Tristian pov
Dia mengacuhkanku. Benarkah dia tidak ingat padaku?
Terkejut awalnya saat melihat dia di pesawat kemarin. Saat di Semarang, rekan kerjaku bilang ada dua anak baru yang akan masuk ke divisi kami. Salah satunya bernama Greet. Jujur pikiranku langsung terbayang Greet yang ku kenal. Gadis polos dan tulus saat berteman denganku waktu kuliah dulu. Pertemanan kami cukup unik, di tahun terakhir kuliah kami kebetulan satu kelas dalam tiga mata kuliah. Dan kami selalu satu kelompok. Dia, Greet yang chubby, selalu rajin mengerjakan dan mencatat tugas kelompok kami, terlihat menarik daripada Rinka yang terus sibuk mengulas lipstik atau Sophie yang membuat vlog kemana dan dimanapun kami berkumpul untuk mengerjakan tugas.
Dan siapa sangka kalau Greet sama-sama penggemar klub sepak bola Barcelona sepertiku. Tanpa sengaja aku mendengarnya bicara di telepon dengan ayahnya tentang jadwal pertandingan season tahun 2017 dan akhirnya kami mengobrol banyak. Dia tinggal sendirian di Bandung. Aku sering mengajaknya nobar di cafe atau di rumah.
Greet, gadis lugu yang apa adanya, tidak sibuk dengan hal-hal tidak penting perempuan jaman now. Tidak modis tapi selalu apik memilih baju yang dipakainya. Tidak mementingkan kecantikan tapi terlihat mempesona dengan caranya sendiri.
Mungkin dia tidak menyadari kalau dibalik kepolosannya, ada sikap tulus yang sering tidak aku dapati saat beberapa wanita mendekatiku. Dia berteman tanpa melihatku menggunakan kendaraan apa, percaya atau tidak, kami bahkan sering bergantian membeli makanan jika sedang jalan bareng.
Greet pribadi yang menyenangkan, aku bisa menjadi diriku sendiri saat sedang bersamanya. Tapi entah mengapa di akhir masa kuliah, dia tiba-tiba menjauh dan menghilang. Aku sendiri tidak pernah tahu alasannya. Dia seolah tertelan bumi.
Kupikir sedikit orang Indonesia yang punya nama seunik itu, tapi saat aku mencari, aku tidak pernah menemukan orang yang sama.
Dan sekarang, seolah kesempatan itu muncul sendiri. Kami bertemu setelah aku berhenti mencari. Tapi dia berubah, tidak ada sorot lugu dimatanya, yang ada justru kebencian saat menatapku. Apa aku berbuat salah? Entahlah ...
Dan sekarang, dia menjadi bawahanku. Tentunya aku akan memanfaatkan posisiku agar bisa kembali dekat dengannya. Hanya dia orang yang mau berteman denganku tanpa melihat aku siapa.
Tapi anehnya dia menghindar, seperti sekarang, dia pura-pura sibuk mencari lagu untuk backsound acara kami padahal aku tahu dia hanya menghindar.
Aku kecewa saat kemarin melihat plastik berisi nasi goreng iga favoritnya malah tergantung tak tersentuh di pintu kamar hotelku. Kenapa dia menolak? Walau kekecewaanku sedikit terbayar saat malam ini dia tidak bisa menolak dan memakan dengan lahap makanan yang sama. Tentunya di depan Leon dan Andreas dia tidak bisa berkutik.
Dan satu lagi, siapa yang dia panggil 'Ganteng' itu? Apakah kekasihnya?
So what Tristian, sepanjang 4 tahun ini kalian tidak bertemu, bukankah kamu juga sempat dekat dengan beberapa wanita? Kenapa kamu harus merasa kesal sekarang?
Aku menghela napas gelisah dengan pemikiranku sendiri. Greet, benarkah kamu lupa sama aku?
***
Greet pov
Aku melambai pada semua rekanku ketika kami sudah sampai di bandara SoeTa dan berpisah di terminal kedatangan. Lega rasanya tiga hari ini cepat berlalu walau ada kejengkelan kalau trip seperti ini akan terus terjadi, apalagi mengingat kalau sang head team pasti selalu ikut.
Semakin besar keinginanku untuk menghindar, semakin rasanya ingin pindah team. Tapi aku harus bersabar, mungkin setelah beberapa bulan aku bisa meminta bantuan papa agar memindahkanku ke divisi lain.
Aku berjalan ke arah pool taksi, mengantri di barisan para penumpang yang akan naik taksi biru berlogo burung itu. Mama bilang ingin menjemput tapi aku menolak, aku tidak ingin merepotkan Mama malam-malam harus menjemputku. Lagipula besok aku libur, jadi bisa santai di rumah seharian.
Satu orang lagi berdiri didepanku menunggu taksi. Sudah hampir pukul delapan malam. Untunglah nampak dua mobil taksi yang mengantri sehingga aku tidak menunggu lebih lama lagi.
Saat aku menghampiri taksiku, ada orang yang membukakan pintu dan aku melotot melihat pria itu berdiri mempersilahkan aku naik.
