MasukJuan tengah memeluk sebuah guling dengan begitu erat, seolah-olah benda itu adalah kekasihnya sendiri. Seluruh tubuhnya tenggelam dalam selimut tebal yang membungkusnya rapat.
Sesekali ia menggeliat, bibirnya meracau lirih, dan hembusan napasnya terdengar berat seperti seseorang yang masih larut dalam kenangan bercinta. Pria itu tidak berhenti mendesah sambil menyebut nama Naomi—wanita penjaja cinta yang beberapa jam lalu baru saja menguras seluruh tenaganya dan meninggalkan kepuasan memabukkan di kepalanya.
Terlalu tenggelam dalam fantasinya, Juan tidak menyadari sama sekali bahwa pintu kamarnya telah terbuka. Seseorang masuk begitu pelan, bahkan sampai lampu kamar dinyalakan, Juan tetap saja tidak memberikan reaksi apa pun. Ia masih terkunci dalam dunia khayalnya sendiri.
"Ahhhhh."
Pria itu menghela desahan panjang, seolah adegan panasnya bersama Naomi kembali memutar dengan jelas di kepalanya.
Namun detik berikutnya, lamunannya hancur seketika. Selimut tebal yang menutupi tubuhnya tiba-tiba tersingkap, ditarik dengan paksa oleh seseorang yang tak ia sadari keberadaannya sejak tadi.
"Aaaaa!"
Jeritan Juan memecah keheningan kamar, begitu matanya menangkap sesosok gadis bercadar yang juga ikut menjerit kaget ketika melihat kondisi Juan. Refleks, tatapan Juan langsung meluncur ke tubuhnya sendiri—bertelanjang dada, hanya mengenakan boxer ketat yang… jelas menunjukkan keadaan yang sangat memalukan.
"Hey, apa yang kamu lakukan?" sentak Juan kasar, buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya dengan gerakan panik dan kesal.
Sementara itu, gadis bercadar itu—Jasmine—langsung menutup kedua matanya dengan cepat, wajahnya memerah hebat meski sebagian wajahnya tertutup. Ia memalingkan kepala setajam mungkin, seolah melihat Juan saja adalah dosa besar yang membuat lututnya gemetar.
Wajah Jasmine terasa panas luar biasa. Seluruh tubuhnya kaku. Ia tidak pernah, bahkan tidak pernah sekalipun, melihat pria dalam keadaan seperti itu. Ketakutan memenuhi dirinya, tetapi juga rasa bersalah yang menusuk dalam.
"Astaghfirullahaladzim. Astaghfirullahaladzim."
Ia terus mengulang istighfar, berharap hatinya mereda dan pikirannya tidak kacau balau seperti sekarang.
Jasmine merasa seperti baru saja melakukan kesalahan besar—tanpa sengaja melihat aurat laki-laki yang sama sekali bukan muhrimnya.
"Hey kamu! Cepat pakai bajumu, atau aku akan marah-marah sama kamu!" Jasmine berseru dengan lantang, meski matanya masih tertutup rapat.
"Hey, seharusnya aku yang marah sama kamu, karena kamu sudah berani masuk ke dalam kamarku dengan lancang tanpa seizin dariku," geram Juan, suaranya terdengar sangat murka. Ia buru-buru menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai.
"Itu … aku … aku punya alasan kenapa aku sampai melakukannya." Jasmine menjawab dengan suara bergetar, jelas gugup.
"Alasan apa, hah? Katakan!" bentak Juan yang sudah selesai mengenakan pakaiannya dan kini menghampiri Jasmine dengan langkah besar penuh amarah.
Tanpa aba-aba, Juan meraih bahu Jasmine dan memutar tubuh gadis itu menghadap ke arahnya, gerakannya cepat dan mengejutkan.
"Katakan apa alasannya!" sentaknya sekali lagi.
"Aaaa! Apa yang kamu lakukan?"
Jasmine memekik lagi, tubuhnya gemetar ketika merasakan genggaman kuat di bahunya.
Ia buru-buru mundur, ingin menjauh sejauh mungkin dari pria itu. Tetapi gerakannya yang tergesa membuat telapak tangannya yang tadi menutup mata ikut terbuka tanpa sengaja.
"Jangan berani-berani menyentuhku! Kamu bukan muhrimku!" teriak Jasmine keras, memberi jarak sekaligus peringatan.
Tatapan Jasmine tanpa sengaja bertemu dengan wajah Juan. Seketika matanya terbelalak—wajah pria itu begitu tampan, dengan kulit putih bersih, mata tajam dan indah, hidung mancung, serta rahang terdefinisi kuat. Aura lelaki dewasa yang berbahaya. Pesonanya benar-benar seperti idol K-pop, tidak heran kalau banyak wanita mengincarnya.
"Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan? Astaghfirullah."
Jasmine buru-buru menundukkan kepala dalam-dalam, menahan diri agar tidak melihat lebih jauh lagi. Sadar betapa dosanya tatapan itu, ia segera memalingkan wajah.
