“Mas, katakan yang jujur! Siapa Mira?” Aku menunjuk ke luar kamar.
Emosiku begitu memuncak. Apalagi melihat tatapan Mira tadi membuatku muak. Aku sudah tak tahan lagi. Aku butuh kepastian. Aku butuh bukti kalau gadis itu benar-benar putri Mas Doni. Bukan hanya sekedar omongan. Andai benar dia putrinya, mana mungkin pria itu memasuki kamar putrinya yang berusia belia pagi buta seperti itu.“Dia putriku, San.” Mas Doni memandangku.Aku melihat gurat kelelahan di wajahnya. Pria itu terlihat tertekan. Namun, hal itu tak menyurutkanku untuk meminta bukti kalau Mira itu benar-benar putrinya. Aku khawatir, kalau Mas Doni itu sugar daddy dan Mira adalah gadis bayarannya. Kalau benar kenyataannya seperti itu, mereka harus berpisah. Tak boleh mereka berbuat dosa di rumah. Apalagi ada Shakira. Jangan sampai gadis kecilku itu melihat kesalahan ini.“Mana buktinya kalau gadis itu adalah putri kandungmu?”“Apa tidak cukup dengan ceritaku kemarin!” Mas Doni membentakku.Kemarin, pria itu menceritakan padaku kalau Mira adalah kesalahan dirinya ketika dia duduk di bangku SMA. Sebagai anak satu-satunya, kedua orang tua Mas Doni tak ingin malu dan tak ingin masa depan suamiku hancur. Maka dari itu, kedua orang tuanya menyembunyikan segalanya. Tentunya dengan uang.Ketika Mira lahir, gadis itu dititipkan pada Nenek Mas Doni yang tinggal di kampung. Sedangkan biaya hidup gadis itu tentu saja, keluarga Mas Doni yang memenuhinya.Untuk surat-surat dan administrasi semua di atas namakan kedua orang tua Mas Doni. Jadi, secara administrasi, Mira adalah adik Mas Doni. Keberadaan ibunya entah di mana. Kedua orang tua. Mas Doni meminta wanita itu untu menyerahkan anaknya dan meminta wanita itu pergi. Apalagi, menurut pria itu, orang tua ibunua Mira merupakan orang miskin.Mas Doni mengambil Mira kembali karena kakek dan neneknya sudah meninggal. Beberapa tahun ini Mira tinggal sendiri di kampung halaman mereka. Mas Doni menjemput gadis itu atas permintaan kedua orang tuanya. Mereka merasa berdosa telah menelantarkan gadis itu.“Mas, kalau benar dia anakmu, kenapa pagi buta kamu keluar dari kamarnya?” Aku memandang Mas Doni.Pria itu tampak gusar. Mungkin benar kalau mereka ada hubungan lebih.“Mira teriak-teriak pukul empat tadi.” Mas Doni menceritakan kalau Mira mimpi buruk. Gadis belia itu ketakutan. Jadi, dia menemaninya di kamar. Mas Doni juga mengatakan kalau dirinya tidak tidur seranjang. Pria itu hanya duduk mengamati dari kursi yang ada di sana.“Gadis itu,” Mas Doni menunjuk ke pintu, “trauma akan kejadian yang menimpanya tempo hari.” Suamiku bercerita, kalau tempo hari ada beberapa pria yang menghadangnya. Coba menyakitinya dan merenggut mahkotanya. Beruntung, Mira berhasil lolos dari mereka. Alasan itu juga yang membuat Mas Doni membawanya ke rumah. Mira adalah kewajibannya.Mendengar hal itu aku terenyuh. Mungkin, aku harus menerima kehadirannya.Setelah puas dengan penjelasan Mas Doni, aku ke dapur untuk memasak.Melewati ruang tamu, aku memandang ke kamar tamu. Aku kembali teringat kata-kata Mira yang hendak merebut Mas Doni dari kami. Entah apa yang hendak direncanakannya. Aku harus selalu waspada.