Masuk"A-Apa, Pa? Papa serius?"
Mata Juan membesar, seolah seluruh dunia berhenti hanya karena satu kalimat dari ayahnya. Tubuhnya menegang, napasnya tersendat. Tanpa sadar, dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, kasar, seakan ingin menyingkirkan rasa frustasi yang menusuk dadanya.
Ucapannya barusan terlalu berat, terlalu absurd untuk dicerna di tengah pikirannya yang kacau.
"Papa tidak sedang bercanda, Juan. Papa ingin kamu menikahi gadis baik-baik seperti itu. Kamu pikir papa dan mama senang melihat kamu terus jadi petualang cinta begitu? Tidak, Juan. Sama sekali tidak."
Bayu menekankan setiap kata, suaranya tegas, seperti ayah yang sudah terlalu lama menyaksikan kesalahan yang sama dari putranya.
Juan tercekat. Ia berdiri kaku, menatap ayahnya kosong, seolah otaknya bekerja keras tapi tak menghasilkan apa pun. Ia hanya menggeleng pelan, berat, sebagai tanda jelas bahwa ia menolak.
“Maaf, Pa. Tapi aku benar-benar nggak bisa nuruti keinginan papa. Aku bahkan nggak kenal siapa gadis itu,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah namun sarat tekanan.
"Apa? Bagaimana mungkin kamu bilang nggak kenal, Juan? Kamu baru saja tidur dengan dia!"
Marina memotong dengan suara tinggi, matanya penuh emosi.
"Apa-apaan sih, Ma? Mana mungkin aku tidur sama gadis bercadar seperti itu! Astaga, serius, kalian percaya begitu saja?"
Juan menggeleng kuat-kuat, lalu menepuk keningnya sampai terdengar bunyinya.
“Tapi beritanya—”
"Udah, Ma." Juan langsung menyela, nada suaranya tegas. "Mama jangan percaya berita aneh yang bahkan nggak jelas sumbernya. Itu pasti cuma ulah oknum yang mau ambil untung."
Setelah itu ia langsung berbalik dan berjalan pergi.
"Juan! Tunggu! Mama masih mau tanya banyak hal!"
Marina berusaha meraih tangannya, tapi Juan sudah setengah berlari menaiki tangga.
“Huft, dasar anak bandel…” gerutunya, meski jelas sekali rasa khawatir menyelip di balik nada kesalnya.
Juan menapaki tangga dengan langkah cepat dan berat. Wajahnya mengeras, campuran marah, malu, dan frustasi. Sesampainya di depan kamar, ia mendorong pintu keras-keras.
Brakk!
Ia masuk, membanting pintu dan langsung menguncinya. Napasnya memburu. Dengan gerakan kasar, ia membuka kancing kemejanya satu per satu dan melemparnya ke keranjang pakaian kotor.
"Arrghh!"
Erangannya dalam, penuh luapan emosi yang tidak lagi bisa ia tahan.
Ia menjatuhkan diri ke kasur, namun kelembutannya pun tak mampu menenangkan pikirannya. Ia memejamkan mata, tapi bayangan kejadian siang itu terus berputar.
"Semuanya gara-gara gadis bercadar itu. Kalau saja dia nggak muncul di kamar hotel itu, semuanya nggak akan jadi seperti ini," geramnya, teringat bagaimana gadis itu masuk, menyingkap selimutnya, lalu melihatnya dalam keadaan menyedihkan.
Pipinya memanas saat mengingat dirinya memeluk guling, menyebut nama Naomi.
“Gila… Kalau saja dia nggak muncul, paparazi itu nggak akan dapat foto hoax itu. Papa juga nggak akan ngomong soal pernikahan. Huh! Aku paling benci denger kata itu.”
Ia menyandarkan kepala pada lengannya, menatap kosong ke langit-langit.
"Hmm… siapa sebenarnya gadis bercadar itu? Kenapa dia bisa nyari adiknya di kamar hotel? Keluarga religius kayak dia mana mungkin ada di tempat kayak gitu…"
Juan menggumam, alisnya berkerut. Rasa penasaran perlahan muncul, sesuatu yang jarang muncul dalam hidupnya.
Untuk pertama kalinya, seorang perempuan membuat Juan ingin tahu lebih.
Jarum jam di rumah Kyai Maulana menunjukkan pukul 21.30. Suasana rumah diliputi kecemasan. Kyai Maulana berjalan mondar-mandir, tasbihnya bergerak cepat di sela jemarinya. Bibirnya tak berhenti berdoa, berharap putrinya pulang dengan selamat.
Tiba-tiba terdengar suara salam dari arah gerbang.
"Assalamualaikum, Abi."
