Suara langkah itu semakin mendekat ke arah Dyra, lalu suara berat memanggil.
"Dyra."Dyra menoleh. "Robin." Sautnya sembari menghapus air matanya."Aku mencarimu dari tadi, rupanya kamu disini.""Memangnya untuk apa kamu mencariku."Robin dengan senyuman mengajak rambut Dyra. "Apa kamu lupa bahwa hari ini kita akan kesekolah melihat kelulusan," oceh Dilan."Aku lupa. Tapi tidak masalah, sekarang aku sudah ingat. Ayo kita pergi." Dyra kembali memasang wajah ceria.Sekeras apapun Dyra menyembunyikan kesedihannya, Robin tahu bahwa Dyra sudah menghabiskan air matanya.Dyra dan Robin pergi mengunakan sepeda. Robin membonceng Dyra. Rasanya suasana pagi hari memang selalu indah untuk dinikmati.Setibanya di sekolah, seorang gadis melambaikan tangan meneriaki mereka. Dia adalah Ayunda teman Dyra, sekaligus sepupu Dyra."Kenapa kalian begitu lama, aku sudah menunggu sejak tadi." Ayu terus mengoceh sambil cemberut."Maaf, aku lupa hari ini kita kesekolah." Dyra memasang wajah penyeselan.Ayunda langsung berubah wajah. "Ahhh. Aku bercanda. Kalian sudah datang buat hatiku senang sekali." Merangkul Dyra.Robin yang masih memarkirkan sepedanya langsung bergegas menyusul. "Apa aku ketinggalan sesuatu, sepertinya pembicaraan kalian sangat seru.""Robin mau tahu aja, atau mau tahu banget." Canda Ayu mengoles wajah Robin.Mereka bertiga memang sangat akrab, sejak kecil mereka sudah berteman, mungkin karena sebaya, ketiganya selalu berada disekolah yang sama. Ayunda yang kerap dipanggil Ayu punya sifat ceria dan riang, kadangkala mengoceh tentang hal yang tidak penting, berbeda denga Robin yang selalu berhati-hati bicara, ibaratnya Robin itu laki-laki yang tidak bisa ditebak.Ketika Ayu terus menggoda Robin, tidak sengaja mereka menabrak seseorang."Dasar sialan! mata dipake!" Bentaknya keras.Gadis kasar itu bernama Sarianti. Dia itu saudara tiri Dyra, sifatnya pemarah dan suka dengki hati.Sarianti bersama teman-temannya mulai menyerang. "Wajah kalian itu selalu membuat kesal," ucap Sarianti sambil mendorong Ayu."Orang-orang udik ini menularkan hal buruk," kata salah satu teman Sarianti.Mereka mendorong Ayu agar segera menyingkir dari jalan mereka.Tentunya Ayu tidak terima begitu saja. "Beraninya kau menyentuhku," teriak Ayu marah.Ayu langsung menarik rambut Sarianti dengan sangat kuat."Auhh. Cewek sinting. Lepaskan!" Sarianti memegang tangan Ayu. Mencoba melepaskan diri tapi masih tidak berhasil.Robin dan Dyra mulai melerai mereka berdua. Pertengkaran mulai terjadi, temannya Sarianti menyerang Dyra. Lalu Robin sendiri sibuk memisahkan mereka semua. Suara teriakan terdengar sangat keras, semua orang memperhatikan mereka, orang yang disana berusaha menghentikan kekacauan itu."Kalian jangan ikut campur, biar aku bersihkan para kutu ini," ucap Ayu dalam kekesalan."Sudahlah. Kita sedang disekolah." Dyra menarik tangannya sendiri.Setelah bersusah payah, Robin akhirnya berhasil memisahkan mereka berdua. Ayu merapikan kembali rambutnya. Begitu juga dengan Dyra.Sedangkan Sari menggertakkan giginya. "Dyra, awas Lo." Ancamnya.Dyra menatap dengan sepele, dia tahu maksud dari Sarianti. "Kau itu selalu saja menyebalkan." Dyra menatap balik."Sari. Kami hanya tidak sengaja menabrakmu. Haruskah kau meributkannya," ucap Robin.Perkataan Robin membuat sarinti tidak bisa berkata lagi, akhirnya dia mengakhiri pertengkaran itu dan pergi bersama teman-temannya, selagi berjalan, Sarinti menabrakkan bahunya ke arah bahu Dyra.Ayu yang merasa kesal, ingin memulai kembali pertengkaran, tapi ditahan oleh Robin."Sudahlah, itu akan membuat Dyra dalam masalah," ucap Dilan.Dyra masih terdiam, menyangkut saudara tirinya itu membuat Dyra malas untuk berkata. Apapun itu pastinya hal buruk akan selalu datang jika dia melawan saudara tirinya itu.