Juan sempat memicingkan mata ketika menatap Jasmine. Meski tertutup cadar, mata Jasmine yang terbingkai bulu lentik itu begitu indah, membuatnya yakin bahwa gadis ini pasti memiliki paras yang sangat cantik.
"Jauh-jauh dariku. Kita ini bukan muhrim dan juga nggak saling kenal. Kedatanganku kemari hanyalah untuk mencari adikku," sergah Jasmine cepat, melihat Juan melangkah mendekat lagi.
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya kamu harus bertanggung jawab karena sudah berani masuk ke kamarku tanpa izin," balas Juan dengan suara bariton yang berat dan menggelegar.
"Aku minta maaf, tapi aku benar-benar nggak sengaja masuk kesini. Aku hanya ingin mencari adikku, karena sejak tadi dia belum pulang. Aku mendapat informasi kalau dia ada di hotel ini, dan tadi aku melihat dia masuk ke kamar ini." Jasmine menjelaskan dengan hati-hati, tanpa pernah menatap langsung ke Juan.
"Hah? Adikmu?"
Juan mengernyit, benar-benar bingung.
Kenapa gadis ini mencari adiknya di kamar seorang pria seperti dirinya? Apa dia mengira ada hubungan tertentu antara mereka?
"Iya, adikku. Namanya Rosa. Kamu pasti kenal dia kan? Karena aku yakin banget kalau tadi Rosa masuk ke kamar ini. Sekarang katakan, dimana Rosa?" desak Jasmine dengan nada cemas.
Juan hanya semakin bingung. Pria tiga puluhan itu mengangkat alis, memandang Jasmine dengan raut tidak percaya sambil berkacak pinggang.
"Hah? Rosa? Sorry, tapi aku sama sekali nggak kenal sama nama itu." Ia menggeleng.
"Jangan bohong! Udah jelas-jelas kalau tadi Rosa masuk ke kamar ini!" Jasmine tidak terima sama sekali.
"Loh, aku nggak bohong. Kamu bisa periksa sendiri, kalau adik kamu nggak ada di sini."
"Aku nggak percaya! Pasti kamu sudah menculik Rosa. Sekarang katakan, dimana Rosa?"
"Hey, gadis bercadar yang sangat religius. Aku yakin kalau agamumu mengajarkan supaya kamu tidak menuduh orang sembarangan. Seharusnya kamu tidak menuduhku, karena aku benar-benar tidak kenal dengan adikmu, dan aku juga tidak pernah menculik adikmu. Kamu paham?" ujar Juan, suaranya makin keras, terlihat jelas ia mulai jengah dengan tuduhan tanpa henti itu.
"Aku yakin kalau kamu pasti sudah salah kamar. Sekarang juga, keluar kamu dari kamarku!"
“Astaghfirullahaladzim…” bisik Jasmine dengan suara tercekat. Tubuhnya menegang seketika, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk dicerna.Gadis bercadar itu refleks berdiri dari duduknya. Langkahnya mundur beberapa kali, menciptakan jarak dari Marina—wanita paruh baya yang sejak tadi begitu ramah kepadanya, namun kini membuatnya terkejut setengah mati.“Ta–Tante… apa maksudnya semua ini?” suara Jasmine bergetar, matanya melebar penuh ketidakpercayaan. “Kenapa Tante bilang begitu? Kenapa Tante menyuruh saya menikah dengan anak Tante? Saya benar-benar tidak mengerti.”Kepalanya menggeleng pelan, seolah berharap semuanya hanya salah dengar.Apa salahnya hari ini sampai Allah mengujinya seperti ini? Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana Juan—si casanova—terbaring di kamar hotel dengan guling di pelukannya, mendesah seperti kehabisan akal, dan nyaris… nyaris tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.Naudzubillah. Hanya mengingatnya saja sudah membuat Jasmine ingin
“Kamu…?”Kata itu lolos dari bibir Jasmine dalam bisikan tercekat. Kedua matanya membesar, bening dan terkejut, menatap tajam ke arah sosok pria berwajah tampan yang berdiri tepat di hadapannya. Pria berkulit putih bersih dengan rahang tegas, hidung mancung sempurna, serta sorot mata yang begitu dominan dan sulit diabaikan. Dan saat ini… pria itu dengan tanpa ragu memegang pergelangan tangannya yang terbungkus sarung tangan.“Iya. Aku Juan.” suara pria itu terdengar sangat yakin, bahkan sedikit memaksa. “Ayo. Sekarang juga kamu ikut sama aku.”Juan menarik tangan Jasmine tanpa memberi ruang bagi gadis itu untuk menolak.“Enggak! Aku nggak mau! Lepas! Jangan pegang-pegang aku! Kita bukan mahram!” Jasmine meronta, tubuhnya berusaha menjauh, namun genggaman Juan terlalu kuat untuk ia lepaskan.Pria itu seolah tak menghiraukan satu pun protesnya. Ia tetap menyeret tangan Jasmine, membuat gadis itu terpaksa melangkah mengikuti arah tarikannya. Percuma melawan—ia tahu tenaga seorang perempu