Langkah Kyai Maulana langsung terhenti. Ia menoleh cepat, dan begitu melihat Jasmine, matanya langsung membesar.
"Waalaikumsalam. Jasmine!"
Ia bergegas mendekat.
“Eh, Abi, pelan-pelan. Jangan sampai jatuh,” ujar Jasmine, suaranya lemah.
"Abi baik-baik saja."
Kyai Maulana mengangguk, tapi matanya langsung menyapu halaman, lalu kembali ke wajah putrinya.
"Loh, kamu pulang sendiri? Rosa mana?"
Nada suaranya langsung dipenuhi kecemasan.
Jasmine menunduk. Matanya berkaca-kaca.
"Abi… maaf," ujarnya lirih.
"Jasmine… bagaimana? Kamu ketemu Rosa?"
Suara Umi Khonitah terdengar dari dalam rumah. Wanita itu muncul dengan wajah pucat.
"Maaf, Umi… Jasmine belum menemukan Rosa."
Kata itu keluar pelan, namun cukup untuk membuat dunia sang ibu runtuh.
“Masya Allah! Rosa, kamu di mana? Huhu…”
Tangis Umi Khonitah pecah.
"Umi, jangan nangis di sini. Ayo masuk dulu, ya."
Jasmine memegangi bahu ibunya.
“Tapi Jasmine… adikmu—”
"Iya, Umi, Jasmine tahu. Jasmine juga sangat khawatir. Tapi Umi harus tenang dulu. Kalau nggak tenang, kita nggak bisa mikir jernih buat cari Rosa."
Meski wajahnya murung, suaranya mantap.
Umi akhirnya mengangguk. Jasmine membantu menuntunnya masuk. Setelah memastikan ibunya duduk, Jasmine hendak keluar.
"Umi duduk dulu ya. Jasmine mau masukin mobil dulu ke garasi."
Ia keluar sebentar, memarkir mobil, lalu kembali menuju rumah.
Namun sebelum sempat melangkah masuk, suara mobil terdengar dari depan gerbang. Cahaya lampu mobil menyorot pekarangan.
Alis Jasmine terangkat. Begitu pintu gerbang terbuka, ia membeku.
"Astaghfirullah… Rosa!"
Jasmine terbelalak melihat adiknya turun dari sebuah mobil mewah yang berhenti tepat di depan rumah.
“Astaghfirullahaladzim…” bisik Jasmine dengan suara tercekat. Tubuhnya menegang seketika, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk dicerna.Gadis bercadar itu refleks berdiri dari duduknya. Langkahnya mundur beberapa kali, menciptakan jarak dari Marina—wanita paruh baya yang sejak tadi begitu ramah kepadanya, namun kini membuatnya terkejut setengah mati.“Ta–Tante… apa maksudnya semua ini?” suara Jasmine bergetar, matanya melebar penuh ketidakpercayaan. “Kenapa Tante bilang begitu? Kenapa Tante menyuruh saya menikah dengan anak Tante? Saya benar-benar tidak mengerti.”Kepalanya menggeleng pelan, seolah berharap semuanya hanya salah dengar.Apa salahnya hari ini sampai Allah mengujinya seperti ini? Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana Juan—si casanova—terbaring di kamar hotel dengan guling di pelukannya, mendesah seperti kehabisan akal, dan nyaris… nyaris tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.Naudzubillah. Hanya mengingatnya saja sudah membuat Jasmine ingin
“Kamu…?”Kata itu lolos dari bibir Jasmine dalam bisikan tercekat. Kedua matanya membesar, bening dan terkejut, menatap tajam ke arah sosok pria berwajah tampan yang berdiri tepat di hadapannya. Pria berkulit putih bersih dengan rahang tegas, hidung mancung sempurna, serta sorot mata yang begitu dominan dan sulit diabaikan. Dan saat ini… pria itu dengan tanpa ragu memegang pergelangan tangannya yang terbungkus sarung tangan.“Iya. Aku Juan.” suara pria itu terdengar sangat yakin, bahkan sedikit memaksa. “Ayo. Sekarang juga kamu ikut sama aku.”Juan menarik tangan Jasmine tanpa memberi ruang bagi gadis itu untuk menolak.“Enggak! Aku nggak mau! Lepas! Jangan pegang-pegang aku! Kita bukan mahram!” Jasmine meronta, tubuhnya berusaha menjauh, namun genggaman Juan terlalu kuat untuk ia lepaskan.Pria itu seolah tak menghiraukan satu pun protesnya. Ia tetap menyeret tangan Jasmine, membuat gadis itu terpaksa melangkah mengikuti arah tarikannya. Percuma melawan—ia tahu tenaga seorang perempu
