"Bos, kami akan menemani Anda bertarung sampai akhir," ucap mereka serentak, suara mereka bulat dan penuh keyakinan. Mata mereka bersinar dengan semangat yang sama—semangat untuk bertempur, untuk setia, untuk mati bersama jika perlu.
Daniel menatap satu per satu wajah anak buahnya. Di balik ekspresi tegas mereka, ia melihat ketulusan dan keberanian yang telah teruji oleh waktu dan darah.
"Markas musuh memiliki banyak anggota," katanya dengan nada serius, suaranya dalam dan mantap. "Apakah kalian sudah siap? Mungkin saja kita bisa kembali... atau sama sekali tidak berpeluang keluar hidup-hidup."
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Namun hanya sekejap.
"Bos, kami tidak takut mati," jawab mereka, lagi-lagi serentak. Kali ini suara mereka terdengar lebih mantap, nyaris seperti sumpah. "Jadi kami akan tetap tinggal dan membantu mengalahkan lawan."
Daniel menghela napas panjang, seakan menimbang sesuatu yang telah lama ia pikirkan. Pandangannya
Tidak lama kemudian, sejumlah mobil mendekati markas Elvis. Suara deru mesin dan debu yang mengepul di jalan tanah membuat suasana di sekitar mendadak tegang. Kehadiran mereka tidak luput dari perhatian Charlotte, yang tengah duduk menunggu di warung sepi di tepi jalan yang tidak begitu jauh dari markas ayahnya.Dahi Charlotte berkerut saat melihat iring-iringan kendaraan itu. Matanya menatap tajam ke arah mobil-mobil yang melaju cepat."Apakah itu Daniel?" gumam Charlotte dengan suara gemetar. Ia bangkit dari kursi usangnya dan berdiri sambil memandangi mobil-mobil yang semakin mendekat ke markas.Beberapa detik kemudian, mobil-mobil itu berhenti mendadak di depan gerbang. Daniel turun lebih dulu, disusul seluruh anak buahnya. Mereka semua keluar dari kendaraan dengan sigap, menggenggam senjata api di tangan masing-masing. Tatapan mereka penuh tekad, seakan tak akan mundur meski maut menanti di depan.Sementara itu, di dalam markas, Elvis, sang pemimpin
"Bos, kami akan menemani Anda bertarung sampai akhir," ucap mereka serentak, suara mereka bulat dan penuh keyakinan. Mata mereka bersinar dengan semangat yang sama—semangat untuk bertempur, untuk setia, untuk mati bersama jika perlu.Daniel menatap satu per satu wajah anak buahnya. Di balik ekspresi tegas mereka, ia melihat ketulusan dan keberanian yang telah teruji oleh waktu dan darah."Markas musuh memiliki banyak anggota," katanya dengan nada serius, suaranya dalam dan mantap. "Apakah kalian sudah siap? Mungkin saja kita bisa kembali... atau sama sekali tidak berpeluang keluar hidup-hidup."Keheningan sejenak menyelimuti ruangan. Namun hanya sekejap."Bos, kami tidak takut mati," jawab mereka, lagi-lagi serentak. Kali ini suara mereka terdengar lebih mantap, nyaris seperti sumpah. "Jadi kami akan tetap tinggal dan membantu mengalahkan lawan."Daniel menghela napas panjang, seakan menimbang sesuatu yang telah lama ia pikirkan. Pandangannya
Charlotte duduk di atas pasir putih yang hangat, membiarkan angin laut menyibak rambutnya yang panjang. Suara debur ombak menjadi latar sunyi bagi lamunannya yang dalam. Matanya menerawang ke cakrawala, namun hatinya tertuju pada masa lalu—pada sosok ayah dan nenek yang membesarkannya dengan kasih yang tak pernah berkurang. Juga pada Daniel, pria yang datang membawa cinta sekaligus luka."Pa, Nenek," ucap Charlotte lirih, nyaris tak terdengar oleh angin. "Sejak kecil, kalian memberiku yang terbaik. Aku sangat bahagia memiliki kasih sayang yang kalian berikan."Air matanya mulai mengalir, tapi ia tetap menatap laut dengan pandangan yang kosong."Tapi sekarang... aku mulai mengerti. Aku mengerti rasa bersalah yang papa simpan selama ini," lanjutnya, suara gemetar karena emosi yang tak terbendung. "Sementara di luar sana, ada seorang anak yang kehilangan ibunya. Yang tumbuh tanpa kasih dari kedua orang tuanya karena mereka pergi terlalu cepat. Kebahagiaannya
