Keesokan harinya, Reno bergerak di rumah kami seperti biasa. Bangun, mandi, sarapan, lalu ijin berangkat bekerja. seperti tidak ada kejadian apa-apa.
Apakah sikapnya begitu karena ia merasa kejadian kemarin memang bukanlah hal yang penting untuk dibahas lagi atau memang karena takut aku murka.
Entahlah, yang jelas aku sedang tidak nyaman melihat wajahnya. mudah-mudahan tidak berlanjut lama, sebab sejujurnya aku juga ingin segera melupakan tentang kedatangan perempuan yang tidak diundang itu.
Aku bergegas mengurus bayiku. Namanya Tania, belum genap dua tahun. setelah menyuapkannya bubur beras merah, aku lantas menjemur dan memandikannya hingga selesai. Tania kemudian kembali mengantuk. aku mengayunnya hingga tertidur. Hatiku bahagia melihat wajahnya yang cantik, putih dan bersih seperti putri salju. Penyemangat hidupku.
Belum lama Tania tertidur, suara handphone berdering dari kamar. Itu bukan handphone milikku. Itu adalah handphone milik Reno. Astaga, Reno mungkin belum sadar kalau handphone miliknya tertinggal.
Aku lantas bergegas berhambur ke kamar dan meraih benda kecil itu. Kuhusap layar dan benar saja, handphone itu diberi pasword. Aku memasukkan kombinasi angka yang sering ia gunakan untuk atm, email dan lainnya, tetapi itu tidak berhasil. Aku mencoba tanggal pernikahan kami, tetapi itu juga tidak berhasil.
Dengan tangan gemetar, aku mencari handphone milikku dan membuka halaman f******k gadis kemarin yang belakangan sering memposting foto di dinding Reno.
Aku membuka detail profilnya, kemudian mengetik angka kombinasi tanggal dan tahun lahir gadis itu. Ya Tuhan, tanganku lemas tak berdaya. Handphone milik Reno terbuka.
Lima menit aku termenung hingga layar itu secara otomatis terkunci kembali. jantungku masih berdegup kencang. Namun, rasa penasaranku harus segera terbayar. Dengan sisa tenaga yang ada, aku membuka galeri fotonya. Alhamdulillah aman, hanya ada fotoku dan anakku di sana.
Aku lantas membuka w******p miliknya. Mulanya, aku merasa aman sebab namaku masih disimpan dengan nama "My Lovely wife". namun, cerita aman menjadi berbeda saat ada satu kontak dengan nama "Budi" tapi dengan foto profil wajah wanita.
Aku membukanya. Hatiku pun kembali hancur berkeping-keping. itu adalah wajah gadis laknat kemarin. Aku ingin memaki, tetapi suaraku enggan keluar -sakit sekali. percakapan mereka lantas kubaca, kuteliti dan mulai terhapalkan di kepala.
*Mas, kamu sudah sampai rumah
^Sudah
*Istrimu sudah cerita Mas, kalau aku tadi datang?
*Mas...
*Sudah satu jam tapi Mas belum membalas wa ku
^iya tadi dia sudah cerita. kamu tidak ada berbicara kasar, bukan?
*Ini Sudah jam berapa? kenapa baru balas sekarang
^Jane baru tertidur
*Tumben. biasanya kalau Mas Reno pulang kerja, dia lebih sering sudah tertidur.
^Kamu jangan mengalihkan pembicaraan. kamu tadi tidak ada berkata kasar, kan?
*"Gak ada Mas
^Bagus. karena aku pasti marah kalau kamu berbicara kasar ke istriku
*Segitu sayangnya kamu dengan istrimu Mas.
^Kan dia istriku
*Lalu aku bagaimana Mas?
^Kita berdoa saja agar hatinya dilembutkan sebab jika tidak ada ijin darinya. Aku tidak bisa mempersuntingmu.
*Tapi Mas bilang, perasaan yang di hatiku juga ada di hati Mas. seharusnya Mas tegas dengan perasaan itu. perasaan kita ini suci Mas. dan untuk meresmikan serta menghalalkan perasaan suci kita ini, kita tidak butuh ijin istri Mas Reno. coba saja tanya Ustad Hanan yang mengisi pengajian kemarin. kalaupun kita nikah tanpa ijin Mbak Jane, pernikahan kita tetap sah.
^ Tidak segampang itu, Anggi. Aku tidak ingin kehilangan istriku.
*Kamu pengecut, Mas.
^Sudahlah. jangan terus-terusan membahas ini. kalau memang kita berjodoh, pasti ada jalan. jika memang belum berjodoh berarti ada jalan lain yang harus kita tempuh masing-masing.