“Hai, Gendut!” Aku menoleh ke arah sumber suara.Gadis yang tak kuharapkan kehadirannya itu sudah berdiri di belakangku. Mulutnya tak henti-hentinya meniup permen karet menjadi balon.“Jorok!”“Berisik!” Gadis belia itu berdiri di sampingku yang sedang menggoreng telur. “Kamu tidak tahu aja, bagaimana nikmatnya mengunyah permen karet.”Aku memandang gadis itu.“Permen ini bisa membuat lupa bagaimana rasanya ditinggalkan.”Perkataan gadis itu begitu mengena di hati. Begitu terlukanyakah dirinya?“Awas! Jangan sampai kaki mulusmu kena cipratan minyak,” godaku menoleh ke arah kakinya yang hanya terbalut celana sebatas paha.“Heh, Gendut.” Gadis itu menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala menelanjangi. “Aku enggak habis pikir, kenapa selera Ayah rendahan seperti ini.”Gadis belia itu memang tak punya sopan santun.Aku mematikan kompor, lalu memandang gadis belia itu. “Terus, apakah ibumu lebih baik dan cantik dariku?”Seketika gadis itu terdiam. Sebenarnya aku merasa bersalah mengatakan hal itu. Mana mungkin dia mengenali ibunya. Jika wanita yang telah melahirkannya itu pergi usai melahirkannya ke dunia atas permintaan kakek neneknya.“Jangan tanyakan hal itu padaku. Karena aku tak punya ibu. Aku ini anak yang terlahir dari batu.” Gadis belia itu pergi begitu saja meninggalkanku.Hal itu membuatku sedikit iba. Pasti kehidupannya tanpa orang tua selama ini begitu sulit. Walaupun, ekonominya berkecukupan, tapi gadis belia itu tak mendapatkan kasih sayang. dari kedua orang tuanya. Aku menghela napas berat, lalu kembali melanjutkan aktivitas pagi.Bersambung ....
Suasana rumah seketika berubah sepi. Mas Doni berangkat kerja, Shakira sekolah. Hanya aku dan gadis belia itu yang ada di rumah. Gadis itu tidak tamat SMA. Harusnya dengan ekonomi yang berkecukupan, Mas Doni bisa menyekolahkannya. Namun, entah mengapa hal itu belum dilakukannya. Aku juga belum bertanya. Karena memang semua terserah Mas Doni.Usai tak ada lagi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, aku duduk di ruang keluarga. Menonton acara kesukaan. Berita yang sedang heboh saat ini. Tanpa terasa, air mata menetes membasahi pipi ketika melihat bocah kecil yang baru saja ditinggal oleh kedua orang tuanya. Jika aku saja terenyuh dengan nasib bocah yang tak kukenal itu, harusnya aku juga iba dengan Mira dan bisa menerimanya.Aku memandang kamar gadis itu. Apa perlu aku mendekatkan diri padanya?Ponsel yang sedari tadi di tangan, aku letakan ke atas meja kecil di hadapan. Aku bangun hendak ke kamar gadis itu. Namun, segera kuurungkan ketika kembali mengingat perkataannya yang hendak m
Aku memilih menjemput Shakira. Soal gadis belia itu, urusan nanti. Mobil yang membawa Mira berjalan melewatiku. Dari balik kaca, aku bisa melihat seorang pria duduk di depan kemudi. Sedangkan gadis belia itu duduk di sampingnya. Entah siapa pria yang bersama Mira dan ada hubungan apa di antara mereka. Ada baiknya nanti aku bertanya pada Mas Doni perihal mereka. Aku tak mau asal menduga. Siapa tahu, pria itu saudaranya. Perlahan aku mengemudikan mobil menuju sekolah tempat Shakira menimba ilmu. Gadis itu sebentar lagi pulang. Aku tak tega, bila dia terlalu lama menunggu. Setibanya di sekolah, tampak para siswa sedang berbaris di depan gerbang. Wali kelas mereka menemani untuk memastikan kalau para siswa sudah ada yang menjemput. Dari kejauhan, aku melihat Shakira baru saja keluar dari dalam kelas. Diikuti wali kelasnya. Bergegas aku turun dari mobil untuk menghampiri gadis kecil itu. Dengan gayanya, Shakira menceritakan kalau dirinya mendapat nilai seratus ketika mengerjakan tug
