Share

Pesan Mencurigakan

Suasana rumah seketika berubah sepi. Mas Doni berangkat kerja, Shakira sekolah. Hanya aku dan gadis belia itu yang ada di rumah. 

Gadis itu tidak tamat SMA. Harusnya dengan ekonomi yang berkecukupan, Mas Doni bisa menyekolahkannya. Namun, entah mengapa hal itu belum dilakukannya. Aku juga belum bertanya. Karena memang semua terserah Mas Doni.

Usai tak ada lagi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, aku duduk di ruang keluarga. Menonton acara kesukaan. Berita yang sedang heboh saat ini. 

Tanpa terasa, air mata menetes membasahi pipi ketika melihat bocah kecil yang baru saja ditinggal oleh kedua orang tuanya.  Jika aku saja terenyuh dengan nasib bocah yang tak kukenal itu, harusnya aku juga iba dengan Mira dan bisa menerimanya.

Aku memandang kamar gadis itu. Apa perlu aku mendekatkan diri padanya?

Ponsel yang sedari tadi di tangan, aku letakan ke atas meja kecil di hadapan. Aku bangun hendak ke kamar gadis itu. Namun, segera kuurungkan ketika kembali mengingat perkataannya yang hendak merebut suamiku.

Seketika suasana hatiku berubah. Yang awalnya ingin berdamai dengan gadis belia itu, berubah menjadi benci lagi.

“Ndut, kuotaku habis.” Tiba-tiba gadis itu sudah ada di hadapanku mengulurkan tangan.

“Terus?” aku memandangnya penuh tanya. 

“Bagi duit, aku mau beli kuota.”

“Enggak mau! Emang ayahmu enggak kasih duit,” jawabku. Aku coba menggoda gadis itu. Dia baru kemarin tiba di tempat ini. Mana tahu Mira konter terdekat.

“Ish! Pelit,” gerutunya. Gadis itu tampak sebal dengan perlakuanku.

“Mana ponselmu?” Aku mengulurkan tangan padanya.

“Kepo!”

“Ya sudah! Katanya mau kuota. Memangnya kalau kamu aku kasih duit, kamu tahu penjual kuota di dekat sini.”

Mira diam. Gadis itu tampak bingung antara menerima tawaranku atau tidak.

“Nih! Jangan kepo!” Akhirnya gadis itu menyerahkan ponselnya padaku.

“Memangnya ada apa di ponselmu? Kenapa aku harus kepo!”

Aku menyalakan WIFI gadis itu. Mengerikan sandi WIFI rumah. Mungkin, Mas Doni belum memberi tahu gadis itu. Baru saja WIFI aktif, deretan pesan masuk pada aplikasi warna hijau miliknya. Pesan teratas membuatku terbelalak.

‘Mira, aku mau kamu lagi.’

Entah apa maksud pesan itu. Mendengar ponselnya beberapa kali berbunyi, Mira langsung mengambilnya dari tanganku. Gadis itu kembali ke kamarnya tanpa mengucapkan terima kasih padaku. 

Aku hanya bisa berdecak melihat kelakuan gadis itu. Yang masih menganjal pikiranku yaitu pesan wa tadi. Entah apa maksudnya. Tak mau terlalu ambil pusing aku kembali fokus pada acara televisi yang sedang aku tonton.

“Ndut, bagi duit.” Lagi, gadis kurus itu menghampiriku. Kali ini dia sudah berganti pakaian. Celana jeans panjang dan Hoodie  berwarna merah muda.

“Buat apa?” Aku memandang gadis itu.

“Jajan,” jawab gadis yang memalingkan wajahnya dariku.

“Tuh!” Aku menunjuk lemari dapur yang terlihat dari tempat jajan. “Di sana beraneka snack. Soft drink juga ada. Kalau mau makan apa biar aku buatin.”

“Ish! Pelit.” Gadis itu tampak tak menyukai perkataanku.

“Jangan jajan sembarangan. Memangnya kamu sudah tahu jalan. Kan baru kemarin tiba.” Aku memandangnya.

“Aku bukan anak kecil, Ndut. Jaman canggih, tinggal buka G****e map. Beres.” Dia menunjukkan ponselnya.

“Emang punya kuota?”

Gadis belia itu tampak sebal dengan perkataanku. Katanya dia mau melawan, begitu saja sudah kalah.

“Baiklah, kalau kamu tidak mau kasih duit, aku akan bilang ke suamimu?”

Drama apa yang akan dia lakukan. Oh tidak bisa.

“Suamiku?” Aku menunjuk wajahku sendiri. “Bukannya dia papamu?” menunjuk gadis itu.

“Bukan.” Dia menggeleng. 

“Terus!”

“Dia hanya pria yang tega merenggut masa kecil putrinya hanya karena takut kehilangan masa depannya.” Tatapan gadis itu kosong. “Mau bagi duit, atau aku bilang suamimu kalau kamu tidak mau kasih aku duit.”

Tak habis akal aku bertanya, atas dasar apa gadis itu hendak melaporkanku pada Mas Doni.

“Tadi suamimu yang bilang kalau aku disuruh minta uang padamu.”

Pada akhirnya, aku memberi gadis belia itu uang dua ratus ribu. “Ini jatah seminggu. Yang hemat.”

Mira menerima uang yang kuberikan. Lama gadis itu memandang uang itu. Hingga akhirnya dia berkata, “pelit!”

Gadis belia itu, benar-benar membuat tekanan darahku naik. Lagi, tanpa mengucapkan terima kasih, gadis itu keluar dari rumah.

Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Aku bersiap untuk menjemput Shakira.

Baru beberapa menit keluar rumah, dari jauh aku melihat Mira sedang berdiri di pinggir jalan. Entah siapa yang sedang ditunggunya. Aku pun mempercepat laju mobil hendak menghampirinya. Tanpa diduga, ada mobil lain dari arah berlawanan yang berhenti di depan gadis itu. Mira masuk ke dalam mobil. 

Melihat hal itu, tiba-tiba aku merasa waswas. Pikiranku juga  tiba-tiba kembali teringat akan pesan wa yang tak sengaja aku baca tadi. Ingin mengikuti mereka, sudah saatnya Shakira pulang. Aku bingung, mengikuti Mira atau menjemput Shakira.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status