Hari kedua kami di Bali, kami akan menyebrang ke Nusa Penida. Kemarin seharian kami hanya meliput tempat kuliner di daerah Jimbaran dan di akhiri dengan makan seafood dipinggir pantai.
Semua berjalan lancar, kami semua bekerja dengan baik dan profesional. Tapi ada hal aneh yang aku amati, yaitu sejauh apapun aku berusaha untuk menghindar, maka semakin Tristian gencar mendekatiku. Aku tidak mengerti apa mau pria itu. Anehnya kenapa mba Silvy, Leon bahkan mas Andreas tidak ada yang merasa aneh. Mereka terlihat biasa saja jika Tristian lebih memilih duduk di sampingku atau, membelikan minuman untukku atau membantu memegang peralatan yang kubawa.
Aku ingin bertanya pada mba Silvy tapi aku tidak enak. Kami belum terlalu dekat, selama hampir tiga bulan ini kami bekerja bareng, aku hampir tidak pernah membicarakan masalah pribadi dengannya padahal kami sering satu kamar jika sedang berpergian.
Aku menghela napas, apakah aku harus membiarkan perlakuan Tristian? Karen
Apa yang akan terjadi pada mereka berdua?
Aku menggeleng keras. "Ga bisa, ga bisa ...." Tristian menatapku. "Kenapa ga bisa? Bisa lah!" "No ... no!!" Aku kembali menggeleng. Mataku menatap tajam ke arah pria itu. "Kamu sengaja kan?" Dia menaikkan alisnya, membuatku semakin yakin kalau dia memang sengaja hanya memesan satu kamar untuk kami menginap malam ini. "Aku bakal tanya langsung ke resepsionisnya." Tanpa menunggu jawabannya aku melangkah keluar kamar dan berjalan ke arahlobby resortmewah ini. Suasana temaram tapi obor-obor disepanjang jalan menuju kesana menerangi langkahku. Aku tersenyum masam pada seorang perempuan muda yang berdiri di balik meja resepsionis. "Mm ... mba maaf, saya mau tanya." Aku merasa canggung tapi daripada aku penasaran. "Iya, Bu, ada yang bisa saya bantu?" Perempuan itu tersenyum ramah. "Mm, itu ... ka-kamarnya memang ga ada lagi ya? Kalau ada saya mau pesan tipe lain." "Kebetulan untuk tipe yan
Aku tidak menolak saat Tristian mengangkat kepalaku lalu mengecup bibirku. Ini pertama kali bibir kami bersentuhan dan aku mengerjap canggung. Aku belum pernah dicium seorang pria pun di bibir sepanjang umurku.Tristian mengambil jarak satu jengkal, kemudian dia mendekap bahuku dan kembali meleburkan bibir kami berdua. Awalnya hanya kecupan, aku mulai terengah dan dia dengan berani menciumku lebih dalam. Aku memejamkan mata, melingkarkan tanganku ke lehernya. Aku mulai mempelajari cara Tristian menciumku dan membalas dengan cara yang sama.Kami sama-sama terengah saat muncul keinginan lain terasa begitu kentara. Tangan Tristian yang bertengger di pinggangku mulai berani mengusap turun ke bokongku dan meremasnya. Aku merasa aneh, aku ingin melakukan hal yang sama tapi pantas atau tidak? Akhirnya aku menurunkan tanganku ke punggungnya dan mengusapnya pelan. Lalu berputar ke depan, rasa penasaran pada otot dadanya ku salurkan, keras, kokoh tapi nyaman untuk bersandar.
Jawab jujur, pernah tidak kalian merasa ingin punya ilmu meringankan diri agar bisa kabur dari situasi yang canggung? Nah, itu yang sedang aku harapkan sekarang. Aku sedang berupaya menggeser tubuhku senti demi senti yang padahal tidak ringan sama sekali, tidak membuat gerakan apapun yang bisa membuat pria di sampingku ini membuka matanya secara tiba-tiba.Rasa malu seolah menguar di seluruh ruangan ini, menguasai benakku yang entah berapa jam lalu kehilangan rasa itu, dikalahkan oleh napsu primitif pada sosok pria yang sudah dengan sukarela ku serahkan kegadisanku.Sedikit gerakan dari tubuhnya saja membuatku langsung membeku, lampu masih menyala terang, aku tidak ingin dia melihat tubuhku yang telanjang tak berbentuk. Astaga ... apa yang aku pikirkan tadi?Rasa perih membuatku meringis saat aku akhirnya berhasil menepi dan berjongkok, Tristian masih memejamkan matanya. Pengalaman pertama yang sedikit menyakitkan, tapi membuatku merasa aneh saat kami ... apa istilahnya? Menyatu? Aaar
Aku terus menguap sepanjang siang, kami sudah kembali ke Bali dua jam lalu dan langsung bergabung dengan yang lain. Anehnya tidak ada yang menatap aneh pada kami berdua.Tubuhku terasa remuk, intiku terasa pegal dan aku merasa aneh saat berjalan.Tristian terus-terusan tersenyum seperti orang gila, terbalik dengan situasiku, pria itu terlihat bugar, padahal kami baru tidur saat ayam-ayam mulai berkokok. Dia sangat bersemangat, membuatku kadang tak bisa menahan rasa malu saat dia menatapku penuh arti."Capek ya Greet?" tanya mba Silvy di sela istirahat kami.Aku mengangguk, memang itu yang aku rasakan."Semalam tidur sama Pak Tian?"Aku cukup kaget, apa maksud pertanyaan mba Silvy?"Ho-hotelnya mahal-mahal mb .a.." jawabku kikuk, dengan harapan dia tidak akan lebih penasaran.Dia mendesah singkat. "Iyalah ... Penida! Lagian Pak Tian mana mau tidur di losmen backpackeran atau rumah penduduk.. Yah, mending lah Greet, daripada kita bayar sendiri kan!" cerocosnya.Aku mengangguk. Kemudian
