Share

Sebuah Dendam Yang Membara

Pagi ini, sinar matahari menyeruak memasuki celah jendela kamar, membuat Marvin mengerjap ngerjapkan matanya.

Jam menunjukan pukul 08.30, membuat Marvin terbelalak dan seketika beranjak, berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap hendak pergi ke kantornya.

Beberapa menit kemudian, setelah kini penampilannya rapi kembali, Marvin pun berjalan keluar. Tanpa menyapa semuanya, Marvin melintas dengan langkah cepat.

"Marvin, ngga sarapan dulu, nak?" Tanya Sukma memperhatikan laki laki yang sudah berpenampilan kantoran itu terus melangkah.

"Ngga sempet, Bu. Aku kesiangan," jawab Marvin yang terus melangkah.

Tanpa berpamitan, Marvin pun melajukan mobilnya menuju PT Vincell konstruksi.

Sementara Ginda yang kini tertunduk, kehilangan selera makannya, perkara sikap sang suami yang acuh tak acuh pagi ini.

Makanan dalam piringnya hanya dibolak balik dengan tak semangat, pandangannya lurus ke depan tanpa penglihatan, memikirkan betapa tak berharganya ia dimata Marvin.

Untuk menghibur hatinya yang sedang gundah, Ginda pun meraih sebuah pensil dan kertas, ia menggambar pola sebuah gaun, mengingat masa dimana saat ia berkuliah.

Rasa rindu yang kini menghampiri, namun kini Ginda tak dapat lagi merasakannya, karena pihak kampus telah mencabut beasiswa itu karena kesehatan Ginda menjadi satu alasannya.

Sementara Sukma yang kini melangkah mendekati Ginda, pandangannya tak berkedip memperhatikan lukisan indah yang tidak lain adalah hasil coretan tangan Ginda.

Meski tanpa penglihatan namun Ginda mampu melakukannya dengan hati, hingga menciptakan karya yang terlihat sangat cantik, tak salah jika Ginda selalu bercita cita untuk menjadi designer ternama, karena memang bakat yang sejak kini mulai terlihat.

"Wah, gambarmu bagus sekali, Nda," ucap Sukma yang membuat gerak tangan Ginda seketika terhenti.

"Ibu, Ibu disini?"

"Iya, Ibu lagi merhatiin kamu gambar, dan gambaran kamu itu bagus sekali, Nak," jawab Sukma yang membuat Ginda tersenyum.

"Terimakasih, Bu. Cuma dengan cara ini Bu aku bisa terus belajar," ucap Ginda yang kini tertunduk lemah.

Membuat Sukma meraih bahunya dan kemudian terduduk didekatnya.

"Nda, bukankah dulu kamu berkuliah?"

"Iya, Bu. Itu dulu. Sekarang udah ngga."

Semangatnya seketika menghilang, kala Ginda teringat masa itu, masa dimana yang membuatnya giat belajar. Perlahan Ginda pun menceritakan yang terjadi setelah kecelakaan itu menimpanya.

Di dalam ruangan ber AC, Ginda yang sedang duduk berhadapan dengan seorang dosen wanita.

"Maaf Ginda, dengan berat hati saya sampaikan, untuk sementara ini pihak kampus harus menarik beasiswamu, hingga kamu pulih dan bisa melihat kembali."

Deg!

Nafas Ginda seakan terhenti dan jantung yang berdegup kencang setelah mendengar pernyataan yang baru saja diucapkan seorang dosen tersebut.

Kini ia tak dapat lagi berpikir, ia tahu apa yang membuat beasiswanya dicabut oleh pihak universitas, apa lagi kalau buka karena kebutaannya? Dan setelah ini apakah mimpinya harus benar benar terlupakan?

"Tapi, Bu. Saya masih bisa berusaha, saya masih sanggup meneruskan waktu belajar saya, meskipun mata saya tidak bisa melihat lagi, tapi saya punya mata hati, Bu. Saya yakin saya pasti bisa."

"Ginda, beasiswa ini tidak akan hilang. Kamu tenang saja! nanti jika kamu sudah dapat melihat lagi, kamu bisa kembali ke kampus ini untuk meneruskan beasiswamu. Tapi untuk sekarang, tolong fokus dengan kesehatanmu dulu ya."

Sia sia! semua yang sudah ia dapat rasanya percuma. Cita cita yang dibangun sejak dulu, seketika terabaikan, karena nasib malang yang membuat Ginda harus keluar dari universitas tercinta.

Tiga tahun bergabung dalam jurusan Fashion Design atau tata busana, disalah satu universitas ternama di kota Jakarta, menjadi kebanggaan tersendiri untuk Ginda, banyak sekali pelajaran yang ia dapat disana.

Untuk meraih cita cita serta pilihan hidupnya, untuk menjadi seorang designer ternama. Namun semua mimpi seketika musnah sudah, setelah Ginda kini kehilangan penglihatannya.

Air mata itu mengalir deras, karena rasa hati yang terasa sesak penuh dengan kegundahan, sementara rasa penyesalan serta kekesalan kini menghampirinya. Bertubi tubi permasalahan yang datang rasanya membuat Ginda melemah.

