Anne terbangun dengan tubuh yang remuk redam di sekujur tubuhnya. Dan satu-satunya perasaan yang melekat di tubuynya hanyalah rasa jijik. Merasakan tubuhya yang begitu kotor dan belum pernah Anne merasakan sejijik ini pada siapa pun atau apa pun sebesar rasa jijik pada dirinya sendiri saat ini.
Semalam, Luciano menyentuh setiap jengkal kulit di tubuhnya. Merenggut dirinya dengan cara apa pun yang bisa pria itu ambil. Mencabik-cabik harga dirinya akan kepuasan yang telah pria itu renggut darinya. Membuat dirinya harus mengabulkan keinginan pria itu terhadap tubuhnya yang seolah tiada akhirnya. Menginginkan, menginginkan, dan menginginkan dirinya terus menerus. Hingga Anne benar-benar kewalahan dan akhirnya Luciano membebaskan dirinya hingga menjelang pagi. Dengan kecupan basah dan penuh peluh di keningnya.
Anne tak ingat bagaimana dirinya terlelap oleh rasa lelah. Saat ia bangun, ia menyadari tubuhnya masih telanjang bulat di balik selimut tebal. Dan rasa sakit dari pangkal pahanya. Anne benar-benar ingin menangis mengingat bagaimana rasa sakit itu membekas di sana. Luciano bahkan tak perlu berepot-repot menahan diri untuk bersikap lembut bahkan setelah mengetahui dirinya tengah mengandung. Yang membuat Anne tak berani menolak setiap keinginan pria itu karena takut janin dalam kandungannya berada dalam bahaya.
Bahkan setelah ia mengandung anak pria lain pun tak membuat Luciano merasa jijik terhadap dirinya. Obsesi pria itu terhadap tubuhnya benar-benar gila. Dan entah berapa banyak lagi kegilaan yang akan pria itu lakukan di sepanjang pernikahan mereka nantinya.
"Kau sudah bangun?" Suara maskuli berasal dari arah samping tempat tidur.
Anne menoleh dan menemukan Luciano yang rambutnya tampak berantakan dengan mengenakan kemeja putih pendek yang kancingnya dibuka tiga. Samar-samar menampakkan dada bidang pria. Ditambah dengan celana pendek yang berwarna putih juga, yang seolah membuat penampilan pria itu yang sudah sempurna semakin sempurna karena terlihat layaknya malaikat berjiwa murni.
Akan tetapi, Anne tak akan tertipu dengan penampilan sempurna pria itu. Luciano Enzio tak pernah menjadi sosok malaikat seperti yang kedua orang tua dan semua orang lihat. Anne sangat tahu bahwa pria itu adalah berengsek yang berbulu domba. Dan Anne akan membuktikan pada semua orang, bahwa semua yang ditampilkan Luciano hanyalah sebuah topeng. Yang membungkus kebusukan pria itu.
Raut wajah Anne yang menahan rasa sakit seketika berubah dingin. Pandangannya tertunduk dan hanya menemukan kemeja putih Luciano yang tergeletak di lantai satu-satunya kain yang bisa menutupi ketelanjangannya saat ini. Ia tak mungkin mengenakan selimut tebal ataupun gaunnya yang sudah koyak berada tak jauh dari tempat tidur mereka untuk ke kamar mandi.
Setelah memastikan tubuhnya terlilit pakaian itu dari pandangan mesum Luciano, Anne beranjak sambil menahan rasa sakit di antara kedua pangkal pahanya dan bergegas menghilangkan diri dari pria itu. Mengunci pintu kamar mandi dan satu-satunya hal yang diinginkannya hanyalah berendam dengan air hangat. Beruntung Luciano membiarkan dirinya mendapatkan hal itu.
Setelah berendam dengan air hangat yang dipenuhi kelopak bunga mawar merah selama setengah jam, Anne beranjak dan mengambil jubah handuk di nakas. Mempertajam indera pendengarannya dan hanya kesunyian yang bisa ia tangkap dari luar kamar mandi. Berpikir mungkin Luciano entah pergi ke mana.
Anne pun menahan napasnya ketika mendorong pintu terbuka dan benar-benar bernapas lega tak menemukan Luciano di dalam kamar. Anne mencari sesuatu yang bisa dipakainya karena ia ingin meninggalkan tempat ini secepatnya. Tasnya tergeletak di meja dan ia pun bergegas mengambilnya. Tetapi tak bisa menemukan ponselnya di dalam sana. Anne pun membalik tasnya dan menumpahkan seluruh isinya di meja dan tetap saja tak menemukan ponselnya. Sementara ia yakin tadi malam memastikan dirinya memasukkan benda itu sebelum Luciano membawanya ke tempat ini.
Dan seseorang yang baru saja melangkah masuklah satu-satunya tertuduh yang masuk akal. "Kau yang mengambil ponselku?"
Luciano berhenti, merogoh saku celana dan menunjukkan benda yang ditanyakan oleh Anne. "Benda ini?"
Anne melompat berdiri dengan kemarahan yang kembali terbendung untuk pria itu. Menghambur ke arah Luciano. "Kembalikan," geramnya.
Luciano menangkap pergelangan tangannya yang melayang dan mencoba meraih ponsel tersebut darinya. Dan dengan kaki Anne yang berjinjit, hanya butuh sedikit sentakan dari Luciano untuk membuat wanita itu jatuh ke dadanya.