Aku terdiam menatap hadiah yang tadi mba Luna berikan saat dia menjemput kami di bandara. Sebuah gelang emas yang sama dengan yang dikenakan mba Luna di pergelangan tangan kirinya, membuatku diliputi rasa bersalah dengan apa yang sudah aku lalui bersama Tristian. Aku memang tidak tahu bagaimana hubungan mereka tapi itu yang aku rasakan saat ini.Aku lebih banyak diam dan menanggapi obrolan dengan singkat saat di jalan tadi mba Luna bicara panjang lebar, dia ingin mengajakku keluar makan untuk merayakan ulang tahunku tapi aku menolaknya dengan halus dengan alasan kelelahan, Tristian juga mendukung perkataanku, besok kami libur dua hari, senin baru masuk lagi. Untung mba Luna percaya dan menyarankan kami untuk beristirahat.Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Apa yang harus aku lakukan nanti saat kembali bertemu mereka? Lalu bagaimana dengan Tristian? Apakah aku harus menanyakan perihal hubungan kami?Aku meraih kunci apartemen yang pria itu berikan, kembali menghela napas. Apa m
Aku berusaha berpikir apa yang harus kulakukan. Aku mendengar erangan pelan Tristian. Pelan-pelan aku memejamkan mata dan mengatur napasku. Aku harus menguasai diri. Jangan panik Greet, jangan panik!Ketika aku sudah mulai tenang. Aku membalikan badannya dan membenarkan posisi tidurnya. Aku mencari handuk untuk mengelap keringat yang membasahi tubuhnya dan baju baru yang kering. Aku membuka setiap bagian lemarinya karena aku tidak tahu dimana letak pakaiannya. Setelah berhasil mendapatkan apa yang aku perlu, aku segera kembali ke Tristian yang terlihat pucat, lemah tak berdaya. Aku merasa cemas, sedikitpun dia tidak membuka matanya.Aku membuka bajunya yang basah dengan sedikit susah payah dan segera mengelap seluruh badannya. Setelah itu, aku memasangkan baju baru. Lalu aku berjalan keluar kamar dan mencari-cari tempat obat. Aku melihat ada laci yang berada dalam keadaan setengah terbuka di bagian bawah kitchen set bernuansa hitam itu. Untunglah dengan mudah aku menemukan banyak maca
Aku menggeliat saat merasakan usapan pelan di pipiku. Mataku terpejam ingin kembali tidur, tapi kemudian kecupan-kecupan ringan membuat kantukku hilang dan membuka mata."Hai ..." sapanya.Aku tersenyum. "Hai ..." Suaraku serak. Lalu aku teringat dengan kondisi semalam dan langsung menyentuh dahinya. Aku bernapas lega saat merasakan suhunya sudah normal, sama hangatnya denganku."Udah enakan?" tanyaku.Dia mengangguk. "Masih pusing sedikit pas bangun ke kamar mandi tadi, tapi better.""Kenapa ga bangunin aku? Aku bisa anterin kamu."Dia tersenyum lalu mengecup hidungku. Dia menarikku masuk ke pelukannya. "Maaf aku ngerepotin kamu."Aku menggeleng. "Aku khawatir banget .... Kenapa ga kabarin sih?""Hmm ... aku tepar banget kemarin itu, aku pikir cuma kurang tidur aja, tapi aku ga sanggup bangun pas paginya, kepalaku muter ga karuan.""Kamu kecapekan itu." sahutku."Iya, pas ke Bali ada yang kuras tenagaku."Aku terdiam sejenak lalu mengerti maksud perkataan pria itu dan mencubit perutn
Dadaku berdebar seolah sedang bersiap untuk mencuri. Aku menarik napas dalam berkali-kali, sambil terus melirik ke arah tiga orang lainnya. Aku meyakinkan diri agar dapat menekan tombol dengan cepat tanpa ada yang tahu.Tanganku terangkat, aku baru menekan satu panel angka saat pintu terbuka dari dalam membuat jantungku melompat. Wajah Tristian terlihat membuat aku bernapas lega."Tian ..." Mba Luna melewatiku menyapa pria itu. Kami bertiga mengekor di belakang. Aku lebih banyak diam daripada yang lain. Mba Luna, mas Andreas dan Leon banyak bertanya pada Tristian.Pria itu terlihat lebih segar, dia sering melirik dan tersenyum. Aku sedikit kurang nyaman saat melihat interaksi Tristian dan mba Luna. Tidak ada perlakuan khusus dari Tristian tapi mba Luna seolah sudah sering kemari, dia menyiapkan makanan untuk pria itu yang kami beli sebelum sampai kemari, lalu membuatkan teh untuk kami bertiga.Mereka berdua duduk berhadapan di meja makan kecil yang memang untuk dua orang saja, sedangk