***Mereka telah masuk ke dalam kelas dan menerima kata sambutan dari guru. Dengan suara riuh kelas telah dipenuhi dengan siswaHari ini hanya anak kelas tiga yang datang ke sekolah tanpa seragam. Mereka menerima pengumuman tentang kelulusan. Dyra berada di peringkat teratas. Semua orang bertepuk tangan karena Dyra dipanggil ke depan."Sebagai gurumu, aku sangat bangga terhadap Dyra. Selamat atas kelulusanmu." Guru tersenyum lebar."Terima kasih Bu." Dyra menerima hasil ujiannya."Apa kamu tidak ingin kuliah, Ibu bisa mendaftarkan dan mengajukan beasiswa untukmu." Saran guru."Belum saya pikirkan Bu. Tapi kalau saya ingin kuliah, saya akan meminta bantuan Ibu," saut Dyra."Baiklah. Ibu tunggu."Dari sisi lain ada Sari yang tersenyum sumengeriah. "Kau pikir bisa kuliah. Lihat saja nanti apa nilaimu itu membantu."Setelah itu guru memberikan sertifikat kelulusan pada semua siswa. Setelah selesai dengan pertemuan itu, semua siswa kembali pulang.Dyra, Robin dan Ayu berjalan di koridor sekolah sambil memperhatikan nilai mereka.Ayu melihat nilainya. Tidak terlalu rendah atau juga tinggi. "Aku sudah tahu ini. Masih untung aku lulus."Robin sendiri melihat nilainya. Cukup bagus. Tapi langsung menutup. "Selanjutnya kalian ingin melakukan apa?" tanya Robin kepada Dyra dan Ayu."Aku tidak tahu. Ini membuatku bingung," saut Dyra lesu."Kalau aku pasti orang tuaku memintaku untuk melanjutkan kuliah perhotelan. Untuk melanjutkan bisnis keluarga."Keluarga Sari memiliki penginapan paling besar di pulau itu, keluarganya termasuk orang yang mampu. Karena itu masa depannya telah ditentukan dengan sangat jelas."Kalau Robin mau melakukan apa setelah kelulusan ini?" tanya Ayu."Aku tidak tahu. Yang jelas aku akan disini membantu orang tuaku untuk beternak," sautnya.Dyra diam sejenak, sepertinya semua orang sudah tahu tujuannya, sedangkan dia tidak punya keinginan apapun untuk saat ini."Hari ini aku tidak ingin cepat pulang. Mari kita bermain di tepi danau untuk sebentar saja," ajak Dyra."Ide yang bagus." Ayu langsung setuju.Mereka menuju ke tepi danau, Dyra dan Robin berboncengan, sedangkan Ayu mengikuti dari belakang dengan sepedanya."Mari kita berteriak. Mungkin kita tidak akan bisa seperti ini di lain waktu." Robin berteriak."Baiklah." Dyra menyahut."Aaaaa." Dyra berteriak keras sambil membentangkan tangannya di belakang Robin."Ayu cobalah. Ini sangat menyenangkan." Dyra menoleh kebelakang."Aaaaa." Mengikuti perkataan Dyra. "Wahhh. Ini sangat menyenangkan." Ayu terus berteriak sepanjang jalan.Di sepanjang jalan, mereka tertawa ria sambil berteriak melampiaskan isi hati mereka. Robin juga sesekali berteriak.Sesampainya di tepi danau, mereka langsung duduk berjejeran. "Yu. Kalau nanti kamu pergi dari desa. Jangan lupakan kami ya." Dyra menatap Ayu."Kita ini masih sepupu Dyra. Bagaimana bisa aku melupakanmu, orang yang paling aku rindukan di desa ini pasti hanya kamu." Rangkul Ayu."Masih ada aku. Jadi jangan khawatir." Robin menatap Dyra."Sekalipun, aku tidak ingin ditinggalkan oleh kalian." Dyra memainkan jarinya