Suasana rumah seketika berubah sepi. Mas Doni berangkat kerja, Shakira sekolah. Hanya aku dan gadis belia itu yang ada di rumah.
Gadis itu tidak tamat SMA. Harusnya dengan ekonomi yang berkecukupan, Mas Doni bisa menyekolahkannya. Namun, entah mengapa hal itu belum dilakukannya. Aku juga belum bertanya. Karena memang semua terserah Mas Doni.Usai tak ada lagi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, aku duduk di ruang keluarga. Menonton acara kesukaan. Berita yang sedang heboh saat ini. Tanpa terasa, air mata menetes membasahi pipi ketika melihat bocah kecil yang baru saja ditinggal oleh kedua orang tuanya. Jika aku saja terenyuh dengan nasib bocah yang tak kukenal itu, harusnya aku juga iba dengan Mira dan bisa menerimanya.Aku memandang kamar gadis itu. Apa perlu aku mendekatkan diri padanya?Ponsel yang sedari tadi di tangan, aku letakan ke atas meja kecil di hadapan. Aku bangun hendak ke kamar gadis itu. Namun, segera kuurungkan ketika kembali mengingat perkataannya yang hendak merebut suamiku.Seketika suasana hatiku berubah. Yang awalnya ingin berdamai dengan gadis belia itu, berubah menjadi benci lagi.“Ndut, kuotaku habis.” Tiba-tiba gadis itu sudah ada di hadapanku mengulurkan tangan.“Terus?” aku memandangnya penuh tanya. “Bagi duit, aku mau beli kuota.”“Enggak mau! Emang ayahmu enggak kasih duit,” jawabku. Aku coba menggoda gadis itu. Dia baru kemarin tiba di tempat ini. Mana tahu Mira konter terdekat.“Ish! Pelit,” gerutunya. Gadis itu tampak sebal dengan perlakuanku.“Mana ponselmu?” Aku mengulurkan tangan padanya.“Kepo!”“Ya sudah! Katanya mau kuota. Memangnya kalau kamu aku kasih duit, kamu tahu penjual kuota di dekat sini.”Mira diam. Gadis itu tampak bingung antara menerima tawaranku atau tidak.“Nih! Jangan kepo!” Akhirnya gadis itu menyerahkan ponselnya padaku.“Memangnya ada apa di ponselmu? Kenapa aku harus kepo!”Aku menyalakan WIFI gadis itu. Mengerikan sandi WIFI rumah. Mungkin, Mas Doni belum memberi tahu gadis itu. Baru saja WIFI aktif, deretan pesan masuk pada aplikasi warna hijau miliknya. Pesan teratas membuatku terbelalak.‘Mira, aku mau kamu lagi.’Entah apa maksud pesan itu. Mendengar ponselnya beberapa kali berbunyi, Mira langsung mengambilnya dari tanganku. Gadis itu kembali ke kamarnya tanpa mengucapkan terima kasih padaku. Aku hanya bisa berdecak melihat kelakuan gadis itu. Yang masih menganjal pikiranku yaitu pesan wa tadi. Entah apa maksudnya. Tak mau terlalu ambil pusing aku kembali fokus pada acara televisi yang sedang aku tonton.“Ndut, bagi duit.” Lagi, gadis kurus itu menghampiriku. Kali ini dia sudah berganti pakaian. Celana jeans panjang dan Hoodie berwarna merah muda.“Buat apa?” Aku memandang gadis itu.“Jajan,” jawab gadis yang memalingkan wajahnya dariku.“Tuh!” Aku menunjuk lemari dapur yang terlihat dari tempat jajan. “Di sana beraneka snack. Soft drink juga ada. Kalau mau makan apa biar aku buatin.”“Ish! Pelit.” Gadis itu tampak tak menyukai perkataanku.“Jangan jajan sembarangan. Memangnya kamu sudah tahu jalan. Kan baru kemarin tiba.” Aku memandangnya.“Aku bukan anak kecil, Ndut. Jaman canggih, tinggal buka G****e map. Beres.” Dia menunjukkan ponselnya.