Anne terpekik dan hendak melompat menjauh, tetapi pinggangnya ditahan oleh tangan Luciano. "Apa yang kau lakukan, Luciano?" desisnya tajam dengan kedua tangan mendorong dada pria itu. Sekaligus mencoba memberi jarak di antara tubuh mereka. "Lepaskan."
Seringai Luciano tertarik lebih tinggi. "Papamu baru saja menghubungi. Ingin makan siang dengan kita sebelum berangkat ke Itali."
Anne mengerjap, "Papa?"
Luciano menjilat bibir bagian bawahnya dan dengan tatapan seolah Anne adalah makanan yang lezat. "Aku sangat lapar dan ingin memakanmu. Tapi… kita harus menemui orang tuamu mengenai pria yang menghamilimu."
Wajah Anne seketika memucat. Mendorong tubuhnya menjauh dari Luciano dengan sekuat tenaganya. Dan ia berhasil terlepas bukan karena usahanya. Melainkan Luciano yang sengaja melepaskannya.
"Untuk apa kami harus membicarakannya denganmu? Itu urusan keluargaku!"
"Well, seingatku. Aku masih menjadi suamimu. Yang artinya, segala urusanmu akan menjadi tanggung jawabku."
Wajah Anne semakin merah padam. Dengan kebencian di dada yang rasanya sudah tak sanggup Anne tampung lebih banyak lagi.
"Aku tahu kau membenciku, Anne. Sejak awal bertemu, tatapanmu padaku tak pernah bersahabat. Dan aku bahkan tak tahu bagaimana aku harus bertanggung jawab untuk kebencianmu itu. Sekarang kau istriku, kedua orang tuamu sudah menyerahkan segala tanggung jawab dan urusanmu kepadaku. Jadi, akan lebih bijak jika kau mulai terbiasa dengan hal ini."
"Tidak. Aku tak sudi menjadi istrimu," desis Anne dengan kebencian yang memekati kedua matanya.
Senyum Luciano melebar dengan mengejek. "Kau sudah menjadi istriku."
"Aku akan membuatmu menyesal telah menjadikanku istrimu. Aku bersumpah."
"Ya. Kau bisa berkata apa pun yang kau inginkan. Yang terjadilah yang lebih penting." Senyum Luciano mencemooh Anne dengan kental.
Anne menjerit sekuatnya saking frustasinya menghadapi kata-kata Luciano yang tak bisa dipatahkannya. Yang malah membuat senyum Luciano semakin gelap. Jika di hadapan kedua orang tuanya Luciano selalu bersikap penyabar dan lemah lembut ketika menghadapi kebenciannya, di belakang mereka Luciano tak segan-segan untuk bersikap berengsek seperti ini. Anne benar-benar kehilangan akal sehatnya menghadapi kelicikan Luciano yang tak pernah berhenti membuat kewalahan dan putus asa.
"Pada akhirnya, kau tetap berada dalam genggamanmu," seringai Luciano semakin tinggi. Dengan kegelapan dan kelicikan yang berkilat di kedua mata pria itu. Ketika Luciano melanjutkan, "Termasuk nasib anak dalam kandunganmu."
Kalimat tersebut seketika memucatkan seluruh permukaan wajah Anne. "A- apa?"
"Kedua orang tuamu sudah memasrahkan permasalahan ini ke tanganku. Apakah aku harus mempertahankan anak itu, menggugurkannya, atau bahkan membunuh pria yang menghamilimu. Semua nasib kalian berada di tanganku, Anne Sayang." Luciano mengucapkan kalimat tersebut dengan begitu jelas dan penuh penekanan. "Tidakkah kau merasa perlu bersikap baik untuk membujukku? Mungkin saja aku akan sedikit berbaik hati. Karena kau istriku."
Anne menggeleng, tangannya bergerak menyentuh perutnya dengan gerakan melindungi. Air mata mengalir di kedua pelupuk matanya. "Tidak. Kau sama sekali tidak berhak untuk semua itu. Kau sama sekali tak berhak untuk menentukan nasibku, anakku atau bahkan dia. Aku tak sudi mengemis permohonan pada orang sepertimu. Kau tak lebih dari seorang berengsek yang berhati busuk. Yang dibungkus dengan topeng malaikatmu."
Kata-kata Anne berhasil mengena di hati Luciano. Raut wajah pria itu membeku dan gurat amarah menggaris kuat di wajahnya dan dalam satu langkahnya yang besar. Pri itu menangkap rambut Anne dan membanting tubuh mungil sang istri ke tengah tempat tidur.
Gerakan Luciano begitu tiba-tiba, membuat Anne tak sempat menghindar meski tahu rencananya tersebut tak akan cukup membantu. Tubuh Anne terbanting dua kali di tempat tidur. Sebelum Anne bisa merangkak turun dan menelaah semuanya, jubah handuknya sudah dilucuti dan tubuh telanjangnya sudah ditindih oleh Luciano. Dengan kedua tangan yang dipaku di atas kepala. Selanjutnya, Luciano menghentakkan tubuh pria itu ke dalam tubuh Anne. Mengotori setiap jengkal kulitnya dengan sentuhan yang menjijikkan. Melecehkan tubuhnya dengan cara yang kasar. Menginjak-injak harga dirinya dengan cara yang lebih buruk. Sama sekali tak peduli dengan air mata kepiluan yang merembes ke sprei tempat tidur. Sebagai saksi bisu akan kekejian seorang Luciano Enzio.
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu