Share

Memories

Flashback On - Four Years Ago

Aku berlari dengan kecepatan cukup tergesa di atas rata-rata menurutku. Menaiki tangga tanpa peduli dengan orang-orang yang memandangku heran. Napasku berpacu seolah oksigen terbatas untuk dihirup. Setelah anak tangga terakhir langkahku melambat. Aku berjalan pelan menuju ruangan yang di tuju lalu berhenti di depan pintu. Menarik napas banyak-banyak, lalu mengusap peluh di dahi sebelum membuka pintu.

Aku menunduk sedikit saat melihat ada empat puluh kepala menengok hampir bersamaan ke arahku.

Seorang pria paruh baya berdiri di samping meja dosen, menurunkan kacamatanya memandangku dengan tatapan terganggu.

"Ma-maaf saya terlambat pak." Aku berjalan mendekat dengan perlahan sambil menelan saliva dengan susah payah. Gawat kalau sampe ga di perbolehkan masuk!

"Ck ..." Pria tua itu melirik jam di pergelangan tangannya. "Lima belas menit! Lain kali saya tidak akan tolerir." sahutnya sambil mengedikkan dagu menyuruhku duduk.

Aku bernapas lega sambil berjalan di bagian samping deretan kursi. Seorang gadis dengan ekor kuda melambai dan menggeser bangku untukku.

"Parah telatnya lo." bisik gadis bernama Citra itu.

Aku duduk sambil melepas tas. Beban dipundakku rasanya terlepas, aku membawa cukup banyak buku untuk kuliah hari ini. "Ga kebagian angkot gw ..." Aku menyahut pelan.

Aku bersyukur, pendingin di ruangan itu cukup dingin, rasa panas setelah berlari dan menaiki tangga sebanyak empat lantai terobati.

Aku cemberut, kalau saja bukan gara-gara angkot yang ku naiki kempes ban di setengah perjalanan menuju kampus, aku tidak akan menunggu lama angkot lainnya dan terlambat.

Satu jam empat puluh lima menit kemudian bel berbunyi nyaring. Jam pertama kuliahku berakhir. Aku membereskan buku, kesal karena sejak tadi perutku bergemuruh minta di isi, padahal baru pukul sebelas siang.

Untung kelas berikutnya jam satu siang.

Aku berjalan dengan Citra dan Judith, sahabatku menuju arah kantin.

"Makan apa nih?" tanya Citra.

"Gw mau bakmi ah ..." jawab Judith.

"Gw ayam gerpek, sama...." Aku berpikir sambil menyeberang ke arah kantin kampus di dekat parkiran mobil basement. Suara deru motor besar terdengar, kami bertiga memekik kala motor itu melaju cepat seolah hendak menabrak kami, suara klaksonnya sangat nyaring menggema di basement. Kami bertiga lari untuk sampai di trotoar seberang.

"Iiih ... Di parkiran kok ngebut!" sahut Citra sewot.

"Si Delmar tuh ..." delik Judith. Dan aku hanya mendengus lalu membuka pintu kantin.

Kedua sahabatku, Citra Rengganis, anak Dokter asli Surabaya, yang merantau untuk kuliah di Bandung. Dan Judith Estella orang Bandung juga.

"Eh, ada Cireng, si Judes sama Gaj ..."

Aku langsung menarik kerah baju cowok bertubuh kurus itu. "Awas lo panggil gw gajah!" semburku.

"Eh Dadar!" Citra sedikit memukul lengan cowok bernama lengkap Danang Darmawan. "Lo jangan asal nyingkat-nyingkat nama orang ya!"

Seorang cowok lain bertubuh gempal duduk di seberang Danang tertawa terbahak-bahak. Namanya Kenneth Laswijaya, anak konglomerat asli Medan. Kami biasa memanggilnya KenTa alias Kenneth Tajir, karena ada satu mahasiswa lain yang namanya Ken juga yaitu cowok kutu buku.

Dan tidak lama cowok yang hampir menabrak kami masuk berjalan bak model membuat beberapa cewek yang ada di kantin sedikit heboh mencuri pandang. Cowok itu menghampiri kami.

"Hai guys ..." Dia duduk di samping Kenta sambil menaruh helmnya.

"Delmar! Lo tadi ngebut sengaja mau nabrak kita ya?" Citra langsung bertanya dengan sewot dan cowok itu hanya tersenyum sebagai jawabannya.