Dari balik pintu kamar Mira, aku mendengar Mas Doni sedang menasihati putrinya. Sebagai orang tua yang mempunyai anak gadis seperti Mira, pasti khawatir kalau putrinya salah dalam bergaul. Apalagi jaman sekarang. Banyak wanita yang masuk angin sebelum ijab kabul dilaksanakan. Usai makan tadi, Mas Doni bertanya pada gadis itu dengan siapa dia pergi pagi tadi. Gadis belia itu hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulurnya. “Papa tidak ingin kamu sampai bernasib seperti ibumu!” “Seperti Ibu? Bukannya Anda yang merusak ibu saya.” Situasi mulai memanas. Dari balik pintu, aku bisa melihat Mas Doni salah tingkah mendengar jawaban putrinya. Argh! Pria itu mengacak rambutnya kasar. Aku sengaja tidak ikut campur untuk menasihati gadis itu. Bukan tak mau, hanya saja aku tak mau dicap sebagai ibu tiri yang kejam. Tidak ada hubungan darah di antara kami. Apalagi gadis belia itu tak menyukaiku. Kalah telak dengan perkataan putrinya, Mas Doni memilih meninggalkan gadis itu. Pria itu b
Melihat hal itu aku hanya bisa mengelus dada. Aku mengikuti masuk ke halaman hotel. Rencana hendak mengintai apa yang akan mereka lakukan. Karena hotel yang mereka masuki, memang hotel yang sering digunakan para pasangan yang belum halal. Rasa kecewa seketika menyelimuti dada. Aku tak habis pikir, kurang kasih sayang membuat gadis itu melampiaskannya pada perbuatan yang tak terpuji. Mungkin ini arti dari perkataannya tadi. Bahagia dengan caranya sendiri. Sejahat-jahatnya aku. Tak mungkin juga aku membiarkan gadis itu terjerumus ke dalam lubang dosa. Aku juga membayangkan, kalau yang ada di hadapanku itu adalah Shakira. Pandanganku seketika beralih pada Shakira. Aku mengelus puncak kepalanya dan berdoa agar gadis kecilku itu tak bernasib sama dengan Mira. “Mama kenapa menangis?” Gadis kecil itu menatapku. Gegas aku menggeleng. “Sepertinya ada debu yang masuk mata mama.” Tanpa diminta, gadis kecil itu meniu
Melihat hal itu aku hanya bisa mengelus dada. Aku mengikuti masuk ke halaman hotel. Rencana hendak mengintai apa yang akan mereka lakukan. Karena hotel yang mereka masuki, memang hotel yang sering digunakan para pasangan yang belum halal. Rasa kecewa seketika menyelimuti dada. Aku tak habis pikir, kurang kasih sayang membuat gadis itu melampiaskannya pada perbuatan yang tak terpuji. Mungkin ini arti dari perkataannya tadi. Bahagia dengan caranya sendiri. Sejahat-jahatnya aku. Tak mungkin juga aku membiarkan gadis itu terjerumus ke dalam lubang dosa. Aku juga membayangkan, kalau yang ada di hadapanku itu adalah Shakira. Pandanganku seketika beralih pada Shakira. Aku mengelus puncak kepalanya dan berdoa agar gadis kecilku itu tak bernasib sama dengan Mira. “Mama kenapa menangis?” Gadis kecil itu menatapku. Gegas aku menggeleng. “Sepertinya ada debu yang masuk mata mama.” Tanpa diminta, gadis kecil itu meniup mataku. “Terima kasih, Sayang.” Aku menghujaninya dengan ciuman. Tatap