sambil menatap ke arah danau.Robin dan Ayu saling memandang, kehidupan Dyra sangat sulit karena tinggal bersama ibu tirinya, mereka tahu bahwa Dyra selalu mendapatkan perlakuan yang buruk."Dyra. Kenapa kamu tidak pergi saja bersamaku. Aku akan bicara pada Ibuku," ucap Ayu."Tidak bisa. Jika aku pergi dari sini, dan pada saat itu dia kembali. Dia tidak akan menemukanku," saut Dyra."Aku harap dia segera kembali, agar kamu tidak tersiksa seperti ini." Robin berbicara dengan serius."Aku tidak mengharapkan ini. Mari bersenang-senang untuk hari ini. Dan menenggelamkan diri kita." Dyra berdiri, kemudian beranjak ke arah danau.Dengan berjalan perlahan, Dyra masuk ke danau dan berenang, Robin dan Ayu segera menyusul. Mereka berenang sambil tertawa keras.Mereka telah menghabiskan waktu yang lama sebagai sahabat, mereka selalu bermain bersama di danau. Banyak sekali hal yang menyenangkan yang dilalui bersama di danau itu. Danau ini menjadi saksi bisu kisah persahabatan mereka.Hari-hari terakhir sebagai siswa dihabiskan dengan bermain dan berenang di tepi danau, tempat yang penuh dengan kenangan ini. Sebentar lagi masa-masa ini akan berakhir, kami akan memulai menjalani kehidupan kami masing-masing di tempat berbeda."Aoran."Aoran menyebutkan namanya sendiri. Mendengar Ardella memanggil namanya dengan langsung, Aoran sangat tidak suka.Ardella yang tengah terlentang di sofa dibawah tubuh Aoran yang kekar meronta-ronta, dia berusaha untuk terlepas dari genggaman Aoran.Ardella meronta hingga memukul dada bidang Aoran, tetap saja pukulan Ardella tidak membuat Aoran melepaskan dirinya. Semakin Ardella melawan semakin membuat Aoran bertambah agresif. Secepat kilat Aoran menggerakan mulutnya ke bibir Ardella.Dikejutkan dengan serangan Aoran, mata Ardella terbelalak lebar, mulutnya terbungkam oleh lidah Aoran. "Mum." Masih dalam keadaan berontak, Ardella mendorong Aoran.Aoran sama sekali tidak peduli dengan perlawanan Ardella, ciuman di bibir Aoran terasa kasar di mulut Ardella."Auh!" Seru Aoran menyentuh bibirnya. Ardella menggigit Aoran. Dengan tatapan acuh, Aoran kembali menyerang Ardella.Tidak hanya sampai disitu, satu persatu Aoran membuka kancing baju Ardella."Aoran! kau gila. Aku akan mel
Di tengah perjalanan menuju pulang. Aoran menyetir dengan cepat. Sepanjang jalan Aoran hanya memikirkan Ardella yang dibencinya.Ckitt.Tiba dirumah Aoran langsung melangkah masuk kedalam rumah."Kak Aoran." Panggil Anasya dari bawah tangga. Kebetulan Anasya yang belum tidur melihat Aoran melangkah dengan terburu-buru naik keatas lantai dua.Mendengar panggilan Anasya Aoran berbalik. "Kenapa belum tidur jam segini?" Aoran melirik jam tangannya."Aku terbangun karena haus kak." Anasya mendekat kearah Aoran. "Kak Aoran bau alkohol." Mencium bau alkohol, Anasya menutup hidungnya."Kembali lah tidur, kakak ingin istirahat juga," ucap Aoran tanpa melanjutkan pembicaraan lagi."Iya kak,” saut Anasya dengan lembut.Aoran masih dalam suasana hati marah, dia melemparkan dirinya ke atas tempat tidur. Dengan posisi tengkurap Aoran terbaring diatas kasur. "Ardella aku lelah, aku ingin berhenti. " Sangat melelahkan untuk membenci orang yang kita pernah cintai, seandainya bisa memilih Aoran lebih
