Mas Radit dan Mas Deni sama terkejutnya dengan pernyataan yang baru saja aku lontarkan. "nggak usah becanda dan mencari pelarian Nay" celetuk mas Radit.Mukanya sangat kesal. kali ini ia tak melihatkan raut ngototnya. ia lebih penasaran dan berharap apa yang aku ucapkan adalah omong kosong."Aku tidak pernah main-main dengan sebuah keputusan. Sebelumnya aku sempat menolak wasiat dari Almarhumah Ilma, karena aku saat itu sangat mencintai kamu. Tapi, ternyata Ilma lebih tau tentang kebusukan apa yang kamu sembunyikan. Dan sekarang perasaanku sudah hilang bersama dengan terbongkarnya semua kebohonganmu mas" aku menjawab mantap"tapi kamu nggak mungkin menikah dengan orang sama sekali nggak kamu cintai""nggak masalah aku mencintai mas Deni atau tidak, toh memilih menikah dengan orang yang aku cintai justru lebih menyakitkan" jawabkuMas Radit diam, tak lama lalu beranjak pergi dengan menggedor daun pintu. Bahkan ia tak menunju
"kamu tega banget sih sama aku. bisa-bisanya kamu nampar aku didepan mantan kamu itu" teriak Dini didepan pintu"sebegitu cintanya kamu sama dia, sampai-sampai kamu lupa pada statusnya yang cuma mantan. Kamu sampai lupa kalau isterimu ini sedang hamil" lanjut Dini"Diam!!!" pekik Radit Radit terlihat semakin marah mendengar Dini terus saja mengoceh mengungkit-ungkit perihal anak dalam kandungannya."apa tidak cukup aku menikahinya?"pikir Radit"semakin hari kamu semakin menunjukan watak aslimu mas. Kamu dulu sangat manis, lemah lembut tapi sekarang saat aku sudah hamil seperti ini kamu keliatan kasar" Dini makin nyerocosBraaakkkk !!! Radit melempar sebuah pot yang berada diatas meja di teras rumahnya. Dini tersentak, diam seketika."selalu saja begitu!!" isak Dini meninggalkan Radit yang duduk dikursi terasDini menangis tersedu dikamarnya. Rasanya bukan seperti ini yang ia harapkan, bayangannya
"kapan rencana pernikahan kalian?" tanyaku penasaran"sepuluh hari lagi Nay" jawab Mei tersipu"cepet banget?" tanyaku"iya, orang tua kita nyaranin buat nikah secepatnya Nay. Maaf sebelumnya orang tua kamu takut kalo..." Rifki meliriku, wajahnya tertunduk"aku ngerti, aku malah setuju kalo kalian secepetnya nikah. kalian nggak usah ngerasa nggak enak gitu" terangku"gini aja, karena pernikahan kalian udah mepet banget waktunya. jadi gimana kalo kalian pake WO dan gedung yang sebelumnya aku pesan. Maaf, kalian jangan tersinggung tapi daripada kalian cari kan pasti waktunya nggak keburu" aku mencoba menawarkan"bukannya kamu sendiri mau nikah sama mas Deni?" Deg!!! pertanyaan Rifki membuatku panik. Jadi mereka diam bukan karena belum tahu. tapi mereka hanya mencari momen yang tepat agar aku mengakuinya sendiri.Aku kelimpungan mencari alasan. Tidak mungkin kalau aku bilang itu hanya untuk alasan, karena tentu ak
Aku tersipu membuka pesan singkat Hendi. Dia selalu saja membuatku seperti ini hanya dengan hal hal kecil."makasih ya Hen, kamu selalu support apapun yang aku lakukan" balaskuSekali lagi aku merasa berbunga. Tapi kenyataan aku dan Hendi hanya sebatas teman harus selalu aku ingat. Dan sebuah keputusan untuk menikah dengan mas Deni atas wasiat almarhumah Ilma sudah aku ambil."Disini tempatnya kan ya Nay?" tanya Mas Deni mengagetkanku"eh iya, Sini Tiara sama tante yaaa" aku menggendong Tiara lalu keluar dari sebuah taksi online yang kami tumpangiKami terpaksa membawa bayi yang belum genap empat puluh hari, karena tidak ada yang menjaganya di rumah. Tidak mungkin kami menitipkan pada ibu.Sebuah gedung yang sebelumnya aku pesan untuk acara pernikahanku dengan mas Radit. Aku memutuskan untuk memakai jasa yang sebelumnya akan kugunakan untuk acara pernikahanku yang batal. Rasanya memang tak sempat jika harus mencari gedung, Weddin