"Dan sekarang, aku ngga bisa berbuat apa apa lagi Bu, cita cita yang selama ini ingin sekali aku gapai, seketika tersisihkan," ucap Ginda dengan mata memerah.

Sementara Sukma yang matanya pun meremang mendengar semua cerita itu, perasaan bersalah seakan menghampirinya saat ini.

"Ternyata semenderita ini hidupmu, Nda?" batin Sukma dengan air mata yang menetes dengan sekali berkedip.

Kembali Sukma meraih bahu Ginda, merengkuhnya dan mencoba menenangkannya.

"Sabar ya, nak. Ibu yakin akan ada kebahagian di balik penderitaan kamu ini."

"Amin. Terimakasih, Bu."

Sejenak terdiam, dan Ginda yang kembali meneruskan gerak tangannya, sampai kini Sukma kembali melontarkan sebuah pertanyaan.

"Ginda, kalau Ibu boleh tau, apa kamu tau siapa pelaku dibalik tabrak lari itu?" tanya Sukma dengan pandangan mata mengintimidasi.

Berharap jawaban Ginda sesuai dengan harapannya, dan ternyata pertanyaan itu membuat Ginda menggelengkan kepala.

"Aku ngga tau, Bu."

Ginda tak pernah tahu siapa laki laki yang berada di dalam mobil itu, namun Ginda hafal dengan plat nomor polisi mobil tersebut.

Sebelum kepergian sang Ayah, ia menyampaikan susunan huruf dan angka yang tertempel pada bagian belakang mobil mewah tersebut, dan ia pun berkata jika pelaku tabrak lari tersebut adalah seorang laki laki.

"Ayah pernah bilang begitu, Bu. Mobil mercy berwarna hitam, yang dikendarai seorang laki laki muda, aku yakin dia orang kaya, tapi kenapa dia tak mau bertanggung jawab? Sekarang semuanya hancur karena dia, Bu. Ayah meninggal juga karena dia. Aku berjanji akan mencarinya sampai mana pun, karena dia harus tetap bertanggung jawab atas kesalahannya," tambah Ginda dengan air mata yang menetes.

Mendengar ucapan Ginda ekspresi Sukma seketika berubah, cemas dan panik. Entahlah, apa yang sedang dirahasiakan Sukma sebenarnya, mengapa ia seperti mengetahui sesuatu?

"Jadi Ginda tau nomor polisinya?" batin Sukma tak berkedip.

Sementara Marvin yang terdiam mendengar semua perbincangan itu, dari jarak yang tidak terlalu dekat. Sejenak tertegun namun ia tidak mengerti dengan siapa dan apa yang dimaksud Ginda.

Bahkan ia tak ingin tahu, dan tak berniat mencari tahu. Baginya permasalahan Ginda itu tidak penting, tak ingin lebih lama terdiam ditempat kini Marvin pun memutarkan tubuhnya dan berlalu.

"Nda, seandainya yang melakukan itu orang terdekat kamu, apa kamu masih tidak mau memaafkannya?" tanya Sukma yang membuat Ginda mengerutkan dahi.

"Maksud, Ibu?"

Belum menjawab tiba tiba terdengar suara azan maghrib yang telah berkumandang.

"Bu, udah azan maghrib. Aku masuk dulu ya, mau sholat."

"Oh i-iya sayang, silahkan!" ucap Sukma yang lalu membantu Ginda beranjak.

Langkah berhati hati Ginda dengan meraba, membuat Sukma tak berkedip hingga kini tubuhnya tak lagi tampak.

Kepanikan itu semakin terlihat diwajah Sukma, entah apa yang sebenarnya ia sembunyikan? pertanyaannya ini seolah ia ingin mencari tahu tentang kecelakaan yang menyebabkan Ginda buta.

Ginda yang hendak memasuki ruang kamar, tiba tiba teringat ponselnya tertinggal ditempat dimana ia duduk bersama Sukma.

Tak menunggu lama, kini Ginda pun memutar tubuhnya, kembali berjalan ketempat dimana Sukma berada.

"Yaampun bagaimana ini? ternyata Ginda mengetahui no polisi mobil itu, dan kalau sampai dia tau mobil itu milik siapa? apa yang akan terjadi selanjutnya?" gumam Sukma cemas.

Ekspresi panik tampak jelas diwajahnya, sebuah rahasia besar yang mungkin Sukma simpan. Apakah ada hubungannya dengan kecelakaan tragis yang membuat Ginda buta dan Ayahnya meninggal dunia?

Tiba tiba Sukma terkejut oleh sebuah suara benda yang terjatuh tak jauh darinya, dan tanpa menunggu lama ia langsung menoleh.

Dan ternyata dihadapannya ia dapati Ginda berdiri dengan raut wajah terkejut, yang membuat Sukma seketika terbelalak.

"Ginda, apakah kamu..."

Belum usai Sukma menyelesaikan ucapannya, Tiba tiba air mata Ginda menetes tepat di hadapan wanita itu.

BERSAMBUNG...

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Rifatul Mahmuda
makin penasaran aku
goodnovel comment avatar
Roro Halus
kan bener feelingku. Marvin kayaknya fix yang nabrak
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
jangan2 anaknya itu yang nabrak, lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status