Share

4. Pertemuan Tak Terduga

Di meja kerjanya, Febi sudah siap dengan berkas-berkas penting yang akan ia bawa. Dia akan mengikuti rapat penting di hotel bersama rekan kerjanya nanti. Dia melirik jam tangannya sebentar untuk memastikan waktu. Masih ada beberapa menit untuk sekedar membuat kopi di pagi hari.

Belum sempat berdiri, Febi dikejutkan dengan satu cup es kopi yang tiba-tiba berada di depannya.

"Mau bikin kopi, kan?" tanya Ridho.

Febi menyeringai dan menerima kopi itu cepat. Dia dan kopi memang tidak bisa terpisahkan. Apalagi setelah ia mulai bekerja dua tahun yang lalu. Kopi sudah menjadi teman yang selalu ada di sisinya.

"Kok enak?" tanya Febi setelah merasakan kopi itu.

"Resep dari Mama gue."

"Ah, pantes."

"Btw, Pak Agam kenapa belum turun? Kita mau berangkat." Ridho melirik jam tangannya.

"Masa? Tumben belum turun?" Febi yang merasa aneh pun berniat menjemput Agam di ruangannya.

Tidak biasanya pria itu melupakan rapat penting seperti ini. Bahkan tak jarang Agam lebih dulu berangkat untuk menghargai waktu. Bisa dibilang jika Agam adalah pria yang sangat disiplin dan tak suka membuang-buang waktu untuk hal yang tidak penting.

Lantai ruangan Agam benar-benar sepi. Di lantai ini memang hanya ada ruang CEO dan ruang rapat. Namun semenjak Dika dirawat di rumah sakit, lantai ini semakin terlihat tidak berpenghuni.

Sambil meminum kopinya, Febi mengetuk pintu ruangan Agam. Suara sahutan pelan terdengar. Dengan segera Febi masuk hanya dengan memasukkan kepalanya.

"Kok belum siap-siap, Pak?"

Agam meliriknya bingung. "Siap-siap untuk?"

"Lah, kan kita ada rapat di Hotel Mutiara sama Pak Dandung."

Mendengar itu Agam memejamkan matanya erat. Dengan segera dia membuka kembali jadwal yang telah Dika buat satu minggu yang lalu. Benar saja, dia memang ada rapat pagi ini.

"Gue lupa," sahut Agam singkat dan mulai bersiap.

Febi masuk lalu menutup pintu rapat. "Lo nggak pulang, Kak?"

Agam hanya menggeleng. Jangankan pulang, untuk keluar dari ruangan saja dia tidak ada waktu. Bahkan pekerjaannya kemarin baru selesai pagi ini. Membuatnya hilang fokus dan lupa akan jadwalnya sendiri.

Jika seperti ini terus maka perkejaannya akan terbengkalai. Mengingat kondisi Dika yang cukup parah, sepertinya pria itu tidak akan pulih dalam waktu dekat. Tidak mungkin Agam tidak memberi waktu untuk masa pemulihan.

"Tapi lo tidur, kan?" tanya Febi lagi.

"Tidur," jawab Agam mulai mendekat. "Dua jam," lanjutnya.

Febi berdecak ngeri. "Bisa tipes lo."

"Cariin pengganti Dika untuk sementara," ujar Agam merebut kopi Febi dan berlalu keluar ruangan.

Febi mengikuti langkah Agam sambil berpikir. Lagi-lagi Agam memintanya melakukan pekerjaan yang bukan tanggung jawabnya. Namun satu detik kemudian Febi tersenyum. Seketika dia teringat dengan Cia yang tengah mencari pekerjaan saat ini.

"Gue ada," ucap Febi cepat.

"Suruh besok ke kantor."

"Oke, Bos!"

Febi masih tidak bisa menahan senyumnya. Kebetulan yang menguntungkan. Seperti kata pepatah, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.

***

Febi meringis melihat apa yang dilakukan Cia saat ini. Sahabatnya itu seperti tidak makan selama dua bulan. Namun Febi tidak menyalahkannya. Nafsu makan Cia meninggi juga bukan tanpa alasan. Selain karena memang lapar, Apa yang Cia alami akhir-akhir ini membuatnya stress.

"Mau makan punya gue?" tawar Febi.

"Lo nggak makan?"

"Kenyang liat lo makan."

"Oke," jawab Cia santai dan menarik piring Febi mendekat.

Dua porsi soto ayam untuk makan siang tidak berlebihan bagi Cia. Apalagi dia baru saja selesai berkeliling di beberapa kantor untuk memberikan lamaran kerjanya. Dia butuh tenaga lebih untuk kembali berkeliling setelah ini.

