Share

Bab 4

Setelah selesai bermain, Dyra diantar pulang sampai depan rumah, lalu Robin berpamitan. 

Dari kejauhan tampaklah halaman rumah yang dipenuhi dengan bunga, di depan rumah terdapat kursi bambu tua, dimana saat ini ayah Dyra sedang duduk bersantai dengan kain sampannya sambil menulis di atas buku. 

Kembali Dyra mengingat perkataan gurunya tentang kelanjutan studinya, Dyra ingin mencoba bertanya tentang pendapat ayahnya. Dyra mulai beranjak mendekati ayahnya lalu tetap berdiri disamping, namun tidak ada sepatah kata dari ayahnya.

Dyra ingin mengatakan sesuatu. "Ayah. Dyra mendapat nilai teratas." Dyra menunjukkan sertifikat kelulusannya, tetap tidak ada respon dari ayahnya.

Lalu Dyra mencoba berkata lagi. " Bagaimana jika Dyra melanjutkan sekolah di kota," ucap Dyra. Meski ragu, tetap Dyra menyampaikan keinginannya.

Ketika mendengarnya, ayah Dyra meletakkan pulpennya, dan memperhatikan ke arah Dyra. Saat ingin mulai berkata, suara langkah kaki mendekat ke arah mereka, dia adalah ibu tiri Dyra yang saat ini datang dengan secangkir kopi.

"Sayang kamu sudah pulang." Memberi senyuman palsu. Namun Dyra tidak membalas senyuman itu, raut wajahnya tampak tidak suka sama sekali.

"Apa kamu tidak dengar, ibu sedang berbicara denganmu," ucap ayah Dyra.

"Iya. Aku sudah pulang. Terima kasih telah memperhatikanku." Dyra cemberut dan masih memegang ijazahnya.

"Pak. Ini kopinya, sudah hangat." Ibu tiri Dyra yang penuh dengan kelemah lembutan dalam ucapannya di depan ayahnya.

Setelah beberapa menit berlalu, Sarianti datang dengan riang, dia berlari ke arah ayah Dyra lalu merangkul tangan ayahnya itu.

"Ayah. Sarianti ingin kuliah, sudah aku putuskan menjadi wanita berkarir di kota." Sarianti bersikap manja, dia duduk di tengah ayah Dyra dan Ibu tirinya itu.

Dyra yang menatap itu sudah merasa muak, hatinya sakit melihat kedekatan itu. 

Ayah Dyra kini menjadi sangat bingung, karena keinginan Dyra dan Sarianti sama. Keduanya ingin melanjutkan kuliah di kota. Sedangkan keadaan ekonomi mereka sedang tidak stabil.

"Sebagai seorang gadis tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, nantinya juga akan menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak-anak di rumah." Ayah Dyra tidak menyetujui keinginan Dyra dan Sarianti.

Pemikiran orang tua di desa masih kuno, sekolah tinggi tidaklah terlalu penting. Begitulah pak Adamas menanggapi keinginan mereka.

Sarianti memikirkan cara agar dia bisa berkuliah, dengan merengek Sarianti menarik lengan ayah Dyra lalu berucap manja sambil mengatakan. "Ayah. Tolonglah, semua teman-temanku sekolah di kota. Bagaimana bisa hanya aku yang didesa. Aku malu ayah," ucap Sarianti dengan nada sedih.

Dyra masih terdiam, melihat tingkah manja Sarianti itu sungguh membuatnya kesal dan tidak bisa berkata-kata.

"Dyra juga ingin kuliah." Sekali lagi Dyra mengatakan keinginannya.

Ayah Dyra melihat ke arahnya. "Panen tahun ini kurang baik, ditambah lagi sekarang hasil panen tidak bisa dijual karena kapal kita rusak. Untuk modal bertani juga harus diperhatikan belum lagi upah para pekerja belum dibayarkan, adik kalian juga sebentar lagi akan masuk sekolah. Kalau kalian berdua mau kuliah, dimana ayah harus mencari uangnya." Ayah Dyra menjelaskan segala kesusahannya. Yang artinya permintaan mereka tidak bisa di kabulkan.

Setelah menjelaskan dengan panjang lebar, Pak Adamas berharap bahwa kedua putrinya itu bisa mengerti tentang keuangan yang tidak mencukupi. Istrinya atau Ibu tiri Dyra mengelus pundak suaminya itu dengan sangat lembut.

"Pak, kasihan mereka kalau kamu bicara begitu. Kalau kamu setuju aku memikirkan satu cara." Senyumnya manis.

"Apa itu," ucap ayah Dyra.

"Bagaimana kalau tahun ini kita mengirimkan Sarianti lebih dulu kuliah, setelah keuangan kita stabil, barulah Dyra juga bisa kuliah di kota." Bujuknya dengan lembut.

Setelah kembali berpikir, Adamas setuju dengan ucapan istrinya itu, dia memutuskan bahwa tahun ini Sarianti akan berkuliah lebih dulu. Mendengar itu Sarianti dan Ibunya sangat senang.

Hati Dyra terasa perih, selalu saja begini, Sarianti yang akan lebih dulu diutamakan dibandingkan dirinya. Dengan mata berkaca-kaca, Dyra menahan air matanya agar tidak menetes.

"Ayah, dibandingkan Sarianti, aku lebih pantas untuk lebih dulu kuliah, nilai juga memungkinkan untuk mendapatkan beasiswa," ucap Dyra.

"Apa kamu mengejekku karena nilaiku rendah," ucap Sarianti dengan penuh kemarahan.

"Tenanglah," bisik Ibunya kepada Sarianti. 

