak fokus mendengar teks pidato yang sedang ia bacakan. Otakku terbang ke wajah suami yang ingin kuhantuk-hantukkan kepalanya. Lima belas tahun berpacaran, tidak pernah sekalipun ia selingkuh. Lalu sekarang, saat pernikahan sudah menghadirkan buah hati, kenapa setega itu dia mengutus perempuan ke rumahku.
"Mbak!" Gadis tengik ini melebur lamunanku.
"Pergi!" tegasku singkat.
"Tetapi Mbak," potongnya mencoba bertahan.
Aku tidak lagi berucap apa-apa. Hanya membereskan meja dan mengambil pisau di atas kue bolu tepat di depannya. Melihat aku seolah-olah nekat membunuh, Ia, lantas pergi dan menghilang menyisakan aroma parfum yang sangat menyengat.
***
Malam harinya.
Tania sudah tidur. Reno menyantap makan malam yang kusiapkan, telur dadar dan rebusan daun bayam. Tidak ada sambal, hanya kecap. Ia tidak protes seperti dugaanku.
Aku ,mencoba untuk bersikap tenang, "Capek, Mas?" tanyaku sembari menuangkan air putih hangat untuknya. Sebenarnya aku ingin sekali menuangkan air mendidih agar bibir yang entah sudah tidak steril itu melepuh.
"Lumayan," katanya santai dengan mengambil air yang sudah kutuang. "aduh...," keluhnya setelah meneguk air itu. Ternyata yang kutuang bukanlah air hangat, tetapi benar-benar air mendidih. Teganya aku.
"kamu tidak apa-apa Mas?"
"I-iya i am oke!"
"Ini, Mas!" Aku sigap memberinya tisu. Namun, kali ini ia memeriksa tisue yang kuberikan. Mungkin takut ada racun di sana.
"Kamu boleh tidur duluan, Dek!"
"Ada yang ingin saya tanyakan ke Mas Reno," tanyaku dengan tegas.
"Apa itu?" tanya Mas Reno menarik napas.
"Tadi siang, ada wanita ke rumah kita."
"Itu... Itu...,"
"Rekan kerja kamu kan, Mas?"
"Mas bisa jelaskan, Dek," dalihnya mencoba meyakinkan.
"Oke, jelaskan sekarang!" tegasku memburu responnya. Ia menarik napasnya dalam, lalu menghembuskannya.
"Apa pun yang ia katakan tadi, tetap saja kesimpulannya adalah Mas gak akan mau menikah lagi jika kamu tidak memberikan izin dan restu, tetapi mas akan bahagia jika kamu mau mencoba untuk tenang dan memikirkan pelan-pelan atas apa yang ia katakan tentang masa depan yang bahagia untuk kita, Sayang," bujuknya dengan air muka bijaksana. Rasa-rasanya aku ingin pingsan.
Tidak perlu menunggu besok, hatiku hancur berkeping-keping malam ini, berarti Reno benar-benar memikirkan wanita lain. Tidak terasa air mata terasa hangat di pipi. Bagaimana bisa? Anakku baru berumur dua tahun. Masih bayi dan Reno sudah membiarkan wanita lain mendekatinya. Kenapa tidak langsung ditolak saja, kenapa tidak menjelaskan bahwa kami sudah cukup bahagia dengan formasi seperti ini. Kenapa malah menyuruh gadis tengik itu meminta izin. Bahkan, dengan cara izin saja sudah cukup membuat hatiku berdarah-darah. Terlalu sakit.
"Jane, are you oke?" tegur Reno melihat air mataku meleleh. Raut wajahnya khawatir. Aku tahu ia masih sangat mencintaiku seperti dahulu. Aku tahu itu tidak akan berubah, tetapi aku tidak tahu jika hatinya bisa punya kloning.
