เข้าสู่ระบบMendengar kata-kata Juan barusan, Jasmine langsung tersentak dan membeku di tempat. Ucapannya tadi seperti menampar kesadarannya sendiri. Bagaimanapun juga, ucapan pria itu memang ada benarnya—berada di kamar tersebut hanya membuang waktu, apalagi jelas Juan tidak mengetahui apa pun tentang keberadaan Rosa. Hatinya terasa mencelos, namun ia mencoba menenangkan diri.
“Maaf karena aku sudah menuduhmu. Kalau begitu, aku akan segera pergi dari sini. Assalamualaikum,” ucap Jasmine akhirnya, suaranya melemah ketika ia memutuskan untuk beranjak pergi.
“Tunggu dulu! Kamu harus berjanji padaku, kalau kamu tidak akan mengatakan tentang hal ini kepada siapa pun.”
Juan berseru cepat, mencoba menghentikan langkah Jasmine. Ia tampak benar-benar panik, terutama membayangkan ada orang yang tahu bahwa dirinya barusan tertangkap basah sedang bergelung mesra dengan guling seperti pria kesepian.
Namun Jasmine hanya memutar bola matanya, jelas malas menanggapi. Terlebih lagi, pria itu bahkan tidak sudi menjawab salamnya barusan. Ia memilih untuk mengabaikan Juan sepenuhnya dan langsung melangkah keluar dari kamar hotel tersebut. Di dalam hatinya hanya ada satu hal: menemukan Rosa.
Begitu Jasmine menutup pintu, amarah Juan langsung meledak. Pria itu menggertakkan giginya dan meluapkan kekesalannya dengan menendang selimut dan menghempaskan bantal-bantal yang ada di atas ranjang.
“Dasar gadis sialan! Gara-gara dia, fantasiku dengan Naomi harus buyar. Shit!”
Ia mengumpat keras, lalu cepat-cepat menyambar tasnya di atas meja. Wajahnya memerah menahan malu dan marah.
Tanpa membuang waktu, Juan keluar dari kamar sebelum para paparazi yang selalu mengincarnya tiba-tiba bermunculan. Dia tahu betul bahwa satu foto saja bisa membuat namanya kembali menjadi headline.
Ia berjalan cepat menuju lift, langkahnya panjang dan terburu-buru. Sesampainya di depan lift, ia menekan tombolnya dengan kasar.
Tidak jauh dari sana, seorang pria berdiri sambil memperhatikan Juan dari kejauhan. Senyum miring yang licik tertarik di bibirnya. Di tangannya ada kamera yang sejak tadi ia gunakan untuk merekam sesuatu.
“Perfect. Kabar besar untuk seorang Juan Rayn Devandra.”
Senyumnya melebar, penuh rasa puas, seperti seseorang yang baru saja mendapatkan jackpot.
—
Ceklek.
“Ma, Pa, aku pulang,” ucap Juan dengan suara berat, tampak jelas ia sedang kelelahan.
Ia melangkah masuk ke rumah dengan langkah yang tak bersemangat, seolah beban dunia ada di pundaknya. Tak lama kemudian, kedua orang tuanya muncul dari ruang keluarga dan berjalan menghampirinya.
“Juan! Darimana saja kamu?”
Marina, mamanya, langsung menghardik dengan nada tajam yang sangat khas.
“Ma, aku capek setelah seharian kerja. Aku mau istirahat,” jawab Juan sambil berjalan melewati mereka begitu saja.
“Tunggu dulu, Juan. Kamu harus menjelaskan semuanya sama mama kamu, karena sejak tadi dia sangat mengkhawatirkan keadaan kamu.”
Bayu, ayahnya, menepuk bahunya, membuat langkah Juan terhenti.
Dengan helaan napas panjang pasrah, Juan akhirnya mengangguk. Ia tahu ia tidak akan bisa kabur dari interogasi ini.
“Apa kamu sibuk bermain dengan para wanita-wanita itu lagi?”
Marina langsung bertanya begitu Juan berdiri di hadapannya.
“Ma, itu tidak ….”
“TIDAK apa, hah?”
Nada suara Marina meninggi, penuh kemarahan yang lama dipendam.
“Juan, seharusnya kamu itu bisa menjaga nama baik perusahaan dan keluarga kita. Sudah cukup kamu membuat kami malu dengan skandal yang selalu kamu ciptakan itu. Nih, lihat. Skandal kamu selalu masuk top trending.”
