Akhirnya hari ini aku diharuskan datang kepernikahan mas Radit dengan Dini. Walau aku sudah tak punya perasaan apapun pada mas Radit, tetap saja bayang-bayang penghianatannya masih menyisakan sakit. Aku memaksa diriku untuk kuat hanya sekedar mengucapkan selamat, daripada Dini akan mengecapku sebagai orang yang masih mengharapkan suaminya itu."selamat ya Din" ucapkuDini menarik badanku, memelukku. Alih-alih sikapnya seperti sahabat, ia justru membisikkan sesuatu."pernikahanmu batal ya? yang sabar ya" ucapnya lirih tapi cukup didengar beberapa orang disekitar kamiAku menelan ludah, menarik nafas panjang sembari menekan emosiku."selamat ya mas" Aku ngeluyur dari hadapan Dini, bahkan aku mengabaikan mas Radit yang sudah mengulurkan tangan.Dihari bahagianya pun ia masih sempat meledek nasibku. "Andai Mei, Rifki atau minimal Hendi disini, mungkin mereka tidak akan membiarkan Dini mengucapkan pertanyaan itu" gumamkuSeorang kerabat Dini mempersilahkan aku mengambil hidangan. Karena
Siang hari terasa menyengat dari biasanya. Seseorang wanita paruh baya terlihat tengah menjemur beberapa lembar pakaian, tangannya nampak kesulitan."MasyaAlloh bu, biar saya bantu""biarin Den, ini tinggal satu aja kok"Deni meraih selembar pakaian yang masih dalam genggaman bu Nani."biar ibu aja Den" cegah sang mertuaDeni mendorong kursi roda bu Nani kedalam rumah. Lalu, ia duduk menekuk setengah lutut dihadapannya, Tangannya menggenggam jari sang mertua."bu, ibu nggak usah ngerjain kerjaan rumah kayak tadi ya. Saya takut ibu kecapean" terang Deni"tapi, ibu nggak enak Den, masa ibu cuma makan tidur aja. Lagian kan cuma beres-beres rumah""kalo ibu ngrasa nggak enak ke saya berarti ibu nganggep saya sebagai orang lain"Bu Nani terdiam, tangannya mengusap peluh di dahinya. "Bu, saat ini saya nggak lagi nganggep ibu sebagai mertua tapi sudah menjadi ibu bagi saya. Ibu adalah keluarga saya satu-satunya disini. Cuma ibu sama pakdhe Narto yang saya punya" Deni masih menatapnya dalam,
"nggak papa kok mah" jawab Mei tersenyumAku sendiri telah paham kenapa sahabatku ini tak mau aku mendampinginya . Aku bahkan tidak keberatan ataupun merasa tersinggung, justru aku senang karena aku bisa leluasa menyembunyikan diriku jika saja ada tamu yang tak ingin ku temui.*****Akhirnya hari pernikahan Mei dan Rifki tiba, beberapa orang sudah mulai mendatangi lokasi."Nay, kok mukanya sedih? aku nikah sama Rifki loh, kita bertiga bakal tetep temenan. Kita tetep bisa pergi bareng-bareng"Mei menggenggam tanganku erat, seperti paham dengan apa yang aku rasakan. "janji ya Mei, sekarang temenku cuma kamu" ucapkuMei menatapku lekat, matanya yang sudah penuh riasan hampir meneteskan air mata. Cepat-cepat tangannya mengelap dengan tisu sebelum berhambur jatuh kepipi. Kami berpelukan sambil menahan tangis masing-maning. Aku menghela nafas, mencoba melonggarkan dada agar tak sesak oleh perasaan sedih. Mei pergi meninggalkan meja rias, ia bersiap ketempat akad. Wajahnya begitu ayu dengan
Mas Radit, benar saja aku seperti mengenali suaranya. Ia meraih tanganku yang tengah membersihkan jas.nya. Jarak kami begitu dekat membuat jantungku berdegup kencang. Aku mengatur ulang nafasku, agar tak segugup ini."eh maaf mas, jasmu jadi kotor" tegurku seraya berusaha melepaskan genggaman tangannya.Tapi sialnya, entah kenapa ujung jilbabku tersangkut dijam tangannya. Pandangan kami saling tertaut, seperti terjebak pada satu titik. Hingga beberapa detik kami saling memandang kosong satu sama lain."maaf, jilbabku tersangkut" kataku membuyarkan fokusnya"bentar, pelan-pelan aja Nay nanti jilbabmu sobek kalo dipaksa"Aku menurut saja, tangannya segera mengambil alih berusaha melepas jilbabku. Tapi, dari adah lain Dini datang. Dan...kreekkk!!!Ia menggunting jilbabku,"gitu aja kok repot, nggak usah dilama-lamain biar bisa ambil kesempatan deketin suami orang!" ucapnya keras.'ya Alloh, jilbab kesayanganku pemberian Ilma' batinku"nggak perlu cari-cari alasan biar bisa deket sama m
