Share

3. Cobaan Hidup

Apa yang terjadi di masa depan memang tidak bisa diprediksi. Sebagai manusia, kita hanya perlu menjalaninya dan melewatinya dengan baik tanpa ada kesalahan. Kesalahan hanya akan berakhir sebagai penyesalan. Jika itu sudah terjadi maka manusia hanya bisa berserah diri menanti keajaiban lainnya di masa depan.

Namun apakah Cia bisa mengharap keajaiban dalam kondisi seperti ini?

Hanya membutuhkan waktu dua hari tetapi sudah banyak kejadian yang membuat hatinya nyeri. Mulai dari korban nafsu Pak Bonang, kecelakaan maut yang membuat tabungannya terkuras, pemecatan secara sepihak, lalu seperti belum lengkap, kesialannya ditambah dengan pengusiran paksa yang dilakukan ibu kos. Bukan karena Cia belum membayar uang sewa. Melainkan ia menolak keras harga sewa yang naik secara mendadak. Oleh karena itu ibu kos memintanya keluar jika tidak mematuhi peraturan baru. Bukan bermaksud tidak patuh, hanya saja uang Cia benar-benar habis saat ini untuk biaya rumah sakit.

Lalu apa yang harus ia lakukan sekarang?

Sepulang dari rumah sakit, Cia sudah membayangkan kasur empuknya yang sangat nyaman. Namun pada kenyataannya dia malah berakhir di sebuah kursi halte yang dingin. Malam sudah semakin larut, tetapi Cia seperti orang bodoh berada di pinggir jalan dengan dua koper di tangannya.

Ke mana dia akan pergi sekarang? Cia tidak memiliki siapapun di sini.

"Febi," gumam Cia saat teringat dengan sahabatnya.

Benar, tidak ada pilihan lain. Dia akan meminta bantuan sahabatnya itu. Cia akan membuang semua rasa malunya. Jika Febi melihatnya seperti ini, gadis itu pasti akan marah karena tidak menghubunginya langsung dan tak menganggapnya ada.

***

Cia menunggu di lobi apartemen dengan gelisah. Dia menggigit bibirnya untuk mengurangi rasa segan. Febi adalah jalan keluar terakhirnya. Jika gadis itu tidak bisa membantu maka dengan terpaksa Cia akan pulang kampung dan ikut berkebun bersama ibu dan neneknya.

Namun bagaimana nasib pria yang masih belum tak sadarkan diri di rumah sakit itu?

Cia mengerang dan mengacak rambutnya frustrasi. Dia sangat ingin menangis saat ini. Namun menangis di tempat umun seperti ini bukanlah jawaban.

"Cia!" Suara melengking itu membuat Cia menoleh.

Dari jauh, seorang gadis yang terlihat menggemaskan dengan baju tidur berwarna merah muda, bando merah muda, serta masker kecantikan yang menutupi wajahnya berlari mendekat.

Melihat kedatangan Febi, Cia tidak bisa menahan diri lagi. Dia langsung memeluk sahabatnya itu dan tangisnya pun pecah. Cia memang belum bercerita apapun pada Febi. Dia hanya tidak mau gadis itu ikut pusing memikirkan masalahnya. Jika ia bercerita, sudah dipastikan Febi akan membantunya.

"Lo kenapa?" tanya Febi melihat Cia yang datang dengan dua koper.

"Gu—gue... gu—gue..."

"Ssstt.. oke, lo tenang. Kita ke tempat gue dulu. Ayo." Febi dengan cepat membantu Cia untuk membawa barang-barangnya.

Melihat Cia yang menangis seperti ini membuat hati Febi sakit. Pasti ini adalah puncaknya. Entah apa masalah yang Cia hadapi, tetapi Febi yakin jika itu sudah melewati batas kesabaran sahabatnya. Cia tidak pernah menangisi kehidupannya. Terakhir ia menangis itu di saat melihat kucing yang mati karena tertabrak mobil.

Sesampainya di unit apartemennya, Febi dengan sigap mengambil air putih. Dia memberikannya pada Cia dan mengelus bahunya pelan.

"Sekarang lo cerita ada apa?"

***

Tengah malam sudah hadir tanpa terasa. Memaksa semua orang menghentikan aktivitasnya untuk segera beristirahat. Namun itu tidak berlaku untuk seorang pria yang masih betah berada di ruang kerjanya. Kaca mata baca yang ia gunakan seolah menambah kesan serius pada pria itu.

Dengan ditemani kopi hitam, Agam akan terjaga lebih lama malam ini. Dia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda agar besok pekerjaannya tidak menumpuk. Sebenarnya Agam tidak selalu sibuk seperti ini. Biasanya ada Dika yang membantu meringankan pekerjaannya. Namun sayangnya pria itu tengah terbaring lemah di rumah sakit. Bahkan masih belum sadar hingga saat ini. Ingatkan Agam untuk kembali melihat kondisi pria itu besok.