“Baiklah, kalau kamu tidak mau pulang, aku akan menelepon polisi sekarang juga untuk menggerebek tempat ini!” Aku terpaksa mengancam mereka. Sebenarnya hal itu tidak akan aku lakukan. Kalau polisi menggerebek tempat ini dan menemukan Mira di sini, keluarga kami tentu saja akan malu. “Bukan hanya itu, aku juga akan menelepon papamu!” Aku mengambil ponsel, membuka kontak dan memencet nama Mas Doni. Setelahnya menempelkan ke telinga. “Iya, iya. Aku akan pulang!” Mira mengambil tasnya yang ada di atas nakas. “Mir, urusan kita belum selesai,” cegah pria yang membawa Mira tadi. Pria itu berusaha mendekati Mira, aku menghalau dengan mendorong tubuhnya. Rasanya jijik ketika tanganku menyentuh kulit pria itu. “Urusan apa? Hah!” “Jangan ikut campur kamu wanita tua!” Pria itu balas mendorongku. Aku tertawa mendengar pria itu menyebutku seperti itu. Wanita tua. Pria itu tidak mengaca. Dirinya justru lebih tua dariku. “Eh, ngaca kamu!” Aku menunjuknya. “Memangnya kamu masih muda. Lihat tuh
Dadaku berdebar kencang ketika Mas Doni berjalan mendekatiku. Lidahku kelu. Padahal bukan kesalahanku. Kenapa harus aku yang takut. “Siapa pria itu?” tanya Mas Doni tepat di depan wajahku. “Jawab!” Kali ini Mas Doni berbicara lebih keras karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya. “M-mas, aku tidak berkencan dengan pria mana pun.” Aku mencoba tenang agar bisa menjawab pertanyaan Mas Doni dengan nalar. “Terus ini apa?” Lelakiku itu menunjuk foto Shakira. Bingung harus menjawab apa, aku memandang ke arah kamar Mira. Gadis belia yang kuselamatkan dari tadi, hanya mengintip dari balik pintu kamar. Gadis itu menangkupkan kedua tangan di dada. Aku tahu maksudnya. Memintaku untuk menyembunyikan segalanya. Mungkin dia takut pada amarah papanya. Kemarin, ketika aku memberitahukan kalau dirinya pergi dengan seorang pria, Mas Doni begitu marah pada Mira. Bagaimana bila dia tahu kalau gadis belia itu menyewa kamar hotel dengan pria seumuranku. Aku belum mendapatkan penjelasan akan apa y
Mas Doni menghentikan aktivitasnya. Dia memandangku dengan tatap tak suka. “Tentang apa? Hotel? Ingat Santika, aku tak akan pernah memaafkanmu, jika benar kamu berselingkuh.” Aku berjalan mendekati ranjang dan duduk di tepinya. “Mas duduklah.” Aku menepuk ranjang pelan, meminta Mas Doni untuk duduk bersamaku. Pria itu menolak. Dia justru memilih duduk di kursi yang berada di depan meja rias. Aku tahu, pria itu kecewa. Pria itu terluka. “Aku berada di hotel itu, bukan karena ada pria lain di hatiku.” Mas Doni memandangku. “Terus untuk apa kamu ke sana. Memalukan.” Dia membuang muka. “Apalagi foto Shakira sampai disebar di media sosial. Bikin malu!” Dilihat dari pengambilan gambar, sepertinya yang memotret Shakira adalah orang yang berdiri di luar pagar. “Mas, ini bukan soal aku, tapi Mira.” Perlahan aku menceritakan yang sebenarnya pada Mas Doni. Mungkin ini memang jalan terbaik yang harus dilakukan agar kami lebih perhatian pada Mira. Paling tidak agar gadis belia itu tak meras