"Pelan-pelan, ih. Nggak gue ambil makanannya." Febi memberikan selembar tisu.

"Gue harus cepet. Ada interview bentar lagi."

Mata Febi membulat mendengar itu. Dengan cepat dia menarik map Cia yang berisi beberapa dokumen penting untuk melamar pekerjaan dan menyembunyikannya. Dia tidak akan membiarkan sahabatnya itu mendapatkan pekerjaan lain selain di kantornya. Dari dulu impian Febi masih sama, yaitu terus bersama Cia.

"Nggak boleh!"

"Lah, kenapa?"

"Lo nggak perlu cari kerja lagi. Ada posisi kosong di kantor gue."

Cia terbatuk dan meminum es jeruknya cepat. "Lo serius? Posisi apa?"

"Sekretaris." Febi menaik-turunkan alisnya.

Bahu Cia merosot mendengar itu. "Gue nggak ada pengalaman di bidang itu."

"Nggak perlu khawatir." Febi mengibaskan tangannya. "Gue udah bilang ke atasan gue. Besok lo bisa langsung ke kantor."

"Lo serius?" Cia benar-benar terkejut. Dia tahu jika Febi adalah anak orang kaya yang memiliki banyak jalur khusus, tetapi ia tidak menyangka jika akan secepat ini.

Febi mengangguk senang. Melihat respon Cia yang juga sama, sepertinya rencananya akan berjalan lancar kali ini. Akhirnya dia bisa bekerja dengan sahabatnya seperti impiannya.

"Gue jadi sekretarisnya siapa nanti?"

"Pak Bos," jawab Febi sambil menggigit bibirnya, khawatir akan respon Cia.

"Bokap lo? Oke, deh. Udah lama nggak ketemu." Cia terkekeh.

Mau tidak mau Febi juga ikut terkekeh. Jika saja Cia tahu yang sebenarnya mungkin persahabatan mereka akan putus detik ini juga. Febi memilih untuk memendamnya. Dia akan menyerahkan semuanya pada takdir besok. Setidaknya dia sudah melakukan yang terbaik untuk membantu Cia.

"Biar makan siang ini gue yang traktir," ujar Cia.

"Traktir gimana? Orang lo sendiri yang makan."

Cia tertawa geli melihat tingkahnya sendiri. Akhirnya dia bisa kembali tertawa setelah lelah menangis, menangisi masalah yang ia hadapi akhir-akhir ini.

"Mang! Soto ayamnya satu lagi." Cia kembali memesan soto, kali ini untuk Febi.

Dering ponsel tiba-tiba terdengar. Cia melirik ponselnya sebentar dan terkejut melihat siapa yang menghubunginya. Dengan cepat dia mengangkatnya dan mendengarkan dengan seksama. Febi yang penasaran pun mulai mendekat. Dia ikut menguping pembicaraan sahabatnya yang tiba-tiba berubah ekspresi.

"Gue harus ke rumah sakit. Lo bayar makanannya dulu, nanti malem gue ganti." Cia mencium pipi Febi cepat dan berlari pergi.

"Cia! Katanya lo mau traktir gue?!"

***

Cia turun dari motor ojek online pesanannya dengan tergesa. Dia baru saja mendapat kabar mengejutkan dari rumah sakit. Bukan karena kondisi pasien yang menjadi tanggung jawabnya melemah, melainkan sebaliknya, pria itu sudah sadar. Tak henti Cia mengucapkan syukur selama perjalanan. Bahkan dia sempat menangis karena terharu. Dalam satu hari sudah ada dua kebahagiaan yang menghampirinya.

Benar, Tuhan itu memang baik.

"Permisi," ucap Cia berlari membelah kerumunan. Lift adalah tujuannya.

"Tunggu, jangan ditutup dulu!" ucap Cia sedikit keras saat lift di hadapannya hampir tertutup.

Namun usaha Cia tidak berhasil kali ini. Pintu lift tetap tertutup saat ia sudah berada di depannya. Dia berlutut dengan napas terengah. Apa dia harus menggunakan tangga?

Berbeda dengan Cia yang tampak bersemangat, seorang pria yang berada di dalam lift tadi justru terdiam karena terkejut. Meskipun hanya sebentar dan sekilas, tetapi ia yakin tidak salah lihat. Setelah bertahun-tahun, gadis itu kembali muncul di hadapannya.

"Cia," gumam Agam pelan.

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status