Dengan kesal, Marina menunjukkan layar ponselnya yang penuh foto-foto Juan bersama wanita-wanita seksi di berbagai momen. Foto-foto itu tidak asing lagi bagi Juan—ia sudah terlalu sering melihat dirinya masuk artikel gosip.
Ia hanya mendecak, mengingat betapa banyak orang yang mengincarnya, terutama ketika dirinya sedang berada di puncak karier. Semakin terkenal dia, semakin banyak pula pihak yang ingin menjatuhkannya.
“Ma, berita-berita itu nggak usah diambil hati. Mereka nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Mereka hanyalah orang-orang yang iri dengan kesuksesanku, dan mereka hanya ingin menjatuhkan aku saja, Ma,” kata Juan sambil mencoba menenangkan mamanya.
“Tapi, Juan. Kami bahkan mendapat berita terbaru, kalau kamu check in di hotel bersama seorang wanita bercadar. Kamu terlibat skandal dengan gadis bercadar itu. Apakah semuanya benar?”
Kali ini Bayu yang bertanya, namun nada suaranya tetap tenang dan datar.
Juan membelalakkan mata, terkejut bukan main. Ada yang merekam Jasmine? Dan sekarang berita itu sudah sampai ke keluarganya? Kepalanya memanas.
“Shit! Itu sama sekali nggak benar, Pa. Aku ….”
“Lalu kenapa gadis itu bisa berada dalam satu kamar yang sama dengan kamu? Katakan!”
Marina langsung memotong pembelaan Juan.
“Ma, itu ….”
“Juan, kami sangat terkejut karena kamu check in dengan gadis berpenampilan religius seperti dia. Tapi kami berharap kalau semua ini hanya salah paham. Papa sangat berharap kalau gadis itu adalah gadis baik-baik,” kata Bayu, mencoba menengahi.
“Semua itu memang salah paham, Pa,” sahut Juan cepat, ingin segera meluruskan keadaan sebelum imajinasinya makin liar.
“Kalau begitu, pertemukan kami dengan gadis bercadar itu. Kami sangat berharap kalau gadis seperti itu yang bisa menjadi calon istrimu, Juan.”
“Astaghfirullahaladzim…” bisik Jasmine dengan suara tercekat. Tubuhnya menegang seketika, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk dicerna.Gadis bercadar itu refleks berdiri dari duduknya. Langkahnya mundur beberapa kali, menciptakan jarak dari Marina—wanita paruh baya yang sejak tadi begitu ramah kepadanya, namun kini membuatnya terkejut setengah mati.“Ta–Tante… apa maksudnya semua ini?” suara Jasmine bergetar, matanya melebar penuh ketidakpercayaan. “Kenapa Tante bilang begitu? Kenapa Tante menyuruh saya menikah dengan anak Tante? Saya benar-benar tidak mengerti.”Kepalanya menggeleng pelan, seolah berharap semuanya hanya salah dengar.Apa salahnya hari ini sampai Allah mengujinya seperti ini? Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana Juan—si casanova—terbaring di kamar hotel dengan guling di pelukannya, mendesah seperti kehabisan akal, dan nyaris… nyaris tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.Naudzubillah. Hanya mengingatnya saja sudah membuat Jasmine ingin
“Kamu…?”Kata itu lolos dari bibir Jasmine dalam bisikan tercekat. Kedua matanya membesar, bening dan terkejut, menatap tajam ke arah sosok pria berwajah tampan yang berdiri tepat di hadapannya. Pria berkulit putih bersih dengan rahang tegas, hidung mancung sempurna, serta sorot mata yang begitu dominan dan sulit diabaikan. Dan saat ini… pria itu dengan tanpa ragu memegang pergelangan tangannya yang terbungkus sarung tangan.“Iya. Aku Juan.” suara pria itu terdengar sangat yakin, bahkan sedikit memaksa. “Ayo. Sekarang juga kamu ikut sama aku.”Juan menarik tangan Jasmine tanpa memberi ruang bagi gadis itu untuk menolak.“Enggak! Aku nggak mau! Lepas! Jangan pegang-pegang aku! Kita bukan mahram!” Jasmine meronta, tubuhnya berusaha menjauh, namun genggaman Juan terlalu kuat untuk ia lepaskan.Pria itu seolah tak menghiraukan satu pun protesnya. Ia tetap menyeret tangan Jasmine, membuat gadis itu terpaksa melangkah mengikuti arah tarikannya. Percuma melawan—ia tahu tenaga seorang perempu