"Karena aku? Papa menyelamatkanku dan salah menembak… hingga menyebabkan Daniel kehilangan ibunya?" batin Charlotte. Tubuhnya menegang, matanya membulat tak percaya. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Kakinya terasa lemas, namun ia memaksa diri untuk menjauh dari tempat itu, dari markas yang kini terasa seperti tempat paling menyakitkan di dunia.Langkahnya gontai saat ia meninggalkan markas, terpukul oleh kenyataan yang baru saja terungkap. Dadanya sesak, setiap tarikan napas terasa menyakitkan."Karena aku… Daniel kehilangan kasih sayang ibunya. Ternyata karena aku... Andai saja saat itu aku yang mati, maka ibu Daniel tidak akan menjadi korban. Akulah yang seharusnya mati," ucap Charlotte lirih, penuh penyesalan, sambil menyeka air matanya yang terus mengalir tanpa henti.Pikirannya kembali melayang pada sosok Daniel—mantan suaminya yang dulu begitu hangat, penuh perhatian, dan sangat menyayanginya. Tapi semua berubah. Daniel bukan lagi pria yang dulu ia kenal."Daniel… apa karena k
"Charlotte, biarlah aku menyimpan kenangan kita. Setiap detik bersamamu adalah kebahagiaanku. Hanya saja, takdir mempermainkan kita. Aku berharap kamu bahagia di sana," batin Daniel dalam hati yang penuh luka. Ia berdiri mematung tidak jauh dari gerbang bandara, tubuhnya tegap namun sorot matanya sendu. Angin sore menerpa wajahnya ketika ia menatap ke langit, mengikuti jejak pesawat yang membawa cinta sejatinya menjauh.Cincin pernikahan di jemarinya berputar perlahan. Sebuah kebiasaan yang hanya muncul ketika pikirannya diliputi gundah dan tekad yang membara."Bos," suara Levis membuyarkan lamunannya.Daniel menoleh singkat. Wajahnya dingin, tapi tajam penuh maksud."Apakah sudah lacak lokasi markas mereka?" tanyanya dengan nada datar namun mengandung ancaman."Sudah dapat, Bos," jawab Levis cepat, tahu betul bahwa perintah Daniel bukan sesuatu yang bisa dianggap enteng.Daniel mengangguk pelan, lalu kembali menatap langit yang mulai meredu
“Lolipop, sisanya kau tidak perlu tahu lagi. Pergilah dan mulai dengan hidup baru. Kejar impianmu dan jadilah anak kebanggaan Papa,” ujar Elvis lirih, suaranya serak menahan emosi yang bergelora di dadanya.Charlotte menggigit bibir bawahnya, hatinya bergejolak antara kebingungan dan kemarahan. Ia memandang Elvis dengan mata yang mulai berkaca-kaca.“Pa, apakah Papa juga tahu siapa Daniel sebenarnya? Dan... bagaimana dia bisa tahu penyebab kematian ibunya?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik namun penuh tekanan.Elvis menghela napas panjang, seakan beban di pundaknya semakin berat.“Lolipop, semua ini adalah kesalahan Papa,” katanya pelan, menundukkan kepala dengan rasa bersalah yang dalam. “Awalnya Daniel tidak mengetahui kejadian itu. Tapi karena kelalaian Papa yang menyimpan bukti rekaman ke dalam liontin yang kamu pakai, dia akhirnya mengetahuinya. Papa tidak menyangka… dia adalah anak yang Papa c