*Tapi aku sudah tidak bisa mencintai laki-laki lain selain kamu, Mas. Dan bagaimana cara kita bisa berjodoh jika syaratnya adalah ijin dari Mbak Jane. mana ada Mas, Istri yang mau memberi ijin suaminya menikah lagi.
^Sudahlah. ini sudah malam. aku takut Jane bangun.
*Kamu selalu mementingkan Mbak Jane, Mas.
^Kamu juga istrihat yaa sayang.
Tanganku masih gemetar memegang handphone milik Reno. Aku meletakkan benda itu tepat di awal ia berada. Satu-satunya cara agar tidak merusak pagi yang indah ini adalah dengan berpura-pura tidak tahu. Walaupun hati ini sesak dengan sebutan sayang di akhir obrolan itu. Aku tetap bertekad untuk kuat demi keluarga ini, khususnya untuk anakku.
Reno juga tidak akan menikahi wanita itu jika aku tidak memberinya ijin. Begitulah pikirku saat ini, di menit ini untuk menguatkan dan menyemangati diri. Tidak tahu apa aku bisa kuat setelah satu jam nanti.
Aku kemudian pergi keluar kamar dan duduk di sofa ruangan tivi mendekati anakku. Aku mengayunnya pelan. Tidak terasa air mataku jatuh berlinang.
Sekuat apapun aku berusaha tegar saat ini, aku tetap kalah saat terpikir bagaimana bisa seorang Reno bisa menghianati cintaku. Lima belas tahun kami berpacaran, ia tidak pernah melirik wanita lain selain diriku.
"Assalamualaikum," ucap Reno, tiba-tiba sudah masuk ke dalam rumah dan bergegas masuk kamar. Ia bahkan tidak sempat melihat wajahku. Aku menyeka air mata di pipi.
"Kenapa kembali lagi, Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Ini, Anu. Handphone Mas tapi tertinggal, Jane."
"Oh begitu," jawabku singkat.
Ia lantas mendekatiku lalu mengecup keningku hangat, “Mas pergi lagi, ya.”
“Oke,” jawabku sekenanya.
"Nanti malam, kita makan malam di luar ya! Nanti Tania titip dengan Ibu saja. Aku ingin berduaan denganmu," katanya kembali mengecup keningku.
"Baik, Mas," jawabku mencoba tersenyum. Aku sendiri bingung mengapa mengiyakan ajakan makan malam Reno. Padahal, aku sedang dalam keadaan tidak bersemangat. Napasku saja terasa aneh saat ini. Yang hanya kuperlukan saat ini adalah ibuku.
Reno sudah pergi. Kupikir aku kuat, tetapi semakin lama aku memikrkan isi percakapan mereka, semakin aku ingin pergi meninggalkan rumah untuk menenangkan diri.
Aku bergegas mengemasi pakaian milikku dengan anakku. Sebuah memo kuletak di atas kasur dalam kamar kami.
Maaf, Mas. Aku sedang ingin berduaan dengan Tania saja, beberapa malam ini. Handphone milkku kumatikan. Aku pulang ke Bandung.
Setidaknya, dengan cara begitulah aku bisa bisa mempertahankan kewarasanku untuk saat ini setelah tahu pasword hp mu adalah tanggal dan tahun kelahirannya, ditambah lagi aku membaca semua isi percakapan kalian.
Telepon rumah berdering, sebuah panggilan dari Reno, “Halo! Sayang,” sapanya bersemangat.
“Ya, Mas,” jawabku terdengar datar.
“Kenapa handphone kamu tidak aktif?”
“Kenapa memangnya, Mas?”
“Gak tau kenapa, kok perasaan mas gak enak, kepikiran wajah kamu terus,” godanya berusaha menggombal.
“Kamu itu lagi nyetir, Mas. Bahaya nyetir sambil telponan,” tegurku berusaha mencari alasan untuk mengakhiri panggilan.
“mau gimana lagi, Masnya udah kangen,” ujarnya tidak mau berhenti menggombal.
“Aku tutup ya, Mas,” imbuhku dengan nada datar.
“Tapi kamu beneran gak apa-apa, kan? Soal dia, hari ini, mas pastikan akan menegurnya,” jelasnya merasa gelisah.
“Sudah ya, Mas,” potongku tidak sabaran, lalu menutup telepon.
Setelahnya, telepon itu terus berdering hingga empat kali sampai akhirnya sunyi. Di saat itu, aku sudah hampir selesai mengemas barang-barang yang kuanggap penting untuk dibawa.
