LOGIN
"Ibu! kenapa kau tinggalkan aku!" teriaknya mendekap tubuh yang sudah terbujur kaku itu dengan sangat erat.
Tetesan air mata keluar dari pelupuk mata seorang gadis belia yang masih memakai pakaian seragam SMA. Ia masih terus mengguncangkan tubuh kaku itu, berharap sang ibu masih bisa bergerak dan nafas. Namun sayangnya, harapannya telah sirna. Ia menatap sinis orang yang ada disampingnya. Siapa lagi kalau bukan Dokter yang sedari tadi ia panggil, tetapi tidak juga melakukan apapun pada ibunya. Hingga nyawa ibunya pun tak dapat tertolong lagi. "Lihat! kau telah membunuh, ibuku!" teriak gadis SMA yang bernama Nayla. Ia terus menarik-narik jas putih itu yang dianggapnya tidak layak dikenakan oleh wanita yang ada didepannya. Tetapi seolah semua orang terus melindungi wanita tersebut dan tidak juga berpihak padanya. bahkan ia nyaris saja terjatuh karena didorong oleh salah satu petugas keamanan. "Sudah tahu ibumu sakit parah, kenapa kau bawa kesini! Sekarang bawa ibumu pulang! Disini tak ada fasilitas ambulan!" tegas dokter wanita tersebut dengan sinis dan tanpa merasa bersalah. "Ini, ini semua adalah obat yang dikonsumsi ibuku dari puskesmas ini, tetapi kenapa penyakit ibuku semakin bertambah parah! apa mungkin kalian asal-asalan dalam memberi obat, iya? Katakan saja sejujurnya! biar mereka semua tahu bila kalian bekerja tidak becus!" paparnya dengan lantang dan menunjukkan banyaknya obat yang ada ditangannya, Namun semuanya tidak berefek apapun pada tubuh ibunya. Semakin membara lah hati Nayla, diperlakukan tidak adil seperti itu oleh salah satu oknum dokter yang bertugas di puskesmas. Ia berdiri mendekati oknum Dokter tersebut dengan tanpa rasa takut, bahkan petugas keamanan saja juga ia lawan dengan cara menginjak kaki bapak tersebut dengan begitu kuat. Hingga petugas keamanan itu berteriak kesakitan. "Aku pastikan hidupmu akan hancur! aku memang orang miskin yang tidak bisa melaporkan perbuatan kalian semua! Tetapi aku yakin bila Tuhan maha mengetahui segala apa yang kalian perbuat!" Sumpah serapah pun diucapkan Nayla dengan begitu menggelegar. "Awas! jangan halangi jalanku!" usir Nayla pada orang yang mengerumuninya. ia pun berusaha menggendong jasad sang ibu untuk dibawanya pulang menggunakan gerobak yang biasa ia gunakan untuk mengumpulkan barang bekas. Saat ia menggendong jasad tersebut, semua orang yang berada disana pada menutup hidung. Bau badan ibu Nayla begitu menusuk indra penciuman mereka. "Hueekk, baunya!" cibir sang dokter dengan tiba-tiba. Nayla seketika menoleh kearah Dokter wanita itu, tatapannya semakin sinis. ingin rasanya ia mencabik-cabik wajah wanita tersebut, tetapi apalah daya, posisinya saat ini sedang menggendong jasad ibunya. ia berjalan, namun bukan berarti mengabaikan setiap ucapan yang keluar dari mulut dokter tersebut. Diletakkannya lah jasad tersebut didalam gerobak, lalu ia membuka jilbab putih yang sedari tadi melekat di atas kepalanya, untuk ia jadikan sebagai penutup wajah sang ibu. Saat ia berjalan mau keluar, tak sadar ekor matanya melirik kesamping bangunan. Sebuah ambulan terduduk disana, Nayla pun semakin terisak melihat