"Sorry, gitu aja marah.." Ian mencolek ujung dagu Citra membuat gadis itu menjengik.

"Iih, colek-colek lagi ..." Citra mengusap kasar bekas colekan cowok itu.

Dia terkekeh kemudian menatapku. "Hi Greet."

"Hi Ian." Aku melambai pelan. Lalu berpaling saat merasakan pipiku menghangat. Aku berdebar saat cowok itu duduk disampingku.

"Mau makan apa Greet?"

Aku tersadar sudah lupa mau memesan makanan gara-gara melihat dia. "Mmm ... Apa ya?" Aku menoleh ke arah papan tulis besar ditengah, membiarkan kedua sahabatku memesan terlebih dahulu. Sebuah tangan melingkar di bahuku dan mengajakku berdiri ke arah kasir kantin.

"Jangan pesan banyak-banyak Greet, tar malem jadi kan?" bisiknya.

Aku tersenyum sambil tersipu, suaranya tepat terdengar di telingaku. Beberapa pasang mata mendelik tajam membenciku. Tapi aku tidak menghiraukannya, mereka pasti iri melihatku dekat dengan Ian.

Ian membayar makananku setelah dia berjanji akan membiarkan aku gantian yang mentraktirnya nanti malam.

Tidak banyak yang tahu bahwa kedekatanku dan Ian lebih dari sekedar di kampus. Kami sering pergi bersama. Dan tidak aku menyangkal juga kalau aku suka padanya. Aku tidak tahu kapan perasaan itu mulai muncul, mungkin saat kami sering pergi bersama. Perhatiannya yang membuatku jatuh cinta. Dia seolah tidak memandangku dari sisi penampilan, aku diperlakukan dengan istimewa. Apakah boleh aku berpikir kalau dia juga merasa nyaman bila sedang bersamaku?

Flashback End

***

"Mas ... mba ... mas ... mba ..."

Samar-samar suara pak supir terdengar, membuatku membuka mata dengan perlahan. Pria berambut setengah botak itu menoleh padaku. Aku masih setengah sadar berusaha mencerna ucapannya.

"Mba, sudah sampai komplek. Itu pak sekuritinya tanya nomor rumahnya." Dia membukakan jendela di bagian pintu belakang penumpang, dan aku melirik ke arah pria muda yang setengah menunduk melihat kedalam.

"Mmm, pak ..." Aku tersenyum masam sambil melambai.

"Oh, mba Greet." Dia tersenyum lalu membukakan palang pintu otomatis itu.

Aku masih dalam posisi semula, kepala miring bersandar dibahu Tristian, dan kepalanya bersandar ke kepalaku. Sepertinya dia juga tidur.

Astaga, sejak kapan kami ada diposisi begini? Dan ... Aku menatap nanar tangan chubbyku yang digenggam olehnya. Catat, digenggam!

Kok aku ga sadar sih?

Aku bingung, kalau aku bergerak tiba-tiba, kasihan dia pasti bangun dalam keadaan kaget. Tapi sudah mau sampai rumahku.

Eh, ngapain kasihan sama dia?

Aku langsung menarik kepalaku hingga kepala pria itu terjatuh dan dia gelagapan sambil membuka mata.

"Oh God ..." Tristian mengusap kasar wajahnya. "Udah sampai mana kita?" tanyanya dengan suara orang khas bangun tidur.

"Sampe rumah." jutekku. Aku harap tidak ada air liurku yang menetes di kemejanya.

Mobil berhenti tepat didepan garasi. Tanpa basa-basi aku langsung membuka pintu.

"Makasih udah anter saya, Pak." sahutku tanpa menatapnya. Aku keluar dan mengucapkan terima kasih pada pak supir sambil menyerahkan selembar uang seratus ribuan. "Setengah nya dia yang bayar ya, Pak." ucapku saat Tristian keluar.

Aku menatapnya sekilas lalu berjalan masuk tanpa menghiraukan panggilannya. Cukup sampai hari ini dulu perasaanku jungkir balik. Aku belum bisa menata kembali setelah dengan mudahnya dia menghancurkan tembok pertahananku.

Untunglah saat aku masuk kedalam rumah Mama dan Papa sudah tidur. Aku langsung masuk ke kamar, terduduk dibalik pintu.

Lalu menangis entah karena apa. Apa karena teringat dengan sakit hatiku atau karena terbayang tatapan matanya yang masih sama seperti dulu saat dia menatapku?

Oh Tuhan ...

-tbc-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status