"Kenapa kamu marah, apa yang aku katakan adalah kenyataan," ucap Dyra.

Melihat Dyra memberontak, Ibu tirinya itu memikirkan cara. 

"Dyra. Kamu tahu bahwa Sarianti itu tidak terlalu pintar, jika dia tertinggal, maka dia akan lebih bodoh lagi, sedangkan kamu sangat pintar, meski tertinggal satu tahun, aku yakin kamu bisa." Ibu tiri Dyra mendekat dan menatap Dyra dengan senyuman manis.

"Diamlah!" Bentak Dyra. Lalu kembali berkata. "Dyra anak kandung ayah, mengapa ayah selalu lebih mementingkan Sarianti. Apa sekarang Dyra tidak ada artinya untuk ayah." Suara Dyra menjadi bergetar karena menahan kekecewaan.

"Dyra! Kamu sudah keterlaluan." Ayah Dyra memasang wajah garang.

Dyra yang sudah tidak tahan lagi, melanjutkan ucapannya bahwa Sarianti itu hanya anak tirinya, anak yang dibawa oleh Ibu tirinya, tidak ada hubungan darah.

"Kurang ajar! Dia ini Ibumu." Ayah Dyra menarik istrinya itu ke hadapan Dyra. "Lihat dia. Sekarang ini dia Ibumu." Tegasnya.

"Dia bukan Ibuku. Bagi Dyra, wanita ini bukan siapa-siapa, mereka ini hanya orang jalanan yang ayah tampung di rumah Ibuku." Dyra membantah ucapan Ayahnya.

Ayah Dyra menjadi sangat marah ketika mendengar perkataan Dyra. Dia memukul meja dengan sangat keras. Setelah itu meangkat jarinya dan mengarahkan pada Dyra.

"Sekali lagi aku mendengar itu, Ayah akan mengusirmu dari rumah ini. Ingat! Dia ini Ibumu," ucapnya dengan keras.

"Ibuku sudah meninggal, tidak ada yang bisa menggantikannya. Baik wanita ini atau wanita lain, mereka tidak akan pernah menjadi Ibuku." Dyra menegaskan bahwa Ibunya hanya satu dan tidak akan pernah bisa digantikan.

Ibu tiri Dyra mulai merasa geram, wajahnya penuh dengan kemarahan, dia menyeritkan dahinya, tangannya sudah terkepal hendak memukul Dyra, namun semuanya ditahan karena suaminya itu masih dirumah, jika saja suaminya itu tidak ada dirumah, sudah pastilah Dyra akan di siksa.

Sarianti juga merasa kesal, dia merasa dirinya dipermalukan oleh Dyra. Rasanya Dyra sudah ingin memberi pukulan.

"Hiks."

Ibu tiri Dyra mulai membuat aksinya, dia berpura-pura menangis, dan merasa hatinya tersakiti mendengar ucapan Dyara.

Sarianti mendekat dan mengusap punggung Ibunya itu. "Maafkan aku Ibu, gara-gara aku. Ibu dihina seperti ini oleh Dyra. Padahal Ibu sangat menyayanginya." 

Melihat sandiwara itu, Dyra sudah tidak tahan lagi, dia pergi meninggalkan mereka, dengan sangat kesal Dyra melangkah kearah kamarnya, kemudian dengan kuat membanting pintu kamar.

Dengan ekspresi marah, Ayah Dyra memanggil dengan suara keras. "Dyra! Berhenti disana! Minta maaf pada Ibu sekarang juga." Berteriak keras.

Dyra yang telah berada di kamar menutup kupingnya dengan kedua tangannya. Dyra bahkan lupa bahwa saat ini tubuhnya kediinginan karena baju yang dikenakan basah, dia berbaring sambil menarik nafas dengan dalam.

"Kapan kamu akan kembali, aku disini sudah sangat lama menunggu." Dyra berlirih rindu.

Percakapan diluar masih berlanjut, mereka yang bersandiwara masih saja terus menghasut Ayah Dyra.

"Selama ini Ibu selalu bersikap baik pada Dyra. Tetapi hari ini Dyra sudah sangat menyakiti hati Ibu. Aku sedih untuk Ibu." Sarianti berucap sedih sambil memperhatikan Ayah tirinya itu.

Adamas hanyut melihat kesedihan istrinya dan Sarianti. "Jangan menangis, aku yakin suatu hari nanti, Dyra akan mengakuimu sebagai Ibunya." Menenangkan istrinya.

"Aku juga merasa sedih saat ini, selama ini aku pikir Dyra sudah menerimaku sebagai saudara, tapi aku salah. Dyra hanya menganggap sebagai gelandangan yang Ayah tampung." Sarianti meneteskan air mata.

"Meski Dyra belum menerimamu, tapi Ayah sudah menganggap sebagai anak kandungku sendiri, cepat atau lambat Dyra juga akan menerimamu sebagai saudara," ucap Ayah Dyra.

Ayah Dyra dengan lembut menghibur mereka, setelah keadaan menjadi tenang, barulah Ayah Dyra membereskan barang-barangnya lalu pergi dari sana, dia melangkah masuk kedalam rumah.

Sedangkan Sarianti dan Ibunya tertawa tipis melihat pertengkaran anatara Dyra dan Ayahnya. Semakin Dyra tidak mengakui mereka, maka jarak antara Dyra dan Ayahnya akan semakin jauh.

"Siapa juga yang mau jadi saudaranya. Aku tidak sudi," ucap Sarianti.

"Anak itu tidak tahu bahwa sikapnya itu memberikan keuntungan bagi kita. Dyra akan diaanggap sebagai anak pembakang." Ibu tiri Dyra tersenyum puas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status