perlakuan berbeda yang ia terima dari Puskesmas tersebut. "Lihatlah Bu, betapa kejamnya mereka pada kita, empati mereka sudah mati!" Curhatnya pada ibunya yang tak lagi bernyawa itu dengan air mata yang masih terus membasahi wajah gadis tersebut. Ia berjalan menyisiri jalan raya dengan perasaan yang hancur, hingga tibalah ia di kolong jembatan, tempat dimana ia tinggal bersama dengan ibunya. Dan betapa shocknya ia kala melihat tempat tinggal meteka yang telah porak-poranda dihancurkan oleh satuan polisi pamong praja. "Ya Allah, Kemana lagi aku harus tinggal? lalu bagaimana nasib jasad ibuku ini!" Tatapnya dalam, menatap orang yang dulu pernah melahirkannya. Bagaimana ia mau minta tolong, bila kenyataannya, semua orang pada berlarian menyelamatkan diri mereka masing-masing dari kejaran satpol PP tersebut. Suara teriakan Satpol PP begitu mengagetkan dirinya, dan betapa terkejutnya ia kala melihat salah satu dari mereka berlari kearahnya. "Hey, kau! jangan lari!" Satpol pp itu meneriaki Nayla yang dianggap sedang mengemis. demi ingin menyelamatkan diri, Ia pun bergegas memutar balikkan gerobak tersebut ke sembarang arah. Rasa letih menjalar keseluruh tubuhnya, Nayla tidak tahu lagi kemana harus meminta tolong, dilihatnya lah ada sebuah mesjid, ia pun mampir sejenak ke mesjid tersebut untuk menunikan sholat wajib. Saat ia sedang mencurahkan semua kesedihannya pada Sang PenciptaNya. seorang Aparat Kepolisian juga sedang memarkirkan motornya di parkiran. polisi tersebut begitgu curiga saat melihat ada ada sebuah gerobak dihalaman mesjid, ia mencoba berjalan menghampiri gerobak tersebut dan alangkah kagetnya ia kala melihat ada mayat didalamnya. "Mayat siapa ini?" Ujarnya memperhatikan mesjid yang sangat sepi itu. lalu terdengarlah suara isakan tangis dari dalam Mesjid. "Ya Allah! Kemana lagi aku harus meminta tolong, Aku sudah lelah ya Allah, tak ada satu pun orang yang mau menguburkan ibuku. Ambilah saja ragaku ini biar aku bisa bersama ibuku! Dunia ini terlalu kejam untukku!" Deraian air mata membasahi pipi gadis remaja tersebut. Lalu dalam kekhusukan, Nayla merasakan ada yang menepuk pundaknya, ia pun mendengakkan kepalanya keatas dan melihat siapa gerangan yang menepuk pundaknya. Seketika wajahnya menjadi panik. "Jangan-jangan tangkap saya, pak. Saya hanya orang miskin! Saya janji tidak akan tinggal dikolong jembatan lagi!" Ucapnya buru-buru bersujud dikaki polisi tersebut. "Itu jasad ibumu kan? Ayo ikut dengan saya, saya akan bantu untuk mengebumikannya." Nayla pun seketika tercengang. Tangis Nayla semakin kencang, ia tak menyangka akhirnya ada juga yang mau menolongnya. Beberapa jam kemudian, disaat ibu Nayla akan dikebumikan di pemakaman umum, sebuah telpon masuk ke ponsel Rizal—Nama Polisi tersebut. Dengan berat hati ia terpaksa mengangkat telpon dari istrinya yang merupakan seorang dokter yang bekerja di puskesmas. Siapa lagi kalau bukan Sindy, wanita yang mengusir Nayla tadi dari puskesmas. "Iya, nanti mas jemput! Tunggu sebentar ya!" Sahut Rizal dalam panggilan Video, Sehingga Sindy dapat melihat apa yang sedang dikerjakan oleh suaminya. Matanya terbelalak