Empat hari sudah aku menghilang dari rumah. Reno mencari ke rumah orang tuaku di Bandung, Ia tidak begitu saja percaya pada Ibu yang mengatakan bahwa aku tidak berkunjung ke rumahnya. Namun, aku tidak bodoh, tentu saja aku tidak tinggal di rumah Ibu. Aku berdiam di rumah peninggalan milik Almarhum Ayah di puncak.Ibuku memilih tidak ikut campur dalam masalah rumah tangga kami. Ibu hanya memberiku semangat dan membantu menjaga Tania di saat berkunjung. Yang aku tahu, aku merasa malu kepada Ibu. Andai aku mendengarkan orang tuaku untuk tidak menikah secepat itu. Mungkin, saat ini aku tidak bergantung pada Mas Reno dalam hal penghasilan.“Sudah dua kali suamimu datang ke rumah. Ia terlihat sangat menghawatirkanmu, Jane,” ujar Ibu sembari menyuapi Tania makan.“Aku benar-benar sedang ingin sendiri, Bu.”“Apa tidak sebaiknya kamu mengaktifkan handphone milikmu, Nak. Setidaknya, beri kabar kalau kamu sedang baik-baik saja bersama Tania.”“Iya bu, nanti aku aktifkan,” jawabku malas.“Jika ta
Cahaya lilin yang kekuningan menimpa wajah Reno. siapapun pasti setuju dengan julukan tampan untuk Reno. sekali lagi, kami tidak berdebat tentang apapun untuk kejadian kemarin, dimana ia menampar Anggi. Aku juga malas mengulas dan membahas sebab akibat kejadian itu. saat ini, yang menjadi peganganku adalah Reno tidak akan melangkah ke jenjang impian Anggi tanpa persetujuanku. untuk itu, aku masih bisa mempercayainya. Jika dipikirkan, pernikahan ternyata bukanlah akhir cerita bahagia untuk sebuah hubungan seperti yang sering menjadi alur drama romantis di televisi. Awal pernikahan pasti masih terasa sangat manis di tahun pertama, tahun di mana negara api belum menyerang. Jika, saat masih gadis aku bisa tidur kapan pun aku mau, ingin makan, belanja, traveling dan apapun itu tanpa mempertimbangkan pengeluaran. kini, semua menjadi hal berbeda. Baik, sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan karena anak adalah sumber kebahagiaan yang tidak mungkin aku dapatkan saat masih berstatus ga
Mas Reno memandangi Tania, putri kecil kami yang sedang membentuk sesuatu dengan balok-balok miliknya. Belakangan ini kegiatan Mas Reno sudah banyak berubah. Ia dan putriku lebih banyak menghabiskan waktu berdua saja di jam pulang kantor. Melihat itu, tentu saja aku senang.Meski banyak orang berkata jika suami tiba-tiba berubah bersikap sangat baik atau meluangkan waktu yang banyak dengan istri dan anaknya maka sejatinya ia telah melakukan kesalahan di luar dan sedang berusaha menutupinya. Aku tidak perduli.Fokusku saat ini adalah mendalami makna bertahan sebab aku hanya butuh diriku sendiri dan Tuhan untuk memahaminya. bukan omongan orang lain."Mas, ini undangan apa?" tanyaku memegang undangan di atas meja kerja suami yang sedang kurapikan."Oh, Itu." Mas Reno lantas mendekat dan meraih undangan yang baru saja berada di tanganku."Hanya undangan ulang tahun perusahaan.""Aku mau ikut, Mas.""Acara seperti ini pasti membosankan,Jane.""Tapi. aku mau ikut!""Kalau kamu ikut, Bagaima
Tidak ada alasan untuk meninggalkan dapur di jam sepagi ini. Reno akan segera bangun dalam keadaan lapar dan aku harus mempersiapkan sarapan serta teh hangat untuknya.Tawaran dari Pak Burhan tadi malam masih bergentayangan di dalam kepalaku. Sudah lama rasanya, aku ingin menebus rasa bersalah kepada kedua orang tua yang sejak aku duduk di bangku sekolah dasar selalu bangga atas prestasiku. Aku ingin sekolah lagi. Aku ingin mengukir prestasi lagi.Masih terngiang saat Ayah bertanya kepadaku menjelang lulus SMA, “Kamu nanti mau kuliah jurusan apa?”“Ayah maunya aku ambil jurusan apa?”“Jurusan apa saja boleh asal kamu bisa mengikutinya dengan baik dan fokus.”“Kayaknya aku ambil jurusan tata boga saja, ya, kan, Yah?”“Boleh,” jawabnya saat itu.Ibu datang menimpali, “Kuliah itu pegangannya buku, pena, kamus dan sejenisnya, bukan sendok dan panci!”“Loh, Ibu ini kok sepele. Orang-orang pada bayar mahal ke luar negeri asal bisa belajar menjadi chef profesional. Bayangkan saja, sekali mem
