Share

Chapter 5: Terus kejar 

Hari itu memang sangat cerah, matahari tampak hangat sehangat sayur sup buatan ibu. Semangat Rudra sangat bergelora untuk bertemu gadis yang menarik perhatiannya di kedai itu. Dengan langkah mantap, pria itu memasuki kedai dengan harapan bisa melihat dan menemui gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Saat ini, yang terpenting bukanlah berdiskusi persoalan proyeknya dengan kurator. Bagi Rudra, proyek itu hanyalah proyek yang biasa saja yang sudah sering ia lalui dan menjadi sebuah kebiasaan.

Tepat ketika Rudra masuk ke dalam kedai itu, fokus utamanya tidak langsung menuju pria berdasi atau pria berkacamata, baginya mereka hanyalah angin yang tak berbentuk. Ia berdiri agak lama membelakangi pintu melihat ke sekelilingnya. Rudra sangat berharap gadis itu sudah berada lebih dahulu di kedai tersebut, menanti kedatangannya sambil duduk manis di bangku kedai ditemani secangkir kopi pesanannya.

Pria itu mencoba mencari-cari dimana gadis itu berada. Ingatan yang sejak kemarin dipenuhi oleh gadis itu seketika menghilang begitu saja, entah berceceran ke mana. Rudra mencoba merangkai memori dengan mata yang berlarian kian kemari, memastikan salah satu perempuan yang datang ke kedai itu adalah gadis yang sama di pikirannya. Tapi sayang, entah mengapa tak ada satu pun perempuan yang ada di situ sama seperti gadis yang memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.

Pencarian pria itu pun menjadi pecah ketika ia mendengar suara teriakan dari seorang pria memanggil namanya,

“RUDRA!” panggil pria berkacamata sambil melambaikan tangannya dari salah satu meja yang tak jauh dari pintu masuk kedai tersebut.

Rudra kecewa tak menemukan sosok gadis itu. Dengan pikiran yang sudah pecah dan harapan yang sirna, Ia pun berjalan menghampiri pria berkacamata dan pria berdasi yang sudah bersiap untuk memulai pertemuan.

“Dari mana saja kau wahai Rudra si seniman muda? Jam berapa ini?” tanya Gofani.

“Maaf saya bangu...” belum selesai menjawab, pria berdasi menyahutnya.

“Sudah mari kita mulai pertemuan hari ini!” sahut Pak Kuntardi sambil mempersilakan duduk pria itu.

Rudra duduk dengan memposisikan dirinya agar dapat melihat pintu masuk kedai. Ia masih memiliki keyakinan bahwa gadis itu akan datang. Walau sempat putus asa karena tidak ada satu pun perempuan yang sama dengan wajah gadis yang selalu memenuhi pikirannya. Ia berusaha berharap, meski sedikit kemungkinan seperti keyakinannya pada takdir yang sudah dirangkai. Pak Kuntardi dan Gofani akan memulai diskusi dengan mengeluarkan buku catatan dari saku mereka masing-masing, tapi pria itu tak mengeluarkan apa-apa kecuali harapan akan hadirnya gadis itu.

“Kau tak pesan apa pun Rudra?” tanya Pak Kuntardi, namun tak ada tanggapan. Rudra masih saja fokus memperhatikan setiap orang yang datang ke kedai.

“Rudra?” tanya Gofani sambil menepuk pundak pria itu.

“Eh...” Rudra terkejut.

“Kamu mau pesan apa? Aku tau kamu pasti belum sarapan.”  tawar pria berkacamata kepada Rudra.

“Hehe, tau saja kamu.” jawab pria itu sambil menggaruk-garuk kepalanya. Kemudian Gofani pun melambaikan tangan, isyarat untuk memesan kepada pelayan kedai.

“Tulislah apa saja yang ingin kau pesan, soal bayar membayar pikir belakangan.” kata pria berdasi sambil meminum kopi yang sudah ia pesan sebelum kedatangan Rudra.

Rudra memilih menu sambil menebak-nebak apa yang biasa gadis itu pesan. Sekiranya pilihan mereka sama, bisa saja menjadi sebuah awal obrolan ketika bertemu. Perutnya bergemuruh seakan memberi tanda bahwa ia butuh segera makan dan tak peduli dengan khayalan yang Rudra bangun. Akhirnya, ia pesan sepiring nasi goreng dan secangkir kopi gayo.

"Kau tidak ingin mencoba menu yang lebih mahal?"

"Tidak, Pak. Ini saja. Lagipula apa artinya makanan mahal bila tak cocok dengan selera."

Pesanan Rudra sudah datang, namun gadis yang dinantikannya tak kunjung hadir. Pria itu sudah hilang harapan, keyakinannya pun pudar sepudar warna daun pisang yang menguning di tengah lahan yang dibeli untuk membangun gedung swalayan. Walau harapannya telah gugur, pria itu masih memperhatikan setiap orang yang berdatang ke kedai itu sampai sarapannya habis sehabis kesabarannya akan keyakinan yang dibuatnya sendiri.

Diskusi pun dimulai, Gofani mengeluarkan berkas-berkas, Pak Kuntardi mengeluarkan laptopnya dan Rudra masih berkecamuk akan pupusnya harapan. Diskusi tentang proyek kesenian ini menjadi panjang dan membosankan bagi Rudra. Diskusi ini hanya membuang-buang umur saja, dari menawarkan strategi promosi, katalog, dan pencarian sponsor yang belum pasti. Hingga diskusi itu sampai ke pembahasan tentang seniman senior yang akan memberikan tanggapan.

“Apa kau akan menjadikan Hendra Koesno Dono sebagai seniman senior yang akan memberikan tanggapan tentang karyamu?”

Seusai pria berdasi itu bertanya, tiba-tiba terdengar suara “krincing” isyarat ada orang yang masuk ke kedai itu. Sontak Rudra langsung mengalihkan perhatiannya. Pria itu tak menyangka bahwa pengunjung itu adalah gadis yang selalu memenuhi pikirannya akhir-akhir ini.

Perasaan bahagia, canggung, dan bingung saling bercampur carut marut. Pandangan pria itu hanya tertuju kepada gadis yang baru saja masuk ke kedai, yang selalu menghantui pikirannya. Dia memastikan jika gadis itu duduk tepat di ujung kedai. Perhatiannya kemudian pecah karena perut pria itu tiba-tiba mengalami kesakitan yang tampaknya harus ada hajat yang dibuang.

“Bagaimana saudara Rudra? Apakah kau ingin menjadikan Hendra Koesno Dono sebagai seseorang yang memberikan kata pengantarnya padamu?” tanya pria berdasi sekali lagi.

“Maaf tampaknya saya harus ke kamar mandi.” kata Rudra dengan raut wajah yang sudah pucat sambil kedua tangan memegang perutnya yang sakit. Kemudian pria itu melangkah menuju kamar mandi.

Suara air terguyur di kamar mandi pertanda pria itu sudah menyelesaikan kewajibannya, kembalilah pria itu ke tempat pria berdasi dan pria berkacamata yang sedang melakukan diskusi. Rudra kembali memperhatikan ujung kedai tepat dimana wanitagadis itu duduk. Tak disangka bahwa gadis itu telah lenyap kembali, pria itu sangat menyesali apa yang telah ia lakukan. Harapan dan keyakinan yang ia bangun hancur karena dirinya sendiri.

“Satu detik itu adalah serangkaian waktu yang bisa meluluh lantahkan kerajaan tatapku.” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status