Agam melepas kaca matanya dan mulai bersandar. Dia menghela napas kasar sambil memijat pangkal hidungnya. Sekarang dia sadar jika Dika memiliki peran yang sangat penting dalam pekerjaannya. Tanpa sekretarisnya itu, Agam benar-benar kesulitan. Begitu banyak pekerjaan yang Dika lakukan untuknya. Anehnya Agam tidak pernah mendengar pria itu mengeluh. Berbeda dengan dirinya yang baru satu hari tanpa Dika tetapi sudah berdecak puluhan kali.

"Kayaknya gue butuh pengganti Dika untuk sementara," gumam Agam mulai memejamkan mata.

Dia akan tidur selama beberapa menit sebelum menyelesaikan semua pekerjaannya. Sepertinya Agam akan menginap di kantor malam ini. Bisa saja dia mengerjakan pekerjaannya di rumah. Namun dia tidak mau terlena dan membuatnya lebih memilih untuk berleha-leha. Pekerjaannya sangat penting dan harus segera diselesaikan.

***

Seperti dugaannya, Febi benar-benar marah mendengar cerita Cia. Bahkan masker di wajahnya sudah retak tak berbentuk. Tangannya terkepal dan memukul udara dengan kesal. Membayangkan jika ia tengah memukul burung Pak Bonang saat ini. Ah tidak, Febi bahkan jijik untuk menyentuh pria itu.

"Fix, bos lo dipelet sama Beruk Bonang. Gue yakin minumnya dikasih bulu ketek," celetuk Febi.

Cia sedikit tersenyum mendengar itu. Tangisnya sudah reda tetapi mata bengkak akan selalu ada. Memang tak salah jika ia menjadikan Febi sebagai tempatnya bersandar. Gadis itu benar-benar menerimanya dengan tangan terbuka.

"Lo harusnya lapor polisi."

"Nggak ada bukti, Feb. Gue nggak lapor polisi aja bisa dipecat, apalagi lapor polisi? Apa nggak dibikin gila hidup gue sama si Beruk nanti?"

"Lagian bos lo juga bego, ih. Nyebelin banget. Masa nggak bisa liat yang bener siapa? Padahal udah jelas-jelas wajah Pak Bonang itu wajah-wajah penjahat kelamin, mesum abis!"

"Biarin, lah. Biar dia kena batunya sendiri nanti." Cia hanya bisa pasrah. Yang ia pikirkan saat ini adalah bagaimana ia akan bertahan hidup. Itu yang terpenting.

"Jadi rencana lo gimana?"

Cia menatap Febi dengan wajah memelasnya. "Gue akan cari kerja buat bayar sisa biaya rumah sakit, tapi selama gue belum dapet kerja, gue mau minta tolong sama lo."

"Apa itu?" Febi berbisik penasaran.

"Tampung gue."

Bukannya kesal, Febi malah berteriak senang. Dia bertepuk tangan heboh dan memeluk Cia erat.

"Akhirnya kita tinggal berdua! Gue seneng banget!"

"Cuma sampai gue dapet kerja, Febi."

Febi berdecak dan melepas pelukannya. "Selamanya juga nggak apa-apa, kok."

Cia mencibir, "Mau sampe nenek-nenek?"

Anehnya Febi mengangguk setuju. "Boleh juga. Sampai kita jalannya pake tongkat," kekehnya geli.

"Orang gila!"

"Oke, kita harus rayain hari bahagia ini. Lo mau ngapain sekarang? Main PS? Karokean? Atau apa?"

Cia menatap Febi tidak percaya. "Feb, gue abis bangkrut, Feb. Hari bahagia apa yang lo maksud?"

Kadang tingkah Febi membuatnya geleng-geleng kepala. Apa semua anak bungsu kaya raya memang seperti ini?

"Ah elah, biaya rumah sakit gampang, lah. Biar gue bayarin dulu."

Cia dengan cepat menggeleng. "Awas aja kalau lo bayarin!"

"Dih, orang aneh. Lo itu dibantu, malah ngamuk." Febi memutar matanya jengah.

"Bantu yang lain aja." Cia mulai menatap Febi penuh harap.

"Apa itu, sahabat?"

"Info loker, dong?" Cia bertanya dengan cengiran lebarnya.

Dia sedang tidak bercanda. Cia benar-benar membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup. Meski Febi menyayanginya dan rela melakukan apapun, tetapi Cia tidak mau menjadi benalu untuk hidup gadis itu. Sebisa mungkin dia akan mencoba berdiri dengan kakinya sendiri.

Meskipun harus dengan menangis

***

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status