"Pak? Ngapain ..."
"Aku pulang sama kamu." sahutnya datar.
Aku berdecak. "Pak, itu taksi saya. Bapak antri dibelakang kalau mau. Jangan sembarangan serobot taksi orang dong!" sewotku.
"Kita searah kan, jadi bareng aja." sahutnya lagi sambil tersenyum menyebalkan.
"Tapi ..."
"Mbak! Buruan dong! Panjang nih antriannya." sahut seseorang dibelakangku.
"Iya. Udah malem nih ..." sahut yang lainnya.
Dan aku juga Tristian jadi pusat perhatian.
"Udah bareng aja sama temennya mbak. Katanya searah." sahut entah siapa disambut dukungan lain yang membuat Tristian tersenyum penuh kemenangan.
Aku mendengus lalu masuk ke dalam. Lalu tidak lama pintu di sampingku terbuka dan pria itu masuk lalu duduk.
"Serpong Pak." sahut Tristian pada supir yang mengangguk lalu melajukan kendaraannya.
Darimana dia tahu rumahku? Aku bersidekap menatap ke arah jalanan. Melirik padanya pun aku tak sudi.
"Greet ..."
Suara lembut pria itu terdengar membuatku merinding. Tapi aku bersikap dingin tidak mau menoleh sedikitpun.
"Kemana aja kamu selama ini?"
Aku terpaku. Suaranya terdengar penuh kerinduan. Sesaat aku mengira salah dengar tapi nyatanya memang dia mengucapkan kalimat itu.
"Greet, selama ini aku cariin kamu. Tapi kamu menghilang. Kenapa Greet? Aku bingung kenapa saat wisuda itu aku ga pernah liat kamu selain saat nama kamu dipanggil ke podium."
Aku memerintah kepalaku untuk tidak menoleh padanya.
Mencari aku? Hah, bullshit!
"Greet." Aku merasakan tangan hangatnya menyentuh bahuku. Tapi aku menepisnya.
Jangan sampai kalah, Greet. Tahan ... tahaaan ...
Aku terus diam walau Tristian berkali-kali memanggil dan berusaha membuatku menoleh. Aku mengambil earphone dan menyumbat telingaku agar suaranya tidak terdengar.
Tapi tangannya dengan gesit menarik kabel kecil panjang itu, membuatku tersentak dan melotot padanya. Sudut bibirnya terangkat melihat wajah kesalku. Aku lalu memalingkan muka dan memejamkan mata. Membiarkan pria itu terus memanggil namaku sampai akhirnya dia berhenti melakukan itu dan hanya diam.
Bagus, menyerah juga.
Aku berpura-pura tidur, hingga benar-benar terlelap dan kepalaku bergoyang terkantuk-kantuk.
Tanpa aku sadari tangan pria itu menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya. Dan aku masuk ke dalam mimpi indah saat aku bersama dia waktu kuliah dulu.
-tbc-
Greet POVAku mendorong pintu tanpa peduli, meringsek masuk kedalam. Respon terkejut Laura saja membuatku semakin berpikir macam-macam."Kak Greet!!!" Perempuan muda itu menahan lenganku tapi tenagaku lebih kuat, ditambah emosiku yang meledak membuat dia oleng saat aku menyentak tanganku. Aku melangkah dan terbelalak saat melihat Tristian sedang berdiri tidak kalah terkejutnya dengan Laura saat melihatku. Dia berdiri didepan sebuah meja bundar dengan....Jordan???Sedang apa Jordan ada di sini juga??KENAPA DIA ADA DISINI???Sontak aku menutup mulut, mataku membulat, ingatanku terlempar ke kejadian dulu saat......Astaga!!!! Astaga!!!!!Aku langsung berbalik."Bee!!!"Aku berlari tidak menghiraukan suara Tristian yang memanggil namaku, mengabaikan situasi menegangkan yang entah apakah nanti akan ku sesali tapi jelas aku yakin, aku kembali masuk kedalam situasi kesalahpahaman seperti dulu.Pandanganku kabur saat mencari nomor kamar yang tadi kupesan, hanya itu tempat yang kupikirkan ag
Tristian POV"Gimana La? Udah ada hasilnya?". Tanyaku penuh harap."Belum ada Tian, aku udah ngarep banget padahal, tapi belum jelas keliatannya." Keluh Laura.Aku menghela napas "Ya udah sabar La.."Aku tidak ingin Laura merasa terbeban dengan permasalahanku, dia sudah bersedia membantu saja aku sudah merasa berterima kasih.Laura, teman dan juga salah satu arsitek dikantorku, perempuan baik tapi super bawel nan kepo. Sedikit banyak dia tahu mengenai rencanaku dan menawarkan diri untuk membantu. Kebetulan juga aku merasa kalau dia orang yang tepat untuk mewujudkan rencanaku. Rencana yang sudah lama terus mengiang di mimpiku, berniat untuk kujadikan nyata."Jangan nyerah La, aku percaya kalau udah rejekinya pasti dimudahkan. Aku sabar kok, tapi kita ga boleh berhenti berusaha ya..." Aku terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana hati perempuan itu."Ya kesel aja, aku ga mau ngecewain kamu. Udah ngarep banget dari kemarin-kemarin dapet kabar baiknya. Dia mendengus."Hehe.. gitu aja nga