“Emang punya kuota?”Gadis belia itu tampak sebal dengan perkataanku. Katanya dia mau melawan, begitu saja sudah kalah.“Baiklah, kalau kamu tidak mau kasih duit, aku akan bilang ke suamimu?”Drama apa yang akan dia lakukan. Oh tidak bisa.“Suamiku?” Aku menunjuk wajahku sendiri. “Bukannya dia papamu?” menunjuk gadis itu.“Bukan.” Dia menggeleng. “Terus!”“Dia hanya pria yang tega merenggut masa kecil putrinya hanya karena takut kehilangan masa depannya.” Tatapan gadis itu kosong. “Mau bagi duit, atau aku bilang suamimu kalau kamu tidak mau kasih aku duit.”Tak habis akal aku bertanya, atas dasar apa gadis itu hendak melaporkanku pada Mas Doni.“Tadi suamimu yang bilang kalau aku disuruh minta uang padamu.”Pada akhirnya, aku memberi gadis belia itu uang dua ratus ribu. “Ini jatah seminggu. Yang hemat.”Mira menerima uang yang kuberikan. Lama gadis itu memandang uang itu. Hingga akhirnya dia berkata, “pelit!”Gadis belia itu, benar-benar membuat tekanan darahku naik. Lagi, tanpa mengucapkan terima kasih, gadis itu keluar dari rumah.Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Aku bersiap untuk menjemput Shakira.Baru beberapa menit keluar rumah, dari jauh aku melihat Mira sedang berdiri di pinggir jalan. Entah siapa yang sedang ditunggunya. Aku pun mempercepat laju mobil hendak menghampirinya. Tanpa diduga, ada mobil lain dari arah berlawanan yang berhenti di depan gadis itu. Mira masuk ke dalam mobil. Melihat hal itu, tiba-tiba aku merasa waswas. Pikiranku juga tiba-tiba kembali teringat akan pesan wa yang tak sengaja aku baca tadi. Ingin mengikuti mereka, sudah saatnya Shakira pulang. Aku bingung, mengikuti Mira atau menjemput Shakira.Aku memilih menjemput Shakira. Soal gadis belia itu, urusan nanti. Mobil yang membawa Mira berjalan melewatiku. Dari balik kaca, aku bisa melihat seorang pria duduk di depan kemudi. Sedangkan gadis belia itu duduk di sampingnya. Entah siapa pria yang bersama Mira dan ada hubungan apa di antara mereka. Ada baiknya nanti aku bertanya pada Mas Doni perihal mereka. Aku tak mau asal menduga. Siapa tahu, pria itu saudaranya. Perlahan aku mengemudikan mobil menuju sekolah tempat Shakira menimba ilmu. Gadis itu sebentar lagi pulang. Aku tak tega, bila dia terlalu lama menunggu. Setibanya di sekolah, tampak para siswa sedang berbaris di depan gerbang. Wali kelas mereka menemani untuk memastikan kalau para siswa sudah ada yang menjemput. Dari kejauhan, aku melihat Shakira baru saja keluar dari dalam kelas. Diikuti wali kelasnya. Bergegas aku turun dari mobil untuk menghampiri gadis kecil itu. Dengan gayanya, Shakira menceritakan kalau dirinya mendapat nilai seratus ketika mengerjakan tug
Dari balik pintu kamar Mira, aku mendengar Mas Doni sedang menasihati putrinya. Sebagai orang tua yang mempunyai anak gadis seperti Mira, pasti khawatir kalau putrinya salah dalam bergaul. Apalagi jaman sekarang. Banyak wanita yang masuk angin sebelum ijab kabul dilaksanakan. Usai makan tadi, Mas Doni bertanya pada gadis itu dengan siapa dia pergi pagi tadi. Gadis belia itu hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulurnya. “Papa tidak ingin kamu sampai bernasib seperti ibumu!” “Seperti Ibu? Bukannya Anda