Mas Radit, benar saja aku seperti mengenali suaranya. Ia meraih tanganku yang tengah membersihkan jas.nya. Jarak kami begitu dekat membuat jantungku berdegup kencang. Aku mengatur ulang nafasku, agar tak segugup ini."eh maaf mas, jasmu jadi kotor" tegurku seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya.Tapi sialnya, entah kenapa ujung jilbabku tersangkut dijam tangannya. Pandangan kami saling tertaut, seperti terjebak pada satu titik. Hingga beberapa detik kami saling memandang kosong satu sama lain."maaf, jilbabku tersangkut" kataku membuyarkan fokusnya"bentar, pelan-pelan aja Nay nanti jilbabmu sobek kalo dipaksa"Aku menurut saja, tangannya segera mengambil alih berusaha melepas jilbabku. Tapi, dari adah lain Dini datang. Dan...kreekkk!!!Ia menggunting jilbabku,"gitu aja kok repot, nggak usah dilama-lamain biar bisa ambil kesempatan deketin suami orang!" ucapnya keras.'ya Alloh, jilbab kesayanganku pemberian Ilma' batinku"nggak perlu cari-cari alasan biar bisa deket sama m
"Hen, besok kamu bisa nganterin Nay....""yuk bu, kita pulang. Lagian Mei sudah ijab qobul" potongku"nganterin kemana tan?" tanya Hendi"eh anu nggak kemana-mana. Mungkin maksud ibu, nganterin pulang sekarang. Tapi aku mau pulang sama ibu aja. ya kan bu?" Aku mengedip-ngedipkan mataku sebagai kode. Rupanya ibu baru sadar ia baru saja hampir keceplosan."e-iya Hen, tadinya tante mau minta tolong anterin Nayra pulang. Tapi nggak usah deh, biar pulang sama tante aja naik taksi online" jelas ibuAku menghela nafas lega. Tapi, Hendi seolah tak percaya dengan alasan ibu. Sorot matanya penuh keingintahuan, gerak-geriknya penuh rasa penasaran. Bahkan aku sempat melihat ia membuntuti kami hingga masuk ke dalam taksi online. Aku memergokinya dari balik pantulan kaca mobil.[tan, maaf. Saya pulang dulu ya. Ada urusan yang harus saya selesaikan][iya, Nay nggak papa. Maaf ya tadi nggak sempet nemenin kamu sama ibu]Aku menutup sambungan telephon, dan mobil mulai melaju. Dari arah depan, ku liha
Matahari telah meredup, cahaya jingganya telah bergeser ke barat. Angin sore menambah syahdu suasana.Aku tengah menyender pada sofa panjang di ruang keluarga rumahku. Sembari sesekali menyeruput kopi yang sedari tadi tergeletak di meja. Jemariku asik menggeser layar ponsel membuka tutup aplikasi berwarna biru. Sebenarnya tak banyak yang kulakukan pada benda itu. Aku hanya membuka kunci layar, menatapnya sebentar lalu menguncinya kembali. Begitu seterusnya. Pikiranku bercampur. Antara sedih, senang atau apa, semua membaur menciptakan kebingungan. Ekspresi apa yang harus aku tampakkan."Kenapa dia tiba tiba muncul?" Gumamku.Aku kembali membuka aplikasi biru. Kutelusuri pesan didalammya. Jemariku terhenti pada satu nama.Hendi pradiptaLaki-laki yang sempat menjalin hubungan denganku di masa sekolah dulu. Sejak lulus SMA aku tak tau kabarnya. Lebih tepatnya, aku tak ingin tau kabarnya. Entah mengapa
Enam tahun lalu,,,,"Sudah tidur nona cantik?"Sebuah pesan membuatku tersipu sendiri, pipiku merona."Belum Hen, masih belum ngantuk" jawabku singkatSetelahnya Hendi selalu menelponku. Entah apa yang kami bicarakan hingga tak cukup 2 jam kami mengobrol. Banyak tawa di sela perbincangan, sangat menyenangkan.Kadang sambungan telephon masih tersambung saat kami sudah sama-sama terlelap. Sampai layar tak lagi menyala, baterai habis."Gimana Nay? Sudah ada jawaban" Hendi selalu menanyakan hal itu di sela perbincangan.Sudah beberapa kali Hendi mengutarakan perasaannya, jelas aku sangat senang. Jantungku seakan ingin keluar dari tempatnya, tapi aku masih tertahan. Ada sesuatu yang memberatkan jawabanku."Tapi Hen, gimana Mey? Aku nggak enak" jawabku" Nay, aku dan Mey sudah tak punya hubungan. Dia yang mutusin aku" jelasnya"Tapi Hen..." potongku"Heemmss terserah lah Nay. Apapun itu aku, aku bakal nungg