“I’m oke. Aku baik-baik saja!” jawabku menepis kasar tangannya yang mencoba menyentuh wajahku. Keparat kamu, Mas. Bisa-bisanya bertanya apakah aku oke? Memangnya ada perempuan yang bisa oke saat dihadapkan dengan situasi seperti ini.
Reno mengambilkan sebuah kotak dan memberikannya kepadaku untuk dibuka sembari membisikkan kata, "Aku tahu kamu kamu akan baik-baik saja, Jane. Gelang emas ini aku berikan spesial untuk cinta kita yang pastinya akan terus membuatmu baik-baik saja," jelasnya dengan tatapan yang penuh.
Aku juga bodoh menjawab bahwa aku masih dalam keadaan oke. Padahal, aku ingin sekali pingsan, lalu membuat Reno khawatir dan untung-untung membuatnya sadar bahwa ini semua tidak akan membuat keadaan di antara kami berdua akan baik-baik saja kedepannya. "Kamu belikan untuk dia juga?" Mataku membalas tatapannya.
Dia gugup, lalu salah tingkah, "Aku belikan gelang yang terbaik hanya untukmu," jawabnya berdiri dan mengambil air minum.
"Yang terbaik? berarti kamu memang membelikan juga gelang untuknya?"
"Jane! jangan seperti anak-anak. Aku tidak memaksakan dirimu untuk menerimanya," protesnya dengan menaikkan suara.
"Loh, kenapa jadi marah?"
"Siapa yang marah?"
"Itu! Mas marah kepadaku. Harusnya aku yang marah, bukannya Mas Reno!"
Reno menarik napas berusaha menjadi lebih tenang. "Sudahlah! kita jangan ributkan ini. Besok, aku akan menegurnya karena lancang berkunjung ke rumah kita."
"Bagus! dan katakan kepadanya untuk tidak bermimpi masuk ke dalam keluarga kita," cecarku membesarkan mata.
Reno tidak menjawab, bergegas pergi meninggalkanku sendiri.
Keesokan harinya, Reno bergerak di rumah kami seperti biasa. Bangun, mandi, sarapan, lalu ijin berangkat bekerja. seperti tidak ada kejadian apa-apa.Apakah sikapnya begitu karena ia merasa kejadian kemarin memang bukanlah hal yang penting untuk dibahas lagi atau memang karena takut aku murka.Entahlah, yang jelas aku sedang tidak nyaman melihat wajahnya. mudah-mudahan tidak berlanjut lama, sebab sejujurnya aku juga ingin segera melupakan tentang kedatangan perempuan yang tidak diundang itu.Aku bergegas mengurus bayiku. Namanya Tania, belum genap dua tahun. setelah menyuapkannya bubur beras merah, aku lantas menjemur dan memandikannya hingga selesai. Tania kemudian kembali mengantuk. aku mengayunnya hingga tertidur. Hatiku bahagia melihat wajahnya yang cantik, putih dan bersih seperti putri salju. Penyemangat hidupku.Belum lama Tania tertidur, suara handphone berdering dari kamar. Itu bukan handphone milikku. Itu adalah handphone milik Reno. Astaga, Reno mungkin belum sadar kalau ha
Empat hari sudah aku menghilang dari rumah. Reno mencari ke rumah orang tuaku di Bandung, Ia tidak begitu saja percaya pada Ibu yang mengatakan bahwa aku tidak berkunjung ke rumahnya. Namun, aku tidak bodoh, tentu saja aku tidak tinggal di rumah Ibu. Aku berdiam di rumah peninggalan milik Almarhum Ayah di puncak.Ibuku memilih tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga kami. Ibu hanya memberiku semangat dan membantu menjaga Tania di saat berkunjung. Yang aku tahu, aku merasa malu kepada Ibu. Andai aku mendengarkan orang tuaku untuk tidak menikah secepat itu. Mungkin, saat ini aku tidak bergantung pada Mas Reno dalam hal penghasilan.“Sudah dua kali suamimu datang ke rumah. Ia terlihat sangat menghawatirkanmu, Jane,” ujar Ibu sembari menyuapi Tania makan.“Aku benar-benar sedang ingin sendiri, Bu.”“Apa tidak sebaiknya kamu mengaktifkan handphone milikmu, Nak. Setidaknya, beri kabar kalau kamu sedang baik-baik saja bersama Tania.”“Iya bu, nanti aku aktifkan,” jawabku malas.“Jika ta