Dengan memainkan gelas yang berisikan wine, Aoran melirik Ardella yang berdiri di depannya."Aku merasa bosan, berikan aku hiburan." Ucapnya meneguk minumannya."Hiburan. Siapa kamu yang mewajibkan aku menghiburmu. Sungguh menyebalkan. " Kata Ardella dalam hati."Maaf tuan, saya tidak bisa menghibur anda." Suara Ardella sungguh ramah dan manis didengar. "Kalau mau dihibur cari saja wanita seksi yang bisa menghiburmu." Gumamnya menyeret suaranya.Meski mendengar ucapan Ardella, tetap saja Aoran bersikeras mau dihibur. "Ayolah, kamu bisa menari, kalau tidak menyanyi untuk menghiburku." Saut Aoran meminta.Menari? aku tidak mau menari dihadapan cowok rese ini, sepertinya menyanyi lebih baik. Ardella membatin."Baiklah, aku akan menyanyi. Tapi kamu tidak boleh tertawa." Memastikan bahwa Aoran tidak akan tertawa. Bakat Ardella sangat terpancar jika menari, tapi menyanyi bisa dikatakan kurang memenuhi syarat."Ok." Senyum Aoran yakin.Ardella mengambil mikrofon yang ada di sudut meja, mikr
Flashback.Sebelum melihat dengan mata kepala sendiri, Aoran merasa tidak tenang, dia memastikan sendiri Ardella aman bekerja di bar."Apa ini barnya?" tanya Aoran pada Parto."Iya Bos," saut Parto yakin.Pupil mata Aoran mengerut ketika melihat ke arah bar. Alis matanya terangkat tajam menandakan hatinya dalam suasana suram.Parto yang berdiri di samping Aoran merasa merinding. Mungkin sebentar lagi akan ada kejadian buruk. Mengenal sifat Aoran dengan tempramental buruk, tanpa sadar dia menggelengkan kepalanya."Parto." Panggil Aoran dengan tatapan mematikan. "Apa maksudnya kamu menggelengkan kepala," tanya Aoran dengan suara bergetar."Aku yakin Bos, sebentar lagi akan ada kekacauan disini,” sautnya tanpa menyaring perkataannya. Parto tertawa menunjukkan giginya.Raut muka Aoran berubah menjadi mengkerut. "Berhentilah bercanda denganku, sebelum kurontokkan semua gigimu." Nada datar tapi bermakna dari suara berat Aoran."Maaf Bos." Secepatnya Parto merapatkan bibirnya.Pertama kali m
Pagi hari.Terdengar suara langkah ribut dari kejauhan.Srek.Edward naik ke atas kasur Ardella. Menatap tantenya masih tidur dia menggelengkan kepala."Tante bangun." Edward membangunkan Ardella, dengan tangan kecilnya di menggoyang-goyang tubuh Ardella yang masih tidur dibawah selimut.Akibat lembur dari semalaman kelopak mata Ardella masih berat, dia menarik tubuh Edward kepelukannya. "Sepuluh menit lagi. Tante masih mengantuk." Ardella masih memejamkan matanya dengan rapat.Edward membalas pelukan Ardella, dengan tenang dia menunggu tantenya untuk bangun. "Ok. Waktunya bangun." Ardella menendang selimutnya, ketika membuka matanya terbuka lebar dia melihat tatapan Edward yang sangat menggemaskan."Aduhh, keponakan tante yang satu ini." Ardella mencium pipi Edward dengan gemes. "Ayo, bangun,” ucap Ardella ketika masih melihat Edward berbaring dengan santai di atas kasurnya."Huh, beratnya. " Menggendong Edward di pangkuannya."Aku tidak suka tante pulang malam." Kata Edward menunj
Malam hari.Ketika tiba dirumah Ardella disambut oleh kakak iparnya. Dengan wajah tersenyum Lisa menghampiri Ardella. "Dek, suruhan Aoran datang lagi." "Apalagi yang diinginkan cowok bre*ngsek itu." Gumamnya pelan. Ardella mengitari tubuh Lisa."Ada apa dek?" tanya Lisa ketika melihat Ardella membalikkan tubuhnya."Untung kakak ipar baik-baik saja, aku hanya takut mereka melukai kakak ipar." Suara lega terdengar dari hembusan nafas Ardella.Teringat dengan amplop yang diberikan oleh Parto. "Orang itu juga menitipkan ini." Amplop yang masih berada diatas meja diserahkan pada Ardella.Tidak lama kemudian Lisa juga membahas masalah kontrak rumah yang ditawarkan oleh Parto. Penjelasan Lisa sangat panjang dan detail."Sungguh kak." Terkejut mendengar penjelasan kakak iparnya."Iya dek, bahkan surat kontraknya sudah dibuat." Lisa menunjukkan isi kontrak pada Ardella.Membaca isi surat kontrak sepertinya tidak ada masalah, Ardella juga memikirkan betapa rumitnya mereka harus berkemas dan