Sore hari dirumah mas Deni,Tiara menangis histeris, tak biasanya ia seperti ini. Neneknya memeriksa kalau-kalau ada luka dibagian tubuh yang membuatnya kesakitan. Benar saja, badan bayi itu demam tinggi. "Den !!! Den !!! ke sini cepat Den !!!" teriak ibu Ilma "ada apa bu?" tanya Deni bergesas"Tiara demam tinggi Den, kita harus membawanya ke dokter sekarang, Den. Cepat" ibu Ilma panikDeni memeriksa tubuh putrinya, karena sepulang dari gedung pernikahan anaknya itu masih sehat. Tapi benar saja, badan bayi itu sangat panas. Bahkan tangannya pun reflek ditarik begitu menyentuh dahi Tiara."Astaghfirulloh panas sekali, Deni siapkan motor dulu ya bu" Deni berlari ke ruang tamu, mencari-cari kunci motor yang biasanya tergantung di tembok. Tapi kali ini entah bersembunyi dimana. Ia berlari kesana kesini tapi tak juga menemukannya."bu, kunci motor Deni nggak tau dimana. Deni pesen ojek online saja ya biar cepat" k
Aku menyusuri lorong rumah sakit, aku meninggalkan ibu Ilma dirumahku. Karena kupikir mas Deni pasti keteteran jika harus menunggu dirumah sakit sendiri. Lagipun, Ibu Ilma sangat setuju jika aku kemari.Ku rapatkan langkahku dengan wajah mencari-cari kalau saja aku menemukan mas Deni. Beberapa kali aku bertanya kepada petugas, dimana rawat inap untuk bayi? lalu aku menuju kemana mereka mengarahkanku."mas Deni? bagaimana keadaan Tiara?" tanyaku mengagetkannya"kamu, kenapa bisa disini? ibu bagaimana?" mas Deni bingung"ibu ada dirumahku mas, kamu tenang aja" jawabkuia mengangguk, kemudian menundukkan kepalanya lagi. Raut ketakutan sangat tampak diwajahnya, pandangannya kosong. "kamu yang sabar ya mas, InsyaAlloh Tiara akan baik-baik saja" hiburkuTapi ia tak menjawab sepatah katapun. ia menunjuk ke arah dalam ruangan. Dimana tampak seorang anak berada dalam inkubator dengan beberapa alat menempel didadanya."aku nggak tau mesti gimana Nay, aku
Perlahan aku menepis tangan Hendi yang masih menempel dipundakku. Dia melepaskan tangan dengan raut kecewa. Mungkin niatnya sebatas perhatian dan menghiburku, tapi ada suatu hal yang harus kujaga. Apalagi setelah aku memutuskan untuk menerima wasiat dari Ilma. "Tadi kita udah nemuin mas Deni, alhamdulillah dia sudah lebih tenang karena kondisi Tiara pun sudah mulai stabil" kata Rifki"beneran Rif? aku dari tadi disini sampe nggak mantau perkembangan Tiara" tanyaku "tadi kebetulan pas aku disana dokter menjelaskan. Jadi, aku tau" jawabnya lagiRasanya lega sekali mendengar kabar itu. Kami bermalam di depan ruang rawat inap Tiara. Kami tidur sekenanya, Rifki dan Hendi duduk dibangku, aku dan Mei saling menyandar dengan duduk beralas tikar. Sementara mas Deni, masih menatap Tiara dari balik Kaca."Nay, boleh kita bicara sebentar?" tanya mas DeniAku mengangguk dan mengikuti langkahnya. Dia membawaku ke sebuah taman didepan rumah sakit."Nay...." kalimatnya te
"kalo kamu masih hina Nayra, aku nggak bakal nikahin kamu secara resmi !!!" ucap RaditDini terdiam, mulutnya dibungkam oleh pernyataan Radit. Rasanya ia tak rela jika ia tak menjadi nyonya Radit secara resmi."tinggal satu minggu lagi pernikahan kita, jangan sampai kubatalkan karena ocehanmu yang tidaj bermutu itu" Radit ngeluyur meninggalkan Dini yang masih berusaha meredamkan amarah. Dia berpikir seandainya ada mertuanya, ia tak perlu repot beradu argumen karena jelas sang mertua akan membelanya."kenapa jadi gini sih? kenapa mas Radit berubah, dia nggak sayang aku lagi" Dini terisak memegangi perutnya"Halo mah, iya aku pengin pulang besok ya mah" kata Dini menelpon"mamah nggak ada dirumah Din, mamah lagi diluar kota" jawab suara dari seberang"oh iya mah" Dini menutup telepon Wajahnya kecewa, seperti biasa ia hanya ingin berkumpul dengan ibunya tapi itu menjadi hal yang sangat sulit diwujudkan. Kare