Beberapa hari setelah pulang dari Rumah sakit, aku mulai melakukan aktifitas seperti biasa. Aku mulai sekolah seperti biasa. Entah kenapa terasa beda, aku seperti orang asing di depan Mey dan Dini. Biarlah, aku masih punya ilma.Kali ini Hendi benar-benar menjauh. Ia tak lagi mengirimiku pesan, tak ada lagi tanda hati ataupun jempol darinya dipostinganku. Ini yang terbaik daripada aku kehilangan teman temanku.Kali ini guru bahasa Indonesia menyuruh kami memeperagakan percakapan sebuah drama."Nayra, kamu maju peragakan sebagai peran utamanya" tunjuk guru wanita"T-ta-ta-pi bu" aku tergagap tak siapAnak-anak lain hening, cukup lama mereka menungguku"Biar saya saja bu" potong Hendi cepatAku gugup, jantungku tak karuan. Bagaimana bisa aku memperagakan adegan drama dengan Hendi di depan kelas. Sementara Mey duduk persis di hadapan kami. Wajahku memucat,"Ayo Mey maju" sela HendiMei tersenyum bungah, mendekat pada
Sore itu, mendung menaungi langit. Mengibaskan desir angin yang menambah dingin suasana. Aku duduk di sebuah taman kecil di kotaku. Aku menunggu Rifki. Hampir setiap sore kami disini, membicarakan banyak hal. Entah apa sebutannya, kami tidak terikat hubungan tapi kedekatan kami melebihi teman.Sudah hampir satu jam tapi dia belum datang.“Mungkin dia nggak dateng, pulang ajalah” gumamkuBelum sempat aku melangkah tiba seseorang datang,“Udah lama ya Nay?” Tanyanya“Hendi? Ngapain kamu kesini?” Tanyaku heran“Loh kan kamu yang katanya pengin ketemu” jawabnya sumringahAku terheran, karena aku tak merasa mengatakan seperti yang dia katakan. Aku belum sempat menjawab apapun. Aku masih mematung sampai seorang lainnya datang. Dan...PLaaaakkkk !!!Seseorang menamparku. Lalu menarik rambutku saat aku masih meringis memegang pipi.“Penghianaatt!!! Tema
Hari ini adalah hari yang kutunggu. Seperti para calon pengantin kebanyakan, pasti akan antusias jika mulai mencoba dan memilih pakaian yang akan dipakai saat hari bahagia.Kebaya putih dengan payet silver tengah ku kenakan. Dipadukan dengan kain jarik coklat lengkap dengan selop yang menambah elok. Aku berdiri sembari sesekali membalikkan badan. Dari pantulan cermin mas Radit nampak tersenyum. Tangannya sibuk memegangi ponsel yang sedari tadi digunakannya untuk memotretku."Gimana mas?" Tanyaku setengah tersipu"Cantik" ucap singkat mas Radit tanpa mengedip“Calon isteriku selalu cantik” ucapnya lagiAku tersipu, pipiku merona. Mas Radit selalu pandai membuatku senang walau hanya dengan kata kata sederhananya.“Berarti sudah cocok yang ini aja ya kebayanya? Tanya mba Reni , seorang pengelola WO yang dipercaya ibu untuk mengurus
Sepulang dari butik mbak Reni, kami memutuskan untuk terlebih dulu singgah di sebuah cafe untuk sekedar duduk berbincang sembari menikmati kudapan khas di tempat itu. "Mau pesan apa mbak?" Tanya seorang pelayan "Emm" aku berpikir sejenak "Teh tawar sama choco brown cake mozarella" jawab mas Radit cekatan pas dengan yang hendak ku katakan. Mas Radit tau persis kesukaanku. Pelayan laki-laki di depan kami mencatat pesanan mas Radit dan kemudian berlalu setelah meminta kami menunggu pesanan. Kami tak banyak bicara saat itu. Kami sibuk dengan hidangan yang tengah dinikmati. Hanya saja, mas Radit terlihat sering sekali melirik ke arahku. Aku melihatnya dari balik pantulan gelas di meja. Sikapnya membuatku salah tingkah. Wajah gugupku tak dapat ku tutupi. "Udah makannya Nay?" Tanya mas Radit "Udah mas" jawabku singkat "Kita langsung pulang saja ya. Sudah mendung soalnya." Lanjutnya Aku mengangguk. Kakiku se