Aku tengah memasak, sebenarnya hanya menghangatkan masakan saja sih, kedua orangtua kami datang hari ini, kami berencana makan malam di apartemen kami. Tadi Tristian memesan masakan dari restoran milik Pierce, pria itu khusus memesan aneka menu istimewa. Tristian ingin merayakan keberhasilan program IVF kami, dengan kedua Mama dan Papa.Aku sedikit kewalahan saat kedua Mama datang dan langsung berebut memelukku. Mereka menangis terharu, begitu juga dengan kedua Papa yang saling berpelukan. Kami semua larut dalam kebahagiaan."Aku ambilin buah dulu di kulkas." Tristian menepuk bahuku kemudian bangkit berdiri. Aku tersenyum mengambil puding coklat saat ponsel Tristian bergetar dan menyala diatas meja.Pop-up message terlihat.đź“© LauraTian!!!! Astaga Tiaaaan!!! Aku punya berita baik!!! Segera telp aku, aku udah ga sabar pengen kasih tau kamu. Please cepet hubungi aku!!! Aku udah ga sabar mau kasih tau soal rencana kita!"Aku tertegun membaca isi pesan itu. Dadaku kembali berdebar tidak
"Kamu yakin?" Tristian menatapku, duduk di meja dengan kedua tubuhnya condong ke arahku, kedua tanganku digenggam olehnya. Aku mengangguk. "Aku mau coba. Kita ga pernah tau kalau ga coba." Sahutku lirih sambil menahan rasa cemas takut Tristian menolak usulanku. Pria itu menghela napas sambil menegakkan tubuhnya. "Bee, aku udah bilang kan? Aku ga masalah kalau memang Tuhan ga kasih anak buat kita. Buat aku yang penting ada kamu dihidup aku. Kamu segalanya buat aku." Tristian menarikku berdiri dan mendekapku. Aku menggigit bibir menahan isakan. Berkali Tristian mengatakan itu, tapi aku tahu dalam hatinya pasti ada keinginan itu. Tiga tahun, entah apakah bisa di anggap waktu yang cukup atau belum untuk usaha yang kami lakukan agar mendapat momongan. Aku tahu walau Tristian sama sekali tidak pernah menuntut untuk segera memiliki anak, tapi kerinduan itu tetap menghantuiku. Anak angkatku, Pieter yang terlihat semakin lucu dan menggemaskan, tidak sepenuhnya dapat mengisi kekosonganku ak
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu Tristian Delmar. Silahkan." Seorang petugas maskapai penerbangan menyambut kami saat kami sampai di lobby Bandara Ngurah Rai. Rasanya aku harus terbiasa dengan panggilan baruku itu.Aku menatap ke arah pria itu yang terkekeh melihat wajah heranku. Dia sebenarnya mau mengajakku kemana sih?Kedua orangtua kami tidak mengatakan apapun. Mereka juga bilangnya tidak tahu apa-apa tentang kemana Tristian akan membawaku. Mama bahkan menangis haru saat aku hendak pergi dan bilang harus segera mengabari kalau sudah sampai di negara tujuan.Seorang rekan bisnis Papa Tjandra memberikan kartu debit dengan limit 100jt sebagai hadiah pernikahan kami. Lalu ada hadiah mobil, lalu voucher department store, lalu voucher belanja. Belum lagi 'amplop' yang langsung di transfer ke rekeningku dan Tristian, entah darimana mereka tahu, aku belum mengecek siapa saja yang mengirimkan angpao itu.Wanita itu mengantar kami ke VIP lounge, menyediakan minuman dan makanan kecil lalu menyur
Aku menarik napas dan memejamkan mata saat ci Kanika, MUA professional langganan Mama Ivon sedang me'retouch wajahku. Rasanya mataku mengantuk, saat kuas ringannya menyapu bagian mata, aku serasa di usap-usap nina bobo. Sudah 5 jam sejak aku berpenampilan bak putri kerajaan. Ternyata seperti ini rasanya menjadi ratu semalam. Jadi pusat perhatian, semua mata memandang dan terpukau, seolah hanya aku satu-satunya yang bisa mereka pandang. Haha. Berlebihan sekali aku menggambarkannya.Hari ini, tepat dua minggu setelah Tristian melamarku untuk yang kesekian kalinya, kami menikah. Satu jam lalu aku dan Tristian mengikat janji seumur hidup disaksikan Pendeta dan keluarga kami. Aku menangis haru, untung makeupnya waterproof semua, aman tidak merubah wajahku seperti zombie. Hihi.Dan sekarang kami bersiap untuk pestanya. Tadi saat pemberkatan rambutku di sanggul, sekarang aku minta untuk menggerainya agar terlihat lebih santai. Ci Kanika membuatnya gelombang acak terlihat elegan tapi natural.