saat melihat sosok gadis remaja yang tadi bersitegang dengannya sewaktu di puskesmas ada disamping suaminya. "Mas, Kamu ngapai di....!" Belum selesai Sindy bicara panggilan video langsung terputus begitu saja. Seketika dadanya bergemuruh dengan kencang. "Ada hubungan apa suamiku dengan anak miskin itu! kenapa dia bisa berada di pemakaman."Bambang, selaku papanya Sindy pun sedikit membuka latar belakang keluarga Rizal pada sang anak. tetapi bagaimana respon Sindy? Ia tetap tidak ingin bersatu lagi dengan Rizal yang kini telah lumpuh untuk selama-lamanya. "Akh, sudahlah Pa. Mau dia CEO sekalipun, Aku sudah tidak tertarik dengannya lagi. Tidak mungkinkan Aku harus menghabiskan waktuku untuk mengurusi dia. ogah banget deh!" Bambang tak bisa berkata-kata lagi dibuat sang anak, ia pun memilih untuk meninggalkan Sindy begitu saja diruang tamu. Ibu Sindy hanya bisa menggelengkan kepala melihat anaknya yang tak bisa dinasehati. "Mama berharap kamu tidak akan pernah menyesali atas apa yang telah Kamu lakukan ini, Sindy!" "Apa-apaan sih Mama! lebay banget, wajar saja Aku mencari yang lebih dari Si Lumpuh itu kan!""Plak!" tamparan keras mendarat di pipi Sindy. "Tapi tidak harus menjadi Pelakor! Apa yang telah Kamu lakukan itu semua salah, Sindy! geram sang Ibu. Sindy memegangi pipinya dan menatap wajah sang Ibu d
Nayla masuk kedalam rumah dan Edwin juga telah pergi dari kediaman bosnya menuju ke sebuah tempat. Didalam kamar, Rizal menelpon Ikhsan, asisten pribadinya yang selama ini ia tugakan untuk mengolah perusahaannya. "Mulai besok jadwalkan rumah sakit yang bagus untuk Saya! ingat jangan yang biasa-biasa saja. Saya ingin secepat mungkin bida sembuh!" ucap Rizal dari sambungan telpon. "Siap Bos!" Begitulah Ikhsan dalam bekerja, ia terlalu dingin dalam menyikapi apapun. Lain dengan Edwin yang bisa bersikap lebih santai. Sebelum tidur, Nayla kembali masuk ke kamar Rizal untuk memastikan bila Rizal telah tetidur atau belum. Melihat Nayla yang telah masuk le kamarnya, Rizal segera meletakkan ponselnya diatas nakas yang berada disebelah ranjang tempat ia berbaring. Dilihatnya Nayla yang begitu telaten melayani Rizal, bahkan Nayla juga memakaikan kaus kaki ke kaki Rizal agar kaki Rizal tetap dalam keadaan hangat. Setelah itu ia menyelimutinya. "Apa Kau juga merawat Ibumu seper
Rizal menatap sinis kearah Edwin yang saat ini sedang mengangkatnya keatas ranjang. "Dia anak asuhku! jangan berpikir yang macam-macam!" Edwin mencoba untuk menahan tawanya, didalam benaknya sungguh ia tak percaya dengan ucapan bosnya. Bagaimana mungkin anak remaja yang sebentar lagi juga akan beranjak dewasa itu dijadikan anak asuh. Bahkan tadi saja ia sudah melihat sendiri keduanya yang saling bertindihan. Melihat Edwin yang terus menahan tawa, Rizal kembali menoyor kepala Edwin. "Aduh, Bos! Kenapa aku ditoyor? dari tadi aku kan diam saja!" "Kau diam, tetapi tidak dengan pikiranmu, Aku tahu apa yang ada di otakmu itu!" geram Rizal menatap sengit wajah Edwin. Edwin mengeluarkan beberapa berkas kehadapan Rizal, Rizal pun menatap lekat berkas-berkas itu. Ia membaca isinya dengan raut wajah penuh kekecewaan, bagaimana bisa ia dipecat secara tidak hormat dari kesatuannya, bila selama ini saja ia sudah mendedikasikan seluruh waktunya pada kesatuannya. sampai-sampai