Cahaya lilin yang kekuningan menimpa wajah Reno. siapapun pasti setuju dengan julukan tampan untuk Reno. sekali lagi, kami tidak berdebat tentang apapun untuk kejadian kemarin, dimana ia menampar Anggi. Aku juga malas mengulas dan membahas sebab akibat kejadian itu. saat ini, yang menjadi peganganku adalah Reno tidak akan melangkah ke jenjang impian Anggi tanpa persetujuanku. untuk itu, aku masih bisa mempercayainya. Jika dipikirkan, pernikahan ternyata bukanlah akhir cerita bahagia untuk sebuah hubungan seperti yang sering menjadi alur drama romantis di televisi. Awal pernikahan pasti masih terasa sangat manis di tahun pertama, tahun di mana negara api belum menyerang. Jika, saat masih gadis aku bisa tidur kapan pun aku mau, ingin makan, belanja, traveling dan apapun itu tanpa mempertimbangkan pengeluaran. kini, semua menjadi hal berbeda. Baik, sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan karena anak adalah sumber kebahagiaan yang tidak mungkin aku dapatkan saat masih berstatus ga
Mas Reno memandangi Tania, putri kecil kami yang sedang membentuk sesuatu dengan balok-balok miliknya. Belakangan ini kegiatan Mas Reno sudah banyak berubah. Ia dan putriku lebih banyak menghabiskan waktu berdua saja di jam pulang kantor. Melihat itu, tentu saja aku senang.Meski banyak orang berkata jika suami tiba-tiba berubah bersikap sangat baik atau meluangkan waktu yang banyak dengan istri dan anaknya maka sejatinya ia telah melakukan kesalahan di luar dan sedang berusaha menutupinya. Aku tidak perduli.Fokusku saat ini adalah mendalami makna bertahan sebab aku hanya butuh diriku sendiri dan Tuhan untuk memahaminya. bukan omongan orang lain."Mas, ini undangan apa?" tanyaku memegang undangan di atas meja kerja suami yang sedang kurapikan."Oh, Itu." Mas Reno lantas mendekat dan meraih undangan yang baru saja berada di tanganku."Hanya undangan ulang tahun perusahaan.""Aku mau ikut, Mas.""Acara seperti ini pasti membosankan,Jane.""Tapi. aku mau ikut!""Kalau kamu ikut, Bagaima
Tidak ada alasan untuk meninggalkan dapur di jam sepagi ini. Reno akan segera bangun dalam keadaan lapar dan aku harus mempersiapkan sarapan serta teh hangat untuknya.Tawaran dari Pak Burhan tadi malam masih bergentayangan di dalam kepalaku. Sudah lama rasanya, aku ingin menebus rasa bersalah kepada kedua orang tua yang sejak aku duduk di bangku sekolah dasar selalu bangga atas prestasiku. Aku ingin sekolah lagi. Aku ingin mengukir prestasi lagi.Masih terngiang saat Ayah bertanya kepadaku menjelang lulus SMA, “Kamu nanti mau kuliah jurusan apa?”“Ayah maunya aku ambil jurusan apa?”“Jurusan apa saja boleh asal kamu bisa mengikutinya dengan baik dan fokus.”“Kayaknya aku ambil jurusan tata boga saja, ya, kan, Yah?”“Boleh,” jawabnya saat itu.Ibu datang menimpali, “Kuliah itu pegangannya buku, pena, kamus dan sejenisnya, bukan sendok dan panci!”“Loh, Ibu ini kok sepele. Orang-orang pada bayar mahal ke luar negeri asal bisa belajar menjadi chef profesional. Bayangkan saja, sekali mem