yang merusak ibu saya.” Situasi mulai memanas. Dari balik pintu, aku bisa melihat Mas Doni salah tingkah mendengar jawaban putrinya. Argh! Pria itu mengacak rambutnya kasar. Aku sengaja tidak ikut campur untuk menasihati gadis itu. Bukan tak mau, hanya saja aku tak mau dicap sebagai ibu tiri yang kejam. Tidak ada hubungan darah di antara kami. Apalagi gadis belia itu tak menyukaiku. Kalah telak dengan perkataan putrinya, Mas Doni memilih meninggalkan gadis itu. Pria itu b
Melihat hal itu aku hanya bisa mengelus dada. Aku mengikuti masuk ke halaman hotel. Rencana hendak mengintai apa yang akan mereka lakukan. Karena hotel yang mereka masuki, memang hotel yang sering digunakan para pasangan yang belum halal. Rasa kecewa seketika menyelimuti dada. Aku tak habis pikir, kurang kasih sayang membuat gadis itu melampiaskannya pada perbuatan yang tak terpuji. Mungkin ini arti dari perkataannya tadi. Bahagia dengan caranya sendiri. Sejahat-jahatnya aku. Tak mungkin juga aku membiarkan gadis itu terjerumus ke dalam lubang dosa. Aku juga membayangkan, kalau yang ada di hadapanku itu adalah Shakira. Pandanganku seketika beralih pada Shakira. Aku mengelus puncak kepalanya dan berdoa agar gadis kecilku itu tak bernasib sama dengan Mira. “Mama kenapa menangis?” Gadis kecil itu menatapku. Gegas aku menggeleng. “Sepertinya ada debu yang masuk mata mama.” Tanpa diminta, gadis kecil itu meniu
Melihat hal itu aku hanya bisa mengelus dada. Aku mengikuti masuk ke halaman hotel. Rencana hendak mengintai apa yang akan mereka lakukan. Karena hotel yang mereka masuki, memang hotel yang sering digunakan para pasangan yang belum halal. Rasa kecewa seketika menyelimuti dada. Aku tak habis pikir, kurang kasih sayang membuat gadis itu melampiaskannya pada perbuatan yang tak terpuji. Mungkin ini arti dari perkataannya tadi. Bahagia dengan caranya sendiri. Sejahat-jahatnya aku. Tak mungkin juga aku membiarkan gadis itu terjerumus ke dalam lubang dosa. Aku juga membayangkan, kalau yang ada di hadapanku itu adalah Shakira. Pandanganku seketika beralih pada Shakira. Aku mengelus puncak kepalanya dan berdoa agar gadis kecilku itu tak bernasib sama dengan Mira. “Mama kenapa menangis?” Gadis kecil itu menatapku. Gegas aku menggeleng. “Sepertinya ada debu yang masuk mata mama.” Tanpa diminta, gadis kecil itu meniup mataku. “Terima kasih, Sayang.” Aku menghujaninya dengan ciuman. Tatap
“Baiklah, kalau kamu tidak mau pulang, aku akan menelepon polisi sekarang juga untuk menggerebek tempat ini!” Aku terpaksa mengancam mereka. Sebenarnya hal itu tidak akan aku lakukan. Kalau polisi menggerebek tempat ini dan menemukan Mira di sini, keluarga kami tentu saja akan malu. “Bukan hanya itu, aku juga akan menelepon papamu!” Aku mengambil ponsel, membuka kontak dan memencet nama Mas Doni. Setelahnya menempelkan ke telinga. “Iya, iya. Aku akan pulang!” Mira mengambil tasnya yang ada di atas nakas. “Mir, urusan kita belum selesai,” cegah pria yang membawa Mira tadi. Pria itu berusaha mendekati Mira, aku menghalau dengan mendorong tubuhnya. Rasanya jijik ketika tanganku menyentuh kulit pria itu. “Urusan apa? Hah!” “Jangan ikut campur kamu wanita tua!” Pria itu balas mendorongku. Aku tertawa mendengar pria itu menyebutku seperti itu. Wanita tua. Pria itu tidak mengaca. Dirinya justru lebih tua dariku. “Eh, ngaca kamu!” Aku menunjuknya. “Memangnya kamu masih muda. Lihat tuh