Di kediaman Rizal, Rizal terus memperhatikan Nayla yang hampir satu harian terus bekerja, Ia sampai tidak tega melihat gadis kecil itu mengerjakan semua pekerjaan rumah. Diam-diam ia menghubungi orang kepercayaanya untuk mencarikan sekolah yang bagus buat Nayla. Disaat Rizal sedang fokus berbicara, Nayla berjalan pelan membawakan nampan yang berisikan sepiring makanan dan segelas air mineral. "Maaf pak, Ini makanannya." Tawar Nayla, lalu meletakkan makanan dan minuman itu diatas meja makan. Rizal mengangguk dan mengakhiri telponnya dan Nayla pun dengan sangat telaten mendorong kursi roda Rizal menuju meja makan. Rizal terpaku sebentar, Ia teringat oleh istrinya. Bila ternyata selama mereka menikah, Sindy tidak pernah melayaninya seperti Nayla. Bahkan biasanya malah Rizal lah yang terlalu memanjai Sindy. Ia tersenyum miris, ia baru sadar bila selama ini Ia telah berjuang seorang diri. Nyatanya setelah Ia mengalami kelumpuhan, sang Istri langsung menyingkirkannya begitu saja.
Beberapa hari berlalu, ditempat lain, ada seorang istri yang terus menunggu kepulangan suaminya yang sudah beberapa hari ini tak juga kunjung pulang. Pikirannya terus berkecamuk, setelah kemarin mendapatkan beberapa bukti perselingkuhan suaminya dari salah satu karyawannya. "Benarkah ia sedang bertugas keluar kota? Kenapa dia tak mengirimkan surat jalannya? Biasanya ia selalu memberi kabar padaku. hmm, apakah semua bukti ini adalah benar?" ucap Dira, istri yang dinikahi Devan hanya untuk sebuah status. Bahkan Devan rela berpura-pura bahagia agar Dira berlaku baik dengannya. Dira yang mulai curiga, bersiap untuk pergi kerumah sakit, tempat dimana suaminya bekerja. Ia juga tidak lupa membawa anaknya yang kini sudah berusia tiga tahun. Sesampainya ia disana, dan betapa terkejutnya ia kala mengetahui bila suaminya baru saja pulang dan mengatakan bila suaminya juga tetap praktek dirumah sakit, bukan diluar kota seperti apa yang dikatakan suaminya. "Masa sih, mbak! Tapi katan
"Pak Polisi! Ya Bapak kan yang sudah membantu aku menguburkan ibuku. Bapak masih ingat aku kan? Kenapa bapak bisa seperti ini? Memangnya pa yang terjadi pada bapak?" Banyak pertanyaan yang Nayla lontarkan pada Rizal, hingga membuat Rizal semakin kesal. Namun lain halnya dengan Nayla yang begitu senang dapat bertemu kembali dengan sosok polisi yang pernah membantunya. Rizal terdiam memperhatikan penampilan Nayla yang semakin kotor tak terurus. Karena Rizal masih diam saja dan tak juga mengeluarkan sepatah katapun, Nayla bergegas membantu mengangkat tubuh Rizal yang besarnya dua kali lipat dari tubuh kecilnya itu. Saat itu pula keluarlah security perumahan dan berjalan mendekati mereka. "Hey, jangan bantuin dia! nanti kamu ketularan penyakit mematikan darinya!" Rizal kembali menatap security tersebut seolah berkata didalam hati, apa lagi yang sudah istrinya ucapkan pada security tersebut. Kenapa bisa bapak security bicara seperti itu. "Saya lumpuh! Bukan memiliki riway