Jasmine tertegun beberapa detik. Suara di seberang telepon membuat ingatannya kembali pada pesan dari nomor asing yang masuk semalam. Ia mengerutkan kening, berusaha memastikan.“Juan… itu kamu?” tanyanya pelan, penuh keraguan. “Tapi maaf, aku nggak kenal. Ya sudah, assalamualaikum.”Jasmine hendak memutus sambungan telepon, tetapi suara pria itu kembali terdengar, cepat dan memotong kalimatnya.“Eh, tunggu dulu.” Nada Juan terdengar tegas, seolah tak mau diberi kesempatan untuk disela. “Aku Juan. Kita baru ketemu di hotel tadi malam. Aku nggak mau tahu, kamu harus ke kafe ABC siang ini. Aku tunggu di sana.”Belum sempat Jasmine bernapas, teleponnya sudah terputus. Juan mematikan sambungan secara sepihak.Jasmine terpaku di tempat, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak menyangka bahwa pria yang mengiriminya pesan semalam ternyata pria itu—pria yang ditemuinya di hotel yang sama, pria yang membuatnya malu bukan main.“Astaghfirullahaladzim… kenapa dia lagi sih?” gerutunya sam
“Jasmine, apa yang kamu lakukan, hah!?” suara Juan menggema di kamar, meluncur dari tenggorokan pria itu dalam nada terkejut sekaligus kesal.Tubuhnya terbangun dengan kasar dari ranjang begitu merasakan selimutnya ditarik paksa seolah seseorang sedang mencoba merebutnya. Sekilas, pikirannya langsung melayang pada kejadian di hotel tadi malam—saat gadis bercadar itu, Jasmine, spontan menarik selimutnya tanpa permisi dan membuatnya refleks bangun dalam keadaan linglung.“Jasmine? Siapa Jasmine?”Sebuah suara perempuan—yang sangat dikenalnya—membuat Juan tersentak lebar dan langsung membuka kedua matanya selebar mungkin. Itu suara Marina, mamanya.Dengan gerakan tergesa, Juan bangkit sambil mengucek matanya, mencoba memperjelas pandangan yang masih samar. Ketika matanya akhirnya fokus, ia melihat Marina berdiri di tepi ranjang sambil memegang selimut yang tadi ditariknya. Ekspresi wanita paruh baya itu menunjukkan kebingungan bercampur rasa ingin tahu.“Mama,” ucap Juan pelan, terdengar
“Ah, apa yang sebenarnya kupikirkan?”Juan menggerutu pada dirinya sendiri, terdengar sangat frustrasi. Ia mengusap wajahnya kasar, seakan ingin menegur pikirannya yang sedang melenceng jauh dari kewajaran.“Tidak, tidak! Ini gara-gara gadis bercadar itu. Pikiranmu sudah kacau, Juan. Apa-apaan sih aku ini?” Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan Jasmine yang terus menyelinap ke kepalanya tanpa izin.Bagi seorang pria yang terbiasa bermain dengan banyak wanita, memegang kendali dan pergi sesukanya, sungguh aneh ketika satu perempuan bercadar bisa mengusik ketenangannya. Rasanya seperti diserang dari arah yang tak pernah ia perhitungkan.“Gila saja kalau aku memikirkan gadis seperti itu. Tentu dia tidak akan pernah masuk ke hatiku.”Ia menarik bibirnya membentuk senyum sinis, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Jasmine tidak punya tempat dalam hidupnya.Namun senyum itu tampak jelas lahir dari paksaan, lebih seperti ia mencoba menenangkan diri daripada menyombongkan apa pun.
Netra indah dengan bulu mata lentik itu membesar lebih dari biasanya ketika Jasmine membaca pesan baru yang masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor tak dikenal—tanpa foto, tanpa status, tanpa sapaan. Hanya satu kalimat singkat yang mengajaknya bertemu di kafe ABC besok siang.“Nomor siapa ini? Juan? Siapa lagi Juan?” gumamnya pelan, alisnya berkerut, berusaha mengingat siapa pun yang mungkin memakai nama itu.Ia menatap layar ponselnya lama, seolah berharap nama yang tertera bisa menjelaskan dirinya sendiri.“Kenapa dia ngajak aku ketemu? Memangnya dia siapa? Nggak penting banget. Chat juga nggak sopan, nggak pakai salam. Mending aku hapus saja.”Dengan perasaan tak nyaman yang merayap, Jasmine benar-benar menghapus pesan dari pria bernama Juan itu. Ia menaruh ponsel di meja dengan gerakan kesal, lalu bangkit menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Beberapa menit kemudian, Jasmine sudah duduk di depan meja rias. Lampu kamar memantul lembut di cermin ketika ia mengenakan hij