Jasmine tertegun beberapa detik. Suara di seberang telepon membuat ingatannya kembali pada pesan dari nomor asing yang masuk semalam. Ia mengerutkan kening, berusaha memastikan.“Juan… itu kamu?” tanyanya pelan, penuh keraguan. “Tapi maaf, aku nggak kenal. Ya sudah, assalamualaikum.”Jasmine hendak memutus sambungan telepon, tetapi suara pria itu kembali terdengar, cepat dan memotong kalimatnya.“Eh, tunggu dulu.” Nada Juan terdengar tegas, seolah tak mau diberi kesempatan untuk disela. “Aku Juan. Kita baru ketemu di hotel tadi malam. Aku nggak mau tahu, kamu harus ke kafe ABC siang ini. Aku tunggu di sana.”Belum sempat Jasmine bernapas, teleponnya sudah terputus. Juan mematikan sambungan secara sepihak.Jasmine terpaku di tempat, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak menyangka bahwa pria yang mengiriminya pesan semalam ternyata pria itu—pria yang ditemuinya di hotel yang sama, pria yang membuatnya malu bukan main.“Astaghfirullahaladzim… kenapa dia lagi sih?” gerutunya sam
“Jasmine, apa yang kamu lakukan, hah!?” suara Juan menggema di kamar, meluncur dari tenggorokan pria itu dalam nada terkejut sekaligus kesal.Tubuhnya terbangun dengan kasar dari ranjang begitu merasakan selimutnya ditarik paksa seolah seseorang sedang mencoba merebutnya. Sekilas, pikirannya langsung melayang pada kejadian di hotel tadi malam—saat gadis bercadar itu, Jasmine, spontan menarik selimutnya tanpa permisi dan membuatnya refleks bangun dalam keadaan linglung.“Jasmine? Siapa Jasmine?”Sebuah suara perempuan—yang sangat dikenalnya—membuat Juan tersentak lebar dan langsung membuka kedua matanya selebar mungkin. Itu suara Marina, mamanya.Dengan gerakan tergesa, Juan bangkit sambil mengucek matanya, mencoba memperjelas pandangan yang masih samar. Ketika matanya akhirnya fokus, ia melihat Marina berdiri di tepi ranjang sambil memegang selimut yang tadi ditariknya. Ekspresi wanita paruh baya itu menunjukkan kebingungan bercampur rasa ingin tahu.“Mama,” ucap Juan pelan, terdengar
“Ah, apa yang sebenarnya kupikirkan?”Juan menggerutu pada dirinya sendiri, terdengar sangat frustrasi. Ia mengusap wajahnya kasar, seakan ingin menegur pikirannya yang sedang melenceng jauh dari kewajaran.“Tidak, tidak! Ini gara-gara gadis bercadar itu. Pikiranmu sudah kacau, Juan. Apa-apaan sih aku ini?” Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan Jasmine yang terus menyelinap ke kepalanya tanpa izin.Bagi seorang pria yang terbiasa bermain dengan banyak wanita, memegang kendali dan pergi sesukanya, sungguh aneh ketika satu perempuan bercadar bisa mengusik ketenangannya. Rasanya seperti diserang dari arah yang tak pernah ia perhitungkan.“Gila saja kalau aku memikirkan gadis seperti itu. Tentu dia tidak akan pernah masuk ke hatiku.”Ia menarik bibirnya membentuk senyum sinis, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Jasmine tidak punya tempat dalam hidupnya.Namun senyum itu tampak jelas lahir dari paksaan, lebih seperti ia mencoba menenangkan diri daripada menyombongkan apa pun.
Netra indah dengan bulu mata lentik itu membesar lebih dari biasanya ketika Jasmine membaca pesan baru yang masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor tak dikenal—tanpa foto, tanpa status, tanpa sapaan. Hanya satu kalimat singkat yang mengajaknya bertemu di kafe ABC besok siang.“Nomor siapa ini? Juan? Siapa lagi Juan?” gumamnya pelan, alisnya berkerut, berusaha mengingat siapa pun yang mungkin memakai nama itu.Ia menatap layar ponselnya lama, seolah berharap nama yang tertera bisa menjelaskan dirinya sendiri.“Kenapa dia ngajak aku ketemu? Memangnya dia siapa? Nggak penting banget. Chat juga nggak sopan, nggak pakai salam. Mending aku hapus saja.”Dengan perasaan tak nyaman yang merayap, Jasmine benar-benar menghapus pesan dari pria bernama Juan itu. Ia menaruh ponsel di meja dengan gerakan kesal, lalu bangkit menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Beberapa menit kemudian, Jasmine sudah duduk di depan meja rias. Lampu kamar memantul lembut di cermin ketika ia mengenakan hij