Selembar kertas bertuliskan menu tergeletak di atas meja. Aku belum memesan apapun selain secangkir kopi pahit agar selaras dengan rasa yang ada di dalam hati. Meja yang berada di belakangku adalah meja yang diduduki Reno dan Anggi. Penyamaranku sepertinya berhasil sebab mereka sama sekali tidak memperhatikan ke arah meja ini. Seorang pelayan mengantarkan minuman yang dipesan Reno dan Anggi. Mereka berbincang tentang Tania, Anakku. Pembicaraan mereka berganti topik dan mulai membuatku gugup. Pikiranku berterbangan entah ke mana-mana. Hatiku berdebar. “Sudah kamu pastikan ke dokter?” “Belum. Tapi sepertinya aku memang sedang hamil,” ujar Anggi. Langit diluar cerah, tetapi petir seolah menyambar atap restoran. Kaki-kakiku lemas, pikiranku panik. “Kamu yakin?” tanya Reno. Gelasku terjatuh. “Kenapa itu? Jatuh,” Anggi berdiri dari kursi.Aku menunduk, menggeleng tidak menjawab dan bergegas jongkok membereskan cangkirku. Reno mulai mendekati. Air mataku mengalir dari balik kaca mata
Aku termenung melihat dari kaca mobil milik Haikal. “Terima kasih sudah bersedia mengantarku, Kal. Padahal aku baru mengenalmu satu hari,” gumamku menunduk.“Jangan sungkan, Jane!”Beraneka ragam perasaan melanda hatiku. Sedih mendapati kenyataan bahwa suamiku tercinta tega berkhianat hingga sampai ke tahap ranjang. Bisa-bisanya Reno panik saat rubah liar itu membuat kemungkinan bahwa ia hamil. Air mataku, lantas meleleh lagi.“Ini.” Haikal menawarkan selembar tisu sambil mengemudi.“Terima kasih,” jawabku membuang muka ke luar jendela. Hening.Haikal seperti sedang melihat calon mahasiswa baru yang layak untuk diajarkan tentang orientasi studi dan pengenalan kampus. ”Menjadi mahasiswa di Universitas Negeri itu harus…,” paparnya memulai berbicara tentang kelebihan kampus A dibanding kampus B lalu, memaparkan program-program beasiswa dalam negeri yang menarik hingga yang terbaik. Sayangnya, aku hanya tersenyum sekenanya. Tidak antusias lagi untuk menanggapi. Ia terlihat berpikir dan
Siang menjelang sore itu. Akhirnya Haikal ikut makan sate bersamaku. Kami tidak lagi membahas masalah stiker lama yang melekat di motor. Namun, lebih fokus membicarakan tentang beasiswa dan jurusan di universitas.“ini nih yang paling aku rekomendasi,” ujar Haikal bersemangat.“Apa ini?” Aku melihat layar handphone milik Haikal.“Umurmu masih masuk dalam katagori penerima beasiswa ini, selain uang kuliahnya gratis. Nantinya di pertengahan masa kuliah, kampus ini suka mengirimkan utusan mahasiswa ke luar negeri untuk kegiatan pertukaran pelajar selama beberapa minggu. Boleh bawa anak, boleh juga bawa suami. Naah, di sini kamu bisa membangun relasi untuk tujuan pekerjaan kamu ke depan. Bisa untuk bekerja di kedutaan luar negeri dan lain-lain,” jelasnya.“Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke perusahaan?”“Alurnya, ya seperti yang aku jelaskan sebelumnya kepadamu, dalami dulu ilmu Bahasa Inggris. Selesaikan jenjang strata satu, lalu nanti kita pikirkan, apakah memang lebih baik tetap serius
Bab 10Aku mematut-matut diri di depan cermin. Kegiatan yang sudah kulakukan sejak usai shalat shubuh tadi pagi. Aku terus memperhatikan fisikku saat ini. Badanku terlihat jauh berbeda dibandingkan saat masih menjadi gadis. Begitu juga wajah yang sudah tidak sebersih dulu, apalagi rambut, Meski Panjang tapi tidak begitu terawat. Ingin pergi ke salon bagus, tetapi uang di dompetku tidak memadai. Andai saja aku punya penghasilan.“Ma… Ma….”Mataku terbelalak melihat Tania berjalan tertatih-tatih berjalan menuju ke arahku. Berjalan dengan langkah yang lamban dan agak terhuyung-huyung. Air mataku menetes di pipi. Ini pertama kalinya ia berjalan. Ibuku ada di belakang memantau dan menjaganya sambil tertawa bahagia. Aku langsung mendekap anakku erat. Sangat erat. Anehnya, ia tidak memberontak dan membiarkan aku begitu dalam waktu lama.“Kamu , baik-baik saja?” tanya Ibu mendekatiku. Aku mengangguk.“Bu, kira-kira. Aku kuat gak ya, Bu, melanjutkan kuliah?”“Kenapa tidak kuat?” tanya Ibu.“