Selembar kertas bertuliskan menu tergeletak di atas meja. Aku belum memesan apapun selain secangkir kopi pahit agar selaras dengan rasa yang ada di dalam hati. Meja yang berada di belakangku adalah meja yang diduduki Reno dan Anggi. Penyamaranku sepertinya berhasil sebab mereka sama sekali tidak memperhatikan ke arah meja ini. Seorang pelayan mengantarkan minuman yang dipesan Reno dan Anggi. Mereka berbincang tentang Tania, Anakku. Pembicaraan mereka berganti topik dan mulai membuatku gugup. Pikiranku berterbangan entah ke mana-mana. Hatiku berdebar. “Sudah kamu pastikan ke dokter?” “Belum. Tapi sepertinya aku memang sedang hamil,” ujar Anggi. Langit diluar cerah, tetapi petir seolah menyambar atap restoran. Kaki-kakiku lemas, pikiranku panik. “Kamu yakin?” tanya Reno. Gelasku terjatuh. “Kenapa itu? Jatuh,” Anggi berdiri dari kursi.Aku menunduk, menggeleng tidak menjawab dan bergegas jongkok membereskan cangkirku. Reno mulai mendekati. Air mataku mengalir dari balik kaca mata
Aku termenung melihat dari kaca mobil milik Haikal. “Terima kasih sudah bersedia mengantarku, Kal. Padahal aku baru mengenalmu satu hari,” gumamku menunduk.“Jangan sungkan, Jane!”Beraneka ragam perasaan melanda hatiku. Sedih mendapati kenyataan bahwa suamiku tercinta tega berkhianat hingga sampai ke tahap ranjang. Bisa-bisanya Reno panik saat rubah liar itu membuat kemungkinan bahwa ia hamil. Air mataku, lantas meleleh lagi.“Ini.” Haikal menawarkan selembar tisu sambil mengemudi.“Terima kasih,” jawabku membuang muka ke luar jendela. Hening.Haikal seperti sedang melihat calon mahasiswa baru yang layak untuk diajarkan tentang orientasi studi dan pengenalan kampus. ”Menjadi mahasiswa di Universitas Negeri itu harus…,” paparnya memulai berbicara tentang kelebihan kampus A dibanding kampus B lalu, memaparkan program-program beasiswa dalam negeri yang menarik hingga yang terbaik. Sayangnya, aku hanya tersenyum sekenanya. Tidak antusias lagi untuk menanggapi. Ia terlihat berpikir dan
Siang menjelang sore itu. Akhirnya Haikal ikut makan sate bersamaku. Kami tidak lagi membahas masalah stiker lama yang melekat di motor. Namun, lebih fokus membicarakan tentang beasiswa dan jurusan di universitas.“ini nih yang paling aku rekomendasi,” ujar Haikal bersemangat.“Apa ini?” Aku melihat layar handphone milik Haikal.“Umurmu masih masuk dalam katagori penerima beasiswa ini, selain uang kuliahnya gratis. Nantinya di pertengahan masa kuliah, kampus ini suka mengirimkan utusan mahasiswa ke luar negeri untuk kegiatan pertukaran pelajar selama beberapa minggu. Boleh bawa anak, boleh juga bawa suami. Naah, di sini kamu bisa membangun relasi untuk tujuan pekerjaan kamu ke depan. Bisa untuk bekerja di kedutaan luar negeri dan lain-lain,” jelasnya.“Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke perusahaan?”“Alurnya, ya seperti yang aku jelaskan sebelumnya kepadamu, dalami dulu ilmu Bahasa Inggris. Selesaikan jenjang strata satu, lalu nanti kita pikirkan, apakah memang lebih baik tetap serius