Mencari pekerjaan di kota metropolitan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Berjalan kesana kemari untuk mencari kerja tapi masih saja belum mendapatkan pekerjaan. Rasa frustasi sedikit tersirat di benak Ardella yang sedang mencari pekerjaan.Sudah beberapa kali Ardella menerima penolakan dari perusahaan lain. Kakinya begitu lelah dan sulit untuk berjalan, dia menghembuskan nafas dengan pelan. "Huh. Lelah sekali." Gumamnya.Karena merasa kakinya sedikit pegal, Ardella ingin beristirahat terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanannya. Ardella yang sedang berdiri dipinggir jalan melihat ke arah sekitarnya, melihat warung kecil di depannya dengan langkah kecil Ardella beranjak ke arah warung.Setibanya di warung Ardella duduk dengan meluruskan kakinya lebih condong ke depan. Melihat pemilik warung yang sedang berjualan Ardella merasa tidak enak hati hanya menumpang duduk, dia pun membeli beberapa cemilan kecil untuk dimakan.Sambil duduk Ardella melihat kembali sekelilingnya, di
Hari berikutnya.Semua kembali seperti semula. Menjalani kehidupan masing-masing. Pepatah mengatakan jika karena mengalami hal terpuruk membuat dirimu lebih kuat, maka bagi Ardella merasa semuanya tidak masalah, asalkan dia masih berada dekat dengan orang dia sayangi.Jika untuk sementara diriku kehilanganmu, maka aku akan terima dengan lapang dada. Tapi kumohon jangan pergi lebih lama lagi. Mungkin aku akan berubah lebih buruk dari ini. Aoran membiarkan Ardella bernafas untuk sejenak, dia tidak mengganggu Ardella untuk sementara waktu.***Pagi hari.Tak,, tak,,, tak. Suara langkah Aoran mengitari lapangan golf.Seperti biasa Aoran selalu melakukan olahraga kecil. Halaman taman di kediaman Aoran begitu luas, di sekitar pekarangan rumah terdapat lapangan golf seluas tiga ribu meter. Lapangan beralaskan rumput hijau dan beratapkan langit biru menjadi tempat santai bagi Aoran. Terkadang Aoran menghabiskan waktu bermain golf ketika waktunya senggang. Dipagi hari Aoran selalu memanjakan
Aoran sendiri tertegun dengan ucapan Ardella. Memperhatikan Ardella yang saat ini berdiri di hadapannya, Aoran masih merasa hatinya bergetar untuk Ardella. Tetapi sekarang dia berusaha menolak hatinya untuk menerima Ardella kembali.Disisi lain, Ardella merasa dirinya bagaikan sebuah bayangan untuk Aoran. Mungkin kah bayangan wanita itu menjadikan alasan semua perbuatan Aoran terhadapnya.Keduanya berbicara didalam hati masing-masing. Di Ruangan sunyi tanpa suara, detak jantung terdengar di telinga mereka sendiri. Aoran dan Ardella kini saling menatap, sesama melihat ke arah mata masing-masing. Keduanya hanya membentuk pola pikiran rumit."Jika saja aku wanita itu, maka sekarang aku akan melihatmu dengan rasa jijik,” ucap Ardella dingin. Dirinya masih dalam keadaan tidak terima Aoran menganggapnya sebagai wanita mainan."Mungkinkah kamu sendiri yang meninggalkan wanita itu, atau sebenarnya dari awal kamu memang tidak mencintainya,” ucap Ardella sembarangan menebak. Mungkin diantara m