Jasmine tertegun beberapa detik. Suara di seberang telepon membuat ingatannya kembali pada pesan dari nomor asing yang masuk semalam. Ia mengerutkan kening, berusaha memastikan.“Juan… itu kamu?” tanyanya pelan, penuh keraguan. “Tapi maaf, aku nggak kenal. Ya sudah, assalamualaikum.”Jasmine hendak memutus sambungan telepon, tetapi suara pria itu kembali terdengar, cepat dan memotong kalimatnya.“Eh, tunggu dulu.” Nada Juan terdengar tegas, seolah tak mau diberi kesempatan untuk disela. “Aku Juan. Kita baru ketemu di hotel tadi malam. Aku nggak mau tahu, kamu harus ke kafe ABC siang ini. Aku tunggu di sana.”Belum sempat Jasmine bernapas, teleponnya sudah terputus. Juan mematikan sambungan secara sepihak.Jasmine terpaku di tempat, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak menyangka bahwa pria yang mengiriminya pesan semalam ternyata pria itu—pria yang ditemuinya di hotel yang sama, pria yang membuatnya malu bukan main.“Astaghfirullahaladzim… kenapa dia lagi sih?” gerutunya sam
“Jasmine, apa yang kamu lakukan, hah!?” suara Juan menggema di kamar, meluncur dari tenggorokan pria itu dalam nada terkejut sekaligus kesal.Tubuhnya terbangun dengan kasar dari ranjang begitu merasakan selimutnya ditarik paksa seolah seseorang sedang mencoba merebutnya. Sekilas, pikirannya langsung melayang pada kejadian di hotel tadi malam—saat gadis bercadar itu, Jasmine, spontan menarik selimutnya tanpa permisi dan membuatnya refleks bangun dalam keadaan linglung.“Jasmine? Siapa Jasmine?”Sebuah suara perempuan—yang sangat dikenalnya—membuat Juan tersentak lebar dan langsung membuka kedua matanya selebar mungkin. Itu suara Marina, mamanya.Dengan gerakan tergesa, Juan bangkit sambil mengucek matanya, mencoba memperjelas pandangan yang masih samar. Ketika matanya akhirnya fokus, ia melihat Marina berdiri di tepi ranjang sambil memegang selimut yang tadi ditariknya. Ekspresi wanita paruh baya itu menunjukkan kebingungan bercampur rasa ingin tahu.“Mama,” ucap Juan pelan, terdengar
“Ah, apa yang sebenarnya kupikirkan?”Juan menggerutu pada dirinya sendiri, terdengar sangat frustrasi. Ia mengusap wajahnya kasar, seakan ingin menegur pikirannya yang sedang melenceng jauh dari kewajaran.“Tidak, tidak! Ini gara-gara gadis bercadar itu. Pikiranmu sudah kacau, Juan. Apa-apaan sih aku ini?” Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan Jasmine yang terus menyelinap ke kepalanya tanpa izin.Bagi seorang pria yang terbiasa bermain dengan banyak wanita, memegang kendali dan pergi sesukanya, sungguh aneh ketika satu perempuan bercadar bisa mengusik ketenangannya. Rasanya seperti diserang dari arah yang tak pernah ia perhitungkan.“Gila saja kalau aku memikirkan gadis seperti itu. Tentu dia tidak akan pernah masuk ke hatiku.”Ia menarik bibirnya membentuk senyum sinis, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Jasmine tidak punya tempat dalam hidupnya.Namun senyum itu tampak jelas lahir dari paksaan, lebih seperti ia mencoba menenangkan diri daripada menyombongkan apa pun.
Netra indah dengan bulu mata lentik itu membesar lebih dari biasanya ketika Jasmine membaca pesan baru yang masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor tak dikenal—tanpa foto, tanpa status, tanpa sapaan. Hanya satu kalimat singkat yang mengajaknya bertemu di kafe ABC besok siang.“Nomor siapa ini? Juan? Siapa lagi Juan?” gumamnya pelan, alisnya berkerut, berusaha mengingat siapa pun yang mungkin memakai nama itu.Ia menatap layar ponselnya lama, seolah berharap nama yang tertera bisa menjelaskan dirinya sendiri.“Kenapa dia ngajak aku ketemu? Memangnya dia siapa? Nggak penting banget. Chat juga nggak sopan, nggak pakai salam. Mending aku hapus saja.”Dengan perasaan tak nyaman yang merayap, Jasmine benar-benar menghapus pesan dari pria bernama Juan itu. Ia menaruh ponsel di meja dengan gerakan kesal, lalu bangkit menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Beberapa menit kemudian, Jasmine sudah duduk di depan meja rias. Lampu kamar memantul lembut di cermin ketika ia mengenakan hij