Dadaku berdebar kencang ketika Mas Doni berjalan mendekatiku. Lidahku kelu. Padahal bukan kesalahanku. Kenapa harus aku yang takut. “Siapa pria itu?” tanya Mas Doni tepat di depan wajahku. “Jawab!” Kali ini Mas Doni berbicara lebih keras karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya. “M-mas, aku tidak berkencan dengan pria mana pun.” Aku mencoba tenang agar bisa menjawab pertanyaan Mas Doni dengan nalar. “Terus ini apa?” Lelakiku itu menunjuk foto Shakira. Bingung harus menjawab apa, aku memandang ke arah kamar Mira. Gadis belia yang kuselamatkan dari tadi, hanya mengintip dari balik pintu kamar. Gadis itu menangkupkan kedua tangan di dada. Aku tahu maksudnya. Memintaku untuk menyembunyikan segalanya. Mungkin dia takut pada amarah papanya. Kemarin, ketika aku memberitahukan kalau dirinya pergi dengan seorang pria, Mas Doni begitu marah pada Mira. Bagaimana bila dia tahu kalau gadis belia itu menyewa kamar hotel dengan pria seumuranku. Aku belum mendapatkan penjelasan akan apa y
Mas Doni menghentikan aktivitasnya. Dia memandangku dengan tatap tak suka. “Tentang apa? Hotel? Ingat Santika, aku tak akan pernah memaafkanmu, jika benar kamu berselingkuh.” Aku berjalan mendekati ranjang dan duduk di tepinya. “Mas duduklah.” Aku menepuk ranjang pelan, meminta Mas Doni untuk duduk bersamaku. Pria itu menolak. Dia justru memilih duduk di kursi yang berada di depan meja rias. Aku tahu, pria itu kecewa. Pria itu terluka. “Aku berada di hotel itu, bukan karena ada pria lain di hatiku.” Mas Doni memandangku. “Terus untuk apa kamu ke sana. Memalukan.” Dia membuang muka. “Apalagi foto Shakira sampai disebar di media sosial. Bikin malu!” Dilihat dari pengambilan gambar, sepertinya yang memotret Shakira adalah orang yang berdiri di luar pagar. “Mas, ini bukan soal aku, tapi Mira.” Perlahan aku menceritakan yang sebenarnya pada Mas Doni. Mungkin ini memang jalan terbaik yang harus dilakukan agar kami lebih perhatian pada Mira. Paling tidak agar gadis belia itu tak meras
Sore itu juga, aku membawa Mira ke dokter kandungan terdekat. Untuk memastikan kalau Mira benar hamil atau tidak. Shakira aku titipkan di rumah tetangga. Menurut perhitungan dokter, Mira sudah hamil 12 minggu. Itu berarti kehamilan Mira terjadi jauh sebelum dia datang ke rumah kami. Aku bingung mendengar penjelasan dokter. Pikiranku memikirkan yang tidak-tidak. Masa depan Mira, janin dalam kandungannya, dan omongan tetangga. Paling penting pertanggung jawaban orang yang menghamili gadis belia itu. Entah bagaimana caranya aku menceritakan pada Mas Doni. Pria itu pasti murka jika mendengarnya. Namun, aku harus tetap bercerita padanya. Sehingga kami bisa mencari jalan keluar terbaik untuk gadis itu. Tak mungkin juga aku mengatasi masalah sebesar ini sendiri. Setibanya di mobil, aku kembali bertanya pada Mira. Daripada di rumah nanti, Mas Doni akan mendengar. Jadi aku memutuskan untuk tahu lebih dulu. “Siapa yang melakukannya? Apa pria yang ber