"Hen, besok kamu bisa nganterin Nay....""yuk bu, kita pulang. Lagian Mei sudah ijab qobul" potongku"nganterin kemana tan?" tanya Hendi"eh anu nggak kemana-mana. Mungkin maksud ibu, nganterin pulang sekarang. Tapi aku mau pulang sama ibu aja. ya kan bu?" Aku mengedip-ngedipkan mataku sebagai kode. Rupanya ibu baru sadar ia baru saja hampir keceplosan."e-iya Hen, tadinya tante mau minta tolong anterin Nayra pulang. Tapi nggak usah deh, biar pulang sama tante aja naik taksi online" jelas ibuAku menghela nafas lega. Tapi, Hendi seolah tak percaya dengan alasan ibu. Sorot matanya penuh keingintahuan, gerak-geriknya penuh rasa penasaran. Bahkan aku sempat melihat ia membuntuti kami hingga masuk ke dalam taksi online. Aku memergokinya dari balik pantulan kaca mobil.[tan, maaf. Saya pulang dulu ya. Ada urusan yang harus saya selesaikan][iya, Nay nggak papa. Maaf ya tadi nggak sempet nemenin kamu sama ibu]Aku menutup sambungan telephon, dan mobil mulai melaju. Dari arah depan, ku liha
Matahari telah meredup, cahaya jingganya telah bergeser ke barat. Angin sore menambah syahdu suasana.Aku tengah menyender pada sofa panjang di ruang keluarga rumahku. Sembari sesekali menyeruput kopi yang sedari tadi tergeletak di meja. Jemariku asik menggeser layar ponsel membuka tutup aplikasi berwarna biru. Sebenarnya tak banyak yang kulakukan pada benda itu. Aku hanya membuka kunci layar, menatapnya sebentar lalu menguncinya kembali. Begitu seterusnya. Pikiranku bercampur. Antara sedih, senang atau apa, semua membaur menciptakan kebingungan. Ekspresi apa yang harus aku tampakkan."Kenapa dia tiba tiba muncul?" Gumamku.Aku kembali membuka aplikasi biru. Kutelusuri pesan didalammya. Jemariku terhenti pada satu nama.Hendi pradiptaLaki-laki yang sempat menjalin hubungan denganku di masa sekolah dulu. Sejak lulus SMA aku tak tau kabarnya. Lebih tepatnya, aku tak ingin tau kabarnya. Entah mengapa
Enam tahun lalu,,,,"Sudah tidur nona cantik?"Sebuah pesan membuatku tersipu sendiri, pipiku merona."Belum Hen, masih belum ngantuk" jawabku singkatSetelahnya Hendi selalu menelponku. Entah apa yang kami bicarakan hingga tak cukup 2 jam kami mengobrol. Banyak tawa di sela perbincangan, sangat menyenangkan.Kadang sambungan telephon masih tersambung saat kami sudah sama-sama terlelap. Sampai layar tak lagi menyala, baterai habis."Gimana Nay? Sudah ada jawaban" Hendi selalu menanyakan hal itu di sela perbincangan.Sudah beberapa kali Hendi mengutarakan perasaannya, jelas aku sangat senang. Jantungku seakan ingin keluar dari tempatnya, tapi aku masih tertahan. Ada sesuatu yang memberatkan jawabanku."Tapi Hen, gimana Mey? Aku nggak enak" jawabku" Nay, aku dan Mey sudah tak punya hubungan. Dia yang mutusin aku" jelasnya"Tapi Hen..." potongku"Heemmss terserah lah Nay. Apapun itu aku, aku bakal nungg
Beberapa hari setelah pulang dari Rumah sakit, aku mulai melakukan aktifitas seperti biasa. Aku mulai sekolah seperti biasa. Entah kenapa terasa beda, aku seperti orang asing di depan Mey dan Dini. Biarlah, aku masih punya ilma.Kali ini Hendi benar-benar menjauh. Ia tak lagi mengirimiku pesan, tak ada lagi tanda hati ataupun jempol darinya dipostinganku. Ini yang terbaik daripada aku kehilangan teman temanku.Kali ini guru bahasa Indonesia menyuruh kami memeperagakan percakapan sebuah drama."Nayra, kamu maju peragakan sebagai peran utamanya" tunjuk guru wanita"T-ta-ta-pi bu" aku tergagap tak siapAnak-anak lain hening, cukup lama mereka menungguku"Biar saya saja bu" potong Hendi cepatAku gugup, jantungku tak karuan. Bagaimana bisa aku memperagakan adegan drama dengan Hendi di depan kelas. Sementara Mey duduk persis di hadapan kami. Wajahku memucat,"Ayo Mey maju" sela HendiMei tersenyum bungah, mendekat pada